Beranda / Romansa / Menjadi Istri Keponakan sang Mantan / Bab 6 : Takdir yang Mempermainkan

Share

Bab 6 : Takdir yang Mempermainkan

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-11 12:48:25

“Wanita mana yang bisa menolak keponakanku ini?” Daniel berkata dengan santai. Akan tetapi, ada sesuatu dalam suaranya yang membuat ruangan itu terasa lebih tegang.

Percakapan langsung terhenti. Semua yang duduk di sofa menoleh ke arahnya, memperhatikan pria yang kini berdiri tegak di hadapan mereka. David, yang sejak tadi terlihat tenang, kini tampak lebih ceria. Sorot kebanggaan muncul di matanya saat mendengar pujian dari pamannya.

“Paman, Paman terlalu berlebihan,” ucap David dengan sedikit tawa, meski ada rona malu di wajahnya.

Daniel mengangkat alisnya sedikit, ekspresi santainya tak berubah. “Tidak, aku hanya mengatakan fakta,” balasnya tenang. “Di luar sana banyak wanita yang ingin memilikimu, David. Kau bukan hanya pekerja keras, tetapi juga kebanggaan keluarga kita.”

Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Daniel, tetapi matanya justru tertuju pada seseorang di hadapannya—Sophia.

Gadis itu duduk dengan tubuh sedikit tegang, jemarinya meremas gaun di pangkuannya. Ia tidak berani menatap langsung ke mata Daniel, tetapi ia bisa merasakan tatapan pria itu seakan menusuknya.

“Bagaimana, Nona Sophia?” Daniel melanjutkan, suaranya sedikit lebih pelan, tetapi tetap terdengar jelas. “Apakah kau tertarik pada keponakanku?”

Seketika, Sophia membeku.

Tangannya semakin erat mencengkram kain gaunnya. Bibirnya sedikit terbuka, ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu seperti tersangkut di tenggorokan. Napasnya terasa lebih berat, seolah ruangan ini tiba-tiba kehilangan udara.

Daniel masih seperti dulu. Hanya dengan kehadirannya saja, ia bisa membuatnya tak berkutik.

Gadis itu ingin menolak. Ingin berkata bahwa ia tidak tertarik, bahwa ini adalah kesalahan, bahwa ia ingin menjauh dari keluarga Williams—terutama dari Daniel.

Namun, bagaimana mungkin?

Takdir telah mempermainkannya lagi.

Semuanya terasa begitu rumit ketika ia mengetahui satu kenyataan pahit: Daniel adalah paman dari lelaki yang akan dijodohkan dengannya.

Sophia menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. Namun sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Daniel kembali berbicara.

“Apa yang membuatmu ragu?” tanyanya, kali ini lebih tajam. Ada kilatan misterius di matanya, sesuatu yang membuat Sophia semakin sulit bernapas.

David yang tak menyadari ketegangan di antara keduanya, hanya bisa tertawa. “Paman, jangan membuatnya takut.”

Daniel hanya tersenyum, tetapi tatapannya tidak beranjak dari Sophia.

Ia tahu.

Ia tahu bahwa gadis itu masih terpengaruh olehnya. Bahwa meskipun Sophia berusaha menjauh, perasaan itu belum benar-benar hilang.

Sophia hanya bisa menunduk.

Hatinya berbisik lirih.

Bagaimana ia bisa melepaskan diri dari takdir yang terus mempertemukannya dengan lelaki yang ingin ia lupakan?

Melihat Sophia yang hanya terdiam, Daniel kembali bersuara, kali ini dengan nada yang lebih tajam. “Apa jangan-jangan … kau mencintai lelaki lain?”

Deg.

Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Daniel, menusuk atmosfer ruangan yang sejak tadi sudah dipenuhi ketegangan.

Sophia tersentak. Matanya yang semula menunduk kini langsung menatap pria itu dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena pertanyaan Daniel, tetapi juga karena tatapan tajam yang menyertainya.

Bukan hanya Sophia yang terkejut. Kedua orang tuanya, Rose dan Robert, yang duduk di sofa seketika menegang. Tatapan mereka yang semula tenang kini dipenuhi kekhawatiran.

Ruangan itu mendadak terasa lebih sunyi dari sebelumnya.

Sophia mengerjapkan mata, mencoba menguasai dirinya. Ia harus menjawab. Ia tidak bisa terus membiarkan Daniel mengontrol percakapan seperti ini.

Ia menarik napas dalam, berusaha tetap tenang meskipun hatinya berkecamuk. Kemudian, dengan suara yang ia paksakan tetap stabil, ia menjawab, “Lalu, kalau memang aku mencintai lelaki lain, apa itu masalah bagimu?”

Tatapan Daniel berubah, seolah tak menyangka Sophia akan balik bertanya seperti itu. Ada kilatan tajam dalam matanya, tetapi juga sesuatu yang sulit dijelaskan—sesuatu yang menyerupai kemarahan yang terpendam.

David, yang sejak tadi menyimak dengan senyum di wajahnya, kini mengerutkan dahi. Ada sesuatu yang aneh dalam percakapan ini. Ia menoleh ke arah Sophia, lalu ke pamannya, dalam tatapan itu, ia bisa merasakan ketegangan yang tidak biasa.

Daniel tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menghela napas berat, tapi tatapannya tetap terkunci pada Sophia. “Aku hanya penasaran. Apa yang membuatmu ragu?”

Sophia menggigit bibir bawahnya. Ia tahu Daniel. Ia tahu pria itu tidak pernah bertanya tanpa alasan.

Dengan suara yang sedikit lebih pelan, tetapi tetap terdengar tegas, Sophia berkata, “Itu hanya masa lalu. Tidak penting lagi. Aku ke sini hanya ingin memulai hidupku, dan tentu saja, aku menerima perjodohan ini.”

Sejenak, suasana di ruangan itu yang tadinya terasa beku kini sudah mulai menghangat.

Rose dan Robert yang mendengar jawaban dari putrinya akhirnya bisa menghela napas lega, seolah beban yang menghimpit dada mereka akhirnya berkurang. William pun tersenyum puas, ekspresinya menunjukkan kelegaan mendengar keputusan Sophia.

“Baguslah,” ujar William sembari mengangguk. “Kalau begitu, kita akan segera mengadakan pernikahan. Aku sudah menetapkan waktu yang paling cocok untuk kalian menikah—bulan depan.”

“Bulan depan?” David tersentak, matanya membelalak karena terkejut. Ia langsung menoleh ke arah kakeknya, berharap ada kesalahan dalam pendengarannya.

William mengangguk tanpa ragu. “Ya, bulan depan. Waktu yang tepat untuk pernikahan kalian.”

David mengernyit, jelas merasa keberatan. “Tapi, Kakek, bukankah itu terlalu cepat?”

William menatap cucunya dengan penuh wibawa, matanya tajam seperti seseorang yang keputusannya tidak bisa diganggu gugat. “Apa yang terlalu cepat? Bukankah pernikahan ini sudah direncanakan sejak lama? Lagipula, semakin cepat semakin baik.”

David menelan ludah, lalu melirik Sophia, mencoba mencari reaksinya. Namun, gadis itu tetap diam, ekspresinya sulit ditebak.

Di sisi lain, Daniel yang sejak tadi hanya memperhatikan dengan senyum tipis di wajahnya, kini memasukan tangannya ke saku celana. Matanya menyipit sedikit, memperhatikan ekspresi Sophia yang tampak datar.

Ia tahu betul bahwa Sophia adalah tipe wanita yang tidak akan mengambil keputusan tanpa perasaan.

Dan jika dia benar-benar menerima pernikahan ini …

Lalu, apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 7 : Masa Lalu yang Tak Pernah Hilang

    Suara dentingan gelas dan alunan musik pelan memenuhi sudut bar yang remang-remang. Cahaya lampu temaram memantulkan kilau keemasan di permukaan minuman dalam gelas-gelas kristal yang berjajar rapi di meja bartender. Di salah satu sudut ruangan, dua wanita duduk berhadapan, dengan ekspresi yang kontras. Jane menatap Sophia lekat-lekat, matanya menyipit seakan mencoba memahami sesuatu yang sulit dicerna. Ia baru saja mendengar pengakuan mengejutkan dari sahabatnya, dan itu membuatnya nyaris tidak percaya.“Kau serius? Kau benar-benar menerima perjodohan ini?” Jane menatap sahabatnya dengan tajam, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah tenangnya. Ketika Sophia pertama kali memberitahunya tentang perjodohan itu, ia hampir tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Rasa keterkejutan itu masih melekat, berputar dalam pikirannya seperti badai yang tak kunjung reda. Bagaimana mungkin Sophia setuju untuk menikah dengan pria lain? Selama ini, Jane tahu betul bahwa hati

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-11
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 8 : Keinginan Terlarang Sophia

    Selepas kepergian Jane, Daniel tetap berdiri di tempatnya, menatap Sophia tanpa berkedip. Pandangannya begitu tajam, seolah mencoba menembus setiap lapisan pertahanan yang mungkin masih tersisa dalam diri wanita itu. Sophia yang biasanya selalu anggun dan berkelas, kini tampak begitu rapuh. Rambutnya tergerai berantakan, sebagian jatuh menutupi wajahnya yang pucat. Napasnya terdengar pelan, nyaris tak beraturan, sementara tangannya yang lemah masih mencengkeram gelas kosong di depannya. Aroma alkohol bercampur dengan parfumnya yang khas menyeruak ke udara, membuat Daniel mengerutkan kening. Baru kali ini ia melihat Sophia sepuruk ini. Lima tahun mereka bersama, dan tak sekalipun ia melihatnya kehilangan kendali seperti ini. Sophia selalu menjadi wanita yang kuat, yang selalu tersenyum meskipun hatinya terluka, yang selalu bangkit meskipun ia jatuh berkali-kali. Tapi malam ini, wanita itu tampak seperti seseorang yang telah kehilangan segalanya. Daniel menghela napas panjang, l

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-12
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 9 : Badai Baru Saja Dimulai

    Udara malam ini terasa begitu dingin, menusuk hingga ke tulang. Namun, anehnya, butiran keringat seukuran biji jagung terus bermunculan di dahi Daniel, mengalir perlahan di sepanjang pelipisnya. Sejak tadi, ia menahan tubuhnya di atas wanita yang terbaring di bawahnya, matanya dipenuhi kilatan hasrat yang sulit dijelaskan. Jemarinya menjelajah dengan lembut, seolah ingin menghafal setiap lekuk yang telah begitu familiar baginya. Sophia selalu memiliki cara untuk membuatnya tenggelam, terperangkap dalam cinta yang tak berujung. Daniel telah bertemu banyak wanita—wajah-wajah cantik yang datang dan pergi dalam hidupnya—namun tidak ada satu pun yang mampu mengikatnya seperti Sophia. Ada sesuatu dalam diri wanita itu, sesuatu yang tak bisa ia temukan pada siapa pun. Bukan sekadar kecantikan atau kelembutan, tapi sebuah daya tarik yang membuatnya tak bisa berpaling, tak peduli seberapa jauh ia mencoba melangkah. Napasnya memburu, terengah-engah seiring dengan bahunya yang naik turun, m

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-12
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 10 : Kepingan Ingatan

    “Auh ….” Sophia mengerjapkan matanya yang terasa berat. Kepalanya berdenyut hebat, seolah-olah ribuan palu godam sedang menghantam tengkoraknya tanpa ampun. Ia mengerang pelan, tangannya terangkat untuk memijat pelipisnya yang berdenyut, berharap rasa sakit itu segera mereda. Pandangan matanya masih buram saat ia mencoba menyapu ruangan di sekitarnya. Tempat ini asing—bukan kamarnya, bukan juga rumahnya. Langit-langit yang berbeda, aroma ruangan yang tidak familiar, serta kesunyian yang begitu menusuk membuat jantungnya mulai berdegup lebih cepat. “Aku di mana?” Pertanyaan itu bergema di kepalanya, memicu ketegangan yang merayap perlahan ke seluruh tubuh. Ia mengedarkan pandangan, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Namun, sebelum pikirannya sempat bekerja, sesuatu yang lebih mengejutkan membuat tubuhnya membeku. Selimut putih yang melingkupinya melorot sedikit, dan saat ia melihat ke bawah—astaga! Darahnya seolah berhenti mengalir. Napasnya tercekat. Ia ti

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-13
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 11 : Bekas Kepemilikan

    Sophia keluar dari taksi yang membawanya pulang. Di dalam rumah, ia sudah memikirkan apa yang harus ia katakan pada orang tuanya. Alasan apa yang akan ia berikan, terutama pada ayahnya? Ia tidak mungkin mengungkapkan bahwa semalam ia bersama Daniel. Jika ayahnya tahu, Robert pasti akan marah besar. Namun, jelas Sophia tidak akan mengungkapkan kebenaran itu. Semalam, ia pamit pada ayahnya untuk pergi bersama Jane, dan mungkin alasan yang akan ia berikan sekarang adalah bahwa ia menginap di rumah Jane. Semoga saja ayahnya percaya dan tidak merasa curiga. Sesampainya di dalam rumah, Sophia melihat ayahnya, Robert, yang tengah duduk di kursi dekat jendela besar di ruang tamu. Tangannya memegang sebuah benda yang tampak sudah usang—sebuah jam antik yang diwariskan turun-temurun dalam keluarga mereka. Robert sedang dengan telaten mengelap permukaan kaca jam tersebut, tampak sangat fokus, seolah waktu di sekelilingnya tidak ada artinya. Jam itu adalah benda kesayangan Robert, hadiah da

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-13
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 12 : Gaun Pengantin

    Sophia mengenakan gaun sederhana berwarna krem dan memulas wajahnya dengan riasan tipis. Ia mencoba menutupi bekas merah yang ditinggalkan Daniel dengan concealer, meski hatinya tetap gelisah, takut bila ada yang melihat bekas merah tersebut. Dengan satu tarikan napas panjang, ia melangkah keluar dan masuk ke dalam mobil yang akan membawanya ke butik tempat fitting gaun pengantin. Begitu sampai di butik, aroma lavender bercampur dengan wangi kain baru menyambutnya. Ruangan itu luas dengan dinding putih elegan, rak-rak berisi deretan gaun mewah tergantung rapi, sementara para penjahit sibuk menyesuaikan detail jahitan. Seorang pelayan butik, wanita muda dengan seragam putih anggun, segera mendekatinya dengan senyum ramah. “Selamat datang di butik La Belle, apakah Anda Nona Sophia?” tanyanya sopan. Sophia mengangguk, menatap sekeliling dengan perasaan sedikit gugup. “Ya, aku datang untuk fitting gaun pengantin.” Pelayan itu tersenyum lebih lebar, lalu mengangguk hormat. “Oh,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 13 : Jarak yang Tak Terlihat

    David berdiri di ambang pintu ruang ganti, matanya menyipit saat melihat pemandangan di depannya. Daniel—pamannya sendiri—berdiri begitu dekat dengan Sophia, tangannya menyentuh pinggang wanita itu. Jantung David berdetak lebih cepat. Ada sesuatu yang terasa janggal di sini. Sophia tampak terkejut, sementara Daniel tetap tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. “Paman, apa yang kamu lakukan di sini?” Suara David terdengar lebih tegang. Daniel menoleh perlahan. Wajahnya tetap santai, tapi ada kilatan kejutan singkat di matanya—seolah ia tidak menyangka akan bertemu keponakannya dalam situasi seperti ini. “Pelayan bilang kau ada di ruang ganti,” jawab Daniel datar. “Jadi ... aku langsung kemari.” Lalu, tanpa terburu-buru, Daniel menurunkan tangannya dari pinggang Sophia. Jemarinya mencabut sesuatu dari lipatan gaun itu—sebuah jarum pentul kecil. “Aku hanya ingin melepaskan ini.” Sophia menahan napas. Ia bahkan tidak sadar kalau ada jarum pentul di gaunnya. Tapi lebih dari itu

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 14 : Sang Pengantin di Pelaminan

    Sophia melangkah masuk ke dalam ballroom dengan anggun, tangannya menggenggam lengan ayahnya, Robert, yang berjalan di sisinya. Ballroom itu sudah dipenuhi tamu-tamu dari berbagai kalangan. Pria-pria berjas rapi berdiri dengan wibawa, sementara para wanita mengenakan gaun-gaun mahal. Namun, tidak ada yang lebih memukau di ruangan itu selain Sophia. Gaun putih gadingnya dirancang sempurna, membalut lekuk tubuhnya dengan anggun. Kainnya jatuh menjuntai dengan elegan, dihiasi payet-payet kristal yang berkilauan setiap kali ia bergerak. Di sudut ruangan, Daniel berdiri tegak dengan segelas whiskey di tangannya. Saat pertama kali melihat Sophia, ia terdiam. Jantungnya berdebar cepat. Pandangannya tak bisa lepas dari sosok wanita yang selama ini memenuhi pikirannya. Cantik. Bahkan kata itu saja terasa terlalu sederhana untuk menggambarkan betapa mempesonanya Sophia saat ini. Namun, seiring langkah Sophia yang semakin mendekat ke altar, sesuatu di dalam dirinya terasa han

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 102 : Kemarahan Rose

    William duduk di kursi kamarnya, lampu meja menyala redup, menimbulkan bayangan panjang di dinding. Tangannya menggenggam erat amplop yang baru saja ia terima. Amplop itu tampak biasa saja, tapi ia tahu—tidak ada yang benar-benar biasa bila menyangkut keluarganya. Dengan perlahan, ia membuka segel merah tua di ujung amplop. Di dalamnya ada beberapa lembar foto yang langsung membuat napasnya tercekat. Foto pertama, menampilkan Daniel dan Sophia duduk berdampingan di sebuah kafe kecil. Senyum mereka lepas, begitu alami. Lalu foto kedua, saat mereka berpegangan tangan di tepi pantai. Foto ketiga, Daniel sedang memeluk Sophia dari belakang, sambil mencium pelipisnya. Hati William mulai berdegup kencang. Ia membalik beberapa foto lainnya—semuanya menunjukkan kedekatan mereka. Kemudian, ia menemukan selembar surat yang ditulis tangan. Tulisannya rapi, namun terlihat lama. Mungkin surat itu ditulis bertahun-tahun lalu. "Untuk siapa pun yang membacanya, jika kau menemukan surat ini, mung

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 101 : Kekacauan William

    Langkah kaki William terdengar pelan namun berat saat ia keluar dari ruang rumah sakit. Pundaknya sedikit membungkuk, dan tongkat yang biasa ia genggam dengan tenang kini terasa seperti beban tambahan yang tak bisa ia lepaskan. Lewis, ketua pelayan setia yang sejak dulu menemani kehidupan keluarga Williams, menyambutnya dengan sorot mata penuh tanya. "Tuan, bagaimana dengan keadaan Nyonya Sophia?" tanyanya hati-hati, menjaga nada suaranya agar tak terdengar terlalu mendesak. Namun William hanya menggeleng pelan. Tak sepatah kata pun keluar selain bisikan lirih, "Kita kembali saja ke mansion." "Baik, Tuan," jawab Lewis dengan anggukan sopan sebelum ia berjalan cepat ke arah mobil, membuka pintu belakang dan membantu William masuk dengan penuh kehati-hatian. Mobil melaju pelan meninggalkan gedung rumah sakit, membawa keheningan yang begitu pekat di dalam kabin. William menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang lewat bagai bayangan tak bermakna. Namun pi

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 100 : Kenyataan Pahit

    Kelopak mata Sophia bergerak perlahan, seakan berusaha keluar dari kegelapan yang menyelimutinya. Napasnya masih lemah saat akhirnya matanya terbuka lebar. Pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya menangkap sosok yang duduk di samping ranjangnya. "Daniel ...," gumamnya lemah. Mendengar namanya dipanggil, Daniel yang sejak tadi tenggelam dalam pikirannya langsung tersentak. Dengan cepat, ia menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya. Ia tak ingin Sophia melihatnya dalam keadaan seperti ini. "Kau sudah bangun," suaranya terdengar serak, tapi ia tetap berusaha terdengar tenang. Sophia mengerjapkan matanya, mencoba memahami apa yang terjadi. Namun, ada sesuatu yang aneh. Daniel tampak berbeda. Wajahnya pucat, matanya memerah seolah telah menahan tangis terlalu lama. "Kenapa kamu menangis?" Ini pertama kalinya Sophia melihat Daniel dalam keadaan seperti ini—terlihat begitu hancur, begitu rapuh. Daniel menggeleng pelan. "Tidak apa-apa," jawabnya, meski jelas sekali itu bohong.

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 99 : Kepingan Hati

    "Tidak mungkin ... Ini semua tidak mungkin ...." Mata David menatap kosong ke lantai rumah sakit, sementara pikirannya berputar tak karuan. Ia tidak pernah menginginkan kehamilan Sophia sejak awal. Ia menolak dengan keras, menuduh anak itu bukan miliknya. Tapi seiring waktu, perlahan ia mulai menerimanya—terutama setelah William menjanjikan saham sebagai bagian dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Namun sekarang, semuanya sia-sia. David mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Rencana yang sudah ia susun dengan matang kini berantakan begitu saja. Ia tak tahu harus merasa sedih, kecewa, atau marah. Yang pasti, sesuatu di dalam dirinya terasa kosong. Tatapannya kemudian beralih ke arah pintu ruang perawatan yang masih tertutup rapat. Di balik pintu itu, Sophia masih berjuang dengan kondisinya yang belum stabil. Ia mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, pikirannya kacau. Apakah ini hukuman untuknya karena sejak awal menolak anak itu? Atau

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 98 : Kehilangan

    Suara jeritan Sophia menggema di seluruh lorong mansion Williams, Daniel yang mendengar itu langsung berlari secepat mungkin ke arah sumber suara. "Sophia!" Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk telah menimpa wanita itu. Saat ia tiba di tangga besar mansion, napasnya tertahan. Sophia tergeletak di anak tangga, tubuhnya setengah terduduk dengan tangan bertumpu pada salah satu undakan. Pakaiannya kusut, dan yang lebih mengejutkan—darah segar mengalir dari kakinya, sampai membentuk genangan merah di lantai marmer. Daniel berlari menuruni tangga. "Sophia!" Ia segera berjongkok di hadapan wanita itu, tangannya refleks menyentuh perut Sophia. Sophia mengangkat wajahnya yang pucat, matanya berkabut menahan sakit. "Daniel …" suaranya lemah, hampir tidak terdengar. Daniel melihat tangan Sophia juga berlumuran darah. "Apa yang terjadi?!" Sophia membuka mulut, seolah ingin menjawab, tapi sebelum satu kata pun keluar, kepalanya terkulai ke sa

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 97 : Alibi Sophia

    Flash Back. Anne berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka, napasnya tertahan saat mendengar percakapan di dalam ruangan. Matanya menyipit tajam, memperhatikan setiap gerakan Sophia dan Daniel. Sejak awal, ia sudah merasa ada yang aneh dengan kedekatan mereka. Tatapan penuh perhatian, sentuhan yang terlalu akrab—semuanya terasa lebih dari sekadar hubungan biasa. Dan kini, bukti itu ada di depan matanya. Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dari saku. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya dan membidik kamera ke arah Daniel yang tengah mengelus perut Sophia, wajahnya dipenuhi kelembutan. Klik. Satu foto berhasil ia abadikan. Anne menahan senyumnya. Ini akan sangat menarik. Tanpa ragu, ia mengetik pesan singkat di ponselnya sebelum mengunggah foto tersebut. "Kau harus melihat ini. Aku rasa kau akan sangat menyukainya." Tombol kirim ditekan, dan dalam hitungan detik, pesan itu terkirim ke Laura. Anne menatap layar ponselnya dengan penuh kepuasan. Ia tahu betul bagaimana L

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 96 : Janji yang Terucap dalam Diam

    Ruangan kerja Daniel yang berada di mansion Williams terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya lampu temaram menambah suasana nyaman di dalamnya. Di atas meja kerja, beberapa dokumen tersusun rapi, menunjukkan kesibukan Daniel akhir-akhir ini. Namun, saat ini, perhatiannya hanya terfokus pada satu hal—wanita yang tengah duduk di sofa, yang kini menjadi pusat dunianya. Sophia duduk dengan santai, tubuhnya sedikit bersandar ke belakang, satu tangannya mengelus lembut perutnya yang semakin membesar. Ada cahaya keibuan di wajahnya, sesuatu yang membuat Daniel tak bisa mengalihkan pandangan. Dengan langkah tenang, Daniel mendekat sambil membawa sesuatu di tangannya. Ia duduk di samping Sophia, menatapnya sejenak sebelum akhirnya menyerahkan benda itu. "Aku membeli ini untuk anak kita," katanya sambil menunjukkan sepasang sepatu bayi mungil berwarna pink. "Tapi aku tidak tahu apakah dia akan menyukainya." Mata Sophia melembut, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia menerima sepatu itu den

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 95 : Tidak Asing

    Benturan keras masih terasa di tubuh Daniel, napasnya sedikit tersengal saat kesadarannya perlahan pulih. Suara klakson mobil lain terdengar samar, diiringi teriakan beberapa orang yang bergegas mendekat ke arah mobilnya. Mobil yang menabraknya telah melaju pergi begitu saja, meninggalkan bekas tabrakan di bagian samping mobil Daniel. Ia masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, saat itu juga ketukan terdengar di jendela kaca mobilnya. Tok, tok, tok. "Pak, apa Anda baik-baik saja?" suara seorang pria terdengar khawatir dari balik kaca. Daniel mengerjapkan mata, masih sedikit pusing, lalu menekan tombol untuk menurunkan kaca jendela. Udara malam yang dingin langsung menyapa wajahnya. "Aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara yang sedikit serak. "Terima kasih." Pria yang mengetuk kaca tadi menghela napas lega. "Syukurlah. Saya melihat mobil itu menabrak Anda lalu kabur begitu saja. Haruskah saya menelepon polisi?" Daniel menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku bisa mengur

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 94 : Kesepakatan yang Menguntungkan

    "Terima kasih atas kerja sama Anda, Mr. Lancaster," ujar Daniel sambil menjabat tangan pria di hadapannya. Mr. Edward Lancaster, seorang investor ternama yang memiliki jaringan luas di sektor properti dan pembangunan, mengangguk dengan ekspresi puas. "Kau memiliki visi yang kuat, Mr. Williams. Aku suka cara berpikirmu," ujarnya. Saat ini, Daniel sedang berada di ruang pertemuan eksklusif di lantai tertinggi sebuah hotel bintang lima, menemui klien penting untuk mengamankan investasi di proyek lahan perbukitan barat. Kawasan itu telah lama menjadi target pengembangan, tetapi hanya sedikit investor yang berani mengambil risiko karena akses dan infrastruktur yang masih terbatas. Namun, Daniel bukan pria yang mudah menyerah. Sejak awal presentasi, ia telah menyiapkan setiap data dengan matang—rencana pembangunan, prospek keuntungan jangka panjang, hingga strategi pengembangan akses jalan yang akan meningkatkan nilai lahan tersebut secara signifikan. Salah satu poin utama yang berha

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status