Sophia masih duduk di tepi ranjang, memeluk kedua lututnya. Sejak kejadian semalam, tubuhnya masih terasa lemas, pikirannya masih kalut. Ia tidak bisa menghilangkan rasa takut yang menyelimuti dirinya. Matanya memandang kosong ke luar jendela, menatap langit pagi yang tampak mendung, seolah mencerminkan perasaannya yang masih kelabu. Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak. Ia menghapus air mata yang sempat menggenang di sudut matanya dan berusaha menenangkan dirinya. "Masuk," ucapnya dengan suara yang sedikit serak. Saat pintu terbuka perlahan, ia melihat sosok William yang berdiri dengan raut wajah tenang, tapi sorot matanya menyiratkan perasaan bersalah. Sophia segera berdiri, meskipun tubuhnya masih terasa lemah. "Kakek ...." William mendekat, langkahnya terukur dan penuh kehati-hatian. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya. Sophia tersenyum tipis, meskipun tatapan matanya masih menyimpan kepedihan. "Aku baik-baik saja, Kak
Sophia menatap ayahnya dengan bingung. Selama ini, Robert adalah orang yang paling menentang hubungannya dengan Daniel. Ia yang paling keras menolak Daniel masuk ke dalam hidupnya. Tetapi sekarang? Ayahnya justru terlihat membela pria itu. Sesuatu terasa janggal. "Ayah ..." Sophia akhirnya bersuara, meski ia terlihat ragu. "Kenapa Ayah tiba-tiba membela Daniel?" Robert terdiam sejenak, lalu menatap Sophia dengan serius. "Ayah tidak membelanya, Sophia. Ayah hanya mengatakan yang sebenarnya." "Tapi ..." Sophia mengernyit, mencoba memahami maksud ayahnya. "Dulu Ayah yang paling tidak setuju jika aku dekat dengan Daniel. Ayah selalu berkata kalau dia bukan orang yang tepat untukku." Robert menghela napas panjang, matanya menerawang jauh, dulu ia memang menentang hubungan putrinya dengan Daniel, tapi setelah ia tahu bahwa ternyata Daniel yang membantunya membayar biaya rumah sakit, ia menjadi goyah. "Dulu, ayah hanya melihat Daniel sebagai seorang pria yang tidak memiliki apa
Di lorong rumah sakit yang sepi, Jane berjalan mondar-mandir dengan wajah cemas. Kedua tangannya saling menggenggam erat, berulang kali menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ketika menemukan Sophia tergeletak pingsan di jalan tadi, ia begitu panik. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Setahunya, Sophia tidak memiliki riwayat penyakit serius. Lalu, mengapa tiba-tiba ia jatuh tak sadarkan diri seperti itu? Jane melirik pintu ruang perawatan tempat sahabatnya berada. Rasanya ingin segera masuk dan melihat kondisinya, tapi dokter masih memeriksa. Waktu terasa berjalan begitu lambat. "Kenapa bisa begini …?" gumamnya dengan napas tidak stabil. Saat itu, suara langkah kaki terdengar mendekat. Jane menoleh, dan pada saat itu juga ia melihat dokter. Jane segera menghampiri dokter begitu pria itu keluar dari ruang perawatan. "Dokter, bagaimana keadaan sahabat saya?" tanyanya, suaranya bergetar karena cemas. Dokte
Pintu kamar perawatan terbuka pelan, memperlihatkan sosok dokter yang melangkah masuk dengan berkas di tangan. Jane, yang sejak tadi duduk di kursi samping ranjang, segera bangkit dan menoleh ke arah datangnya dokter tersebut. Sophia juga ikut menoleh, meskipun tubuhnya masih terasa lemas. Ada ketegangan di wajahnya, tapi ia berusaha untuk mendengar apa pun yang akan dikatakan dokter. Dokter menghampiri mereka, memberikan senyum tipis sebelum berbicara, "Nona Sophia, bagaimana perasaan Anda sekarang? Apakah masih merasa pusing atau mual?" Sophia menggigit bibirnya sesaat sebelum menggeleng pelan. "Sedikit pusing, tapi sudah jauh lebih baik," jawabnya lirih. Dokter mengangguk, lalu melihat sekilas ke berkas di tangannya. "Itu wajar. Kehamilan Anda masih sangat awal, baru menginjak lima minggu, jadi tubuh Anda sedang beradaptasi dengan perubahan hormon." Mata Sophia sedikit melebar. Meski ia sudah mendengar kabar itu sebelumnya, tetap saja sulit baginya untuk benar-benar men
Sophia tidak tahan lagi. Setiap kata yang keluar dari mulut Daniel terasa seperti pisau yang mengoyak hatinya perlahan. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang hampir pecah. Napasnya terasa sesak, seakan ada beban berat yang menghimpit dadanya. Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan melangkah pergi meninggalkan ruangan tersebut. Begitu tiba di kamar, ia segera menutup pintu dan bersandar di sana, membiarkan tubuhnya merosot ke lantai. Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Tangan Sophia kembali turun ke perutnya, mengusap lembut permukaannya yang masih rata. Ada kehidupan kecil yang sedang tumbuh di dalam dirinya—anak dari pria yang masih mencintai wanita lain. "Kenapa harus sekarang?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar di antara isakannya. Sementara itu, di dalam kamar Daniel, percakapan antara ayah dan anak itu berlanjut. "Tapi itu dulu ... sebelum dia pergi meninggalkan aku." Mata William menyipit sedikit, menat
Sophia memasuki kamarnya dengan gontai. Pikirannya masih kacau setelah mendengar percakapan Daniel dan William. Pintu ia tutup perlahan dengan hati-hati. Sepasang mata coklatnya langsung tertuju pada sebuah laci di sudut ruangan—tempat di mana ia menyimpan obat pemberian ibunya, Rose. Dengan napas yang masih tersengal akibat isakan yang ia tahan sejak tadi, ia berjalan mendekat dan menarik laci itu. Jemarinya sedikit gemetar saat meraih sebuah botol kecil berisi obat. Ia duduk di tepi ranjang, menatap botol itu dengan ekspresi kosong. Pikirannya berputar tanpa henti. "Apa aku harus menggunakan ini sekarang?" Jantungnya berdetak cepat. Ia tahu betul bahwa kehamilan ini adalah sesuatu yang tidak mungkin ia umumkan kepada keluarga Williams. Mereka tidak akan menerimanya. Bukan hanya karena statusnya sebagai istri orang lain, tetapi juga karena anak ini adalah darah daging Daniel—pria yang selama ini hanya menganggapnya sebagai bayangan di balik masa lalunya yang gagal. Tanganny
David mengusap matanya, berusaha mengusir kantuk yang tiba-tiba menyerangnya. Kelopak matanya terasa semakin berat, seakan sesuatu yang menariknya ke dalam tidur. "Kenapa aku merasa ngantuk sekali …?" gumamnya dengan suara samar. Sophia, yang mendengar keluhan suaminya, segera menghampiri dan menatapnya dengan perhatian. Ekspresi di wajahnya tetap tenang, seolah tidak ada yang aneh. "Mungkin kau terlalu lelah. Ayo, tidurlah dulu. Aku akan membantumu beristirahat." Dengan perlahan, Sophia membantu David merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Tangannya menarik selimut, menyelimutinya dengan perhatian—atau setidaknya, itulah yang terlihat di permukaan. "Apa kau mau aku ambilkan makan dulu?" tanyanya, suaranya terdengar begitu tulus. David menggeleng pelan. "Tidak perlu, aku hanya ingin tidur saja." Matanya yang semula berusaha terbuka kini mulai tertutup rapat-rapat. Tubuhnya terasa semakin berat, kesadaran David perlahan tenggelam dalam kantuk yang tak bisa dilawan. Sophia
Di salah satu meja dekat jendela, seorang pria bertubuh tegap duduk dengan tangan terlipat di depan dada. Matanya menatap lurus ke arah pintu masuk, sedari tadi ia sedang menunggu seseorang. Tak lama kemudian, seorang wanita melangkah masuk. Begitu melihat pria yang sedang menunggunya, Sophia langsung berjalan ke arah lelaki itu. John mengangkat alis, ia sedikit tersenyum saat melihat kedatangan Sophia. "Kau akhirnya datang juga." Sophia duduk tanpa basa-basi. Ia meletakkan tasnya di atas meja, lalu menatap pria di hadapannya dengan tegas. "Aku tidak punya waktu untuk berlama-lama, John. Aku butuh bantuanmu." John menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Sophia dengan penuh minat. "Bantuan apa?" "Aku ingin kau mencari tahu siapa yang telah menabrak ayahku." Senyuman John langsung menghilang. Matanya menyipit, menatap Sophia dengan serius. "Kecelakaan yang terjadi beberapa bulan lalu? Kau yakin itu bukan sekadar kecelakaan biasa?" "Aku tidak percaya itu hanya kebetulan.
William duduk di kursi kamarnya, lampu meja menyala redup, menimbulkan bayangan panjang di dinding. Tangannya menggenggam erat amplop yang baru saja ia terima. Amplop itu tampak biasa saja, tapi ia tahu—tidak ada yang benar-benar biasa bila menyangkut keluarganya. Dengan perlahan, ia membuka segel merah tua di ujung amplop. Di dalamnya ada beberapa lembar foto yang langsung membuat napasnya tercekat. Foto pertama, menampilkan Daniel dan Sophia duduk berdampingan di sebuah kafe kecil. Senyum mereka lepas, begitu alami. Lalu foto kedua, saat mereka berpegangan tangan di tepi pantai. Foto ketiga, Daniel sedang memeluk Sophia dari belakang, sambil mencium pelipisnya. Hati William mulai berdegup kencang. Ia membalik beberapa foto lainnya—semuanya menunjukkan kedekatan mereka. Kemudian, ia menemukan selembar surat yang ditulis tangan. Tulisannya rapi, namun terlihat lama. Mungkin surat itu ditulis bertahun-tahun lalu. "Untuk siapa pun yang membacanya, jika kau menemukan surat ini, mung
Langkah kaki William terdengar pelan namun berat saat ia keluar dari ruang rumah sakit. Pundaknya sedikit membungkuk, dan tongkat yang biasa ia genggam dengan tenang kini terasa seperti beban tambahan yang tak bisa ia lepaskan. Lewis, ketua pelayan setia yang sejak dulu menemani kehidupan keluarga Williams, menyambutnya dengan sorot mata penuh tanya. "Tuan, bagaimana dengan keadaan Nyonya Sophia?" tanyanya hati-hati, menjaga nada suaranya agar tak terdengar terlalu mendesak. Namun William hanya menggeleng pelan. Tak sepatah kata pun keluar selain bisikan lirih, "Kita kembali saja ke mansion." "Baik, Tuan," jawab Lewis dengan anggukan sopan sebelum ia berjalan cepat ke arah mobil, membuka pintu belakang dan membantu William masuk dengan penuh kehati-hatian. Mobil melaju pelan meninggalkan gedung rumah sakit, membawa keheningan yang begitu pekat di dalam kabin. William menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang lewat bagai bayangan tak bermakna. Namun pi
Kelopak mata Sophia bergerak perlahan, seakan berusaha keluar dari kegelapan yang menyelimutinya. Napasnya masih lemah saat akhirnya matanya terbuka lebar. Pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya menangkap sosok yang duduk di samping ranjangnya. "Daniel ...," gumamnya lemah. Mendengar namanya dipanggil, Daniel yang sejak tadi tenggelam dalam pikirannya langsung tersentak. Dengan cepat, ia menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya. Ia tak ingin Sophia melihatnya dalam keadaan seperti ini. "Kau sudah bangun," suaranya terdengar serak, tapi ia tetap berusaha terdengar tenang. Sophia mengerjapkan matanya, mencoba memahami apa yang terjadi. Namun, ada sesuatu yang aneh. Daniel tampak berbeda. Wajahnya pucat, matanya memerah seolah telah menahan tangis terlalu lama. "Kenapa kamu menangis?" Ini pertama kalinya Sophia melihat Daniel dalam keadaan seperti ini—terlihat begitu hancur, begitu rapuh. Daniel menggeleng pelan. "Tidak apa-apa," jawabnya, meski jelas sekali itu bohong.
"Tidak mungkin ... Ini semua tidak mungkin ...." Mata David menatap kosong ke lantai rumah sakit, sementara pikirannya berputar tak karuan. Ia tidak pernah menginginkan kehamilan Sophia sejak awal. Ia menolak dengan keras, menuduh anak itu bukan miliknya. Tapi seiring waktu, perlahan ia mulai menerimanya—terutama setelah William menjanjikan saham sebagai bagian dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Namun sekarang, semuanya sia-sia. David mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Rencana yang sudah ia susun dengan matang kini berantakan begitu saja. Ia tak tahu harus merasa sedih, kecewa, atau marah. Yang pasti, sesuatu di dalam dirinya terasa kosong. Tatapannya kemudian beralih ke arah pintu ruang perawatan yang masih tertutup rapat. Di balik pintu itu, Sophia masih berjuang dengan kondisinya yang belum stabil. Ia mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, pikirannya kacau. Apakah ini hukuman untuknya karena sejak awal menolak anak itu? Atau
Suara jeritan Sophia menggema di seluruh lorong mansion Williams, Daniel yang mendengar itu langsung berlari secepat mungkin ke arah sumber suara. "Sophia!" Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk telah menimpa wanita itu. Saat ia tiba di tangga besar mansion, napasnya tertahan. Sophia tergeletak di anak tangga, tubuhnya setengah terduduk dengan tangan bertumpu pada salah satu undakan. Pakaiannya kusut, dan yang lebih mengejutkan—darah segar mengalir dari kakinya, sampai membentuk genangan merah di lantai marmer. Daniel berlari menuruni tangga. "Sophia!" Ia segera berjongkok di hadapan wanita itu, tangannya refleks menyentuh perut Sophia. Sophia mengangkat wajahnya yang pucat, matanya berkabut menahan sakit. "Daniel …" suaranya lemah, hampir tidak terdengar. Daniel melihat tangan Sophia juga berlumuran darah. "Apa yang terjadi?!" Sophia membuka mulut, seolah ingin menjawab, tapi sebelum satu kata pun keluar, kepalanya terkulai ke sa
Flash Back. Anne berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka, napasnya tertahan saat mendengar percakapan di dalam ruangan. Matanya menyipit tajam, memperhatikan setiap gerakan Sophia dan Daniel. Sejak awal, ia sudah merasa ada yang aneh dengan kedekatan mereka. Tatapan penuh perhatian, sentuhan yang terlalu akrab—semuanya terasa lebih dari sekadar hubungan biasa. Dan kini, bukti itu ada di depan matanya. Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dari saku. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya dan membidik kamera ke arah Daniel yang tengah mengelus perut Sophia, wajahnya dipenuhi kelembutan. Klik. Satu foto berhasil ia abadikan. Anne menahan senyumnya. Ini akan sangat menarik. Tanpa ragu, ia mengetik pesan singkat di ponselnya sebelum mengunggah foto tersebut. "Kau harus melihat ini. Aku rasa kau akan sangat menyukainya." Tombol kirim ditekan, dan dalam hitungan detik, pesan itu terkirim ke Laura. Anne menatap layar ponselnya dengan penuh kepuasan. Ia tahu betul bagaimana L
Ruangan kerja Daniel yang berada di mansion Williams terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya lampu temaram menambah suasana nyaman di dalamnya. Di atas meja kerja, beberapa dokumen tersusun rapi, menunjukkan kesibukan Daniel akhir-akhir ini. Namun, saat ini, perhatiannya hanya terfokus pada satu hal—wanita yang tengah duduk di sofa, yang kini menjadi pusat dunianya. Sophia duduk dengan santai, tubuhnya sedikit bersandar ke belakang, satu tangannya mengelus lembut perutnya yang semakin membesar. Ada cahaya keibuan di wajahnya, sesuatu yang membuat Daniel tak bisa mengalihkan pandangan. Dengan langkah tenang, Daniel mendekat sambil membawa sesuatu di tangannya. Ia duduk di samping Sophia, menatapnya sejenak sebelum akhirnya menyerahkan benda itu. "Aku membeli ini untuk anak kita," katanya sambil menunjukkan sepasang sepatu bayi mungil berwarna pink. "Tapi aku tidak tahu apakah dia akan menyukainya." Mata Sophia melembut, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia menerima sepatu itu den
Benturan keras masih terasa di tubuh Daniel, napasnya sedikit tersengal saat kesadarannya perlahan pulih. Suara klakson mobil lain terdengar samar, diiringi teriakan beberapa orang yang bergegas mendekat ke arah mobilnya. Mobil yang menabraknya telah melaju pergi begitu saja, meninggalkan bekas tabrakan di bagian samping mobil Daniel. Ia masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, saat itu juga ketukan terdengar di jendela kaca mobilnya. Tok, tok, tok. "Pak, apa Anda baik-baik saja?" suara seorang pria terdengar khawatir dari balik kaca. Daniel mengerjapkan mata, masih sedikit pusing, lalu menekan tombol untuk menurunkan kaca jendela. Udara malam yang dingin langsung menyapa wajahnya. "Aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara yang sedikit serak. "Terima kasih." Pria yang mengetuk kaca tadi menghela napas lega. "Syukurlah. Saya melihat mobil itu menabrak Anda lalu kabur begitu saja. Haruskah saya menelepon polisi?" Daniel menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku bisa mengur
"Terima kasih atas kerja sama Anda, Mr. Lancaster," ujar Daniel sambil menjabat tangan pria di hadapannya. Mr. Edward Lancaster, seorang investor ternama yang memiliki jaringan luas di sektor properti dan pembangunan, mengangguk dengan ekspresi puas. "Kau memiliki visi yang kuat, Mr. Williams. Aku suka cara berpikirmu," ujarnya. Saat ini, Daniel sedang berada di ruang pertemuan eksklusif di lantai tertinggi sebuah hotel bintang lima, menemui klien penting untuk mengamankan investasi di proyek lahan perbukitan barat. Kawasan itu telah lama menjadi target pengembangan, tetapi hanya sedikit investor yang berani mengambil risiko karena akses dan infrastruktur yang masih terbatas. Namun, Daniel bukan pria yang mudah menyerah. Sejak awal presentasi, ia telah menyiapkan setiap data dengan matang—rencana pembangunan, prospek keuntungan jangka panjang, hingga strategi pengembangan akses jalan yang akan meningkatkan nilai lahan tersebut secara signifikan. Salah satu poin utama yang berha