Sementara itu di tempat lain, seorang gadis meringkuk dengan tangan dan kaki terikat. Mulutnya ditutup dengan lakban. Gadis itu masih mengenakan pakaian pengantin. Perlahan ia membuka mata dan melihat sekeliling ruangan itu yang tampak asing baginya. Samar-samar ia mendengar seseorang sedang berbicara.
“Dia baik-baik saja, Tuan.”
“Dimana aku?” tanya Calantha pada dirinya sendiri.
Gadis itu adalah Calantha Mariama. Seharusnya ia sekarang sudah berbulan madu bersama dengan suaminya. Melihat keadaannya yang sedang terikat, jangankan bulan madu menikah saja mungkin ia tidak jadi.
Pria itu melihat ke tempat tidur. “Dia sudah siuman. Sekitar lima menit yang lalu, Tuan,” kata pria itu. Pandangannya masih tetap terarah pada Calantha.
“Baik, saya akan pastikan dia baik-baik saja."
"....."
"Bagaimana dengan ikatannya, Tuan?"
"....."
"Baik, saya akan melepaskannya dan menyuruh pelayan wanita untuk membantu membersihkan tubunya."
"...."
"Siap, Tuan!"
Pria berkepala plontos itu pun mengakhiri pembicaraannya dan menghampiri Calantha. Kemudian ia membuka lakban yang menutupi mulut Calantha.
“Si-siapa kamu?” tanya Calantha dengan terbata.
“Jangan men-dekat.” ucapnya lagi
Calantha berusaha menjauhi pria yang mendekatinya hingga sampai ke sudut kepala tempat tidur. Pria itu tidak menjawab pertanyaan Calantha dan berlalu begitu saja dari ruangan.
Tak lama kemudian terdengar langkah kaki mendekat, pria itu masuk di ikuti dengan seorang wanita paruh baya.
“Lepaskan semua ikatan di tangan dan kakinya, bersihkan badannya. Dandani dia sebaik mungkin,” ucap pria berkepala plontos itu. Ia pun keluar dari kamar itu.
Wanita paruh baya itu membuka semua ikatan dari tubuh Calantha, terlihat ada bekas ikatan di pergelangan tangan dan kakinya berwarna merah. Kontras sekali dengan warna kulitnya yang putih bersih.
“Mari, Nona. Kita bersihkan tubuh Nona terlebih dahulu. Saya sudah mempersiapkan air hangat dengan aroma terapi. Nona berendam saja dahulu untuk merilekskan tubuh kaku nona. Mari saya bantu membuka pakaian nona,” ucap wanita paruh baya itu dengan lembut.
Wanita paruh baya itu hendak membuka pakaian yang dikenakan Calantha, tapi ia menolak. Tidak ada yang pernah melihat dia tanpa busana. Saat berpacaran dengan Redra, mereka hanya berpegangan tangan saja, ciuman pun hanya sekilas saja.
“Sa-ya bisa sen-diri,” jawab Calantha gugup. Dia lelah, badannya semua lengket. Ia juga tidak tahu jam berapa sekarang. Sudah berapa hari ini berada di tempat ini, ia pun tak tahu tanggal dan hari apa sekarang ini.
“Tapi Nona. Tuan memerintahkan kami untuk membantu dan mempersiapkan semua keperluan Nona.”
Wanita paruh baya itu sekali lagi mencoba untuk membantu menanggalkan pakaian Calantha. Lagi-lagi Calantha menolak. Saat ingin membuka resleting gaun pengantinnya, ia kesulitan untuk membukanya. Wanita paruh baya itu pun membantu menurunkan resleting itu. Namun, hanya sebatas itu saja.
“Jangan takut, nama saya Marina. Panggil saja Rina. Tuan adalah orang yang sangat baik dan sangat sayang pada Nona. Dia tidak bermaksud menyakiti Nona. Tuan membawa Nona ke tempat ini agar Nona tidak kabur lagi,” kata pelayan yang bernama Marimar.
Saat ini mereka sedang berada di kamar mandi. Calantha sedang berendam di bathup. Ia tidak punya tenaga untuk melawan dan saat ini ia tak tahu sedang berada dimana. Rina masih setia menunggu Calantha berendam, sesekali Rina menggosok tubuh Calantha. Rina juga membatu Calantha untuk berpakaian dan juga membantu Calantha untuk berdandan.
“Cantik,” guman Rina lirih, namun masih di dengar oleh Calantha, ia pun tersenyum.
Calantha menggunakan dress selutut dengan kerah V dan berwarna merah marroon. Agak risih juga ia mengenakannya apalagi dengan warna dress yang terlalu mencolok menurutnya. Sudahlah tak ada guna buat protes, ia tak tahu sedang berada dimana saat ini. Akan ia ikuti saja permaianan ‘Tuan’ sebelum ia kabur dari tempat ini.
Rina membawa Calantha menuju ruang makan. Mereka menuruni anak tangga, rumah ini sangat luas. Ruang makannya saja seluas apartemennya, dari anak tangga, Calantha bisa melihat pohon kelapa yang berbaris dengan rapi, ia juga mendengar suara deburan ombak. Apa tempat ini berada di sebuah pulau? Calantha melihat Rina.
“Villa ini berada di sebuah pulau pribadi milik Tuan Linardy, Nona,” jawab Rina. Meski tidak bersuara Rina tahu kalau Calantha sedang bertanya hanya dengan tatapan mata.
Banyak lukisan yang terpajang di sepanjang dinding rumah ini. Calantha menghitung dalam hati, sekitar sepuluh lukisan, ini masih hanya disatu dinding belum di dinding lainnya. Belum lagi guci yang berada disudut anak tangga, lampu kristal yang menggatung menambah kesan mewah rumah ini. Calantha berusaha mencari foto keluarga, ia memindai setiap sudut rumah tak ada foto keluarga yang ia temukan, hanya berbagai lukisan yang menempel di dinding.
Saat dirinya telah sampai di ruang makan. Ia melihat seorang laki-laki tengah duduk. Dihadapannya telah terhidang berbagai jenis makanan laut. Dan dibelakang pria itu ada dua orang pelayan. Lihatlah meja makannya saja sangat mewah dengan berbagai ukiran di pinggiran meja, menurut Calantha meja itu terbuat dari kayu jati pilihan.
Pria itu melihat Calantha, sorot matanya sangat tajam seakan ingin membunuh. Sempat Calantha terpesona melihat betapa tampannya pria di hadapannya. Itu berlangsung hanya lima detik, karena detik berikutnya kemarahanlah yang ia lihat dari wajah tampan itu. Pria itu berusaha menahan emosi dengan mengepalkan kedua tangannya yang ada di atas meja. Sebelum Calantha duduk pria itu berkata.
“Bagaimana kabarmu, Calanthe Samira?”
Adam Linardy.
Lima tahun kemudian. "Sampai kapan lo seperti ini?" ucap asistennya pada Rendra. Asisten Rendra bernama Dito Wijaya dan juga sebagai sahabat. Mereka sudah biasa menggunakan bahasa informal baik di kantor maupun dalam keseharian. Hanya bertemu dengan kolega bisnis mereka berbicara formal. Itu dulu, sebelum semuanya terenggut. Karena selama kejadian itu hanya Dito yang selalu bertemu dengan kolega bisnis, Rendra belum mau bertemu dengan siapapun. Sudah lima tahun berlalu, tapi Rendra belum menemukan keberadaan Calantha~ kekasihnya. Ia juga sudah mencari ke berbagai tempat dan penjuru dunia bahkan sudah memasang iklan. Namun, pencariannya nihil tak ada yang dapat menemukan Calantha. Detektif yang ia sewa pun menyerah karena sampai saat ini mereka tak bisa menemukan keberadaan Calantha. "Move on dong, sudah lima tahun dan lo masih saja tetap terpuruk. Yakinlah Calantha baik-baik saja," ucap asistennya lagi berusaha membuat Rendra bangkit dari keterpurukan. Semenjak menghilangnya Cala
Rendra menatap para pekerja yang sedang memetik kopi, sesekali tangannya menyingkirkan ranting yang menghalangi langkah kaki. Ia menghirup udara segar yang berbaur dengan wangi bunga kopi yang sedang mekar. Hatinya begitu hangat dan tenang."Pakai caping ini," ucap Dito asisten Rendra sembari memberikan caping pada Rendra.Rendra menerima caping pemberian Dito tanpa mengalihkan pandangannya. Dari ketinggian ini, ia bisa melihat bangunan perkotaan yang sebesar kotak sabun."Lo mau ngapain?" tanya Rendra sembari mengamati tangan Dito yang cekatan memetik kopi."Mau metik kopi," jawab Dito tanpa mengalihkan pandangan. Tangannya cekatan memetik buah kopi berwarna merah dan memasukkan ke dalam ember"Napa lo ikutan metik kopi?""Kenapa emang? Salah kalo gue ikutan metik?" tanya balik Dito sambil memasukkan kopi yang telah ia petik ke dalam ember penampungan."Ya, enggak. Tapi kenapa?" tanya Rendra penasaran."Kopi di sekitar sini bu
"Tumben lo cepat bangun," ujar Dito yang melihat Rendra sedang duduk di kursi pantri. "Gak bisa tidur," jawab Rendra tanpa mengalihkan padangan pada Dito yang sedang menghampirinya. "Masih mikirin Calantha?" tanya Dito seraya mengeluarkan dua buah gelas dan membuat coklat panas. Bukan. Jawaban itu hanya mampu Rendra suarakan dalam hatinya. Ia sudah tak berharap banyak lagi dengan Calantha. Ia yakin gadis itu baik-baik saja atau mungkin sudah bahagia dengan pria lain. "Minum ini." Dito menyodorkan secangkir coklat panas pada Rendra dan langsung menyesapnya. "Hari ini gue mau balik ke Jakarta. Lo gak pa-pa gue tinggal?" tanya Dito sembari menyesap coklat panas buatannya. Dito sudah terbiasa pulang pergi ke Jakarta, sesekali dia juga menginap. Namun, tidak pernah menginap sampai 3 malam. Ia percaya dengan Aryo, manajer di perkebunan ini yang mampu mengurus semua pekerjaan dengan baik. Jika bosnya Rendra berada di sini, tak perlu lagi ia lebih sering berkunjung ke desa ini. Ia yak
Mentari telah muncul dari peraduan, setiap insan manusia kini siap memulai aktivitas. Begitu juga dengan seorang gadis berambut panjang diikat gaya ekor kuda. Sebuah apron telah melekat di tubuhnya, bersiap untuk membuka warung makannya.Berbagai makanan telah ia susun rapi di steling makanan, kemudian ia beranjak untuk melap semua meja dan merapikan kursi, menyusun kotak-kotak tisu di atas meja. Ia memindai semua sudut warung makannya, setelah merasa semua rapi ia pun beranjak ke arah stelling untuk bersiap menyambut para pelanggannya.Hari ini sang asisten tidak bisa menemaninya karena sedang sakit. Ia sendiri yang harus bekerja melayani para pelanggan."Satu piring nasi uduk, Mbak Ayu sekalian dengan teh hangatnya.""Baik, Mas," ucap Ayu sopan.Ia pun mempersiapkan pesanan dengat cekatan dan mengantarnya ke meja yang ditempati pelanggan tersebut."Silahkan dimakan, Mas," ucapnya setelah meletakkan sepiring nasi uduk dan teh hangat di atas meja."Terima kasih, Mbak Ayu. Sediri aja n
"Ternyata hidupmu baik-baik saja sampai saat ini."Wanita itu mengepulkan asap dan menjetikkan abu rokok ke asbak. Ia mengamati lawan bicaranya yang masih tak bergeming kala diajak berbicara. Kemudian ia meneguk minuman dari beer mug, kembali ia mengisap rokok dan mengepulkan asap membentuk bulatan-bulatan."Apa selama ini dia tak pernah mencarimu?" tanya wanita berambut pendek itu lagi. Ia menatap wajah lawan bicaranya dengat lamat-lamat."Dia tak akan pernah mencariku," jawabnya sembari meneguk bir. Ia memanggil bartender untuk menambah bir ke gelasnya yang isinya telah habis ia teguk."Wahhh, kau benar-benar hebat." Wanita berambut pendek itu bertepuk tangan. "Setelah kau melarikan diri dan membawa kabur uangnya. Kau sangat terlihat santai saat ini," lanjutnya lagi. Ia juga memberi kode kepada bartender agar menambahkan bir ke gelasnya."Kau juga menikmati hasilnya!"***"Kemana saja kau selama ini?"Ayu baru saja dari dapur membawa dua gelas kopi dan meletakkan di meja. Mengambil
Setelah Adam pamit, Ayu segera mambasuh wajah dan gosok gigi. Setelahnya masuk kamar, tetapi sebelum merebahkan diri di kasur yang menemani selama lima tahun ini. Ia melakukan ritual malam terlebih dahulu. Mengaplikasikan krim malam ke seluruh wajah.Awal ia tinggal di desa ini merasa kedinginan karena suhu udara pada malam hari hampir mencapai 20° Celcius. Bahkan setiap malam ia harus menyalakan perapian agar ruangan tetap hangat. Namun, seiring berjalannya waktu ia mulai terbiasa dengan suhu udara di desa ini dan bahkan ia hanya menggunakan sweater rajut dan selimut. Tidak seperti di awal ia tinggal, memakai kaos kaki, sarung tangan, topi kupluk, jaket tebal, dan selimut tidak cukup satu. Ia memakai sampai tiga selimut sekaligus.Mungkin satu-satunya rumah yang menggunakan penghangat ruangan hanya villa pemilik perkebunan. Kepala desa di tempat ini saja, masih sama dengan penduduk lainnya. Hanya menggunakan jaket dan selimut seadanya ketika tidur.Ayu menatap lamat-lamat langit kama
Setelah Ayu menutup warung ia bergegas pulang. Rencananya ia akan bertemu pemilik ruko di ibukota. Ruko yang ditawarkan lumayan murah karena pemilik sangat butuh uang saat ini juga. Mudah-mudahan pemilik ruko tidak berubah pikiran. Lokasi ruko sangat dekat dengan gedung perkantoran dan cocok untuk membuka cafe.Secepat kilat Ayu mandi dan berpakaian, ia tidak boleh terlambat bertemu dengan pemilik ruko. Ditakutkan akan ada yang terlebih dahulu untuk membeli. Siapa cepat dia dapat. Ia akan bertemu sekitar jam 1 siang, selepas makan siang. Jika tidak terjadi kemacetan dipastikan Ayu akan sampai setengah jam lebih awal dari waktu yang dijanjikan.Ayu menunggu di salah satu warung depan ruko, mereka janji bertemu di tempat itu. Sambil menunggu ia memesan es teh manis dingin dan membuka ponselnya. Berselancar di dunia maya guna mengusir kebosanan. Selama ini dia jarang membuka media sosialnya dan ternyata teman-teman SMA nya dulu sudah banyak yang menikah."Sudah lama menunggu Bu Ayu?"Sap
"Apa? Ada yang membeli ruko bapak dengan harga yang lebih tinggi?"Netra Ayu membola mendengar suara di seberang, selalu begini setiap dia akan membeli ruko. Ini sudah yang ketiga kali, ia terduduk lesu di kursi teras kost Roma. Meski pemilik akan mentransfer uang Ayu kembali dan tentunya dengan dua kali lipat dari harga awal. Tetap saja membuat Ayu tidak suka dan mencurigai orang lain, tapi siapa?Entah siapa yang melakukan hal itu, tentunya ada orang lain yang tidak suka dengan Ayu. Selama ini Ayu merasa tidak memiliki musuh, lima tahun tinggal di desa ia selalu ramah dan tak pernah membenci orang lain. Ia juga tak pernah berbuat jahat, hidupnya selau lurus-lurus saja.Jika ruko yang pertama dan kedua gagal ia miliki, ia tidak ambil pusing dan tidak mempermasalahkan karena lokasi tidak strategis dan banyak yang perlu di renovasi. Untuk yang ketiga ia tidak terima, ia sudah membayar meski sebagian. Ruko itu juga sangat ia suka karena lokasinya berdekatan langsung dengan gedung perka