"Kamu kenapa, Ja?" Fifi sudah menghentikan langkah Senja yang terseok menuju arah kantin.
"Ada masalah lagi dengan Seno?" Senja menggeleng. Raut mukanya masih suram."Sama Pak Adam?""Huaaah, tahu nggak sih, Fi. Ini ulah beliau. Bikin kesel. Nambah kerjaan, kan. Mana nanti malam disuruh ngerjainnya. Besok ketemu beliau lagi." Senja memghentakkan kaki sambil pura-pura menangis di depan Fifi. Sahabatnya yang sudah hafal sifat Senja hanya menggelengkan kepala."Bagus, kan?" celetuknya."Apa?! Kamu bilang bagus? Bagus dari mana?" ucap Senja tidak terima."Ya baguslah Pak Adam ngelakuin itu. Berarti kamu disuruh revisi segera biar cepat sidang.""Lalu apa ini? Coretannya banyak sekali. Mana sempat aku revisi dalam semalam.""Iya sih, Pak Adam tega juga ya? Melebihi Pak Pram," lirih Fifi. Ia tidak mau membuat Senja tambah kesal.Senja meletakkan berkas skripsinya di meja. Ia sudah meletakkan kepala di atas dua tangannya yang bersedekap di meja. Menatap Fifi yang kebingungan mau menghiburnya, Senja hanya mengomel tidak jelas di dalam hati. Ada benarnya juga kata Fifi, ternyata kerjaannya memang masih banyak yang perlu direvisi. Seharusnya ia bersyukur Adam sangat cermat mengoreksi. Andai hanya sambil lalu mengoreksinya bisa-bisa Senja dibantai saat sidang. Seulas senyum pun terbit di bibir Senja membuat Fifi heran."Tuh kan, tiba-tiba senyum sendiri. Pasti ada ide brilian buat ngerjain Pak Adam, ya, Ja?""Nggak?! Udah biarkan aja, kalau beliau menyusahkanku, lihat saja nanti beliau pasti susah sendiri.""Maksudnya, Ja?""Ingat kata ustad Akbar, kan, Fi? Kalau kita memudahkan urusan orang maka Allah mudahkan urusan kita," celetuk Senja dengan senyum khasnya."Ya kali benar kata ustad Akbar, Ja. Tapi nggak berlaku buat kamu. Urusan skripsi ya harus serius Pak Adam ngoreksinya. Itu juga buat kebaikan biar nanti mulus saat sidang." Kali ini Fifi ada benarnya. Senja memang hanya mencari pembelaan."Iya-iya. Aku ikhlas deh banyak revisi dari Pak Adam.""Ikhlas ya jangan bersungut gitu, Ja. Suram banget muka kamu.""Ishh, kamu kok malah meledekku sih, Fi.""Ini lho ngaca dulu." Fifi sudah menyodorkan ponselnya bermode kamera depan. Sontak saja Senja meringis hingga tampak deretan gigi putihnya."Udah sekarang makan yuk, laper nih," ajak Senja setelah memasukkan draf ke dalam tas. Ia tidak mau mengulangi sikap cerobohnya yang menaruh barang sembarangan hingga beberapa kali tertinggal. Bisa kacau kalau draft koreksian Adam tercecer."Oya Ja, mending nanti malam kamu pamit dulu deh sama Andre. Kamu selesaikan revisinya biar besok bisa menghadap Pak Adam," usul Fifi."Nggak, Fi. Aku jelas nggak enak. Kerja part time cuma mau cuannya aja. Aku juga harus mentingkan profesionalitas dong. Gimanapun nanti sikap kerjaku seperti ini juga akan kebawa saat kerja fulltime.""Ckkk, dibilangin cuma semalam kok, dasar keras kepala.""Tenanglah sahabatku, aku nanti bisa minta izin Andre kalau pengunjung mulai sepi. Aku bisa kerjakan di ruang karyawan.""Janji lho, Ja.""Iya, InsyaAllah." Senja menunjukkan dua jarinya membentuk huruf V. Ia tersenyum pada Fifi walau sebenarnya ia tidak yakin apa bisa mencur* waktu buat ngerjain revisi."Oya, Ja. Jadwal kajian akhir pekan di masjid kampus Ustad Akbar. Jangan sampai terlewat." Fifi terkikik setiap melihat perubahan mim*k wajah Senja yang berbinar kalau mendengar nama ustad idolanya itu. "Iya, Fi. Kamu kan alarmnya aku,"balas Senja santai membuat Fifi mendecis. Mereka lalu menikmati siomay dan batagor yang sudah dipesan beserta jeruk panas.*****Malam hari, Senja sudah berada di kafe tempatnya part time. Ia tidak lupa membawa berkas yang telah dicoret-coret Adam. Ia berharap dosennya tidak akan datang bersama kekasihnya malam ini.Senja dengan cekatan mengerjakan tugasnya melayani pelanggan. Ia sudah meminta izin pada Andre dan juga teman-temannya untuk rehat 1-2jam buat ngerjain revisi. Beruntung teman-temannya bisa memaklumi, meski sempat ada yang mengeluh karena malam hari kafe pasti ramai."Mbak, tolong pesanan saya!" Senja membelalak. Doanya ternyata tidak terkabul. Perempuan cantik yang datang bersama Adam memanggil Senja. Namun, kali ini Reva hanya sendiri membuat Senja tersenyum lega."Ada tambahan lain lagi, Nona?""Sementara itu dulu. Nanti kalau pasangan saya datang biar nambah lagi."Deg"Pasangan. Apa mungkin Pak Adam?""Hai, Rev. Maaf aku telat.""Nggak masalah, Sayang. Aku juga barusan sampai." Reva duduk dengan elegan di kursi yang ada di pojok seperti sudah menjadi tempat favoritnya.Senja terbelalak saat melihat Adam berjalan menuju ke arahnya. Semakin dekat jaraknya tiba-tiba ia dilanda kegugupan. Adam yang merasa Senja menatapnya fokus justru menautkan keningnya dalam. Keduanya terlibat adu tatap hingga membuat Senja kelabakan. "Maaf, saya siapkan dulu pesanan, Nona." Senja berlalu sambil menetralkan napasnya."Hampir saja ketahuan," batinnya sambil mengusap dada lega."Ya Rabb, kenapa Pak Adam ke sini lagi. Hobi banget sih berduaan di tempat beginian. Nggak ngerti apa memang orangnya mudah dikibulin sih. Jelas-jelas kalau malam hari ceweknya gandengan sama lelaki lain, hufh." Senja membetulkan topeng yang dipakainya untuk menghilangkan kecanggungan. Ia sudah menggumam sendiri tak jelas sambil menuju meja bar."Pesan apa, Dam? Biar pelayan tambahkan.""Biar aku ke sana pesan sendiri. Kamu tunggu di sini, Rev." Reva mengangguk. Ia menikmati musik yang sudah mulai membuat hasr*t berjogetnya mencuat. Ia pun tidak melewatkan kesempatan untuk bergabung dengan para pengunjung yang sudah berjoget lebih dulu.Sementara itu, Adam mengikuti langkah Senja yang terlihat seperti menghindari dirinya."Mbak, saya mau nambah pesanan teman.""Huh, teman. Kekasih kok bilangnya teman. Lelaki memang suka begitu ya biar nggak kelihatan sudah sold out," gerutu Senja. Entah kenapa ia malah kesal dengan sikap Adam yang berbohong."Maaf, Tuan bisa menambahkan di sini. Teman
Senja kelabakan mendengar ucapan Adam. Ia memang ceroboh tidak membaca lagi draft yang sudah di print. Ia bermaksud mengambil draft yang sedang dipegang Adam. Namun, dosennya itu tidak berniat melepaskan draftnya. Satu tangan kiri Adam justru menarik tangan kanan Senja."Tanganmu sudah diobati semalam?"Senja tertegun mendengar ucapan Adam. Hampir saja ia tersedak ludahnya sendiri. Matanya sudah tidak berani menatap lawan bicaranya. Segera ia menunduk lalu mengambil dengan cepat berkasnya. Beruntung dosennya sudah tidak memegangnya dengan erat. Sebab satu tangannya melepaskan draftnya."Maaf, Pak Adam membicarakan apa, ya?" Senja mencoba pura-pura tidak mengerti. Namun, kening Adam justru bertaut dan bibirpun tertarik sedikit ke samping."Ckk, gadis ini masih mau berkilah.""Sudahlah, Ja. Buat apa kamu bekerja di kafe itu malam-malam, huh? Saya jelas bisa mengenali gadis bertopeng tadi malam. Kamu harusnya menyelesaikan kuliahmu, bukan malah nyambi di sana. Kamu tahu kan di tempat itu
"Yang benar saja, Bapak sudah nekat. Ngapain juga saya harus pura-pura? Kan sudah ada Nona Reva. Lagian berbihing sama orang tua dosa, Pak. Saya nggak mau kena getahnya.""Reva belum siap, jadi kamu yang menggantikan.""TIDAK!""IYA!""Saya nggak mau Pak Adam yang terhormat.""Saya nggak terima penolakan. Tiga hari tiga malam segera beri jawaban atau saya carikan dosbing lain.""Ckk, dasar pemaksa."*****Sejak pertemuan dengan dosennya di kampus siang itu, Senja tidak tenang. Bayangan kelulusan yang terhambat selalu menghantui. Ini sudah dua hari yang berarti tinggal sehari dari batas yang diberikan Adam."Aku harus gimana, Fi? Buruk nih, buruk nasibku ganti dosbing." Berkali-kali Senja memukul meja di kantin. Fifi hanya mengulas senyum. Dengan sabar ia menunggu Senja melampiaskan emosinya."Fi, jangan cuma senyum dong. Bantuin aku mikir.""Lha gimana? Aku juga ga punya uang pribadi yang banyak, Ja. Gimana kalau kamu terima saja tawaran Pak Adam. Lagian cuma pura-pura juga." Fifi sebe
"Fi, di mana kamu?"Senja sudah sampai di sebuah bangunan gedung tinggi. Katanya kantor baru tempat Fifi kerja. Ia masih menunggu pesan singkat yang belum dibalas sahabatnya.Ting."Masuk aja, Ja! Parkirkan motorku di tempat yang pas. Jangan sembarangan parkir!"Melihat pesan balasan dari Fifi membuat Senja tergelak. Ia menahan tawa, tentu saja menertawakan dirinya sendiri. Suka ceroboh memarkirkan motor temannya saat di kampus atau di manapun."Stop! Stop dulu, Mbak!""Ah iya, maaf, Pak.""Mbak ada perlu ke kantor ini?" tanya satpam dengan muka serius. Senja yang tadinya kaget lantas mengobral senyum."Eh, itu, Pak. Saya ingin melamar kerja.""Maaf di sini nggak ada lowongan kerja, Mbak. Dua minggu yang lalu sudah ditutup lowongannya. Malahan udah ada yang masuk kerja karyawan yang diterima." Ungkapan satpam membuat Senja mengerutkan kening. "Bapak nggak bohong sama saya, kan?" ujar Senja sambil memainkan telunjuknya di depan wajah."Lha, mana mungkin saya berbohong. Itu coba baca p
"SENJA!" "Apa sih, Fi?" Senja merasa tidak ada yang janggal sementara Fifi justru tidak enak hati diperhatikan Restu sambil senyum sedari tadi."Ini Pak Restu bos aku. Bisa sopan nggak sih?"Senja membelalak sempurna. Urat malunya seolah putus, ia mati-matian sksd dengan lelaki ini di depan pos satpam. Ternyata lelaki yang dimaksud adalah bos di kantor ini. Menarik napas panjang, ia mengukir senyuman semanis madu."Selamat pagi Pak Restu," ucap Senja dibuat sebisa mungkin tidak gugup. Sambil memberi kode dua jarinya yang diangkat. Sontak saja Fifi menyikut sahabatnya yang sudah membuatnya malu benar."Kamu karyawan baru, bukan?" tanya Restu masih dengan mengul*m senyum. Tatapannya mengarah ke Fifi yang reflek menunduk. Senja justru mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan Restu. Tentu saja ini mengingatkannya saat di kantor Opa Zein."Iya, Pak. Saya Fifi. Ini teman saya Senja Kamila yang ingin mengisi lowongan sebagai cleaning service." Fifi menoel lengan Senja yang pandangann
Senja berangkat mengikuti kajian di salah satu masjid besar di kota Bandung. Ia sudah janjian dengan Fifi seperti biasa mengikuti kajian ustad Akbar idolanya."Hai, Ja. Di sini." Fifi terlihat melambaikan tangan setelah Senja memarkirkan motor."Naik apa tadi, Fi?""Dianter Andre. Dia langsung ke kafe.""Kalian ini nempel terus. Buruan dihalalin, takut kelamaan bosan nanti," celetuk Senja."Nunggu tabungan ngumpul dulu lah," balas Fifi cekikikan sambil merapikan pasminanya. Ia membuka tas selempangnya lalu menyerahkan satu lagi pasmina yang dipinjam Senja. Keduanya mencoba merapikan di sisi samping masjid dekat toilet."Ini kan pasmina mahal. Apa Fifi sebenarnya orang kaya? Kenapa ngaku orang nggak punya," batin Senja. Ia jelas tahu pasmina bermerk yang dibawa Fifi. Pasmina yang juga sering dipakai mama sama omanya."Gimana sih, susah amat pasminamu, Fi.""Ckk, kamu aja yang belum terbiasa, Ja." "Kayaknya besok beli jilbab yang langsung pakai aja, Fi. Repot pakai beginian. Yang kemari
Seminggu berlalu terasa cepat. Senja sudah mewanti-wanti dirinya agar tetap tenang. Namun, apa saja yang dikerjakan serba salah karena gugup. Ucapan Adam terngiang-ngiang di telinganya. "Ja. Yang ini belum lengkap snacknya. Nah ini malah dobel," tegur Fifi. "Maaf, Fi. Maaf." "Kamu kenapa salah-salah terus dari tadi. Biasa ceroboh tapi nggak ceroboh juga kalau soal makanan," ledek Fifi. Reflek Senja menyengir kuda. "Habisnya Pak Adam bikin otakku buntu tahu, nggak? Mana hari ini beliau minta aku ke rumahnya." Tawa Fifi seketika meledak. Senja pun bertambah kesal dibuatnya. "Kamu malah ikutan meledek sih, Fi." "Siapa suruh buat kesepakatan konyol sama Pak Adam?" "Uang, Fi. Demi uang buat bayar utang." "Iya-iya. Terima aja kalau gitu. Toh cuma pura-pura juga. Kalau beneran ya rejeki kamu, Ja." "What?! Rejeki apaan, yang ada aku rugi tahu nggak. Rugi waktu dan tenaga ditambah dosa berbohong sama orang tuanya." "Ya udah niatin yang baik aja biar nggak jadi dosa." "Gimana caran
"Hah?!" Dua kakak adik reflek matanya membola. Sementara itu, Senja hanya berkomat kamit sambil menunduk. Salah sendiri, ia menerima kesepakatan dua laki-laki muda di depannya hanya demi sejumlah uang untuk melunasi utang modal bisnis. Kesepakatan untuk menjadi kekasih bayaran. Ternyata lelaki itu kakak adik. "Sini, mana calon yang mau kalian kenalin ke Umi? Katanya hari ini mau kalian ajak ke rumah." "Ini Mi calonnya," tunjuk Adam dan Restu bersamaan ke arah Senja. Umi Nayla pun terperanjat mendengar ungkapan kedua putranya. "Astaga, kenapa aku terlibat masalah rumit begini. Ingin rasanya bumi menelan bulat-bulat hingga aku menghilang dari dua laki-laki yang menyusahkanku." Senja meringis sambil menangkupkan kedua tangan. Ia melihat Umi Nayla syok. "Siapapun tolong bawa aku kabur dari sini!" "Ckk, kalian ini nggak usah mengarang. Ayo Sela ikut saya!" Baik Adam dan Restu hanya melongo sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Nayla dengan santainya mengajak masuk Senja ke rumah.