Beranda / Romansa / Menjadi Istri Keponakan sang Mantan / Bab 4 : Pertemuan yang Menghidupkan Luka Lama

Share

Bab 4 : Pertemuan yang Menghidupkan Luka Lama

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-24 17:08:03

Semua mata di ruangan itu sontak tertuju ke arah pintu ketika suara langkah sepatu terdengar. Sosok seorang pria dengan wajah tampan dan aura dingin memasuki ruangan, menarik perhatian setiap orang yang hadir. Tubuhnya tegap, mengenakan setelan hitam yang membalut sempurna lekuk tubuhnya, membuatnya tampak berwibawa. Sophia terpaku di tempatnya, matanya membelalak saat menyadari siapa pria itu.

Daniel.

Napasnya tersengal. Pria yang berdiri di hadapannya kini bukan lagi Daniel yang ia kenal beberapa hari lalu. Pria ini tampak jauh lebih berkelas. Sophia meremas gaun di tangannya, mencoba menenangkan dirinya, tetapi dadanya sudah naik turun seiring dengan detak jantungnya yang semakin tak terkendali.

“Akhirnya kamu kembali juga.” Edward menatap tajam ke arah Daniel, matanya dipenuhi dengan kebencian yang tak tersamarkan. Lima tahun anak haram itu pergi meninggalkan rumah, dan sekarang ia kembali lagi, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Daniel menghentikan langkahnya tepat di tengah ruangan, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. “Sepertinya, aku datang di waktu yang tidak tepat,” katanya datar, tapi senyuman tipis di sudut bibirnya membuat suasana terasa semakin tegang.

David yang sejak tadi duduk dengan tenang, segera bangkit dan menyambut kehadiran pamannya. “Tidak, Paman. Paman datang tepat waktu,” ucapnya dengan riang, meski ada rasa hormat yang terpancar dalam suaranya. “Kakek hanya sedang mempertemukanku dengan wanita pilihannya.”

Mendengar itu, Daniel mengangkat alis, wajahnya menunjukkan ketertarikan. “Oh?” katanya pelan, suaranya rendah tetapi cukup untuk membuat jantung Sophia semakin berdebar. “Aku ingin tahu … seperti apa wanita pilihan Ayah.”

Tatapan tajam Daniel mulai bergerak, memindai satu per satu orang di ruangan itu, sampai akhirnya berhenti pada Sophia. Matanya menyipit sedikit, senyuman tipis di bibirnya menghilang, digantikan oleh ekspresi dingin yang sulit ditebak.

“Oh, jadi … kamu,” gumam Daniel, kali ini pandangannya terarah pada Sophia dengan sedikit tersenyum. “Wanita pilihan Ayah ternyata cukup … menarik.”

Sophia hanya bisa terdiam, tubuhnya terasa seperti kaku. Ia harus mengatakan sesuatu, atau setidaknya melakukan sesuatu, tetapi lidahnya seolah kelu. Tatapan Daniel terlalu tajam, seperti pisau yang menguliti setiap emosi yang ia coba sembunyikan.

Sementara itu, Rose yang duduk di samping Robert memegang dadanya, matanya tidak bisa lepas dari Daniel. Mulutnya sedikit terbuka, ia jelas terkejut dengan apa yang baru saja ia lihat. Lelaki itu?

Ya, lelaki itu. Lelaki yang dulu mereka anggap tidak pantas untuk Sophia. Lelaki yang mereka pikir hanya orang miskin tanpa masa depan. Kini berdiri di hadapan mereka sebagai bagian dari keluarga William.

“Apa kabar, Ayah?” Daniel akhirnya berbicara lagi, suaranya tenang meski ada nada dingin yang tak bisa disembunyikan. Matanya sedikit melunak saat menatap William, tetapi hanya sejenak, sebelum kembali menajam.

“Aku baik, Daniel. Dan aku senang kamu akhirnya kembali,” jawab William, meskipun ada sesuatu dalam nadanya yang terasa canggung. Sudah lima tahun anaknya itu pergi dan sekarang ia bahagia akhirnya Daniel telah kembali.

“Sepertinya aku telah mengganggu kalian. Silakan lanjutkan saja. Aku akan menunggu sampai selesai,” ucap Daniel sebelum ia berbalik dan meninggalkan ruangan.

Sophia yang melihat itu hanya bisa menatap punggung Daniel yang semakin menjauh. Tangannya yang sedari tadi meremas gaunnya kini perlahan terhenti. Ada kegelisahan di wajahnya. Namun, ia mencoba menyembunyikannya di balik senyumnya yang tipis. “Permisi, saya mau ke toilet sebentar.”

“Toiletnya ada di lorong paling ujung,” jelas William.

Sophia mengangguk, tapi Robert dan Rose yang memperhatikannya, mereka menatap tajam, seolah meminta Sophia untuk tidak pergi. Namun, Sophia tidak memperdulikan mereka. Dengan cepat, ia meninggalkan ruangan itu untuk segera menemui Daniel.

Tepat ketika Daniel berdiri di ujung ruangan, Sophia memanggilnya, suaranya terdengar lirih. Namun, cukup untuk membuat lelaki itu menghentikan langkahnya. “Daniel ....”

Daniel berbalik perlahan, tatapannya langsung bertemu dengan mata Sophia. Pesona keturunan William memang tidak bisa diabaikan, tak bisa dipungkiri saat melihat Daniel, jantung Sophia pun selalu berdetak kencang. Bahkan di saat ini, saat Daniel menatapnya dengan dalam, sangat dalam sampai membuat Sophia gugup.

“Lihatlah, Sophia,” suara Daniel terdengar rendah. “Kamu bilang ingin pergi dariku. Tapi nyatanya, kamu selalu kembali. Kenapa?” Ia melangkah maju, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. “Apa kamu sudah merindukanku, hanya karena kita tidak bertemu beberapa hari ini?”

Sophia menelan ludah, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Tapi ia tahu, sikapnya sudah terlalu terbaca. “Jangan senang dulu. Aku di sini hanya untuk mengatakan sesuatu padamu.”

Daniel menaikkan satu alis. “Oh? Apa itu?”

Sophia mengangkat dagunya, berusaha menjaga wibawanya di depan pria yang selalu membuatnya lemah. “Kenapa kamu berbohong padaku? Kenapa kamu tidak pernah bilang bahwa kamu adalah keturunan William?”

“Apakah sebelumnya kamu pernah bertanya padaku?”

Sophia menggigit bibirnya, dadanya bergemuruh. Dia tahu Daniel benar. Selama ini, dia tidak pernah benar-benar bertanya tentang masa lalu Daniel, karena ia terlalu sibuk menerima apa pun yang lelaki itu tunjukkan. “Tidak ... tapi kamu tetap seharusnya memberitahuku.”

Daniel mendekat lagi, membuat Sophia nyaris terdesak ke dinding. Tangannya terangkat, jari-jari kekarnya menyentuh lembut dagu Sophia, mengangkatnya agar mata mereka bertemu. “Ada banyak hal tentangku yang tidak kamu ketahui, Sophia. Tapi apakah itu mengubah sesuatu? Apa sekarang kamu memandangku berbeda?”

Suaranya begitu tenang, matanya yang gelap menantang Sophia untuk menjawab. Namun, Sophia hanya bisa terdiam, menatap balik dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia ingin membenci lelaki ini, ingin melepaskan diri dari pesonanya. Tapi di saat yang sama, kehangatan yang terpancar dari sentuhan Daniel membuatnya lupa pada segalanya.

“Kamu selalu berkata bahwa kamu tidak memiliki keluarga,” suara Sophia terdengar serak, matanya menatap Daniel dengan kebingungan yang sulit disembunyikan. “Aku hanya ... terkejut saat tahu bahwa kamu keturunan William.”

Perkataan itu seolah menusuk sesuatu di dalam diri Daniel. Lelaki itu perlahan mundur, langkahnya berat seakan kata-kata Sophia baru saja menjatuhkan beban tak terlihat ke atas pundaknya. Tatapan tajamnya bergeser, tidak lagi menatap Sophia. Ia memandang ke arah lain, ke jendela besar yang memantulkan bayangan dirinya, seolah-olah mencari jawaban yang sudah lama hilang.

“Ibuku memang sudah meninggal,” suaranya penuh dengan luka yang sulit disembunyikan. “Aku hanya anak haram di sini.” Ia tertawa. Namun tidak ada kebahagiaan di sana, hanya kepahitan yang terlihat. “Apa yang bisa aku banggakan dari statusku sebagai anak haram?”

Sophia terdiam sejenak, dadanya terasa sesak mendengar pengakuan itu. Ada kesedihan di balik kata-kata Daniel, sesuatu yang membuatnya ingin memeluk lelaki itu, meski ia tahu, Daniel tidak akan membiarkannya.

“Daniel ....” Sophia maju selangkah, mencoba meraih lelaki itu dari kehampaan yang seolah menyelimuti dirinya. “Tapi statusmu tidak membuatmu berbeda di mataku. Aku hanya ingin tahu kenapa kamu menyembunyikannya dariku. Kenapa kamu tidak pernah membiarkan aku masuk ke duniamu?”

Daniel menghela napas panjang, bahunya naik turun seolah sedang menahan beban yang berat. “Karena dunia ini … bukan tempat untukmu. Tempat ini penuh kebohongan, penuh pengkhianatan. Aku tidak ingin kamu terjebak di dalamnya.” Matanya kembali menatap Sophia.

Daniel mendekat lebih jauh, jaraknya hanya beberapa inci dari Sophia. Tangannya yang besar dan kokoh mencengkeram pelan leher jenjang wanita itu, sentuhannya tidak kasar, tetapi cukup untuk membuat Sophia merasa terkunci dalam kendalinya.

“Tapi kenapa, Sophia?” Suara Daniel rendah dan tajam, seperti racun yang meresap perlahan. “Kenapa kamu malah masuk ke kandang singa ini?”

Sophia menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa takut yang mulai menjalar. Ia tahu Daniel selalu memiliki sisi gelap yang sulit ditebak, tetapi tidak pernah sebelumnya ia merasa sekecil ini di hadapannya.

“Daniel, lepaskan,” pintanya, suaranya bergetar. “Kamu menyakitiku.”

Daniel memperhatikan wajah Sophia, matanya seperti mencoba membaca pikiran gadis itu. Namun, perlahan, genggamannya mulai melemah. “Kamu yang datang ke sini,” gumamnya, “dan sekarang kamu takut?”

Sebelum Sophia sempat membalas, suara langkah kaki terdengar dari luar ruangan. Suara berat sepatu menginjak lantai marmer bergema, mendekat dengan cepat.

“Siapa di sana?” Sebuah suara keras dan penuh wibawa menggema di balik pintu yang kini sedikit terbuka.

Jantung Sophia berdegup kencang, nyaris melompat keluar dari dadanya. Ia menoleh cepat ke arah pintu, tubuhnya menegang. Pikiran-pikiran panik mulai bermunculan. Bagaimana jika mereka memergokinya bersama Daniel? Apa yang akan mereka pikirkan? Apa yang akan mereka lakukan?

Sebuah senyum tipis terukir di wajah Daniel ketika melihat wajah panik Sophia. “Tenang saja, Sophia. Mari kita lihat bagaimana kamu bisa keluar dari situasi ini.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 119 : Tamat

    Mentari pagi menyelinap masuk dari sela-sela tirai putih di ruang tengah mansion William. Udara terasa berbeda. Lebih damai saat ini. Daniel berdiri di depan jendela besar yang menghadap taman belakang. Tangannya menggenggam secarik kertas—surat pengunduran diri sebagai direktur utama William Group. Ia menoleh saat suara langkah kaki mendekat. David muncul, mengenakan kemeja putih yang masih belum dirapikan. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya penuh cahaya yang berbeda. "Kau yakin dengan keputusan ini, Paman?" tanya David pelan. Daniel menatap ke luar jendela sebentar sebelum menoleh kembali. "Aku lelah, David. Selama ini hidupku penuh kebisingan, persaingan, dan kehilangan. Aku butuh tempat yang sunyi … tempat di mana aku bisa bernapas tanpa harus memikirkan strategi bisnis atau pengkhianatan." David mengangguk pelan. "Lalu … Sophia?" "Sophia akan ikut denganku," jawab Daniel. "Kami belum tahu akan tinggal di mana. Tapi kami berencana menetap di desa kecil dekat danau

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 118 : Mendapat Balasan

    John meletakkan pulpen itu ke atas meja, napasnya teratur, tapi wajahnya terlihat tegang. Sophia menyuruhnya untuk mengambil pulpen tersebut, karena tak sengaja melihat pesan yang dikirim Anne pada David, sebab waktu itu David lagi pergi dan lupa membawa ponselnya, Sophia pun meminta tolong pada John. "Ini dia," ujar Daniel sambil menggenggam pulpen itu seolah sedang memegang kunci yang akan membuka semua kebusukan selama ini. Ia memutar-mutar bagian tengahnya, hingga sebuah celah kecil muncul. Di dalamnya tersembunyi sebuah microSD, hampir tak terlihat jika tak benar-benar diperhatikan. "Coba masukkan ke laptop," ujar Sophia cepat, tak bisa menyembunyikan ketegangan di suaranya. Daniel menurut. Tangannya sedikit gemetar saat memasukkan kartu memori ke adaptor lalu menyambungkannya ke laptop. Tak butuh waktu lama, sebuah folder terbuka dengan nama: TRUTH. Di dalamnya terdapat beberapa video, semua dinamai dengan tanggal dan lokasi. Daniel mengarahkan kursor ke file paling atas,

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 117 : Kamera Pengawas

    Langkah Anne baru saja mencapai pintu utama saat itu juga, suara berat Edward terdengar dari belakangnya. "Mau ke mana kamu?" tanyanya dingin, nada curiga langsung terasa dari cara bicaranya. Anne menoleh pelan. Ia mencoba tetap tenang meskipun hatinya berdegup tak karuan. "Saya hanya ingin membeli beberapa sayuran, Tuan. Stok di dapur sudah menipis sejak kemarin." Edward menyipitkan mata, lalu melangkah mendekat. "Kamu sudah tahu, kan? Tidak ada satu orang pun yang boleh keluar masuk mansion ini tanpa seizinku." Anne menggenggam tali tas kecilnya erat. "Kalau saya tidak membeli bahan makanan, bagaimana orang-orang di mansion ini bisa makan, Tuan? Beberapa pelayan bahkan sudah mulai memasak seadanya." Edward terdiam sejenak, lalu mendesah panjang dengan nada malas. Ia tahu Anne tidak berbohong. Tapi ia juga tak sepenuhnya percaya padanya. "Baik, tapi kamu tidak akan pergi sendirian." Ia menoleh ke arah dua pria berseragam hitam yang berdiri tak jauh dari sana. "Kalian berdua,

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 116 : Sebuah Rencana

    "Permisi, apa ada seseorang di sana?" Suara pria dari balik pintu terdengar, disertai ketukan yang kembali berulang. Nadanya terdengar sopan, namun cukup keras untuk membuat jantung mereka berempat berdegup kencang. Daniel mendekat perlahan, lalu membuka celah kecil pada pintu untuk memastikan siapa yang datang. Seorang pria berdiri di sana, mengenakan seragam pengantar makanan lengkap dengan tas besar di punggungnya. Daniel menarik napas lega. "Ternyata cuma kurir makanan," ujarnya sambil menoleh ke dalam. Mendengar itu, semua orang di dalam ruangan langsung menghela napas panjang. Ketegangan yang sempat mencekam pun perlahan mereda. Daniel membuka pintu dan menerima pesanan dari pria berseragam. Tak lama kemudian, mereka kembali duduk di ruang tengah, membiarkan aroma makanan yang baru datang itu memenuhi ruangan. Namun, tak satu pun dari mereka merasa lapar. Pikiran mereka hanya tertuju pada satu hal: bagaimana cara kembali ke mansion William tanpa diketahui Edward. "Kita t

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 115 : Surat Cerai

    Setelah diusir dari mansion William, Daniel dan David kini tinggal di sebuah apartemen sederhana milik Daniel. Sore ini, suasana ruang tamu dipenuhi ketegangan. Di atas meja kaca, sebuah amplop cokelat tergeletak di sana. David berdiri di hadapan Sophia yang duduk di sofa, tubuhnya tampak lelah, tapi ia mencoba untuk tetap tegar. David lalu menyerahkan amplop itu padanya. "Ini," ucapnya singkat. Sophia mengernyit, lalu mengambil amplop itu. "Apa ini?" tanyanya pelan. "Surat cerai," jawab David tanpa berusaha menutupi nada berat di balik ucapannya. Mata Sophia membulat. "Cerai?" David mengangguk. Perlahan, Sophia mengangkat wajahnya, menatap ke arah Daniel yang berdiri tak jauh dari mereka, lelaki itu bersandar di dinding dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya menyiratkan pertanyaan yang tak sempat diucapkan. "Kau tidak menyuruhnya melakukan ini ... kan?" Daniel tak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Dia sendiri yang mem

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 114 : Kelicikan Edward

    Sophia akhirnya menatap David, matanya mulai memerah. "Kalau kau memang ingin membicarakan malam itu, mari kita bicarakan semuanya, David," ucapnya pelan namun terdengar jelas di ruangan yang hening itu. David mengernyit. "Apa maksudmu?" "Bukankah kau juga menghabiskan malam pertamamu ... bersama Anne?" Deg. Suasana sontak berubah. Anne yang duduk tak jauh dari David terlonjak, wajahnya seketika memucat. William yang sedari tadi hanya menjadi pendengar pun kini mendongak, matanya menatap cucunya dan Anne silih berganti. "Apa?" David nyaris berbisik, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sophia menghela napas dalam. "Jangan tanya padaku seolah kau korban satu-satunya. Kau meninggalkanku di kamar yang seharusnya menjadi awal rumah tangga kita, lalu pergi ke kamar Anne. Aku tidak bodoh, David. Seprei putih itu tidak berbohong." Anne membeku di tempat duduknya, wajahnya menunduk tak sanggup menatap siapa pun. David memandang ke arah Anne, matanya melebar. "A-An

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status