“Maaf ngerepotin, Mas! Aku mohon Mas Raka mau terima uang ini ....” Diana menyodorkan uang pecahan tiga puluh ribu kepada Raka. Tadi gadis itu sempat melirik nominal promo makanan yang ia pesan, jadi kemungkinan harganya adalah segitu. Padahal 30 ribu yang Diana pikir belum termasuk tambahan ppn."Makanannya enak banget! Berkat Mas Raka aku jadi bisa makan makanan seenak ini. Terima banyak, Mas." Gadis itu tersenyum kembali. Raka terpaksa mengambil uang 30 ribu yang disodorkan oleh Diana demi menghargai niatan gadis itu. Sejujurnya hati Raka sedikit tercubit karena Diana sampai mengatakan makanan itu sangat enak. Padahal yang Diana makan hanya ayam kentucky yang harganya tidak seberapa bagi Raka."Uangnya aku terima! Tapi lain kali kamu harus mau kalau aku traktir, ya. Ngomong-ngomong aku boleh minta nomor hape kamu, nggak?"Mendengar itu Diana spontan melipat bibir. Gadis itu tertunduk malu sambil memainkan jari-jemari di bawah meja. Raka sendiri langsung menyadari sedikit perubah
Matahari semakin meninggi tepat berada di puncak kepala. Entah ini sudah jam berapa, yang jelas Diana sudah ke sana sini menawarkan jasa tapi tak ada satu pun yang mau menerima surat lamaran kerjanya.Padahal Diana hanya melamar pekerjaan di toko-toko biasa atau rumah makan sederhana, tapi mereka bilang yang dibutuhkan adalah tamatan SMA sederajat. Sebagian lagi lebih suka menolak dengan dalil tidak ada lowongan."Susah banget nyari kerjaan! Apa di Jakarta sama sekali tidak bisa menerima tamatan SMP?"gumam Diana nyaris putus asa. Sudah puluhan tempat ia datangi tapi tak ada satu pun yang mau menerima dirinya.Kini Gadis itu sedang duduk di dekat trotoar sambil memijat-mijat kakinya yang terasa pegal sekali. Tind ... Tind! Suara klakson dan mobil yang tiba-tiba berhenti di tepi jalan membuat Diana mendongak. Detik kemudian seseorang tampak menurunkan kaca mobilnya sembari melongokkan kepalanya keluar."Diana, kamu ngapain di sini?" Raka yang baru saja pulang dari tempat golf cukup ter
Seumur hidup Diana tidak pernah menemukan orang sebaik Raka meski dia pernah memiliki beberapa teman laki-laki sebelumnya. Kehadiran lelaki itu di dekat Diana seolah menghapus kesialannya karena harus tinggal dengan lelaki bernama Abian. Sikap Raka yang begitu perhatian dan penuh sopan santun sangat bertolak belakang dengan Abian yang galak dan jutek. Perbedaan mereka seperti langit dan bumi."Oh! Jadi kalian bertiga sahabatan?" tangkap Diana setelah mendengar cerita Raka tentang pertemanan Abian, Doni, dan juga dirinya."Iya. Kita semua sahabat! Oh ya, mengenai pertemuan kita tadi siang, usahakan jangan sampai Abian tahu ya! Soalnya aku tidak enak pada Abian kalau ketahuan membantumu secara diam-diam. Engga masalah kan?""Iya Mas! Aku paham," jawab Diana seraya menganggukan kepala. "Pokoknya terima kasih karena sudah membantu aku nyari pekerjaan tambahan! Aku nggak tahu harus balas kebaikan Mas Raka dengan cara apa! Semoga kebaikan Mas Raka di balas sama Tuhan karena aku gak bisa ba
Jam sudah menunjukkan pukul enam sore saat Diana membuka bungkusan makanan yang dibelikan oleh Raka. Lagi, gadis itu tampak berbinar senang mendapati makanan yang paling ia sukai sersaji di depan mata. Ayam tepung atau biasa disebut fried cicken. Menurut Diana makanan itu adalah makanan paling enak dan berharga yang jarang-jarang bisa ia nikmati seperti ini. Karena Raka membelikannya dua porsi, Diana sengaja menaruh satu porsi lagi ke kulkas untuk dimakan besok pagi. Bertepatan dengan itu Miranda keluar dari kamar Abian dengan penampilan acak-acakan khas bangun tidur. Diana hanya melirik sedikit lalu berusaha mengabaikan gadis itu yang berjalan menuju kulkas."Lagi makan?" tanya Miranda sambil membuka kulkas dan mencari minuman dingin."Iya Mbak!" "Kok pembantu makannya kayak gitu! Emang kamu gak bisa masak sendiri?""Bahan-bahan untuk masaknya belum ada. Lagi pula Mas Abian tidak menugaskan saya untuk masak!""Terus tugas kamu di sini ngapain aja?"Pertanyaan Miranda berikutnya mem
Tak terasa sudah satu bulan lebih Diana tinggal di Ibu kota. Perlahan gadis itu mulai bisa menyesuaikan kehidupan di sana. Tapi ada satu hal yang mengganjal di benak Diana. Dia mulai tidak betah tinggal di apartemen milik Abian. Pemicunya sendiri adalah Miranda yang sering bersikap semena-mena pada Diana terlepas ada Abian atau tidak. Tentunya pria yang juga tidak menyukai kehadiran Diana itu hanya bersikap cuek dan masa bodo.Seperti tadi pagi, Miranda sengaja menumpahkan nasi goreng milik Diana dengan alasan tidak sengaja. Entah karena cemburu, atau karena merasa terganggu, yang jelas Miranda mulai terang-terangan membenci kehadiran Diana di antara mereka. Dia tak segan menyindir Diana sebagai benalu, lalu pamer kemesraan setiap hari di hadapan Diana.“Kalau tahu Mas Abian akan tinggal dengan Mbak Miranda setiap hari aku tidak akan mau tinggal di sini,” guman Diana setengah melamun.Prank!Piring di tangannya tiba-tiba pecah. Diana langsung tersentak begitu pun beberapa temannya yang
Paling tidak seminggu sekali Abian dan teman-temannya akan berkumpul di suatu tempat untuk membuang penat.Seperti sore ini, Abian, Doni, dan Raka sengaja menyempatkan diri untuk berkumpul di area golf sambil menikmati kesejukan sore. Mereka bersenang-senang dengan permainan. Menikmati makanan. Tapi pandangan Abian terus tertuju pada Doni dari sejak mereka bertemu.Sampai tibalah waktu makan. Abian berpangku tangan sambil memperhatikan Doni yang sibuk memainkan ponsel."Ada yang ingin aku tanyakan padamu, Don!"Sontak laki-laki itu menoleh heran. Tak terkecuali Raka yang melirik sedikit di sela-sela keterdiamannya. Raka sedikit khawatir bahwa pertanyaan yang akan ditanyakan Abian mengacu pada Diana. Pasalnya hingga detik ini pria itu belum berani jujur kalau selama ini dirinya sedang berusaha mendekati pembantu Abian."Tanya apa? Sepertinya dari tadi kamu terus memperhatikanku! Ada yang aneh?" ucap Doni sinis."Apa kamu kenal sama Diana?" Abian langsung bertanya tanpa basa-basi."Di
"Mas Raka!" Diana sedikit berseru sambil mengangkat tangan saat menyadari kehadiran Raka yang celingak-celinguk mencari dirinya. Lelaki itu tersenyum dan perlahan mendekat. Jantung Diana langsung berdebar-debar tidak karuan. Wanita itu meneguk ludah susah payah saat tubuh tinggi Raka sudah ada di depan mata."Hai," sapa Raka yang membuat Diana spontan menunduk karena malu."Duduk Mas!" "Iya. Makasih Diana!" Raka pun duduk diikuti gerakan Diana yang juga kembali terduduk. Hatinya sangat senang bisa melihat Diana dari jarak sedekat ini. Biasanya Raka hanya sesekali menyapa atau berkunjung di restoran milik Doni, dan kalau kangen dia akan menghubungi telepon rumah Abian untuk mendengarkan suara gadis itu. Itu pun Raka lakukan di waktu pagi-pagi sekali saat Abian belum bangun.Pernah sekali Raka menawarkan bantuan pada Diana untuk mengantarnya pulang. Namun gadis itu menolak dengan alasan ingin jalan kaki sampai ke restoran. Katanya olahraga, tapi Diana melakukan itu hampir setiap hari.
Hampir saja Diana mengatakan 'IYA'' sebelum lelaki yang paling menyebalkan itu datang dengan langkah super duper marah. Melihat tampang garang Abian dari kejauhan, pupil mata Diana membulat diikuti tangan yang tanpa sadar meremas pahanya sendiri di bawah sana."Mas Abian?" pekik Diana nyaris tanpa suara. Seketika itu juga Raka menoleh ke belakang. Melihat sosok yang tengah berjalan tergesa-gesa ke arah mereka berdua."Bian, aku bisa jelaskan!" Raka berdiri menahan bahu Abian yang langsung berjalan mengarah pada Diana. Lelaki itu benar-benar enggan melihat Raka bahkan seperti tidak menganggap ada pria itu di sana."Bian, please!" Raka mendesah. Kalau sudah begini ia yakin Abian tak akan mau bicara dengannya sampai berhari-hari. "Ikut aku! Ayo kita pulang ....""Aku tidak mau!" sahut Diana cepat.Sementara Raka menelan ludah. Dia merasa malu sekaligus tidak enak pada Abian karena tidak berterus terang sejak awal. Andai Raka jujur ingin mendekati pembantunya mungkin Abian tidak akan s