“Haduh, capek banget,” keluh Jiwa begitu sudah memasuki kamar hotel yang telah disiapkan oleh Nana. Dia berniat untuk langsung tidur karena terlalu lelah tapi baru saja masuk satu langkah ke dalam kamar, Jiwa terdiam dengan wajah melongo. Terkejut melihat dekorasi kamar mewah yang romantis. Sangat romantis malah.Taburan bunga mawar merah berbentuk hati terpampang nyata di atas ranjang. Aroma lilin yang wangi dan menenangkan memasuki indra penciuman Jiwa. Gadis itu mengerjapkan mata tak percaya. Ia melangkah masuk lebih ke dalam, semakin takjub ketika melihat hidangan makan malam di balkon. “Wah, aku nggak ngebayangin kalau bakalan jadi kayak gini kamarnya.”Fajar yang baru saja memasuki kamar sama sekali tidak terkejut. Wajahnya hanya datar menatap seluruh kamar yang didekorasi layaknya ruangan khusus yang sangat roamntis dan intim untuk pengantin baru. Ia sudah menduga kalau Mamanya akan melakukan hal seperti ini. Walau begitu Fajar tetap saja tidak menyangka kalau dekorasinya akan
"Aw!" pekik Fajar ketika merasa kakinya di tendang. "Sakit.""Salah siapa mesum?" sewot Jiwa. Kedua tangannya masih menahan gaun pengantin yang ia kenakan agar tidak melorot. "Sana keluar. Aku mau mandi!" Fajar berdecak. "Nggak usah kamu suruh juga saya mau keluar," kata Fajar sambil mengusap kakinya yang masih sakit. Tidak ia sangka kalau gadis sekecil Jiwa memiliki kekuatan yang lumayan. Begitu Fajar sudah keluar dari kamar mandi, Jiwa langsung menghela napas lega. Ia berbalik menghadap cermin, membiarkan gaunnya jatuh ke lantai begitu saja. Jiwa menatap wajahnya dalam diam. Sekarang ia benar-benar sudah menjadi istri orang dan seharunya sudah siap dengan hubungan orang dewasa. Namun, Fajar yang berubah-ubah terus membuatnya kebingungan. "Dia itu sebenarnya benci aku apa engga, sih," gumam Jiwa. .Masih beberapa menit yang lalu Fajar terlihat tidak tertarik dengan dirinya, tapi mengapa baru saja Fajar menggodanya?Apa karena iseng? Ah, Jiwa tidak tahu. Lebih baik dia mendinginka
Candhra and partners. Jiwa melihat nama firma hukum yang menempel indah di atas gedung tinggi di depannya. Bibirnya menyeringai tipis dibarengi dengan kilatan mata yang membara. Kemudian melangkahkan kaki dengan yakin dan penuh percaya diri. Memakai dress sexy bertali spageti merah menyala dengan make up bold, juga perhiasan mahal membuat seluruh mata menyorot Jiwa. Ketukan high heels yang dipakai mantap penuh perhitungan. Wajahnya lurus menatap angkuh semua yang berada dalam jarak pandangnya. "Bilang pada Fajar Abhicandra kalau ada wanita yang datang ingin bertemu," ujar Jiwa pada resepsionis. "Katakan ini ada hubungannya dengan putra kesayangannya." Tak membutuhkan waktu lama, si wanita yang berdiri di balik meja tinggi sebatas dada itu langsung menghubungi lelaki yang dicari. Lalu mempersilahkan Jiwa untuk naik ke atas, tempat di mana Fajar berada. "Langsung saja, siapa dan ada perlu apa?" Fajar Abichandra, pengacara terkenal yang sudah dikenali hampir seluruh masyarakat Indon
Jiwa menggeleng, mencoba menjauh dengan menarik kakinya namun Fajar mencengkeram terlalu kuat. Jiwa tidak diizinkan untuk menjauh walau sejengkal. Gadis muda itu langsung menyesal karena sudah datang kemari. Fajar jauh lebih berbahaya dari dugaannya. Fajar menunduk, mengusap wajah mulus Jiwa yang cantik. Wanita itu memejamkan mata ketakutan, dan lagi-lagi mengingatkan Fajar pada istrinya yang sudah lama meninggal. "Kenapa sekarang terlihat takut?" Suara Fajar yang dalam juga tajam mengalun bagai petir di telinga Jiwa. "Bukannya ini yang kamu mau?" Jiwa menggeleng, mulai menyesali pilihannya mendatangi Fajar. Tangannya berusaha mendorong Fajar menjauh namun tubuh keras itu sama sekali tidak bergerak. "Kamu yang mau jadi pacar saya, mencium saya, lalu berteriak seperti perawan yang dilecehkan. Kamu menjatuhkan image saya sampai ke jurang." Mengabsen kesalahan Jiwa seperti itu malah membuat si gadis semakin ketakutan. Perasaan menyesal di hatinya menebal. Jiwa mengumpat dalam hati ka
"Kenapa asem gitu mukanya? Gagal, ya?" Jiwa berdecak sebal, melirik Stella yang terkikik geli di sebelahnya. "Diem lo!" Bukannya diam, Stella justru semakin terbahak. Gadis muda berambut ash blonde itu lalu menjalankan mobil, keluar dari halaman gedung firma hukum tempat Fajar bekerja. Wajah kesal Jiwa dan bibirnya yang terus menggerutu tentang Fajar dan Gibran yang sama berengseknya, menemani perjalanan dua gadis muda itu menuju rumah Stella. "Percuma gue dandan menor sampek nyium tuh pengacara, hasilnya gagal total." Jiwa menghapus make up yang sejak tadi melekat di wajah ayunya. Stella si gadis blonde kembali terbahak. Ia tahu betapa kesalnya Jiwa, tapi ceritanya yang lucu membuat Stella lebih memilih tertawa dari pada prihatin. Sungguh teman yang laknat sekali. "Nggak usah ketawa lo, nyetir yang bener," ujar Jiwa sembari melemparkan tisu ke arah Stella. "Lagian kenapa masih kesel, sih? Sejak awal, kan, udah tahu kalau kemungkinan rencana ini sukses tuh cuma lima persen. Lima
Fajar pikir gadis muda seperti Jiwa hanya pandai berpikir jangka pendek. Terbukti dari caranya membalas perselingkuhan. Menjadikan dirinya sebagai bahan balas dendam atas kelakuan sang putra menunjukkan betapa egoisnya gadis muda itu. Ia pikir dengan menghilangkan jarak dirinya dengan Cecilia, Jiwa akan mengerti level dirinya. Namun, Fajar salah besar. "Cuma mau nyapa doang, gitu aja galak." Jiwa semakin berjalan mendekat. Mengabaikan keberadaan Cecilia yang sejak tadi memperhatikan dirinya. Tangan kanan Jiwa langsung menarik Fajar menjauh dari Cecilia. Membuat wanita dewasa itu terkejut dengan sikap Jiwa yang tidak tahu malu. Jiwa hanya tersenyum tipis, terlau masa bodoh. Dia mendengar Fajar belum menikah, itu artinya Cecilia masih belum menjadi siapa-siapa. Bisa saja wanita itu hanya teman, dan kalau pun lebih dari itu Jiwa juga tidak peduli. Tujuannya lebih penting dari apapun. Fajar menarik tangannya dari genggaman Jiwa. Matanya memperhatikan sekitar, memastikan tidak ada yan
"Hei si cupu." Jiwa menoleh, lalu mengumpat dalam hati. Kenapa pula dia menoleh padahal cupu bukan lah namanya. Jiwa berniat melanjutkan langkah, mengabaikan Gibran yang terus meneriaki dirinya. "Cupu! Hei, Jiwa! Jiwa, stop nggak lo." Gadis itu berbalik, mengacungkan dua jari tengahnya pada Gibran yang langsung melotot kaget. Melihat mantan pacar di pagi hari bukan lah hal yang bagus, apalagi dia masih kesal dengan kelakuan Fajar semalam. Seenak jidat mendorongnya ke kolam renang. Pengacara mana yang melakukan tindak kekerasan seperti itu? Beruntung Jiwa ini bisa renang, kalau tidak entah akan bagaimana nasibnya?Jiwa mengusap hidungnya yang berair dengan tisu. Lagi-lagi mengumpat kesal dalam hati karena flu yang ia derita. "Heh!" Tubuh Jiwa hampir jatuh tersungkur karena dorongan Gibran dari belakang. Gadis itu menarik napas lalu menghembuskannya dengan pelan. Baru dia berbalik dan menatap datar pada Gibran. "Apa-apaan tangan lo tadi, hah?" Gibran berdecak. "Gitu aja baper lo,
"Mendidik Gibran?" ulang Jiwa dengan satu alis terangkat. "Menurut Bapak, anak setan itu bisa dididik?" Fajar menahan napas beberapa detik. Anak setan? Kalau begitu, dia juga setan? Gibran kan anaknya. Fajar berdecak sebal, bisa-bisanya gadis muda itu dengan santai mencaci maki seorang putra di depan bapaknya. Sopan santun anak muda jaman sekarang perlu diperbaiki. "Lupakan. Bukannya tambah bener malah makin mirip iblis nanti kalau kamu ikutan didik," kata Fajar ketus. Dia sampai lupa tujuannya kemari karena ucapan Jiwa selalu berhasil membuatnya kesal. Fajar jadi menyesal karena membiarkan mamanya tahu semua kegiatannya. Kalau saja dia jauh lebih berhati-hati, mungkin sekarang dia tidak harus membawa Jiwa ke rumahnya. Mamanya yang ngebet sekali ingin melihat dia menikah sangat merepotkan. Jiwa berdiri, kedua tangannya menyentuh ujung tali tas backpack yang ia kenakan. Matanya menyorot sengit pada Fajar yang masih saja datar. Lelaki tua itu benar-benar mirip Gibran, hanya saja le