Share

Menjadi Istri Mantan Calon Mertua
Menjadi Istri Mantan Calon Mertua
Author: Liliay

1. Pelecehan

Author: Liliay
last update Last Updated: 2022-07-28 13:05:11

Candhra and partners.

Jiwa melihat nama firma hukum yang menempel indah di atas gedung tinggi di depannya. Bibirnya menyeringai tipis dibarengi dengan kilatan mata yang membara. Kemudian melangkahkan kaki dengan yakin dan penuh percaya diri.

Memakai dress sexy bertali spageti merah menyala dengan make up bold, juga perhiasan mahal membuat seluruh mata menyorot Jiwa. Ketukan high heels yang dipakai mantap penuh perhitungan. Wajahnya lurus menatap angkuh semua yang berada dalam jarak pandangnya.

"Bilang pada Fajar Abhicandra kalau ada wanita yang datang ingin bertemu," ujar Jiwa pada resepsionis. "Katakan ini ada hubungannya dengan putra kesayangannya."

Tak membutuhkan waktu lama, si wanita yang berdiri di balik meja tinggi sebatas dada itu langsung menghubungi lelaki yang dicari. Lalu mempersilahkan Jiwa untuk naik ke atas, tempat di mana Fajar berada.

"Langsung saja, siapa dan ada perlu apa?"

Fajar Abichandra, pengacara terkenal yang sudah dikenali hampir seluruh masyarakat Indonesia. Berkat kasus yang ditangani, Fajar selalu tersorot media. Membuat namanya masuk dalam jajaran pengacara paling berpengaruh.

Saat ini, lelaki dengan wajah tegas dan dingin itu menatap lurus Jiwa. Wanita yang mengaku memiliki kepentingan dengan seorang Fajar. Lelaki itu menyatukan kedua tangan di depan wajah dengan siku menpempel pada meja kaca. Auranya menguar dengan tajam, namun tak berhasil membuat Jiwa terpengaruh.

"Namaku Jiwa, aku menyukai Anda." Jiwa masih terlihat santai dan percaya diri, padahal dalam hati sudah meramalkan doa agar dia tidak diusir. Mending kalau diusir, kalau dia justru dimasukkan ke dalam penjara bagaimana? Hancur sudah semua rencana yang sudah dia susun.

"Sinting!" komentar Fajar. Jelas, semua pria yang berada di posisinya juga akan mengatakan hal yang sama.

Jiwa yang terlihat sangat cantik dan dewasa ini jelas hanya cover semata. Fajar sudah hidup cukup lama, berpengalaman menghadapi berbagai macam jenis manusia. Dia tahu kalau Jiwa adalah seorang gadis muda, bukan wanita dewasa seperti kelihatannya.

Meski nampak percaya diri tapi mata manusia tidak pernah bisa berbohong. Dua bola indah itu menunjukkan bagaimana perasaan wanita bernama Jiwa yang sebenarnya.

"Saya tidak suka main-main dengan anak kecil. Silahkan pergi, maka, saya akan memaafkan."

Fajar meluruskan tangan menunjuk pintu, mempersilahkan orang asing di depannya itu untuk pergi. Bermain-main saat harus menyelidiki kasus yang rumit bukan lah hal yang menyenangkan. Fajar tidak suka membuang waktu dengan sia-sia.

Begitu pun dengan Jiwa. Jelas dia tidak ingin kedatangannya ke kandang singa ini menjadi sia-sia. Jiwa harus mendapatkan apa yang dia mau.

"Aku benar-benar menyukai Anda," kata Jiwa masih tidak ingin menyerah. Ia mendekat pada meja kerja Fajar yang luas dan panjang.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Fajar masih mencoba bersikap sabar. "Kamu bilang kedatanganmu ke sini ada hubungannya dengan anakku."

Sesuai rumor yang beredar, Fajar Abichandra memang lebih tampan jika dilihat dari langsung. Tidak ada keriput sama sekali di wajahnya yang putih. Hidungnya mancung dengan bibir tipis yang menawan. Rahangnya? Jiwa rasanya ingin menggenggam erat rahang si lelaki karena begitu mirip dengan milik Gibran.

Jiwa merutuk dalam hati. Jelas kalau mereka berdua memiliki kemiripan. Gibran adalah putra Fajar sekaligus mantan pacarnya yang menyebalkan.

Jiwa menggigit bibir dalamnya. Tiba-tiba sudah lupa dengan semua kalimat yang sudah ia susun sebelumnya bersama Stella.

"Karena aku ingin menjadi pacar Anda," kata Jiwa setelah mendapat seluruh ingatannya akan rencana yang sudah ia susun.

Fajar menaikkan sebelah alisnya. Dia benar-benar tidak suka bercanda. Sebagai seorang pengacara dia memiliki daya ingat yang bagus. Dan Jiwa sama sekali tidak masuk dalam memorinya, yang mana artinya adalah Fajar tidak pernah melihat wanita itu sebelumnya.

"Kamu mengabaikan semua pertanyaan saya, mengatakan hal yang sangat bodoh dan tidak masuk akal." Fajar mengendurkan dasinya yang sejak tadi terasa mencekik. "Sekali lagi, selagi saya masih mengatakan semuanya dengan baik-baik. Silahkan keluar."

Lelaki berkemeja putih itu tidak tahu apa tujuan Jiwa kemari. Walau begitu satu hal yang dia yakini, Jiwa pasti mengenal Gibran. Kalau tidak, mana mungkin gadis muda sepertinya berani datang menggunakan nama anaknya.

Gadis itu benar-benar tidak bisa keluar begitu saja. Rencananya harus berhasil, kalau tidak dia akan kehilangan muka. Usahanya untuk sampai di sini juga akan sia-sia. Maka, dengan keberanian yang ada. Jiwa menjatuhkan bokongnya di atas meja kerja Fajar. Setengah berbalik menatap sang lelaki dengan tubuh hampir jatuh sempurna ke atas meja.

Lengan kanannya menumpu tubuhnya, ia membentuk ekspresi wajah yang menurutnya sexy. Di titik ini, Fajar tercengang.

Ia tidak mempedulikan berkas yang diduduki Jiwa atau pekerjaannya yang tertunda. Fajar meneguk ludah, memori di kepalanya memutar wajah istri yang sudah meninggal. Bergantian dengan wajah Jiwa saat ini.

Dilihat sedekat ini Jiwa sangat mirip dengan istrinya. Bukan dari wajah, tapi aura dan juga cara menatap Jiwa. Fajar melengos, tidak ingin kehilangan kendali karena perasaan yang tiba-tiba menjadi emosional.

Sementara Jiwa tersenyum menang, berpikir kalau Fajar sedang tergoda dengannya dan akan luluh.

"Aku bukan wanita biasa, kan? Aku sangat menarik." Jiwa mengusap lembut pundak tegap Fajar, membuat si lelaki menahan napas. Alhasil, Jiwa terkikik geli karena merasa menang. "Jadi, bagaimana kalau kita pacaran? Bawa aku ke rumah Anda dan mari bersenang-senang."

Jalang.

Satu kata yang pantas menggambarkan seorang Jiwa saat ini. Semua orang sudah pasti sepakat dengan sebutan itu kalau melihat bagaimana posisi dirinya.

Fajar memejamkan mata, mencoba meraih kesadarannya kembali. Ia tidak boleh terjerat permainan Jiwa. Pengacara dengan perawakan layaknya pria usia dua puluhan itu berdecih pelan dengan tangan mendorong wajah Jiwa menjauh.

"Turun. Kamu nggak sopan kayak gini. Saya akan panggil keamanan," kata Fajar ketus dengan tangan yang sudah siap mengangkat gagang telepon.

Jiwa mendelik, spontan merebut telepon dan menjauhkannya dari Fajar. Gadis muda yang berani itu turun dari meja dengan wajah kesal. Sebal bukan main karena Fajar sangat sulit untuk ditaklukkan.

"Anda nggak boleh panggil keamanan," tegas Jiwa. Wanita itu lalu memutari meja Fajar, menghampiri lelaki itu dengan tatapan sengit. Kini, Jiwa sudah berdiri dengan kepala mendongak menatap Fajar yang sudah berdiri. Tangannya terkepal membulatkan tekad.

Jiwa menurunkan satu tali spageti yang bergantung pada bahunya. Mengacak rambut hitam sebahunya sampai berantakan. Lalu berjinjit, mengecup bibir Fajar yang diam membeku.

Lelaki itu blank, bingung dengan apa yang terjadi. Ketika dia ingin mendorong Jiwa menjauh, gadis itu justru menciumnya dengan kasar. Melesak masuk pada belah bibir Fajar, menarik kuat lidahnya dan menjilat dengan agresif. Jiwa mencengkeram kuat rahang tegas si pengacara, bibirnya semakin bergerak dengan liar sampai Fajar kewalahan untuk mengimbangi.

Setelah merasa cukup, Jiwa menarik diri. Tersenyum puas melihat bekas lipstik menempel pada bibir manis Fajar Abichandra.

"Anda akan menyesal karena sudah menolak aku."

Jiwa berjalan cepat keluar ruangan Fajar. Lelaki itu tidak mengatakan apapun, masih sangat terkejut. Kemudian dia tersadar dengan teriakan heboh dan keras dari luar ruangan.

"Tolong! Tolong, saya dilecehkan," teriak Jiwa dengan histeris. Menimbulkan kekacauan luar biasa di lantai lima belas itu. Manusia di sana yang semula sibuk dengan pekerjaan menjadi fokus pada Jiwa.

"Tolongin saya," ucap Jiwa lirih sembari menangis. "Pak Fajar melecehkan saya, saya merasa direndahkan," teriaknya lagi.

"Padahal ini adalah kantor hukum, tempat pembela kebenaran bagi para korban. Kenapa pelecehan bisa dilakukan di sini?" teriak Jiwa dengan histeris.

Fajar keluar dari ruangannya dengan raut wajah keruh. Membuat orang-orang yang semula mendekati Jiwa melangkah mundur. Bisik-bisik mulai terdengar ketika semua orang menyadari bekas lipstik di bibir Fajar.

Penampilan pengacara senior yang selalu rapi itu kini juga kusut berantakan. Memperkuat pernyataan Jiwa jika dirinya baru saja dilecehkan.

Fajar mengabaikan pandangan semua orang. Dia menarik kasar Jiwa yang masih menangis, berteriak minta tolong, dan juga menyumpahi dirinya karena telah melecehkan.

"Saya akan menyebarkan pelecehan yang saya alami ini ke publik, biar masyarakat tahu sekalian gimana busuknya pengacara terkenal ini," teriak Jiwa sebelum akhirnya dia tenggelam di balik pintu ruang kerja Fajar.

Lelaki itu tampak sangat marah. Jiwa bukan hanya kurang ajar, tapi juga jahat karena sudah melakukan fitnah pada dirinya. Padahal yang patut dibilang sebagai korban pelecehan adalah Fajar. Gadis itu yang mencium duluan, bukan Fajar.

Jiwa tersenyum meski merasakan sakit di pergelangan tangan. Tubuhnya masih terseret karena Fajar dengan cepat berjalan membawanya menuju sudut ruangan.

"Gimana? Masih menolak menjadi pacar aku? Kalau kita pacaran orang lain nggak akan berpikir kalau Anda melecehkan aku."

Fajar berdecih, membuka satu pintu yang menuju ruangan sempit. Ada sofa panjang, ranjang, dan juga televisi di sana. Karena ini adalah tempat saat Fajar ingin beristirahat sendirian tanpa gangguan.

Lelaki itu melempar tubuh Jiwa ke atas ranjang dengan kasar. Menimbukan suara pekikan dari Jiwa yang terkejut. Gadis itu sudah ingin marah, tapi kembali menelan kata-katanya. Wajah Fajar menggelap dengan rahang mengetat, gigi lelaki itu bergemelatuk marah.

Jiwa menelan ludah. Apa dia terlalu berlebihan menggoda seekor singa?

"Ma-mau a-apa?" Jiwa bertanya dengan takut saat Fajar melepas kancing kemejanya. Tubuh atletis lelaki itu terlihat sangat panas, kulit mulus tanpa noda sedikit pun itu seakan memanggil Jiwa untuk mengelus.

Padahal Fajar sudah memasuki usia kepala empat, tapi tubuhnya yang tegap dan berotot itu membuat Fajar terlihat jauh lebih muda. Jiwa yakin sekali kalau duda keren ini pasti masih menjadi pujaan wanita cantik.

Jiwa menggelengkan kepala, mengenyahkan pikiran kotor di kepalanya. Lagi-lagi ia memekik terkejut saat Fajar menarik kedua kakinya. Membuat bagian bawahnya menempel dengan paha Fajar.

"Ayo saya tunjukkan apa itu pelecehan yang sebenarnya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   25. Kissing

    Meski terbesit rasa ragu dalam dirinya, Fajar memilih untuk tidak membuang kesempatan ini. Ada wanita muda yang dengan rela mempersilakan dirinya untuk dinikmati olehnya, mana mungkin Fajar menolak. Terlebih lagi mereka sudah menikah sekarang. Maka dengan kesadaran penuh, tangan Fajar mulai merangkak naik menyentuh leher Jiwa. Ibu jarinya bergerak meraih dagu si wanita agar mendongak. "Tutup matamu sekarang." Jiwa meneguk ludah sebelum menutup mata. Detik berikutnya ia bisa merasakan tekstur kenyal dan hangat menempel pada bibirnya. Itu adalah bibir milik Fajar. Jiwa sadar dirinya lah yang memprovokasi dan memberikan ijin, tapi kini malah dia yang tidak bisa mengendalikan jantungnya. Terlebih ketika Fajar mulai menyesap bibir bawahnya, memberikan isapan kuat dan menggigit kecil, meminta Jiwa untuk membuka mulutnya. Memberikan ruang pada Fajar untuk melesak masuk, mengeksplor setiap inci mulut basah dan hangat milik Jiwa. Sungguh, ini adalah pertama kalinya bagi Jiwa merasakan c

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   24. Pria yang bertanggung jawab

    "Aw!" pekik Fajar ketika merasa kakinya di tendang. "Sakit.""Salah siapa mesum?" sewot Jiwa. Kedua tangannya masih menahan gaun pengantin yang ia kenakan agar tidak melorot. "Sana keluar. Aku mau mandi!" Fajar berdecak. "Nggak usah kamu suruh juga saya mau keluar," kata Fajar sambil mengusap kakinya yang masih sakit. Tidak ia sangka kalau gadis sekecil Jiwa memiliki kekuatan yang lumayan. Begitu Fajar sudah keluar dari kamar mandi, Jiwa langsung menghela napas lega. Ia berbalik menghadap cermin, membiarkan gaunnya jatuh ke lantai begitu saja. Jiwa menatap wajahnya dalam diam. Sekarang ia benar-benar sudah menjadi istri orang dan seharunya sudah siap dengan hubungan orang dewasa. Namun, Fajar yang berubah-ubah terus membuatnya kebingungan. "Dia itu sebenarnya benci aku apa engga, sih," gumam Jiwa. .Masih beberapa menit yang lalu Fajar terlihat tidak tertarik dengan dirinya, tapi mengapa baru saja Fajar menggodanya?Apa karena iseng? Ah, Jiwa tidak tahu. Lebih baik dia mendinginka

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   23. Macam-macam

    “Haduh, capek banget,” keluh Jiwa begitu sudah memasuki kamar hotel yang telah disiapkan oleh Nana. Dia berniat untuk langsung tidur karena terlalu lelah tapi baru saja masuk satu langkah ke dalam kamar, Jiwa terdiam dengan wajah melongo. Terkejut melihat dekorasi kamar mewah yang romantis. Sangat romantis malah.Taburan bunga mawar merah berbentuk hati terpampang nyata di atas ranjang. Aroma lilin yang wangi dan menenangkan memasuki indra penciuman Jiwa. Gadis itu mengerjapkan mata tak percaya. Ia melangkah masuk lebih ke dalam, semakin takjub ketika melihat hidangan makan malam di balkon. “Wah, aku nggak ngebayangin kalau bakalan jadi kayak gini kamarnya.”Fajar yang baru saja memasuki kamar sama sekali tidak terkejut. Wajahnya hanya datar menatap seluruh kamar yang didekorasi layaknya ruangan khusus yang sangat roamntis dan intim untuk pengantin baru. Ia sudah menduga kalau Mamanya akan melakukan hal seperti ini. Walau begitu Fajar tetap saja tidak menyangka kalau dekorasinya akan

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   22. Bukan Mimpi

    Jiwa menjatuhkan pandangannya pada jari manis yang sudah terisi cincin. Rasanya masih tidak menyangka bahwa sekarang dia sudah menikah dengan Fajar, Papa dari mantan pacarnya sendiri. Meski begitu rasa bahagia tetap menyeruak masuk dalam hatinya. Ia senang karena sekarang bisa bebas dari keluarganya yang toxic. "Hai." Jiwa mendongak ketika mendengar suara merdu yang menyapa. Cecilia dengan gaun berwarna putih datang menghampiri Jiwa yang duduk sendirian di pelaminan. Membuat si pengantin wanita tersenyum sinis. 'Kentara sekali kalau sedang cemburu' batin Jiwa. Wanita yang sudah menyandang status sebagai istri Fajar itu tidak bodoh. Dia tahu kalau Cecilia sengaja ingin menarik perhatian juga, mungkin mau menunjukkan pada Jiwa kalau dia juga menarik. Tapi sayangnya Jiwa justru kasihan dengan Cecilia. "Anaknya Tante, ya?" Jiwa menunjuk satu anak perempuan yang digandeng Cecilia. "Iya." "Cantik. Mana papanya?" tanya Jiwa kurang ajar. Sengaja agar membuat Cecilia semakin kesal denga

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   21. Whatever, Dude.

    Jiwa tersenyum tipis ketika Fajar menarik kursi untuknya. Ucapan terima kasih keluar diiringi senyum yang dia buat semanis mungkin. Dan Fajar hanya melihat sekilas sebelum menjatuhkan bokongnya di kursi depan Jiwa. Keduanya memutuskan untuk makan malam di restoran cepat saji MickyD. Yang mana sama sekali tidak ada romantis-romantisnya seperti yang Jiwa katakan pada Cecilia. Tapi sebenarnya sih Jiwa tak masalah. Karena dia juga tidak berharap Fajar yang cuek menjadi sangat romantis. Jiwa membuka mulutnya, ingin berbicara, tapi langsung mengatupkan bibir kembali ketika melihat Fajar membalas pesan. "Mau makan sama calon istri kok masih sempet balesin chat," gerutu Jiwa. Tak menyembunyikan kekesalannya. Sengaja. Agar Fajar tak lagi fokus pada benda pipih di tangan dan mengabaikannya. "Kan belum sampai," balas Fajar membela diri. Namun, sedetik setelah Fajar mengatakannya datang seorang pramusaji yang membawa satu nampan berisi pesanan mereka berdua. Fajar pun langsung memasukkan pons

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   20. Kesalnya Jiwa

    Jiwa yang sedang berbaring dengan tenang di ranjang jadi menegakkan tubuhnya ketika mendengar suara Fajar. Wanita itu langsung mendekati pintu, menempelkan telinganya agar bisa mendengar pembicaraan macam apa yang sedang dilakukan calon suaminya. "Sial, itu Cecilia," gerutu Jiwa kesal. Ia menegakkan tubuhnya. "Padahal Fajar sudah bilang akan menikah tapi dia masih aja." Sebelum ini Jiwa sangat yakin kalau dirinya bukan tipe wanita pecemburu, tapi entah kenapa sekarang rasanya kesal mengetahui hubungan Cecilia dan Fajar yang ternyata lebih dari teman. Sekarang Jiwa harus apa? Semakin dia mendengar suara Cecilia semakin meluap rasa kesalnya. Jiwa mengangkat ponselnya, melihat pantulan wajahnya yang masih segar dan manis. Jiwa juga menunduk merapikan pakaiannya agar tidak terkesan wanita berantakan. Lalu, dengan pelan dia membuka pintu. Bersandar dengan keren sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Wow, keras kepala sekali tante yang satu ini," cibirnya. Kalimatnya memuat J

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   19. Keras Kepala

    Jiwa berdiri di depan meja kerja Fajar, kedua tangannya saling bertaut di belakang tubuh dengan tatapan lurus memperhatikan sang calon suami. Garis senyum manis di wajah Jiwa masih belum menghilang sejak ia diperbolehkan Fajar ikut dengannya. Padahal andai tadi ditolak pun Jiwa tidak masalah. "Apa Bapak akan lama?" Jiwa berjalan semakin dekat, menumpukan kedua tangan di atas meja kerja Fajar. "Saya nggak nyangka bakalan berada di rungan ini lagi tanpa pengusiran." Wanita muda itu terkikik, teringat dengan hal konyol yang sempat ia lakukan. Sementara Fajar mendengus dan berdiri dari kursinya. Di tangan kanannya sudah ada berkas yang sejak tadi ia cari. "Kamu tunggu di sini, saya nggak akan lama." Jiwa mengangguk dan menunjukkan ibu jarinya sebagai tanda menurut. "Oke, semangat kerjanya ya, Fajar," goda Jiwa, sengaja menyebut nama pria itu. Sedangkan yang digoda hanya diam dengan wajah datar dan tatapan lurus seolah ingin mencabik tubuh Jiwa. Namun tak berselang lama, karena detik

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   18. Ikut Calon Suami

    "Pria memang lebih mempesona ketika sedang menyetir," ucap Jiwa penuh kekaguman. Sejak memasuki mobil mewah keluaran Inggris milik Fajar, Jiwa tak berhenti mengutarakan kalimat pujian. "Bapak selalu buat aku kagum dan terpesona." Fajar melirik sekilas lalu menghela napas remeh. "Nggak pegel dari tadi kayak gitu terus?" Bukannya menatap jalanan di luar sana, Jiwa justru sedikit memutar tubuh untuk menatap Fajar dengan mata berbinar. Persis seperti anak kecil yang mendapatkan permen manis. Namun, itu justru membuat Fajar merasa risih sampai rasanya ingin mengantar Jiwa pulang saja. "Pegel mah bukan apa-apa, yang penting bisa lihat wajah ganteng Bapak." Jiwa memperbaiki posisi duduknya menjadi tegak. "Dulu aku pikir Gibran cowok paling ganteng tiada tanding, tapi ternyata Bapaknya juauuuuuh lebih menggetarkan hati." Jiwa menyentuh dadanya dengan kedua tangan, bersandar dengan lemas seolah baru saja mengalami serangan jantung. Ia pikir kalau saja Fajar tidak menjadi pengacara, pr

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   17. So Hot

    Jiwa menarik tangannya dan mundur dua langkah. Matanya berpaling, berusaha menghindari tatapan Fajar yang begitu dalam dan serius. Jiwa bisa merasakan betapa kerasnya jantung Fajar berdetak. Dan ia jadi merasa gugup mengetahui itu. "Namanya orang hidup ya pasti jantungnya akan berdebar. Bapak ini bagaimana, sih," ketus Jiwa, berusaha tak terlihat terpengaruh dengan apa yang dilakukan Fajar. "Ini sudah malam, aku mau pulang." Setelah mengatakan itu, Jiwa melewati Fajar dan keluar dari kamar dengan tergesa-gesa. Selalu seperti ini. Entah kenapa, Fajar selalu berhasil membuat jantungnya seperti hampir meledak. Laki-laki itu selalu mengatakan sesuatu yang tak terduga. "Gue nih orangnya lemah, gitu aja udah baper," gerutu Jiwa kesal. Ia menuruni tangga dengan tergesa-gesa seakan sedang dikejar sesuatu. "Jiwa, sudah mau pulang?" Suara Nana yang bertanya menghentikan langkah kaki wanita dua puluh satu tahun itu. Nana yang memang sengaja sedang menunggu Jiwa berdiri dari sofa ruang tenga

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status