Share

Bab 5 Syok

"Tunggu!" Senja berhenti dengan posisi memunggungi Adam. Lelaki itu mencoba menghirup kembali aroma parfum yang menguar di hidungnya. Lalu syarafnya mengirimkan ke otak dan merespon seperti pernah mengenali parfum itu.

"Sepertinya kita pernah bertemu Nona."

Senja menarik napas panjang. Berusaha menetralkan debaran jantungnya yang masih bertalu, ia menoleh ke belakang.

"Maaf, Tuan salah kira. Saya baru pertama kerja di sini."

"Sela. Tolong layani pelanggan di depan ya, tambah ramai nih!" seru teman Senja. Kedua perempuan bertopeng itu berlalu meninggalkan Adam yang termangu. Entah kenapa begitu mencium aroma parfum segar tadi, benaknya terlintas wajah mahasiswanya yang ditemui tadi siang. Siapa lagi kalau bukan Senja.

"Ckk. Apa-apaan ini, kenapa aku malah teringat gadis itu." Adam membuang napasnya kasar. Ia segera kembali ke tempat duduknya tadi.

"Adam, kamu kemana aja? Aku nyari-nyari tadi. Lho perut kamu kenapa?" Reva dengan suara manjanya terlihat begitu mengkhawatirkan Adam. Perempuan berprofesi sebagai pramugari itu jelas tidak dipungkiri kecantikannya. Adam dan Reva berteman sejak SMP dan SMA. Mereka dekat sebagai sahabat. Setelah Adam kuliah, Reva memilih mendaftar jadi pramugari sesuai impiannya.

Berkali-kali Adam ingin mengenalkan Reva secara serius pada orang tuanya. Namun, Reva menolak dengan alasan belum siap. Perempuan cantik itu khawatir profesinya terhenti karena harus menikah secepatnya. Mengingat orang tua Adam tidak menyetujui kalau mereka pacaran lama. Mereka lebih mendukung perkenalan singkat kalau cocok langsung menikah supaya tidak terjerumus hal-hal yang buruk.

"Tadi aku mengira ada yang menggambil gambar kita."

"Apa?!" Emosi Reva tiba-tiba mencuat.

"Sekarang dimana orangnya, Dam?" Reva berdiri dengan raut wajah dipenuhi emosi. Reflek, Adam menarik lengan Reva untuk duduk kembali.

"Tenang saja, Rev! Aku sudah mengatasinya. Lain kali kita nggak usah ke sini lagi." Adam merasa hal ini bisa menjadi senjatanya untuk mencegah Reva sering datang ke tempat hiburan.

"Tapi kamu...." Reva memegang perut Adam yang sempat dipukul Senja.

"Nggak papa, Rev. Biasalah lelaki kalau ingin melindungi apa yang menjadi miliknya pasti berjuang sekuat tenaga."

Mendengar ucapan Adam, hati Reva menghangat. Ia masih percaya Adam tidak berpaling dari hatinya.

"Kalau gitu, ayo minum!"

"Ya, minum dan kita segera pulang," titah Adam. Kali ini ucapannya begitu menuntut. Ada raut kecewa yang tergambar di wajah Reva. Namun, ia tidak ingin membuat Adam kesal setelah tadi berusaha melindungi dirinya dari orang asing yang mau mengambil gambarnya.

Dari kejauhan, Senja bisa melihat Adam dan Reva telah meninggalkan kafe. Ia menghela napas panjang, lalu kembali melakukan pekerjaannya.

"Mbak Sela, ada apa? Aku lihat dari tadi Mbak seperti memperhatikan pengunjung yang baru pergi."

"Eh, enggak, Dek. Hanya tadi salah paham aja."

"Mbak nggak papa, kan?" Senja menggeleng.

"Syukurlah, Pak Adam dan pacarnya udah pergi. Kalau ketahuan fotonya di HP ku bisa-bisa aku kena masalah besar."

Tak terasa waktu hampir larut malam. Jam menunjukkan angka sebelas. Senja diminta Andre untung pulang lebih awal. Sebab lelaki itu tahu kalau Senja harus ke kampus esok hari.

"Tapi, Ndre. Nggak apa-apa aku pulang lebih awal, nih?" tanya Senja ragu.

"Udah sana pulang, sebelum aku berubah pikiran."

"Ckk, iya-iya. Dasar pemaksa. Kasian Fifi kalau jadi nikah sama kamu," canda Senja.

"Ishh. Dia malah suka kalau aku paksa."

"Dasar kamu Ndre." Andre terbahak lalu menoyor dahi Senja.

"Nggak usah piktor, anak kecil. Sana pulang. Naik taksi aja udah malam."

"Nggak, aku naik ojek aja. Ntr habis uangku buat naik taksi."

"Naik taksi!" Andre memberi titah tak terbantahkan.

"Lupa, kalau aku bisa beladiri? Kalau naik taksi emangnya nggak bahaya juga." Senja mendengkus kesal. Ia hanya mengiyakan meskipun sampai di luar kenyataannya ia naik ojek.

"Melas banget nasibku. Andai manut sama mama papa, aku nggak perlu susah payah nyari rupiah begini. Tapi, aku juga ingin meraih impianku jadi pengusaha seperti Opa Zein, apa salahnya? Kalau Opa dan Oma sampai tahu cucunya begini pasti mereka bakal sedih. Ah, aku nggak boleh menyerah. Kegagalan bukan akhir segalanya. Yang penting utang lunas dan aku bisa buka bisnis lagi. Kali ini aku harus penuh perhitungan."

Baru saja Senja mau menghampiri driver ojek, ada sebuah mobil mewah melewatinya. Ia menatap ke arah mobil yang baru kali ini dilihat mengunjungi tempatnya bekerja.

"Hmm, mungkin memang pengunjung malam hari orang-orang berduit. Berbeda dengan saat aku kerja siang hari," ucapnya bermonolog. Namun, Senja membelalak begitu melihat penumpang yang baru keluar. Perempuan cantik dan seksi mengibaskan rambut panjangnya.

"Itu, itu kan kekasihnya Pak Adam. Kenapa dia datang lagi."

"Ayo, Sayang! Kita senang-senang malam ini."

"Kamu nggak takut ketahuan pacarmu, Rev."

"Dia kan selalu percaya sama aku. Salah sendiri nggak mau menuhi apa yang kubutuhkan."

Senja hanya menelan salivanya. Tak mau melewatkan kesempatan, ia segera mengabadikan diam-diam pasangan yang baru datang. Entah atas dasar apa, Senja hanya ingin memotret saja.

"Kasian Pak Adam dikadalin sama pacarnya."

*****

Keesokan harinya, Senja sudah berada di depan ruang Adam. Ia mengetuk pintu sambil menetralkan napasnya. Mengingat kejadian semalam, mendadak ia gugup. Manatahu dosennya masih ingat kejadian tak terduga itu.

"Hufh, aku kan pakai topeng. Beliau pasti nggak mengenaliku."

"Masuk!"

"Permisi, Pak." Kali ini Senja tidak percaya diri seperti kemarin. Ia hanya sesekali memandang dosennya. Mengingat kejadian semalam begitu memalukan baginya. Jarak wajahnya yang dekat dengan Adam membuat pipinya tiba-tiba memanas. Adam hanya mengerutkan kening heran dengan tingkah Senja yang berkebalikan dengan kemarin.

"Silakan duduk! Ini hasil koreksi saya. Silakan direvisi!"

Bola mata Senja membulat sempurna. Ia membolak-balik draft yang disodorkan oleh Adam. Berharap ini hanya mimpi. Jelas ia, syok. Lembaran-lembaran putih itu sudah menjadi bendera Indonesia. Senja tidak menyangka draft skripsinya dipenuhi coretan spidol merah. Dipikirnya Adam hanya akan mencoret sedikit yang kurang lalu di ACC.

"Pak Adam?!"

"Ya. Ada yang ingin kamu sampaikan?"

"Ini benar saya harus revisi sekian banyak ini, Pak?" Alis Senja sudah terangkat karena heran dosbing barunya tega menurutnya.

"Iya memangnya kenapa? Bukankah kamu pengin segera sidang? Saya serius mengoreksi dengan cepat."

"Apanya sidang, kalau gini jadinya aku nggak lulus-lulus," batin Senja sambil menahan emosi.

"Kerjakan malam ini, besok bawa ke saya lagi."

"Hah? Tapi, Pak. Ini banyak revisinya," mohon Senja. Ia tidak mungkin selesai dalam semalam karena banyak yang harus direvisi. Ditambah nanti malam, ia harus kerja lagi di kafe.

"Sekarang pulang dan kerjakan sampai malam pasti selesai," saran Adam dengan tatapan dingin. Dalam hati ia merasa senang membuat mahasiswanya kesal.

"Pak Adam tega sekali. Pak Pram nggak mungkin buat saya susah," gerutu Senja.

"Dosennya Pak Pram atau saya?" ucap tegas Adam sambil menatap wajah Senja yang memelas.

"Astaga, mata itu? Kenapa aku jadi ingat perempuan semalam." Adam segera membuang pandangan ke arah lain. Alih-alih fokus membimbing, Adam justru menghirup udara sekitar. Berharap ada aroma parfum yang sama dengan dugaannya semalam.

"Sudah selesaikan malam ini juga. Besok pagi ketemu saya. Karena siang saya sudah harus pergi bertugas ke luar kota."

"Tapi, Pak. Nanti malam saya...." Alis Adam terangkat menanti kalimat Senja yang belum lengkap.

"Nggak ada tapi Senja. Memangnya nanti malam kamu mau kemana?" tanya Adam penuh selidik.

"Eh, enggak kemana-mana, Pak. Saya di kos banyak tugas kuliah."

"Kamu kan tinggal skripsi. Jangan suka berbohong!" Senja menggaruk kepalanya. Ia hanya menyengir kuda karena ketahuan berbohong.

Senja berpamitan dengan perasaan dongkol. Tangan hendak memegang handel pintu, Adam menyusulnya.

"Tunggu, Senja!"

"Ya, Pak." Adam mencoba mengikis jarak.

"Ingat pesan saya. Jangan suka keluyuran malam hari. Tugasmu harus selesai kalau ingin cepat lulus."

Deg.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status