Share

Menjadi Istri Mantan Calon Mertua
Menjadi Istri Mantan Calon Mertua
Penulis: Liliay

1. Pelecehan

Candhra and partners.

Jiwa melihat nama firma hukum yang menempel indah di atas gedung tinggi di depannya. Bibirnya menyeringai tipis dibarengi dengan kilatan mata yang membara. Kemudian melangkahkan kaki dengan yakin dan penuh percaya diri.

Memakai dress sexy bertali spageti merah menyala dengan make up bold, juga perhiasan mahal membuat seluruh mata menyorot Jiwa. Ketukan high heels yang dipakai mantap penuh perhitungan. Wajahnya lurus menatap angkuh semua yang berada dalam jarak pandangnya.

"Bilang pada Fajar Abhicandra kalau ada wanita yang datang ingin bertemu," ujar Jiwa pada resepsionis. "Katakan ini ada hubungannya dengan putra kesayangannya."

Tak membutuhkan waktu lama, si wanita yang berdiri di balik meja tinggi sebatas dada itu langsung menghubungi lelaki yang dicari. Lalu mempersilahkan Jiwa untuk naik ke atas, tempat di mana Fajar berada.

"Langsung saja, siapa dan ada perlu apa?"

Fajar Abichandra, pengacara terkenal yang sudah dikenali hampir seluruh masyarakat Indonesia. Berkat kasus yang ditangani, Fajar selalu tersorot media. Membuat namanya masuk dalam jajaran pengacara paling berpengaruh.

Saat ini, lelaki dengan wajah tegas dan dingin itu menatap lurus Jiwa. Wanita yang mengaku memiliki kepentingan dengan seorang Fajar. Lelaki itu menyatukan kedua tangan di depan wajah dengan siku menpempel pada meja kaca. Auranya menguar dengan tajam, namun tak berhasil membuat Jiwa terpengaruh.

"Namaku Jiwa, aku menyukai Anda." Jiwa masih terlihat santai dan percaya diri, padahal dalam hati sudah meramalkan doa agar dia tidak diusir. Mending kalau diusir, kalau dia justru dimasukkan ke dalam penjara bagaimana? Hancur sudah semua rencana yang sudah dia susun.

"Sinting!" komentar Fajar. Jelas, semua pria yang berada di posisinya juga akan mengatakan hal yang sama.

Jiwa yang terlihat sangat cantik dan dewasa ini jelas hanya cover semata. Fajar sudah hidup cukup lama, berpengalaman menghadapi berbagai macam jenis manusia. Dia tahu kalau Jiwa adalah seorang gadis muda, bukan wanita dewasa seperti kelihatannya.

Meski nampak percaya diri tapi mata manusia tidak pernah bisa berbohong. Dua bola indah itu menunjukkan bagaimana perasaan wanita bernama Jiwa yang sebenarnya.

"Saya tidak suka main-main dengan anak kecil. Silahkan pergi, maka, saya akan memaafkan."

Fajar meluruskan tangan menunjuk pintu, mempersilahkan orang asing di depannya itu untuk pergi. Bermain-main saat harus menyelidiki kasus yang rumit bukan lah hal yang menyenangkan. Fajar tidak suka membuang waktu dengan sia-sia.

Begitu pun dengan Jiwa. Jelas dia tidak ingin kedatangannya ke kandang singa ini menjadi sia-sia. Jiwa harus mendapatkan apa yang dia mau.

"Aku benar-benar menyukai Anda," kata Jiwa masih tidak ingin menyerah. Ia mendekat pada meja kerja Fajar yang luas dan panjang.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Fajar masih mencoba bersikap sabar. "Kamu bilang kedatanganmu ke sini ada hubungannya dengan anakku."

Sesuai rumor yang beredar, Fajar Abichandra memang lebih tampan jika dilihat dari langsung. Tidak ada keriput sama sekali di wajahnya yang putih. Hidungnya mancung dengan bibir tipis yang menawan. Rahangnya? Jiwa rasanya ingin menggenggam erat rahang si lelaki karena begitu mirip dengan milik Gibran.

Jiwa merutuk dalam hati. Jelas kalau mereka berdua memiliki kemiripan. Gibran adalah putra Fajar sekaligus mantan pacarnya yang menyebalkan.

Jiwa menggigit bibir dalamnya. Tiba-tiba sudah lupa dengan semua kalimat yang sudah ia susun sebelumnya bersama Stella.

"Karena aku ingin menjadi pacar Anda," kata Jiwa setelah mendapat seluruh ingatannya akan rencana yang sudah ia susun.

Fajar menaikkan sebelah alisnya. Dia benar-benar tidak suka bercanda. Sebagai seorang pengacara dia memiliki daya ingat yang bagus. Dan Jiwa sama sekali tidak masuk dalam memorinya, yang mana artinya adalah Fajar tidak pernah melihat wanita itu sebelumnya.

"Kamu mengabaikan semua pertanyaan saya, mengatakan hal yang sangat bodoh dan tidak masuk akal." Fajar mengendurkan dasinya yang sejak tadi terasa mencekik. "Sekali lagi, selagi saya masih mengatakan semuanya dengan baik-baik. Silahkan keluar."

Lelaki berkemeja putih itu tidak tahu apa tujuan Jiwa kemari. Walau begitu satu hal yang dia yakini, Jiwa pasti mengenal Gibran. Kalau tidak, mana mungkin gadis muda sepertinya berani datang menggunakan nama anaknya.

Gadis itu benar-benar tidak bisa keluar begitu saja. Rencananya harus berhasil, kalau tidak dia akan kehilangan muka. Usahanya untuk sampai di sini juga akan sia-sia. Maka, dengan keberanian yang ada. Jiwa menjatuhkan bokongnya di atas meja kerja Fajar. Setengah berbalik menatap sang lelaki dengan tubuh hampir jatuh sempurna ke atas meja.

Lengan kanannya menumpu tubuhnya, ia membentuk ekspresi wajah yang menurutnya sexy. Di titik ini, Fajar tercengang.

Ia tidak mempedulikan berkas yang diduduki Jiwa atau pekerjaannya yang tertunda. Fajar meneguk ludah, memori di kepalanya memutar wajah istri yang sudah meninggal. Bergantian dengan wajah Jiwa saat ini.

Dilihat sedekat ini Jiwa sangat mirip dengan istrinya. Bukan dari wajah, tapi aura dan juga cara menatap Jiwa. Fajar melengos, tidak ingin kehilangan kendali karena perasaan yang tiba-tiba menjadi emosional.

Sementara Jiwa tersenyum menang, berpikir kalau Fajar sedang tergoda dengannya dan akan luluh.

"Aku bukan wanita biasa, kan? Aku sangat menarik." Jiwa mengusap lembut pundak tegap Fajar, membuat si lelaki menahan napas. Alhasil, Jiwa terkikik geli karena merasa menang. "Jadi, bagaimana kalau kita pacaran? Bawa aku ke rumah Anda dan mari bersenang-senang."

Jalang.

Satu kata yang pantas menggambarkan seorang Jiwa saat ini. Semua orang sudah pasti sepakat dengan sebutan itu kalau melihat bagaimana posisi dirinya.

Fajar memejamkan mata, mencoba meraih kesadarannya kembali. Ia tidak boleh terjerat permainan Jiwa. Pengacara dengan perawakan layaknya pria usia dua puluhan itu berdecih pelan dengan tangan mendorong wajah Jiwa menjauh.

"Turun. Kamu nggak sopan kayak gini. Saya akan panggil keamanan," kata Fajar ketus dengan tangan yang sudah siap mengangkat gagang telepon.

Jiwa mendelik, spontan merebut telepon dan menjauhkannya dari Fajar. Gadis muda yang berani itu turun dari meja dengan wajah kesal. Sebal bukan main karena Fajar sangat sulit untuk ditaklukkan.

"Anda nggak boleh panggil keamanan," tegas Jiwa. Wanita itu lalu memutari meja Fajar, menghampiri lelaki itu dengan tatapan sengit. Kini, Jiwa sudah berdiri dengan kepala mendongak menatap Fajar yang sudah berdiri. Tangannya terkepal membulatkan tekad.

Jiwa menurunkan satu tali spageti yang bergantung pada bahunya. Mengacak rambut hitam sebahunya sampai berantakan. Lalu berjinjit, mengecup bibir Fajar yang diam membeku.

Lelaki itu blank, bingung dengan apa yang terjadi. Ketika dia ingin mendorong Jiwa menjauh, gadis itu justru menciumnya dengan kasar. Melesak masuk pada belah bibir Fajar, menarik kuat lidahnya dan menjilat dengan agresif. Jiwa mencengkeram kuat rahang tegas si pengacara, bibirnya semakin bergerak dengan liar sampai Fajar kewalahan untuk mengimbangi.

Setelah merasa cukup, Jiwa menarik diri. Tersenyum puas melihat bekas lipstik menempel pada bibir manis Fajar Abichandra.

"Anda akan menyesal karena sudah menolak aku."

Jiwa berjalan cepat keluar ruangan Fajar. Lelaki itu tidak mengatakan apapun, masih sangat terkejut. Kemudian dia tersadar dengan teriakan heboh dan keras dari luar ruangan.

"Tolong! Tolong, saya dilecehkan," teriak Jiwa dengan histeris. Menimbulkan kekacauan luar biasa di lantai lima belas itu. Manusia di sana yang semula sibuk dengan pekerjaan menjadi fokus pada Jiwa.

"Tolongin saya," ucap Jiwa lirih sembari menangis. "Pak Fajar melecehkan saya, saya merasa direndahkan," teriaknya lagi.

"Padahal ini adalah kantor hukum, tempat pembela kebenaran bagi para korban. Kenapa pelecehan bisa dilakukan di sini?" teriak Jiwa dengan histeris.

Fajar keluar dari ruangannya dengan raut wajah keruh. Membuat orang-orang yang semula mendekati Jiwa melangkah mundur. Bisik-bisik mulai terdengar ketika semua orang menyadari bekas lipstik di bibir Fajar.

Penampilan pengacara senior yang selalu rapi itu kini juga kusut berantakan. Memperkuat pernyataan Jiwa jika dirinya baru saja dilecehkan.

Fajar mengabaikan pandangan semua orang. Dia menarik kasar Jiwa yang masih menangis, berteriak minta tolong, dan juga menyumpahi dirinya karena telah melecehkan.

"Saya akan menyebarkan pelecehan yang saya alami ini ke publik, biar masyarakat tahu sekalian gimana busuknya pengacara terkenal ini," teriak Jiwa sebelum akhirnya dia tenggelam di balik pintu ruang kerja Fajar.

Lelaki itu tampak sangat marah. Jiwa bukan hanya kurang ajar, tapi juga jahat karena sudah melakukan fitnah pada dirinya. Padahal yang patut dibilang sebagai korban pelecehan adalah Fajar. Gadis itu yang mencium duluan, bukan Fajar.

Jiwa tersenyum meski merasakan sakit di pergelangan tangan. Tubuhnya masih terseret karena Fajar dengan cepat berjalan membawanya menuju sudut ruangan.

"Gimana? Masih menolak menjadi pacar aku? Kalau kita pacaran orang lain nggak akan berpikir kalau Anda melecehkan aku."

Fajar berdecih, membuka satu pintu yang menuju ruangan sempit. Ada sofa panjang, ranjang, dan juga televisi di sana. Karena ini adalah tempat saat Fajar ingin beristirahat sendirian tanpa gangguan.

Lelaki itu melempar tubuh Jiwa ke atas ranjang dengan kasar. Menimbukan suara pekikan dari Jiwa yang terkejut. Gadis itu sudah ingin marah, tapi kembali menelan kata-katanya. Wajah Fajar menggelap dengan rahang mengetat, gigi lelaki itu bergemelatuk marah.

Jiwa menelan ludah. Apa dia terlalu berlebihan menggoda seekor singa?

"Ma-mau a-apa?" Jiwa bertanya dengan takut saat Fajar melepas kancing kemejanya. Tubuh atletis lelaki itu terlihat sangat panas, kulit mulus tanpa noda sedikit pun itu seakan memanggil Jiwa untuk mengelus.

Padahal Fajar sudah memasuki usia kepala empat, tapi tubuhnya yang tegap dan berotot itu membuat Fajar terlihat jauh lebih muda. Jiwa yakin sekali kalau duda keren ini pasti masih menjadi pujaan wanita cantik.

Jiwa menggelengkan kepala, mengenyahkan pikiran kotor di kepalanya. Lagi-lagi ia memekik terkejut saat Fajar menarik kedua kakinya. Membuat bagian bawahnya menempel dengan paha Fajar.

"Ayo saya tunjukkan apa itu pelecehan yang sebenarnya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status