Share

2. Gadis Gila

Jiwa menggeleng, mencoba menjauh dengan menarik kakinya namun Fajar mencengkeram terlalu kuat. Jiwa tidak diizinkan untuk menjauh walau sejengkal. Gadis muda itu langsung menyesal karena sudah datang kemari. Fajar jauh lebih berbahaya dari dugaannya.

Fajar menunduk, mengusap wajah mulus Jiwa yang cantik. Wanita itu memejamkan mata ketakutan, dan lagi-lagi mengingatkan Fajar pada istrinya yang sudah lama meninggal.

"Kenapa sekarang terlihat takut?" Suara Fajar yang dalam juga tajam mengalun bagai petir di telinga Jiwa. "Bukannya ini yang kamu mau?"

Jiwa menggeleng, mulai menyesali pilihannya mendatangi Fajar. Tangannya berusaha mendorong Fajar menjauh namun tubuh keras itu sama sekali tidak bergerak.

"Kamu yang mau jadi pacar saya, mencium saya, lalu berteriak seperti perawan yang dilecehkan. Kamu menjatuhkan image saya sampai ke jurang."

Mengabsen kesalahan Jiwa seperti itu malah membuat si gadis semakin ketakutan. Perasaan menyesal di hatinya menebal. Jiwa mengumpat dalam hati karena sudah bertidak bodoh.

"I-ini semua ka-karena Gibran." Jiwa membuka mata perlahan. Mengerjap ketakutan beberapa kali. Fajar masih mempertahankan posisi, dalam jarak wajah sedekat ini mereka bisa meraskan hembusan napas masing-masing.

"Gibran?" ulang Fajar. Jiwa dengan cepat mengangguk, berharap dengan ini Fajar akan luluh. "Kenapa dengan Gibran?"

Jujur saja, suara Fajar terdengar sangat menggoda bagi Jiwa sampai membuat bulu kuduknya meremang.

Jiwa mencoba berpikir jernih, mulai menyusun kalimat yang akan dia luncurkan dari belah bibir sexy miliknya.

"Dia sekingkuhin aku," kata Jiwa. "Kami berpacaran tiga bulan dan dia dengan seenak jidat ninggalin aku sama pacar barunya."

Tangan kecil Jiwa mendorong bahu Fajar agar menjauh. Lelaki yang memang sedang fokus pada penjelasan Jiwa itu menurut. Kini mereka duduk bersebelahan dengan tubuh saling menghadap.

"Aku sakit hati, apalagi anak Bapak itu juga nge-bully aku di kampus. Bilang pada semua orang kalau aku payah dalam kissing, norak lah, nggak bisa dandan lah. Ya oke, aku emang nggak pernah dandan. Tapi bukan berarti nggak bisa, cuma lebih suka natural aja." Jiwa menghembuskan napas kesal. Meluapkan segala perasaan yang selama ini dia pendam.

Gibran si bangsat kurang ajar. Jiwa bertekad membalas perbuatan lelaki sinting itu.

Fajar masih mendengarkan, entah benar atau tidak dia masih ragu. Anak lelakinya memang bandel tapi tidak menyangka kalau akan menjadi seberandal ini.

Jiwa menunjuk wajahnya sendiri. "Bapak liat deh, apa aku nggak bisa dandan? Apa aku kurang cantik? Dan apa aku bukan good kisser?"

Fajar menjitak dahi Jiwa cukup keras. Pertanyaan macam apa yang sedang gadis itu lontarkan pada pria dewasa.

"Kalau gitu yang harus kamu datangi dengan dandanan seperti ini bukan saya tapi Gibran. Kamu salah alamat kalau ke saya. Sana pergi dan cium si Gibran. Buktikan saja kalau kamu good kisser," balas Fajar sembari mengibaskan tangan.

Tubuh tegap itu juga berdiri dan kembali mengenakan pakaiannya, bersiap keluar dan melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Kedatangan Jiwa ke sini sudah menambah masalah, sekarang Fajar yakin kalau semua orang di firma hukum ini pasti sudah heboh dengan rumor soal dirinya.

Jiwa juga turut berdiri, tidak bisa kalau solusi yang harus dia lakukan adalah pergi.

"Aku nggak mau pergi."

"Jadi, kamu maunya apa?" tanya Fajar sedikit frustasi. Menghadapi bocah seperti Jiwa bukanlah keahliannya. Anaknya saja dia serahkan pada ibunya agar bisa terdidik dengan benar.

"Jadi pacar aku, Pak."

"Siapa?"

"Bapak."

Fajar menggaruk pelipis dengan wajah meringis. Dia tidak berminat ituk campur dengan urusan anak muda labil seperti Jiwa dan Gibran. Tidak sama sekali.

Lagi pula, gila kalau sampai dia berpacaran dengan anak menjengkelkan di depannya ini.

"Habis pacaran sama anaknya terus sama bapaknya. Kamu pikir gimana persepsi orang?" tanya Fajar. Kedua tangannya mencengkeram pinggangnya sendiri.

Jiwa menggelengkan kepala. "Bapak mikirnya kejauhan. Pakek mikirin persepsi orang segala. Kita cuma akan pacaran satu hari."

Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Nggak, nggak, bukan sehari. Beberapa jam aja selama kita ke rumah Bapak dan ketemu sama Gibran. Habis itu selesai."

Kerutan dalam di dahi Fajar tercetak. "Kenapa harus ke rumah saya?"

"Biar Gibran tahu kalau kita pacaran," jawab Jiwa lebih santai. Sudah tidak takut lagi karena Fajar juga sudah tidak semenyeramkan tadi.

"Kamu mau jadiin bapaknya jadi ajang balas dendam? Iya?" sentak Fajar membuat Jiwa termundur. Bibir gadis itu meringis pelan karena kaki yang menabrak laci kecil di sebelah ranjang.

"Ya kan rumusnya buat mantan menyesal dengan cara temukan yang lebih baik." Jiwa meneliti penampilan Fajar keseluruhan. Tampan dan panas. "Kalau Bapak udah jelas jauh lebih baik dari Gibran."

Fajar menjauhkan tubuhnya, kali ini benar-benar langsung keluar. Dia butuh udara yang lebih banyak untuk masuk ke paru-parunya yang terasa sempit. Jiwa sungguh gila.

Bagaimana bisa dia menjadi pacar dari mantan anaknya sendiri? Harga dirinya tercoreng.

Selain itu dia hanya dimanfaatkan. Pantang bagi Fajar dirinya digunakan untuk kepuasan orang lain. Beda lagi ceritanya kalau dia sedang menangani kasus.

Jiwa berjalan mengikuti Fajar, tangannya bergerak membenarkan pakaiannya yang berantakan. Fajar mengambil tisu di atas meja, lalu mengelap bibirnya sendiri. Ia berdecak ketika melihat noda merah bekas lipstik.

"Ayo dong, Pak. Tolongin aku, lagian kan Bapak juga harus ngehukum Gibran karena sudah menyakiti hati cewek." Jiwa masih belum menyerah.

Fajar menarik napas dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Mencoba mencari ketenangan. Gibran memang anak nakal, batinnya.

"Kalau tidak mau saya tuntut sampai mendekam di penjara, mending kamu pergi sekarang."

Jiwa menyilangkan kedua tangan di depan dada, memiringkan wajah menatap Fajar yang sudah terlihat sangat kesal.

"Nggak ada salah apa-apa ya ngapain dituntut?"

"Nggak ada salah kamu bilang?" Fajar menaikkan sebelah alisnya. "Kamu mengganggu ketenangan saya. Mencium saya tanpa persetujuan dan juga mengatakan hal konyol yang tidak masuk akal. Membuat kamu di penjara itu bukan hal yang sulit bagi saya apalagi membuat kamu hilang dari peredaran."

Jiwa menegak seketika, ia melupakan fakta jika Fajar adalah pengacara yang memiliki koneksi kuat. Pasti mudah kalau mau membunuhnya dan menghilangkan jejak sekarang juga. Jiwa menelan ludah diam-diam. Mulai takut dengan ancaman yang diberikan.

"Tapi, Pak...."

Fajar mengangkat tangan, lalu mengibaskannya meminta Jiwa untuk segera pergi. Namun Jiwa adalah gadis keras kepala yang susah dikontrol.

"Saya hitung satu sampek tiga. Kalau nggak keluar saya pastikan besok kamu sudah tidak bisa hidup dengan damai."

"Bapak nggak bisa gitu, dong. Yang Bapak lakukan sekarang itu adalah ancaman. Sesuai dengan pasal 368 KUHP ayat 1, tertulis bahwa siapapun yang melakukan pengancaman dan pemerasan dapat dikenai hukuman pidana penjara paling lama sembilan tahun. Bapak mau mendekam di penjara?"

Fajar mengetatkan rahang. Kesal karena gadis di depannya ini sulit sekali diusir.

"Oh, atau kita dipenjara bareng aja kali, ya, Pak? Kan pasti Gibran nyamperin Bapak, tuh. Dia bisa juga lihat aku." Jiwa bertepuk tangan. Takjub dengan pemikirannya sendiri. "Gimana? Apa mau gitu aja?"

Fajar mendengus, kemudian maju beberapa langkah sampai berdiri di depan Jiwa. "Dasar sinting!"

Belum sempat Jiwa mengatakan sesuatu sebagai balasan, Fajar sudah menyeret gadis itu keluar. Lalu mengunci pintu ruangannya dari dalam.

"Pak, buka dong. Aku belum selesai ngomong," teriak Jiwa dengan keras, bahkan gadis itu juga menggedor-gedor pintu ruang kerjanya.

Fajar menghempaskan tubuh di kursi kerja. Tatapannya datar menyorot pintu yang masih belum tenang dari gedoran Jiwa. Fajar menekan salah satu tombol telepon di atas meja.

"Usir gadis gila itu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status