Siang ini, Olivia ada kelas tambahan. Dia sudah berusaha keras agar semua nilainya bagus semua. Tapi tetap saja, ada dosen yang mempunyai tingkat kejelian 99,99%. Sehingga satu kata saja tertinggal, itu bisa menjadi masalah besar. Kebetulan, saat ini Tristan juga berada di dalam kelas yang sama dengannya.
Tristan duduk di belakang Olivia. Meski tak bisa dipungkiri betapa hancur dan kecewanya hati Tristan saat ini, namun ia masih mencoba untuk bersikap tegar dan tak banyak menuntut penjelasan pada Olivia. Setidaknya, hal itu membuat Olivia sedikit tenang. Karena ia tak tau harus menjelaskan dari mana semua permasalahan ini. Lagi pula, Ibunya sudah pernah menjelaskan semuanya pada Tristan. Jadi, menurut Olivia tak perlu lagi menjelaskan dua kali.
Tristan terus menatap pada punggung Olivia yang berada tepat di depannya. Ada rasa rindu untuk mendekap tubuh gadis periang itu. Satu bulan ini, Olivia selalu menghindar dari Tristan. Entah karena terlalu hanyut dalam kerindua
Setelah ciuman kerinduan itu usai, keduanya saling menatap dalam keheningan. Banyak kata yang ingin mereka lontarkan satu sama lain, namun tidak satu pun yang akhirnya keluar dari mulut Tristan dan Olivia. Tristan membelai rambut gadis yang pernah menjadi kekasihnya itu. Menyelipkan seuntai rambut yang tergerai kembali ke asalnya, di belakang daun telinga yang indah meski tanpa sebuah anting itu. Drrrrtttt... Drrrtttt... Drrttt... Getaran ponsel di saku jas kuliah Olivia mengejutkan keduanya, menciptakan kembali jarak di antara mereka. Olivia lantas mendorong tubuh Tristan agar menjauh darinya. Olivia mengeruk saku dan mengambil ponsel yang tak berhenti bergetar itu. Saat ia melihat nama yang tertulis di layar ponselnya, matanya melotot seakan-akan henak keluar dari tempatnya. 'My Husband' itu lah nama yang muncul pada layar ponsel Olivia. 'Sejak kapan ada nama ini di ponselku? Apa pria itu diam-diam menukarnya sendiri? Sungguh, narsis sekali
Jam setengah enam sore, Mike datang menjemput Olivia di kampus. Saat itu ia melihat Olivia berjalan ke arahnya, dengan Tristan mengekor di belakangnya. "Apa pria itu yang dikatakan oleh Tuan Muda? Lancang sekali dia mendekati wanita seorang Albert Jay Camerrun? Apa aku harus memberinya pelajaran di sini?" Mike bermonolog. Dari kejauahan, Olivia bisa melihat tatapan kebencian Mike yang di tujukan pada Tristan. Sebelum Mike melakukan sesuatu, Olivia dengan cepat mengambil tindakan. "Mike, kau sudah datang? Ayo cepat antar aku pulang, pria itu pasti akan menghukumku jika aku sampai di mansion lewat dari jam enam." Olivia bergegas masuk ke mobil tanpa menunggu Mike membukakan pintu. Hal itu membuat Mike menjadi serba salah, namun akhirnya memilih segera masuk dan duduk di kursi pengemudi. "Baik, Nona. Aku akan mengantarmu dengan cepat ke mansion. Tuan Muda juga sudah sangat merindukanmu." Ucap Mike sambil mulai melajukan mobilnya. Meninggalkan Tristan yan
Dengan berhadapan dan tubuh basah yang saling menempel, sepasang suami isteri itu memulai permainan panas di senja hari. Albert menarik tubuh Olive agar lebih rapat pada tubuhnya. Dan mulai mengecup bagian-bagian sensitif gadis itu. Ia memulai dengan kecupan di sekitar pipi, sudut bibir, leher dan di sekitar telinga Olive. Deraan napas Albert yang hangat membuat Olive semakin mabuk kepayang. "Karena kita di kamar mandi, maka kita harus memakai gaya baru. Apa kau siap?" Bisik Albert pelan di telinga Olive. Gadis yang sedang di mabuk kepayang itu hanya mengangguk patuh. Albert tak berniat melakukan pemanasan lagi saat ini, karena kelelakiannya di bawah sana sudah memberontak mencari lubang kenikmatannya. Dengan sedikit gerakan kasar, Albert memutar tubuh Olivia kembali membelakanginya. Ia menuntun Olivia berjalan ke arah bathtub, dan dengan lembut menekan tubuh gadis itu sehingga menjadi posisi membungkuk. Albert yang sudah tidak sanggup men
"Tuan, apa yang harus kukatakan pada Nona Monic?" Tanya Lucy dengan ragu-ragu, takut Albert marah. Saat Lucy masuk ke ruangan Albert untuk menyerahkan dokumen yang harus di cek ulang dan di tanda tangani Albert, Monic kembali menelpon dan menanyakan informasi tentang Olivia. "Bukan kah aku sudah menyuruhmu mengatakan yang sebenarnya?" Tanya Albert dengan tatapan menusuk. "Ba-baik, Tuan. Nanti jika dia menelpon lagi, aku akan mengatakan yang sebenarnya." Jawab Lucy gugup. "Sekarang, keluar lah!" Titah Albert pada Lucy. "Baik, Tuan. Aku permisi." Lucy membungkuk lalu berjalan keluar, meninggalkan ruangan Albert. Saat ia kembali ke ruangannya, ia menggerutu sambil terus menatap Albert yang masih terlihat fokus pada dokumen-dokumen itu dari pintu kaca pemisah ruangan mereka. "Huh, dasar pria dingin. Apa tidak bisa dia berbicara padaku dengan lembut, sekali saja?" Lucy bermonolog. Belum sempat pantatnya mendarat di kursi ker
Monica merasa Albert telah mengkhianati pernikahan mereka, meski nyatanya Albert tidak benar-benar menganggap pernikahan mereka sebuah hal yang serius. Itu Albert lakukan hanya sebagai persyaratan Monic. Saat itu karir Monic sedang naik daun, sementara untuk menaikkan nilai saham dan pendapatan perusahaannya, Albert harus menggunakan jasa Monic di bidang promosi produk-produk yang di luncurkan sesuai permintaan pasaran. Sementara, Monic mengambil untung dari hal itu. Dia sudah lama menginginkan Albert. Ambisinya terlalu kuat dan tinggi untuk menjadi Nyonya rumah bagi Albert. Namun sayang, setelah resepsi pernikahan selesai Albert tak berniat membawanya pulang ke mansion. Sebagai gantinya, Albert memberikan Monic sebuah rumah mewah untuk ia tempati dan sebuah Gold Card untuk nafkahnya sebagai isteri. Awalnya Monic menerima dengan senang hati semua kemewahan itu, namun setelah dua tahun berjalan ia mulai merasa tidak puas dengan harta yang di berikan Albert. Yang
Olivia pulang ke rumah orang tuanya. Saat ia datang, Clara terlihat sangat senang. Ia memeluk putrinya bahagia. "Sayang, kau datang mengunjungi Ibu?" Clara bertanya seolah tak percaya, bahwa yang di depannya kini adalah Olivia. "Ibu... Aku membencinya." Olivia langsung menumpahkan tangisan yang ia tahan sejak tadi, di dalam pelukan Clara. Clara yang bingung dengan sikap Olivia, mencoba untuk menenangkan dulu putrinya itu. Setelah cukup puas Olivia menangis hingga sesenggukan, pelukan itu dilepaskan Clara. Kemudian ia menghapus sisa-sisa air mata di pipi Olivia, merapikan rambutnya yang berantakan. "Kemari lah, sayang. Ayo duduk, dan ceritakan semua dengan jelas pada Ibu." Ajak Clara dengan membimbing tangan Olivia ke duduk ke sofa empuk di tengah ruangan itu. Dengan sesenggukan Olivia mulai menceritakan semua kejadian dari awal hingga berakhir dengan sampainya dia di rumah orang tuanya kini. Clara yang mendengarnya hanya tersenyum dan
Saat perjalanan menuju ke rumah Willson dan Clara, entah dapat bisikan dari mana, Albert mengunjungi mini market dan membeli banyak sekali makanan. Ia juga membeli beberapa kue tart untuk Olivia. Karena Albert pernah mendapati Olivia tengah malam menikmati sepotong kue tart yang tersimpan di lemari pendingin. Mobil Albert masuk ke pekarangan rumah Willson. Dia melihat jam, masih jam empat sore. Albert memutuskan untuk masuk tanpa membawa semua barang belanjaannya. Tentu ia masih gengsi untuk menenteng barang-barang itu. Saat masuk, ia di sambut langsung oleh Clara. "Tuan Muda." Clara tersenyum. "Hem... Jangan memanggilku, Tuan Muda." Albert berkata lembut pada Ibu mertuanya itu. "La-lalu, aku harus memanggil anda dengan sebutan apa, Tuan, eh..." Clara terlihat gugup dan bingung dengan perubahan sikap Albert. "Bagaimana jika... Anda bisa memanggilku Albert saja, Ibu Mertua." Jawab Albert yang lantas membuat Clara semakin terkejut. Karen
Jam tujuh malam, semua orang sudah hadir di meja makan. Albert, Olivia, Willson dan Clara. Untuk pertama kalinya mereka makan malam pada satu meja yang sama. "Ayah, bagaimana perkembangan perusahaan saat ini?" Olivia bergelayut manja di tangan Ayahnya. "Duduk lah dengan benar! Kau sudah menjadi seorang isteri saat ini, jaga perilakumu di depan Tuan Muda Albert." tegur Willson pada Olivia. Namun gadis itu malah memanyunkan bibirnya. "Tidak apa-apa, Ayah mertua." sahut Albert santai lalu mengambil gelas susunya. Panggilan Albert yang akrab padanya, tentu saja membuat Willson sedikit takjub. Namun dengan pengalamannya menghadapi sikap Albert, ia berusaha bersikap normal dan menutupi kegugupannya. "Terima kasih, Nak Albert. Berkat sokongan dana dan bantuan investor darimu, perusahaanku kini sudah kembali bangkit. Bahkan ini jauh lebih baik dari yang pernah aku bayangkan sebelumnya." Willson mengucapkan rasa terima kasih dengan tulus.