Tangan yang sedari tadi bertumpu di pangkuan mengepal erat. Sophia menundukkan kepala sedikit, membiarkan helaian rambutnya menutupi wajah. Dadanya terasa sesak, tapi ia menelan semuanya, berpura-pura kuat. Di seberangnya, Daniel tetap menatap lurus ke depan, seolah kata-katanya barusan bukan sesuatu yang mengejutkan. Sementara itu, Laura yang duduk di sampingnya terlihat sangat bahagia. Mata wanita itu berbinar, bibirnya membentuk senyuman manis yang sulit diabaikan. "Apa yang kamu katakan itu benar, Daniel?” tanya William, seraya melihat ke arah Daniel. Ia masih sulit mempercayai apa yang baru saja keluar dari mulut putranya. Beberapa hari yang lalu, ia sendiri yang bertanya pada Daniel apakah anaknya itu masih mencintai Laura. Saat itu, jawaban Daniel jelas—tidak. Ia sudah melupakan gadis itu. Namun sekarang? Daniel justru mengatakan hal sebaliknya. William menatap putranya dengan tajam. Apa yang sebenarnya ada di pikiran, Daniel? Semantara lelaki yang ditatapnya itu tet
Malam ini, Daniel duduk sendirian di kamarnya. Di tangannya, segelas wiski sudah tinggal setengah, tetapi ia belum ingin meminumnya lagi. Jemarinya hanya memutar-mutar gelas itu, menatap pantulan cahayanya di permukaan meja. Di luar jendela, langit malam tampak kelam, sama seperti hatinya saat ini. Keputusannya untuk bertunangan dengan Laura sudah diumumkan. Seharusnya ia merasa puas melihat reaksi Sophia yang hancur, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang terasa salah. Pikirannya kembali ke perjalanan pulang tadi. Laura duduk di sampingnya, menatapnya dengan mata berbinar. "Terima kasih, Daniel. Aku sungguh tak menyangka kau akan mengambil keputusan ini." Daniel hanya mengangguk saat itu, tidak memberikan jawaban lebih. "Aku pikir kau sudah benar-benar melupakanku." Ia masih ingat bagaimana suaranya terdengar ragu. Namun, saat itu, Daniel hanya menjawab dengan kalimat singkat. "Mungkin aku memang sudah melupakan, mungkin juga belum. Yang jelas, kita akan bertunangan." Laura tid
Sophia menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Tulisan kecil di bawah nama Daniel masih sama—Daniel sedang mengetik ... Sudah lebih dari satu menit, tapi pesan itu tak kunjung terkirim. Apa yang sedang ia ketik? Kenapa butuh waktu selama ini? Jantung Sophia berdegup semakin kencang, seperti hendak meledak. Setiap detik yang berlalu terasa begitu menyiksa. Matanya menelusuri layar, berharap sesuatu muncul. Tapi yang ada hanya tulisan kecil itu, seolah-olah Daniel tengah ragu. Lalu tiba-tiba … Tulisan itu menghilang. Sophia menahan napas. Ia menunggu. Namun tak ada pesan yang masuk. Hening. Jari-jarinya mencengkeram ponsel lebih erat, perasaan gelisah merayapi hatinya. Apakah Daniel berubah pikiran? Apakah ia memilih untuk tidak membalas? Atau … apakah ia sedang menyusun kata-kata yang lebih menyakitkan? Detik berlalu. Menit berlalu. Tetap tidak ada balasan. Sophia menggigit bibirnya, menatap layar dengan tatapan kosong. Sebuah perasaan tak enak mulai menjalar dalam diriny
Sophia duduk di tepi ranjangnya, tangannya perlahan mengelus perutnya. Dalam beberapa bulan ke depan, kehamilannya akan mulai terlihat. Namun, apa gunanya? Apakah bayi ini akan membawa kebahagiaan untuknya? Atau justru semakin membuatnya merasa terpuruk? Hari ini seharusnya menjadi hari bahagia bagi Daniel, tapi bagi dirinya, ini adalah hari yang paling menyakitkan. Pertunangan Daniel dan Laura. Hanya dengan memikirkan nama mereka saja, hatinya terasa seperti diremas. Matanya menatap ke luar jendela. Dari sini, ia bisa melihat tamu-tamu mulai berdatangan, disambut oleh pelayan-pelayan yang sibuk mengatur segalanya. Taman yang kemarin masih dalam proses dekorasi, kini sudah sempurna. Bunga-bunga segar menghiasi setiap sudut, lampu-lampu kecil digantung di sepanjang jalan setapak. Semua tampak indah. Namun, bagi Sophia, semua itu justru terasa menyakitkan. Tiba-tiba, suara ketukan terdengar di pintu. "Sophia?" Ia mengenali suara itu. David. Sophia menghela napas pelan sebelum
William melangkah naik ke podium dengan wibawa. Sosok pria tua itu mengenakan setelan hitam elegan dengan dasi emas yang serasi. Tatapannya menyapu seluruh tamu sebelum akhirnya ia tersenyum, lalu mengangkat gelas sampanye. "Pertama-tama, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah hadir malam ini. Ini adalah hari yang begitu spesial bagi keluarga kami." Para tamu mendengarkan dengan antusias, beberapa dari mereka berbisik-bisik, menebak apa yang akan diumumkan. William menoleh ke arah Daniel dan Laura yang berdiri berdampingan di dekatnya. "Malam ini, aku ingin mengumumkan pertunangan anakku, Daniel Alexander Williams, dengan seorang wanita luar biasa, Laura James." Suara tepuk tangan mulai terdengar. Senyum bahagia terukir di wajah Laura, sementara Daniel tetap berdiri dengan wajah datar. Sophia yang berdiri di sudut bersama David hanya bisa menelan perasaan pedih yang semakin menyesakkan dada. Tangannya yang masih menggenggam lengan David sedikit gemetar.
Malam ini, setelah para tamu pulang, keluarga Williams berkumpul untuk makan malam di ruang makan utama. Suasana masih terasa hangat setelah acara pertunangan Daniel dan Laura. Pelayan telah menyajikan hidangan dengan rapi di atas meja panjang yang diterangi cahaya lampu kristal. Namun, di balik percakapan ringan dan tawa kecil yang sesekali terdengar, ada ketegangan yang tersembunyi di antara beberapa orang di meja itu. William duduk di kursi utama, tampak puas dengan acara yang berjalan lancar. Ia melirik ke arah Daniel dan Laura yang duduk berdampingan. "Hari ini benar-benar hari yang luar biasa," katanya sambil tersenyum. "Pertunangan Daniel dan Laura, juga kabar tentang cicitku yang akan segera lahir." Sophia, yang duduk di seberang meja, menundukkan kepalanya, menyentuh gelas airnya tanpa benar-benar berniat meminumnya. Kata-kata William terasa seperti pisau yang menusuk ke dalam hatinya. Sementara itu, David duduk di sampingnya, terlihat lebih santai dibandingkan sebelumnya
Laura Tiba di Apartemen Daniel Begitu pintu apartemen terbuka, Laura melangkah masuk dengan perlahan. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, mengamati setiap detail yang ada. Tidak ada yang berubah. Ruangan ini masih sama seperti yang ia ingat lima tahun lalu—dekorasi minimalis dengan dominasi warna monokrom, lampu gantung yang memberikan cahaya temaram, dan sofa kulit hitam di ruang tamu yang terlihat jarang diduduki. Bahkan aroma apartemen ini masih sama, campuran wangi kopi yang samar dan maskulinitas khas Daniel. "Kau masih tidak mengubah apa pun," gumam Laura. Daniel, yang berdiri di belakangnya dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana, hanya melirik sekilas. "Aku tidak suka perubahan yang tidak perlu." Laura terkekeh. "Kau belum juga belajar untuk memberikan sentuhan hangat di tempat ini, ya?" Ia berjalan menuju meja makan, jari-jarinya menyusuri permukaannya. "Aku ingat saat pertama kali datang ke sini, aku bilang kau harus menambahkan bunga atau dekorasi lai
Laura masih terpaku di tempatnya, matanya menatap pakaian wanita yang tergantung di lemari Daniel. Napasnya terasa lebih berat, pikirannya kacau. Siapa pemilik pakaian ini? Sejak kapan ada wanita lain yang masuk ke dalam hidup Daniel? Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, ia meraih salah satu gaun itu dan mengamatinya lebih dekat. Bahan kainnya masih terasa baru, seolah baru saja dibeli atau baru saja digunakan. Keraguan memenuhi benaknya. Tak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama, Laura segera keluar dari kamar dan berjalan cepat menuju ruang tengah, di mana Daniel sedang duduk di sofa, satu tangan memegang ponsel sementara tangan lainnya memainkan kunci mobil. Tanpa basa-basi, ia langsung bertanya, "Daniel, kenapa di dalam lemari pakaianmu ada baju wanita?" Daniel yang tadinya tampak santai, kini menegang. Matanya mengarah pada Laura, lalu kembali pada ponselnya. "Jangan sentuh barang-barangku." Laura menatapnya tak percaya. "Apa maksudmu?" suaranya meninggi.
William duduk di kursi kamarnya, lampu meja menyala redup, menimbulkan bayangan panjang di dinding. Tangannya menggenggam erat amplop yang baru saja ia terima. Amplop itu tampak biasa saja, tapi ia tahu—tidak ada yang benar-benar biasa bila menyangkut keluarganya. Dengan perlahan, ia membuka segel merah tua di ujung amplop. Di dalamnya ada beberapa lembar foto yang langsung membuat napasnya tercekat. Foto pertama, menampilkan Daniel dan Sophia duduk berdampingan di sebuah kafe kecil. Senyum mereka lepas, begitu alami. Lalu foto kedua, saat mereka berpegangan tangan di tepi pantai. Foto ketiga, Daniel sedang memeluk Sophia dari belakang, sambil mencium pelipisnya. Hati William mulai berdegup kencang. Ia membalik beberapa foto lainnya—semuanya menunjukkan kedekatan mereka. Kemudian, ia menemukan selembar surat yang ditulis tangan. Tulisannya rapi, namun terlihat lama. Mungkin surat itu ditulis bertahun-tahun lalu. "Untuk siapa pun yang membacanya, jika kau menemukan surat ini, mung
Langkah kaki William terdengar pelan namun berat saat ia keluar dari ruang rumah sakit. Pundaknya sedikit membungkuk, dan tongkat yang biasa ia genggam dengan tenang kini terasa seperti beban tambahan yang tak bisa ia lepaskan. Lewis, ketua pelayan setia yang sejak dulu menemani kehidupan keluarga Williams, menyambutnya dengan sorot mata penuh tanya. "Tuan, bagaimana dengan keadaan Nyonya Sophia?" tanyanya hati-hati, menjaga nada suaranya agar tak terdengar terlalu mendesak. Namun William hanya menggeleng pelan. Tak sepatah kata pun keluar selain bisikan lirih, "Kita kembali saja ke mansion." "Baik, Tuan," jawab Lewis dengan anggukan sopan sebelum ia berjalan cepat ke arah mobil, membuka pintu belakang dan membantu William masuk dengan penuh kehati-hatian. Mobil melaju pelan meninggalkan gedung rumah sakit, membawa keheningan yang begitu pekat di dalam kabin. William menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang lewat bagai bayangan tak bermakna. Namun pi
Kelopak mata Sophia bergerak perlahan, seakan berusaha keluar dari kegelapan yang menyelimutinya. Napasnya masih lemah saat akhirnya matanya terbuka lebar. Pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya menangkap sosok yang duduk di samping ranjangnya. "Daniel ...," gumamnya lemah. Mendengar namanya dipanggil, Daniel yang sejak tadi tenggelam dalam pikirannya langsung tersentak. Dengan cepat, ia menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya. Ia tak ingin Sophia melihatnya dalam keadaan seperti ini. "Kau sudah bangun," suaranya terdengar serak, tapi ia tetap berusaha terdengar tenang. Sophia mengerjapkan matanya, mencoba memahami apa yang terjadi. Namun, ada sesuatu yang aneh. Daniel tampak berbeda. Wajahnya pucat, matanya memerah seolah telah menahan tangis terlalu lama. "Kenapa kamu menangis?" Ini pertama kalinya Sophia melihat Daniel dalam keadaan seperti ini—terlihat begitu hancur, begitu rapuh. Daniel menggeleng pelan. "Tidak apa-apa," jawabnya, meski jelas sekali itu bohong.
"Tidak mungkin ... Ini semua tidak mungkin ...." Mata David menatap kosong ke lantai rumah sakit, sementara pikirannya berputar tak karuan. Ia tidak pernah menginginkan kehamilan Sophia sejak awal. Ia menolak dengan keras, menuduh anak itu bukan miliknya. Tapi seiring waktu, perlahan ia mulai menerimanya—terutama setelah William menjanjikan saham sebagai bagian dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Namun sekarang, semuanya sia-sia. David mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Rencana yang sudah ia susun dengan matang kini berantakan begitu saja. Ia tak tahu harus merasa sedih, kecewa, atau marah. Yang pasti, sesuatu di dalam dirinya terasa kosong. Tatapannya kemudian beralih ke arah pintu ruang perawatan yang masih tertutup rapat. Di balik pintu itu, Sophia masih berjuang dengan kondisinya yang belum stabil. Ia mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, pikirannya kacau. Apakah ini hukuman untuknya karena sejak awal menolak anak itu? Atau
Suara jeritan Sophia menggema di seluruh lorong mansion Williams, Daniel yang mendengar itu langsung berlari secepat mungkin ke arah sumber suara. "Sophia!" Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk telah menimpa wanita itu. Saat ia tiba di tangga besar mansion, napasnya tertahan. Sophia tergeletak di anak tangga, tubuhnya setengah terduduk dengan tangan bertumpu pada salah satu undakan. Pakaiannya kusut, dan yang lebih mengejutkan—darah segar mengalir dari kakinya, sampai membentuk genangan merah di lantai marmer. Daniel berlari menuruni tangga. "Sophia!" Ia segera berjongkok di hadapan wanita itu, tangannya refleks menyentuh perut Sophia. Sophia mengangkat wajahnya yang pucat, matanya berkabut menahan sakit. "Daniel …" suaranya lemah, hampir tidak terdengar. Daniel melihat tangan Sophia juga berlumuran darah. "Apa yang terjadi?!" Sophia membuka mulut, seolah ingin menjawab, tapi sebelum satu kata pun keluar, kepalanya terkulai ke sa
Flash Back. Anne berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka, napasnya tertahan saat mendengar percakapan di dalam ruangan. Matanya menyipit tajam, memperhatikan setiap gerakan Sophia dan Daniel. Sejak awal, ia sudah merasa ada yang aneh dengan kedekatan mereka. Tatapan penuh perhatian, sentuhan yang terlalu akrab—semuanya terasa lebih dari sekadar hubungan biasa. Dan kini, bukti itu ada di depan matanya. Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dari saku. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya dan membidik kamera ke arah Daniel yang tengah mengelus perut Sophia, wajahnya dipenuhi kelembutan. Klik. Satu foto berhasil ia abadikan. Anne menahan senyumnya. Ini akan sangat menarik. Tanpa ragu, ia mengetik pesan singkat di ponselnya sebelum mengunggah foto tersebut. "Kau harus melihat ini. Aku rasa kau akan sangat menyukainya." Tombol kirim ditekan, dan dalam hitungan detik, pesan itu terkirim ke Laura. Anne menatap layar ponselnya dengan penuh kepuasan. Ia tahu betul bagaimana L
Ruangan kerja Daniel yang berada di mansion Williams terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya lampu temaram menambah suasana nyaman di dalamnya. Di atas meja kerja, beberapa dokumen tersusun rapi, menunjukkan kesibukan Daniel akhir-akhir ini. Namun, saat ini, perhatiannya hanya terfokus pada satu hal—wanita yang tengah duduk di sofa, yang kini menjadi pusat dunianya. Sophia duduk dengan santai, tubuhnya sedikit bersandar ke belakang, satu tangannya mengelus lembut perutnya yang semakin membesar. Ada cahaya keibuan di wajahnya, sesuatu yang membuat Daniel tak bisa mengalihkan pandangan. Dengan langkah tenang, Daniel mendekat sambil membawa sesuatu di tangannya. Ia duduk di samping Sophia, menatapnya sejenak sebelum akhirnya menyerahkan benda itu. "Aku membeli ini untuk anak kita," katanya sambil menunjukkan sepasang sepatu bayi mungil berwarna pink. "Tapi aku tidak tahu apakah dia akan menyukainya." Mata Sophia melembut, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia menerima sepatu itu den
Benturan keras masih terasa di tubuh Daniel, napasnya sedikit tersengal saat kesadarannya perlahan pulih. Suara klakson mobil lain terdengar samar, diiringi teriakan beberapa orang yang bergegas mendekat ke arah mobilnya. Mobil yang menabraknya telah melaju pergi begitu saja, meninggalkan bekas tabrakan di bagian samping mobil Daniel. Ia masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, saat itu juga ketukan terdengar di jendela kaca mobilnya. Tok, tok, tok. "Pak, apa Anda baik-baik saja?" suara seorang pria terdengar khawatir dari balik kaca. Daniel mengerjapkan mata, masih sedikit pusing, lalu menekan tombol untuk menurunkan kaca jendela. Udara malam yang dingin langsung menyapa wajahnya. "Aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara yang sedikit serak. "Terima kasih." Pria yang mengetuk kaca tadi menghela napas lega. "Syukurlah. Saya melihat mobil itu menabrak Anda lalu kabur begitu saja. Haruskah saya menelepon polisi?" Daniel menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku bisa mengur
"Terima kasih atas kerja sama Anda, Mr. Lancaster," ujar Daniel sambil menjabat tangan pria di hadapannya. Mr. Edward Lancaster, seorang investor ternama yang memiliki jaringan luas di sektor properti dan pembangunan, mengangguk dengan ekspresi puas. "Kau memiliki visi yang kuat, Mr. Williams. Aku suka cara berpikirmu," ujarnya. Saat ini, Daniel sedang berada di ruang pertemuan eksklusif di lantai tertinggi sebuah hotel bintang lima, menemui klien penting untuk mengamankan investasi di proyek lahan perbukitan barat. Kawasan itu telah lama menjadi target pengembangan, tetapi hanya sedikit investor yang berani mengambil risiko karena akses dan infrastruktur yang masih terbatas. Namun, Daniel bukan pria yang mudah menyerah. Sejak awal presentasi, ia telah menyiapkan setiap data dengan matang—rencana pembangunan, prospek keuntungan jangka panjang, hingga strategi pengembangan akses jalan yang akan meningkatkan nilai lahan tersebut secara signifikan. Salah satu poin utama yang berha