Pagi itu, langit Jakarta berwarna abu-abu, seolah mencerminkan suasana hati Nadia yang masih kalut. Duduk di tepi tempat tidur rumah sakit, dia memandangi ayahnya yang masih terbaring tak sadarkan diri. Mesin-mesin di sekitar ranjangnya berdetak pelan, seakan-akan setiap bunyi adalah peringatan bahwa hidupnya bisa berubah dalam sekejap.
Semalaman Nadia tak bisa tidur. Tawaran Indra terus menghantuinya, berputar dalam pikirannya seperti lingkaran yang tak kunjung usai. Apakah ini benar-benar satu-satunya jalan keluar? Menikah dengan pria yang hampir tak dikenalnya, hanya karena kesalahan tragis yang telah ia buat? Nadia meremas-remas jemarinya, menahan kegelisahan yang semakin memburuk.
Di sisi lain, ibunya tampak lebih tenang pagi ini. Bu Ningsih duduk di sebelah ranjang suaminya, memegang tangan suaminya yang lemah. Meski kelelahan terlihat jelas di wajahnya, ada semacam kelegaan yang samar-samar mulai muncul. Mungkin bagi Bu Ningsih, tawaran Indra bukan hanya soal tanggung jawab, tapi juga soal keamanan keluarga. Indra menawarkan masa depan yang tak pernah terbayangkan oleh mereka sebelumnya.
Nadia ingin berbicara dengan ibunya, tetapi keraguan terus membelenggu. Apakah ibunya sungguh-sungguh mendukung ide ini? Ataukah ia hanya terdesak oleh keadaan? Keduanya memang tahu bahwa biaya rumah sakit akan terus bertambah, dan semakin lama, semakin sulit bagi mereka untuk mengatasinya. Namun, menikah dengan Indra... Itu terasa seperti keputusan yang begitu besar dan menakutkan.
“Bu,” Nadia akhirnya memecah keheningan. Suaranya serak dan lemah, seolah setiap kata sulit dikeluarkan. “Apa Ibu setuju dengan tawaran Indra?”
Bu Ningsih menoleh perlahan, melihat putrinya dengan mata yang penuh kelelahan. Dia tidak langsung menjawab, malah menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara. “Nadia... Ibu tidak tahu harus bilang apa. Tapi Ibu tahu, kita tidak punya banyak pilihan.”
Nadia terdiam, menelan kalimat ibunya dengan perasaan campur aduk. Ia mengerti maksud ibunya—dalam situasi yang sulit ini, mungkin pernikahan dengan Indra adalah satu-satunya jalan keluar yang masuk akal. Namun, hatinya berontak. Bagaimana mungkin ia bisa menikah dengan pria yang tidak dicintainya? Dengan seseorang yang begitu asing baginya?
“Ibu tidak memaksamu, Nak,” lanjut Bu Ningsih, suaranya pelan tapi jelas. “Tapi Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu dan keluarga kita. Indra menawarkan sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkan kita semua.”
Nadia menggeleng pelan, menatap lantai dengan kosong. Rasanya seperti semua ini terjadi terlalu cepat, terlalu mendadak. Hanya beberapa hari lalu, hidupnya masih normal—ia masih seorang gadis muda yang baru lulus SMA, bermimpi tentang masa depan yang cerah. Namun sekarang, semua itu terasa jauh, seperti mimpi yang tak lagi mungkin terwujud.
“Apa Ayah akan setuju, Bu?” tanyanya akhirnya, meskipun ia tahu bahwa pertanyaan itu mungkin tidak akan pernah bisa dijawab. Ayahnya masih terbaring koma, tidak sadar akan semua pergulatan batin yang mereka alami.
Bu Ningsih menghela napas berat. “Ibu tidak tahu, Nak. Tapi Ayahmu selalu ingin yang terbaik untuk kita. Mungkin... mungkin ini adalah yang terbaik.”
Keheningan kembali menyelimuti. Nadia tak tahu lagi harus berkata apa. Meski segala logika mungkin mendukung keputusan untuk menikah, hatinya belum bisa menerima itu begitu saja. Apa ini adalah hidup yang akan ia jalani? Menikah tanpa cinta, hanya demi tanggung jawab?
Hari itu berlalu dengan lambat, penuh dengan kecemasan yang semakin menumpuk di dada Nadia. Kabar kondisi ayahnya tak menunjukkan perkembangan signifikan, membuat perasaan cemas semakin membayangi setiap langkahnya. Indra pun tak terlihat sepanjang hari, memberi ruang bagi Nadia dan keluarganya untuk berpikir lebih jauh tentang tawaran yang ia ajukan.
Namun, saat sore tiba, Indra muncul kembali di rumah sakit, kali ini dengan wajah yang sedikit lebih tenang daripada sebelumnya. Ia mendekati Nadia dan ibunya di ruang tunggu, membawa sebuah amplop yang tampak tebal.
“Saya sudah bicara dengan pengacara keluarga,” katanya langsung tanpa basa-basi, “Ini kontrak pernikahan yang saya usulkan. Tentu, kalian bisa membacanya dulu, dan jika ada yang perlu diubah, kita bisa bicarakan lagi.”
Nadia mengerutkan kening, merasa dadanya semakin sesak. Kontrak pernikahan? Sejak kapan pernikahan menjadi sebuah kesepakatan bisnis seperti ini? Tapi di dalam situasi ini, ia tahu bahwa Indra hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk semua pihak. Meski begitu, sesuatu di dalam dirinya masih merasa aneh dengan semua ini.
“Kalau saya menolak?” Nadia bertanya tiba-tiba, suaranya penuh dengan ketegangan. Ia tak tahan lagi dengan semua formalitas ini. Dia ingin tahu apakah masih ada jalan lain, sebuah pilihan yang lebih baik daripada menikah dengan orang yang hampir tak dikenalnya.
Indra terdiam sejenak, lalu menatap Nadia dengan sorot mata yang serius. “Kalau kau menolak, itu adalah hakmu, Nadia. Saya tidak memaksamu. Tapi... saya takut kita akan menghadapi masalah hukum yang lebih besar. Keluarga kalian akan terjerat dengan masalah keuangan yang tak mudah diatasi. Dan saya... saya tak akan bisa menolong lebih jauh.”
Hati Nadia semakin diliputi kebimbangan. Ini bukan ancaman, tapi kenyataan yang harus dihadapi. Jika ia menolak, keluarganya mungkin akan tenggelam dalam masalah yang jauh lebih besar. Namun jika menerima, hidupnya akan berubah selamanya, dan ia tak yakin apakah ia siap untuk itu.
Bu Ningsih, yang duduk di samping Nadia, menggenggam tangan putrinya dengan erat. “Nadia... mungkin ini adalah jalan terbaik. Ibu tahu kamu takut, tapi kamu tidak sendiri. Kami akan selalu ada di sampingmu, apapun yang kamu putuskan.”
Nadia menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Apakah ini benar-benar jalan terbaik? Menikah demi tanggung jawab? Hidup tanpa cinta?
Ketika malam semakin larut, Nadia masih belum menemukan jawabannya. Namun satu hal yang pasti, tawaran Indra kini menggantung seperti bayangan gelap di atas hidupnya, dan waktu semakin mendesaknya untuk membuat keputusan.
Nadia masih terperangkap dalam dilema besar—apakah ia harus menerima tawaran pernikahan dari Indra demi menyelamatkan keluarganya, atau menolak dan menghadapi konsekuensi yang lebih berat?Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter
Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini
Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa
Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,
Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya
Malam itu, setelah kejadian di siang hari, suasana rumah semakin sunyi. Indra belum pulang, dan Nadia duduk sendirian di ruang tamu, merenung. Pikiran-pikiran yang sudah lama ia coba singkirkan kini datang kembali. Apakah ia masih bisa terus bertahan dalam situasi ini? Atau, apakah ia harus mulai menerima bahwa mungkin, mempertahankan rumah tangga ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri?Nadia melirik jam di dinding, sudah hampir pukul sembilan malam. Reza sudah tidur setelah Nadia menceritakan dongeng favoritnya. Setidaknya, putra kecilnya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Nadia tahu, waktu itu pasti akan tiba, saat Reza mulai bertanya mengapa ayahnya tidak pernah pulang tepat waktu, atau mengapa ayahnya sering kali menghabiskan waktu dengan Dina daripada dengan mereka.Ketukan pintu terdengar pelan, memecah keheningan malam. Nadia terdiam sejenak, jantungnya berdegup lebih kencang. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana ber
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suasana rumah yang biasanya penuh dengan keheningan yang menenangkan, kini terasa berat di hati Nadia. Meski Indra sudah mengatakan dengan jelas bahwa perasaannya telah hilang, Nadia masih mencoba bertahan, berpegang pada alasan yang sama—Reza. Demi anak mereka, ia merasa tidak punya pilihan lain selain bertahan, meski hatinya semakin hancur setiap harinya.Seperti biasa, Nadia bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Reza dan memastikan segala keperluannya siap sebelum dia berangkat sekolah. Sementara Indra, sejak pengakuan itu, hanya semakin menjauh. Pria itu bahkan hampir tidak berbicara padanya, seolah-olah Nadia hanyalah bayangan di rumah mereka, hadir tapi tidak dilihat.Nadia duduk di ruang makan, melihat piring-piring yang masih tersusun rapi di meja. Sudah lama Indra tidak menyentuh makanan yang ia buat. Sebelum ia sempat merapikan meja, terdengar langkah kaki berat mendekat.Indra muncul dari arah
Pagi itu, Nadia terbangun dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang. Semalaman ia tidak bisa tidur, meski tubuhnya sudah begitu lelah. Percakapan dengan Indra semalam masih bergema di pikirannya. Ada janji untuk mengakhiri hubungan dengan Dina, ada harapan kecil yang ia coba genggam demi Reza, namun ada juga ketakutan yang terus menghantuinya—bagaimana jika Indra tak benar-benar berkomitmen? Bagaimana jika cinta Indra pada Dina sudah terlalu dalam?Nadia duduk di tepi ranjang, memandang wajah Indra yang masih tertidur di sampingnya. Raut wajahnya yang tenang dalam tidur seakan tidak mencerminkan pergolakan batin yang mereka hadapi. Tapi Nadia tahu, di balik ketenangan itu, ada rasa dingin yang semakin nyata terasa di antara mereka. Indra bukan lagi pria yang sama seperti ketika mereka pertama kali menikah.Setelah beberapa saat memandangi suaminya, Nadia memutuskan untuk bangun dan memulai hari seperti biasa. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Reza, be