Beranda / Romansa / Menjadi Istri Keponakan sang Mantan / Bab 6 : Takdir yang Mempermainkan

Share

Bab 6 : Takdir yang Mempermainkan

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-11 12:48:25

“Wanita mana yang bisa menolak keponakanku ini?” Daniel berkata dengan santai. Akan tetapi, ada sesuatu dalam suaranya yang membuat ruangan itu terasa lebih tegang.

Percakapan langsung terhenti. Semua yang duduk di sofa menoleh ke arahnya, memperhatikan pria yang kini berdiri tegak di hadapan mereka. David, yang sejak tadi terlihat tenang, kini tampak lebih ceria. Sorot kebanggaan muncul di matanya saat mendengar pujian dari pamannya.

“Paman, Paman terlalu berlebihan,” ucap David dengan sedikit tawa, meski ada rona malu di wajahnya.

Daniel mengangkat alisnya sedikit, ekspresi santainya tak berubah. “Tidak, aku hanya mengatakan fakta,” balasnya tenang. “Di luar sana banyak wanita yang ingin memilikimu, David. Kau bukan hanya pekerja keras, tetapi juga kebanggaan keluarga kita.”

Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Daniel, tetapi matanya justru tertuju pada seseorang di hadapannya—Sophia.

Gadis itu duduk dengan tubuh sedikit tegang, jemarinya meremas gaun di pangkuannya. Ia tidak berani menatap langsung ke mata Daniel, tetapi ia bisa merasakan tatapan pria itu seakan menusuknya.

“Bagaimana, Nona Sophia?” Daniel melanjutkan, suaranya sedikit lebih pelan, tetapi tetap terdengar jelas. “Apakah kau tertarik pada keponakanku?”

Seketika, Sophia membeku.

Tangannya semakin erat mencengkram kain gaunnya. Bibirnya sedikit terbuka, ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu seperti tersangkut di tenggorokan. Napasnya terasa lebih berat, seolah ruangan ini tiba-tiba kehilangan udara.

Daniel masih seperti dulu. Hanya dengan kehadirannya saja, ia bisa membuatnya tak berkutik.

Gadis itu ingin menolak. Ingin berkata bahwa ia tidak tertarik, bahwa ini adalah kesalahan, bahwa ia ingin menjauh dari keluarga Williams—terutama dari Daniel.

Namun, bagaimana mungkin?

Takdir telah mempermainkannya lagi.

Semuanya terasa begitu rumit ketika ia mengetahui satu kenyataan pahit: Daniel adalah paman dari lelaki yang akan dijodohkan dengannya.

Sophia menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. Namun sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Daniel kembali berbicara.

“Apa yang membuatmu ragu?” tanyanya, kali ini lebih tajam. Ada kilatan misterius di matanya, sesuatu yang membuat Sophia semakin sulit bernapas.

David yang tak menyadari ketegangan di antara keduanya, hanya bisa tertawa. “Paman, jangan membuatnya takut.”

Daniel hanya tersenyum, tetapi tatapannya tidak beranjak dari Sophia.

Ia tahu.

Ia tahu bahwa gadis itu masih terpengaruh olehnya. Bahwa meskipun Sophia berusaha menjauh, perasaan itu belum benar-benar hilang.

Sophia hanya bisa menunduk.

Hatinya berbisik lirih.

Bagaimana ia bisa melepaskan diri dari takdir yang terus mempertemukannya dengan lelaki yang ingin ia lupakan?

Melihat Sophia yang hanya terdiam, Daniel kembali bersuara, kali ini dengan nada yang lebih tajam. “Apa jangan-jangan … kau mencintai lelaki lain?”

Deg.

Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Daniel, menusuk atmosfer ruangan yang sejak tadi sudah dipenuhi ketegangan.

Sophia tersentak. Matanya yang semula menunduk kini langsung menatap pria itu dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena pertanyaan Daniel, tetapi juga karena tatapan tajam yang menyertainya.

Bukan hanya Sophia yang terkejut. Kedua orang tuanya, Rose dan Robert, yang duduk di sofa seketika menegang. Tatapan mereka yang semula tenang kini dipenuhi kekhawatiran.

Ruangan itu mendadak terasa lebih sunyi dari sebelumnya.

Sophia mengerjapkan mata, mencoba menguasai dirinya. Ia harus menjawab. Ia tidak bisa terus membiarkan Daniel mengontrol percakapan seperti ini.

Ia menarik napas dalam, berusaha tetap tenang meskipun hatinya berkecamuk. Kemudian, dengan suara yang ia paksakan tetap stabil, ia menjawab, “Lalu, kalau memang aku mencintai lelaki lain, apa itu masalah bagimu?”

Tatapan Daniel berubah, seolah tak menyangka Sophia akan balik bertanya seperti itu. Ada kilatan tajam dalam matanya, tetapi juga sesuatu yang sulit dijelaskan—sesuatu yang menyerupai kemarahan yang terpendam.

David, yang sejak tadi menyimak dengan senyum di wajahnya, kini mengerutkan dahi. Ada sesuatu yang aneh dalam percakapan ini. Ia menoleh ke arah Sophia, lalu ke pamannya, dalam tatapan itu, ia bisa merasakan ketegangan yang tidak biasa.

Daniel tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menghela napas berat, tapi tatapannya tetap terkunci pada Sophia. “Aku hanya penasaran. Apa yang membuatmu ragu?”

Sophia menggigit bibir bawahnya. Ia tahu Daniel. Ia tahu pria itu tidak pernah bertanya tanpa alasan.

Dengan suara yang sedikit lebih pelan, tetapi tetap terdengar tegas, Sophia berkata, “Itu hanya masa lalu. Tidak penting lagi. Aku ke sini hanya ingin memulai hidupku, dan tentu saja, aku menerima perjodohan ini.”

Sejenak, suasana di ruangan itu yang tadinya terasa beku kini sudah mulai menghangat.

Rose dan Robert yang mendengar jawaban dari putrinya akhirnya bisa menghela napas lega, seolah beban yang menghimpit dada mereka akhirnya berkurang. William pun tersenyum puas, ekspresinya menunjukkan kelegaan mendengar keputusan Sophia.

“Baguslah,” ujar William sembari mengangguk. “Kalau begitu, kita akan segera mengadakan pernikahan. Aku sudah menetapkan waktu yang paling cocok untuk kalian menikah—bulan depan.”

“Bulan depan?” David tersentak, matanya membelalak karena terkejut. Ia langsung menoleh ke arah kakeknya, berharap ada kesalahan dalam pendengarannya.

William mengangguk tanpa ragu. “Ya, bulan depan. Waktu yang tepat untuk pernikahan kalian.”

David mengernyit, jelas merasa keberatan. “Tapi, Kakek, bukankah itu terlalu cepat?”

William menatap cucunya dengan penuh wibawa, matanya tajam seperti seseorang yang keputusannya tidak bisa diganggu gugat. “Apa yang terlalu cepat? Bukankah pernikahan ini sudah direncanakan sejak lama? Lagipula, semakin cepat semakin baik.”

David menelan ludah, lalu melirik Sophia, mencoba mencari reaksinya. Namun, gadis itu tetap diam, ekspresinya sulit ditebak.

Di sisi lain, Daniel yang sejak tadi hanya memperhatikan dengan senyum tipis di wajahnya, kini memasukan tangannya ke saku celana. Matanya menyipit sedikit, memperhatikan ekspresi Sophia yang tampak datar.

Ia tahu betul bahwa Sophia adalah tipe wanita yang tidak akan mengambil keputusan tanpa perasaan.

Dan jika dia benar-benar menerima pernikahan ini …

Lalu, apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 119 : Tamat

    Mentari pagi menyelinap masuk dari sela-sela tirai putih di ruang tengah mansion William. Udara terasa berbeda. Lebih damai saat ini. Daniel berdiri di depan jendela besar yang menghadap taman belakang. Tangannya menggenggam secarik kertas—surat pengunduran diri sebagai direktur utama William Group. Ia menoleh saat suara langkah kaki mendekat. David muncul, mengenakan kemeja putih yang masih belum dirapikan. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya penuh cahaya yang berbeda. "Kau yakin dengan keputusan ini, Paman?" tanya David pelan. Daniel menatap ke luar jendela sebentar sebelum menoleh kembali. "Aku lelah, David. Selama ini hidupku penuh kebisingan, persaingan, dan kehilangan. Aku butuh tempat yang sunyi … tempat di mana aku bisa bernapas tanpa harus memikirkan strategi bisnis atau pengkhianatan." David mengangguk pelan. "Lalu … Sophia?" "Sophia akan ikut denganku," jawab Daniel. "Kami belum tahu akan tinggal di mana. Tapi kami berencana menetap di desa kecil dekat danau

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 118 : Mendapat Balasan

    John meletakkan pulpen itu ke atas meja, napasnya teratur, tapi wajahnya terlihat tegang. Sophia menyuruhnya untuk mengambil pulpen tersebut, karena tak sengaja melihat pesan yang dikirim Anne pada David, sebab waktu itu David lagi pergi dan lupa membawa ponselnya, Sophia pun meminta tolong pada John. "Ini dia," ujar Daniel sambil menggenggam pulpen itu seolah sedang memegang kunci yang akan membuka semua kebusukan selama ini. Ia memutar-mutar bagian tengahnya, hingga sebuah celah kecil muncul. Di dalamnya tersembunyi sebuah microSD, hampir tak terlihat jika tak benar-benar diperhatikan. "Coba masukkan ke laptop," ujar Sophia cepat, tak bisa menyembunyikan ketegangan di suaranya. Daniel menurut. Tangannya sedikit gemetar saat memasukkan kartu memori ke adaptor lalu menyambungkannya ke laptop. Tak butuh waktu lama, sebuah folder terbuka dengan nama: TRUTH. Di dalamnya terdapat beberapa video, semua dinamai dengan tanggal dan lokasi. Daniel mengarahkan kursor ke file paling atas,

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 117 : Kamera Pengawas

    Langkah Anne baru saja mencapai pintu utama saat itu juga, suara berat Edward terdengar dari belakangnya. "Mau ke mana kamu?" tanyanya dingin, nada curiga langsung terasa dari cara bicaranya. Anne menoleh pelan. Ia mencoba tetap tenang meskipun hatinya berdegup tak karuan. "Saya hanya ingin membeli beberapa sayuran, Tuan. Stok di dapur sudah menipis sejak kemarin." Edward menyipitkan mata, lalu melangkah mendekat. "Kamu sudah tahu, kan? Tidak ada satu orang pun yang boleh keluar masuk mansion ini tanpa seizinku." Anne menggenggam tali tas kecilnya erat. "Kalau saya tidak membeli bahan makanan, bagaimana orang-orang di mansion ini bisa makan, Tuan? Beberapa pelayan bahkan sudah mulai memasak seadanya." Edward terdiam sejenak, lalu mendesah panjang dengan nada malas. Ia tahu Anne tidak berbohong. Tapi ia juga tak sepenuhnya percaya padanya. "Baik, tapi kamu tidak akan pergi sendirian." Ia menoleh ke arah dua pria berseragam hitam yang berdiri tak jauh dari sana. "Kalian berdua,

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 116 : Sebuah Rencana

    "Permisi, apa ada seseorang di sana?" Suara pria dari balik pintu terdengar, disertai ketukan yang kembali berulang. Nadanya terdengar sopan, namun cukup keras untuk membuat jantung mereka berempat berdegup kencang. Daniel mendekat perlahan, lalu membuka celah kecil pada pintu untuk memastikan siapa yang datang. Seorang pria berdiri di sana, mengenakan seragam pengantar makanan lengkap dengan tas besar di punggungnya. Daniel menarik napas lega. "Ternyata cuma kurir makanan," ujarnya sambil menoleh ke dalam. Mendengar itu, semua orang di dalam ruangan langsung menghela napas panjang. Ketegangan yang sempat mencekam pun perlahan mereda. Daniel membuka pintu dan menerima pesanan dari pria berseragam. Tak lama kemudian, mereka kembali duduk di ruang tengah, membiarkan aroma makanan yang baru datang itu memenuhi ruangan. Namun, tak satu pun dari mereka merasa lapar. Pikiran mereka hanya tertuju pada satu hal: bagaimana cara kembali ke mansion William tanpa diketahui Edward. "Kita t

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 115 : Surat Cerai

    Setelah diusir dari mansion William, Daniel dan David kini tinggal di sebuah apartemen sederhana milik Daniel. Sore ini, suasana ruang tamu dipenuhi ketegangan. Di atas meja kaca, sebuah amplop cokelat tergeletak di sana. David berdiri di hadapan Sophia yang duduk di sofa, tubuhnya tampak lelah, tapi ia mencoba untuk tetap tegar. David lalu menyerahkan amplop itu padanya. "Ini," ucapnya singkat. Sophia mengernyit, lalu mengambil amplop itu. "Apa ini?" tanyanya pelan. "Surat cerai," jawab David tanpa berusaha menutupi nada berat di balik ucapannya. Mata Sophia membulat. "Cerai?" David mengangguk. Perlahan, Sophia mengangkat wajahnya, menatap ke arah Daniel yang berdiri tak jauh dari mereka, lelaki itu bersandar di dinding dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya menyiratkan pertanyaan yang tak sempat diucapkan. "Kau tidak menyuruhnya melakukan ini ... kan?" Daniel tak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Dia sendiri yang mem

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 114 : Kelicikan Edward

    Sophia akhirnya menatap David, matanya mulai memerah. "Kalau kau memang ingin membicarakan malam itu, mari kita bicarakan semuanya, David," ucapnya pelan namun terdengar jelas di ruangan yang hening itu. David mengernyit. "Apa maksudmu?" "Bukankah kau juga menghabiskan malam pertamamu ... bersama Anne?" Deg. Suasana sontak berubah. Anne yang duduk tak jauh dari David terlonjak, wajahnya seketika memucat. William yang sedari tadi hanya menjadi pendengar pun kini mendongak, matanya menatap cucunya dan Anne silih berganti. "Apa?" David nyaris berbisik, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sophia menghela napas dalam. "Jangan tanya padaku seolah kau korban satu-satunya. Kau meninggalkanku di kamar yang seharusnya menjadi awal rumah tangga kita, lalu pergi ke kamar Anne. Aku tidak bodoh, David. Seprei putih itu tidak berbohong." Anne membeku di tempat duduknya, wajahnya menunduk tak sanggup menatap siapa pun. David memandang ke arah Anne, matanya melebar. "A-An

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status