Share

3. Better Than His Son

"Kenapa asem gitu mukanya? Gagal, ya?"

Jiwa berdecak sebal, melirik Stella yang terkikik geli di sebelahnya. "Diem lo!"

Bukannya diam, Stella justru semakin terbahak. Gadis muda berambut ash blonde itu lalu menjalankan mobil, keluar dari halaman gedung firma hukum tempat Fajar bekerja. Wajah kesal Jiwa dan bibirnya yang terus menggerutu tentang Fajar dan Gibran yang sama berengseknya, menemani perjalanan dua gadis muda itu menuju rumah Stella.

"Percuma gue dandan menor sampek nyium tuh pengacara, hasilnya gagal total." Jiwa menghapus make up yang sejak tadi melekat di wajah ayunya.

Stella si gadis blonde kembali terbahak. Ia tahu betapa kesalnya Jiwa, tapi ceritanya yang lucu membuat Stella lebih memilih tertawa dari pada prihatin.

Sungguh teman yang laknat sekali.

"Nggak usah ketawa lo, nyetir yang bener," ujar Jiwa sembari melemparkan tisu ke arah Stella.

"Lagian kenapa masih kesel, sih? Sejak awal, kan, udah tahu kalau kemungkinan rencana ini sukses tuh cuma lima persen. Lima persen, Wa. Gue ulangi, lima persen doang." Stella menekankan kalimat terakhir. Mengingatkan Jiwa jika mereka sudah membicarakan hal ini sebelumnya.

Jiwa mendengkus, tahu dengan hal itu. Namun, tetap merasa kesal. Menghadapi Fajar tidak semudah yang sudah ia kira. Lelaki itu sulit, tapi, juga wajar mengingat profesinya yang seorang pengacara. Lelaki itu pasti sudah berpengalaman menghadapi berbagai macam orang.

"Tapi, gue penasaran sama satu hal," kata Stella sebelum menghentikan mobil karena lampu mereh. Gadis blonde itu menurunkan kaca mobil, menatap sepasang kekasih yang baru saja keluar dari Cafe.

"Apa?" tanya Jiwa sewot.

"Gimana rasanya ciuman sama bapaknya mantan?" tanya Stella sembari melempar senyum miring. Bibirnya bersiul dengan jari menunjuk ke arah Gibran yang sedang merangkul pacar barunya.

Jiwa ikut menoleh, lalu berdecih. Rasa kesal semakin berlipat-lipat datangnya.

"He's so much better than his son."

***

"Lo yakin gue pakek ini?" tanya Jiwa pada Stella yang sibuk memoles make up di wajahnya sendiri.

Jiwa menatap pantulan dirinya di cermin. Melihat keseluruhan penampilannya yang beda dari biasanya. Hari ini dia merasa sedang cosplay menjadi orang lain. Pakaian, make up, dan perhiasan mahal yang menempel di tubuhnya membuat nilai diri Jiwa semakin tinggi.

"Kenapa? Lo cantik, kok."

"Punggung gue bolong, La." Jiwa memutar tubuh, melihat pantulan dirinya yang backless. Panjang gaun hitam yang dia kenakan sampai mata kaki dengan bentuk marmaid.

Rambut hitamnya di kuncir ponytail, membuat leher jenjang dan pundaknya yang cantik terekspos jelas.

"Nggak apa-apa, kita udah dua puluh satu tahun. Waktunya keluar dari zona nyaman, lagian siapa tahu nanti ada yang naksir sama kita," sahut Stelle santai.

"Siapa tahu, ya, kan?" ulang Jiwa mengikuti Stella.

"Oke, gue done." Stella berdiri, lalu menyemprotkan parfum mawar ke tubuhnya dan tubuh Jiwa. Keduanya lalu saling merangkul dan berpose di depan cermin.

Kedua gadis dua puluh satu tahun itu mengenakan dress yang sama, hanya beda warna dan gaya rambut. Terlihat seperti saudara kembar alih-alih sahabat.

Setelah mengambil beberapa foto dan video untuk diupload di akun sosial media, keduanya melangkah keluar. Berjalan menuruni tangga dengan sangat anggun dan menarik perhatian. Acara anniversary pernikahan orang tua Stella akan segera di mulai.

"Kalian kok lama banget, sih. Ayo sini maju ke depan, acaranya sudah mau mulai," ujar Tiara, mama Stella yang malam ini menjadi karakter utama.

"Namanya cewek, Ma. Perlu dandan," sahut Stella. Ia menarik tangan Jiwa untuk ikut bersamanya menuruti Tiara.

Jiwa berjalan cepat mengimbangi Stella dan Tiara. Ia sadar kalau mereka sejak tadi banyak yang memperhatikan. Tidak, mungkin hanya Stella dan Tiara saja yang dilihat semua orang. Karena mereka lah yang menjadi tuan rumah.

Jiwa hanya beruntung karena berteman dengan Stella, anak tunggal kaya raya yang baik hati. Berkat itu, dia bisa menginjakkan kaki ke sini dan mengenakan pakaian mewah. Stella juga yang tadi pagi membantu dirinya agar terlihat menarik di mata Fajar.

Bahkan Stella repot-repot mencari info tentang istri Fajar sampai caranya berpakaian. Hanya agar Fajar bisa melihat sosok istrinya yang sudah meninggal di dalam dirinya.

"Ayo kita foto bertiga dulu sebelum acara di mulai," kata Tiara mengeluarkan ponsel. Meminta sang suami untuk menjadi tukang foto dadakan. Wanita yang hampir setengah abad hidup itu berdiri di tengah, menarik Stella dan Jiwa untuk berdiri di masing-masing sisinya.

"Enaknya nggak ada anak laki-laki, ya, begini. Papa jadi ganteng sendiri."

Ketiga wanita itu terkekeh menanggapi gurauan dari sang tuan besar Tjahya. Jiwa mengedarkan pandangan, ingin melihat siapa-siapa saja yang hadir di acara mewah ini.

Jiwa memekik pelan dan tanpa sadar mundur selangkah. Melihat itu Stella jadi mengikuti arah pandang Jiwa.

Fajar Abhicandra. Duda keren dan panas itu baru saja memasuki ruang tamu keluarga Stella yang luas dan mewah. Tatapan tajam si lelaki bertabrakan dengan netra Jiwa yang gugup.

"Kok dia ada di sini, sih." Jiwa memegangi tangan Stella. Menolehkan kepala dan menemukan raut wajah gadis blonde itu yang tenang. Seolah sudah tahu. "Lo tahu dia bakalan ada di sini?"

Stella meringis, menunjukkan deretan giginya yang rapi dengan kikuk. "Dia salah satu temen bapak gue."

"Shit!"

Sekarang semuanya terasa wajar kalau Stella bisa mendapatkan informasi tentang Fajar sampai detail. Bahkan tahu rupa dan gaya berpakaian istri lelaki itu yang sudah meninggal. Stella pasti mengetahuinya dari orang tuanya sendiri.

Jiwa berdecih. Konspirasi macam apa lagi yang Stella sembunyikan.

"Jangan gitu, ini kesempatan bagus buat lo. Tadi, kan, gagal. Siapa tahu kali ini berhasil," bisik Stella pelan. Tak ingin kedua orang tuanya mendengar apa yang dia ucapkan.

"Heh, nyet. Tadi aja yang di tempat tertutup gue udah malu kena tolak. Apalagi kalau kena tolak di tempat rame kayak gini?" sewot Jiwa. Ia tak mengerti dengan cara berpikir Stella yang menyesatkan dirinya.

"Selamat atas peringatan pernikahan kalian, semoga langgeng terus."

Suara Fajar yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya membuat Jiwa tersentak kaget. Lagi-lagi dia melangkah mundur tanpa sadar, namun dengan cepat Stella menariknya kembali.

"Jangan goyah, hajar terus. Inget ini kesempatan emas, dia punya reputasi yang bagus. Nggak mungkin ngomong kasar apalagi nyeret lo keluar kalau rame kayak gini situasinya," bisik Stella kembali meyakinkan Jiwa.

Jiwa melirik Fajar yang sedang berbincang dengan orang tua Stella. Gadis muda itu lalu menegakkan tubuh, memasang postur sempurna agar terlihat sangat percaya diri. Stella tersenyum puas melihat Jiwa yang sudah siap mendekati Fajar.

Fajar melirik Jiwa sekilas, tahu gadis itu sedang menatapnya membuat Fajar jadi merasa tak nyaman. Apalagi ketika gadis itu berniat menghampiri. Fajar buru-buru berpamitan.

"Kalau gitu saya permisi, Al. Mau menyapa yang lain dulu," pamit Fajar pada Aldi Tjahya.

Jiwa yang mendengar itu langsung mematung, matanya mengikuti Fajar yang menjauh dari mereka. Stella menyenggol lengannya, memberi kode dengan dagu agar mengikuti.

Dengan segala keberanian yang sudah terkumpul, Jiwa memantapkan hati untuk mengikuti Fajar. Gadis muda itu berjalan sedikit cepat karena langkah lebar Fajar membuat mereka semakin jauh. Ia harus menyusul lelaki itu dengan segera.

Namun, langkah kaki Jiwa berhenti ketika Fajar mencium pipi seorang wanita. Jiwa tertegun dengan apa yang baru saja dia lihat. Apakah Fajar sudah memiliki kekasih? Karena itu dirinya ditolak?

Hell? Iya, kah?

Fajar yang menyadari keberadaan Jiwa berbalik. Tangannya terselip di belakang pinggang ramping Cecilia. Wanita cantik yang sengaja ia ajak kemari sebagai teman.

"Ada perlu apa?" tanya Fajar sembari menyeringai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status