Share

Bab. 4

Author: Rossy Dildara
last update Last Updated: 2024-05-01 18:18:15

"Ah enggak, enggak! Aku nggak mau!" Nathan menggeleng cepat, berusaha menolak keras apa yang ada dalam benaknya.

Meskipun hal itu untuk kebaikan, tapi tetap saja Nathan tidak bisa. Menyetujui permintaan Elsa untuk menikah lagi saja itu sudah salah, apalagi sampai menyentuh perempuan lain selain dirinya.

Nathan berpikir, mungkin saja diluar sana Elsa sedang menangis. Karena membayangkan suaminya tengah memadu kasih dengan madunya.

"Enggak, sampai kapan pun aku nggak akan menyentuh Silla! Biarkan saja kalau aku dan Elsa nggak punya anak selamanya, yang terpenting aku nggak bersentuhan dengan perempuan yang sok kecantikan macam Silla!" serunya dengan tekad yang kuat.

***

Keesokan harinya.

Dengan berat, mata Silla terbuka dan sontak dia terkejut melihat Nathan berdiri di hadapannya sambil menatapnya dengan dingin.

"Eh, Kak. Selamat pagi. Jam berapa sekarang?" tanyanya dengan canggung, Silla mengalihkan pandangannya ke meja nakas, melihat jam weker di sana yang menunjukkan pukul 6. "Astaghfirullah, aku kesiangan. Nggak sholat Subuh!" Silla menyeru dengan keterkejutannya, dia langsung loncat dari kasur dan berlari menuju kamar mandi.

Mata Nathan langsung melotot, melihat apa yang dipakai oleh Silla. Dia sendiri baru tahu sekarang, jika semalam perempuan itu mengenakan baju kurang bahan. Jadi wajar Nathan tampak terkejut seperti ini.

'Dasar perempuan nggak tau malu. Bisa-bisanya dia memakai baju seperti itu, seolah-olah ingin menggodaku. Untung saja semalam aku mengurungkan niat untuk menyentuhnya,' batin Nathan, merasa bangga dengan keputusannya.

Namun, tak dipungkiri bahwa jantungnya tiba-tiba merasa bergetar saat tak sengaja dia melihat belakang bokong Silla yang begitu putih dan mulus.

"Ya Allah ... aku juga baru ingat nggak bawa mukenah," ucap Silla yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk kimono. Dia mandi seperti kilat, cepat sekali. "Oh iya, kemarin itu Elsa sekalian bawain aku mukenah nggak, ya?" Perempuan itu lalu berjalan menuju koper dan membukanya. Sementara Nathan, sedari tadi hanya memerhatikannya yang sibuk sendiri. Tapi tak berniat untuk membantunya.

"Ah sayang sekali, ternyata nggak ada. Sepertinya Elsa memang lupa," keluh Silla, lalu menatap ke arah Nathan. Pria itu langsung memalingkan wajahnya dan bersedekap. "Kakak, aku boleh minta tolong nggak?"

Hening.... Nathan sama sekali tak menanggapi.

"Aku cuma mau minta tolong pinjami aku hape. Soalnya aku lupa bawa hape, Kak. Aku mau telepon Elsa, minta dia untuk membawakan mukenah."

"Nggak tau diri sekali kau ini, kau pikir istriku babumu?!"

Silla terkejut, mendengar Nathan yang akhirnya mau berbicara padanya. Akan tetapi, pria itu mengatakannya dengan nada membentak. Tampak seperti marah.

"Maaf, bukan maksudku begitu, Kak. Tapi kemarin Elsa sempat bilang padaku, kalau butuh apa-apa tinggal telepon dia saja."

Silla berbicara apa adanya. Memang benar Elsa sempat mengatakan hal itu setelah dia dan Nathan bertukar cincin kawin.

"Kalau memang Elsa mengatakan hal itu, tapi bukan berarti kau bisa bertindak semaunya Silla!" Nathan memperingati, bahkan dia menunjuk wajah Silla penuh kebencian. "Ingat! Posisimu hanya istri kedua di sini, hanya orang kedua! Jadi jangan berharap menjadi yang utama, apalagi diutamakan oleh madumu! Kau harusnya sadar diri!!!" tegasnya memberikan pemahaman.

"Ya Allah, Kak. Kakak jangan salah paham, aku sama sekali nggak bermaksud—"

"Cukup!!" sergah Nathan. "Aku sama sekali nggak butuh penjelasanmu! Sekarang, pakai bajumu. Tapi jangan baju yang tadi kau pakai. Kita akan pulang!" tambahnya, kemudian berlalu keluar dari kamar dan kembali membanting pintu.

Brrakkk!!

Silla kembali tersentak, tapi segera dia mengelus dadanya. Menghela napasnya dengan berat.

"Astaghfirullahallazim Kak Nathan. Segitunya Kakak membenciku."

"Elsa, bagaimana bisa aku memberikan kamu anak. Sementara suamimu saja begitu galak dan dingin padaku. Apa aku benar-benar salah mengambil keputusan?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Madu Sahabatku   Bab. 78 (END)

    Beberapa menit setelah kepergian Haikal dan Herlin, keheningan menyelimuti ruangan. Silla mengamati Nathan dengan seksama. Kegelisahan yang disembunyikannya tampak jelas bagi Silla, terlihat dari raut wajahnya yang tegang dan tangannya yang sesekali mengepal. Dia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Nathan. "Kakak kenapa? Dari tadi aku perhatikan... Kakak seperti gelisah. Ada masalah?" tanya Silla dengan lembut, suaranya penuh kekhawatiran. Dia meraih tangan Nathan, sentuhannya lembut namun penuh perhatian. Nathan menggeleng cepat, namun gerakannya terlihat kaku dan terburu-buru. Dia mencoba untuk menutupi kegelisahannya, tak ingin membuat Silla sedih dan khawatir. Perempuan itu terlihat sangat lelah setelah melahirkan. "Tidak kok," jawabnya, suaranya sedikit serak. "Sekarang kamu istirahat saja, ya? Kamu pasti capek. Atau... kamu lapar? Sebelum melahirkan kamu 'kan belum sempat makan siang." Dia berusaha mengalihkan pembicaraan, namun kegelisahannya masih terlihat jelas.

  • Menjadi Madu Sahabatku   Bab. 77

    "Tapi, Pa—" "Papa baik-baik saja, Ma," potong Haikal meyakinkan. Nathan menghela napas panjang, berat. "Alasannya, aku sendiri belum tau, Ma, Pa. Tapi tentang Elsa... dia sekarang di Bandung, bersama Daddy." Mata Herlin membulat tak percaya. "Bandung? Tadi pagi bukannya di berita, ada gempa di sana, kan?" Suaranya bergetar, khawatir. "Iya, Ma. Benar." Nathan merasakan jantungnya berdebar kencang. "Lalu, bagaimana keadaan Elsa? Dia tidak apa-apa, kan?" Herlin tampak sangat cemas. "Elsa—" Nathan terhenti. Suara tangis bayi memenuhi ruangan, tangis yang begitu nyaring, menandakan awal kehidupan yang baru. "Ooeee ... Ooeee ... Ooee ...." "Alhamdulillah... Itu anakku, Pa, Ma. Dia sudah lahir," bisik Nathan, suaranya bergetar menahan haru. Dia langsung sujud syukur, air matanya mengalir deras. "Alhamdulillah ya, Allah." Herlin dan Haikal berucap bersama, air mata mereka juga menetes. Seorang dokter wanita dengan seragam operasi keluar. "Selamat, Pak Nathan. Anda telah menjadi ayah

  • Menjadi Madu Sahabatku   Bab. 76

    "Sudah apa?" "Daddy-mu sudah meninggal, Tan." Suara Dahlia makin terisak. "Dan pihak polisi meminta tanda tangan Mommy, supaya mereka bisa mengantarkan jenazah Daddy pulang ke Jakarta." "A-apa?! M-meninggal?!" Mata Nathan melebar sempurna. Jantungnya berdebar-debar hebat, tubuhnya menegang kaku. Meskipun kebencian masih membara di hatinya, air mata tak terbendung. Dia menangis pilu, meratapi kepergian ayahnya yang begitu mendadak. "Oh ya, dan satu lagi. Katanya korban perempuan yang ada di sana adalah Elsa, Tan." "Elsa??" Suara Nathan terdengar serak. "Iya." "Elsa sendiri, bagaimana? Apakah dia—" Pertanyaan itu terhenti, digantikan oleh firasat buruk yang semakin kuat. "Elsa juga meninggal. Dia ikut tertimpa reruntuhan bangunan." "APA??" * * *

  • Menjadi Madu Sahabatku   Bab. 75

    'Maafkan Daddy, Sayang. Untuk hal ini... Daddy tidak bisa mengabulkan permintaanmu.Bukan apa-apa. Jika itu terjadi, dan Silla meninggal, Daddy bisa di penjara, dan kamu... kamu akan kembali bersama Nathan. Itulah yang Daddy takutkan.'Darwin tersenyum getir, lalu mereka duduk di sofa untuk melaksanakan ijab kabul. Karena Darwin ingin segera menikahi Elsa, pernikahan mereka pun dilakukan secara siri."Saya terima nikah dan kawinnya, Elsa Alfian binti Haikal Alfian, dengan mas kawin ...."Ijab kabul itu diucapkan, menggema khidmat di ruangan. Para saksi yang hadir langsung bersorak gembira."Sah!! Sah!!"Mereka resmi menjadi suami istri.Tiba-tiba, goncangan dahsyat mengguncang seisi ruangan. Bumi bergetar hebat, seakan-akan hendak retak."Dad!! Ada apa ini?? Kenapa semuanya berguncang?" jerit Elsa, panik dan ketakutan. Darwin segera berdiri, meraih tangan Elsa erat, berusaha membawanya keluar."Se

  • Menjadi Madu Sahabatku   Bab. 74

    Beberapa bulan kemudian...Tok! Tok! Tok!!Bunyi ketukan palu hakim memecah kesunyian ruang sidang, menandai berakhirnya babak panjang dalam hidup Nathan.Perceraiannya dengan Elsa telah resmi diputuskan. Ironisnya, dari sidang pertama hingga putusan akhir, Elsa tak pernah hadir. Begitu pula Darwin, yang seolah menghilang ditelan bumi. Ketiadaan mereka seakan menjadi saksi bisu atas berakhirnya sebuah ikatan."Kak ... ke mana ya, Elsa? Sejak awal hingga akhir sidang, dia tak pernah datang. Apakah dia baik-baik saja?" tanya Silla, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Dia setia menemani Nathan, meski memilih menunggu di mobil sesuai permintaan suaminya.Nathan menghela napas panjang. "Aku tak tau, Sayang. Papa dan Mama sudah mencoba menghubunginya, tapi... sudahlah. Biarkan saja. Yang terpenting, aku dan Elsa sudah resmi bercerai."Silla mengangguk pelan. "Iya, Kak.""Baiklah... sekarang kita makan, ya? Setelah itu, kit

  • Menjadi Madu Sahabatku   Bab. 73

    "Alhamdulillah... akhirnya Papa sudah bangun."Herlin tersenyum haru, melihat sang suami baru saja siuman. Haikal menatapnya dengan tersenyum tipis, manik matanya berkeliling menatap sekitar."Bagaimana keadaan Papa sekarang? Apa yang Papa rasakan? Apa dada Papa masih sakit?" Masih dengan raut kecemasan, Herlin menyentuh lembut dada suaminya."Enggak. Papa baik-baik saja." Haikal menjawab dengan lirih, menggeleng pelan. "Silla dan Nathan ke mana, Ma? Dan Papa sakit apa?""Mereka ada di sana, Pa." Herlin menunjuk ke arah lantai, dekat ranjang. Di sana ada Silla dan Nathan yang tengah tertidur dengan balutan satu selimut beralaskan kasur lantai. "Dan Papa sempat kena serangan jantung kata Dokter. Tapi sekarang Papa pasti akan segera sembuh, Papa jangan memikirkan hal yang berat-berat dulu, ya?"Mata Haikal berkaca, linangan air matanya perlahan membasahi pipi. "Bagaimana Papa tidak memikirkannya, sementara Elsa selalu membuat ulah. Masalah dengan Silla saja belum selesai, sekarang ada l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status