Share

Bab. 5

Author: Rossy Dildara
last update Last Updated: 2024-05-01 23:01:49

Lima belas menit menunggu di mobil, akhirnya Nathan melihat Silla datang dengan susah payah mendorong kopernya.

Namun, melihat penampilan Silla yang mengenakan kaos pendek serta celana kolor yang dia yakini miliknya, membuat dia terkejut sendiri.

"Heh! Aku baru tadi ngomong supaya kamu itu tau diri, ya! Kenapa kamu belum paham juga sampai sekarang??" geram Nathan berteriak, setelah jendela mobilnya dia buka.

"Maksud Kakak apa? Memangnya apa yang salah?" tanya Elsa bingung.

"Pakai nanya, itu yang kau pakai apa, hah?" Nathan menunjuk tubuh Silla. "Itu pakaianku, kan?"

"Oohh ini?" Silla mencubit kecil ujung bajunya, lalu menatap sang suami. "Maaf, Kak. Aku pinjam dulu ya, baju Kakak. Nanti sampai rumah langsung aku cuci dan balikin."

"Enak saja pinjam-pinjam, nggak! Nggak boleh!" tegasnya melarang. "Sekarang lepas! Ayok lepas, Silla!" desaknya memaksa.

"Ya Allah Kakak, aku hanya—"

"LEPASS!!!" pekik Nathan dengan suara menggelegar. Dia merasa tidak ikhlas, jika pakaian yang sering dia pakai dipakai oleh Silla.

"Astaghfirullah, iya, iya!"

Entah sudah berapa kali, jantung Silla terguncang karena kaget dengan ulah Nathan. Tapi bergegas, dia menarik baju itu hingga terlepas. Namun, sungguh terkejutnya Nathan melihat perempuan itu kini hanya memakai bra.

"Astaga, Silla! Apa kau gila?!" Dengan panik, Nathan langsung membuka pintu dan menarik Silla untuk masuk. Dia juga segera menaikkan jendela mobil.

Nathan tak mau, jika ada orang lain melihat Silla dengan keadaan seperti itu. Karena walau segimana bencinya pun dia, Silla tetaplah istrinya. Nathan ikut malu.

"Apa-apaan kau ini, cepat pakai lagi bajumu. Apa kau sama sekali nggak malu? Dasar nggak punya harga diri!"

"Enak saja aku nggak punya harga diri. Jelas punya lah, Kak," kesal Silla, segera memakai kembali kaosnya. "Kan Kakak sendiri yang nyuruh lepas baju. Aneh."

"Ya enggak diluar juga kali. Kamu ini 'kan harusnya punya otak!" Nathan langsung menyentil dahi Silla dengan gemas. Membuat perempuan itu meringis.

"Maaf, lagi-lagi aku salah."

"Sekarang masukkan koperku tadi ke dalam bagasi, lalu ambillah bajumu. Setelah itu kau masuk dan langsung ganti baju."

"Kakak mau aku pakai lingerie? Apa nggak malu? Aku nggak mau ah!" tolak Silla.

"Siapa juga yang ingin melihatmu pakai baju haram itu. Aku juga nggak mau!"

"Ya terus gimana? Masalahnya hanya baju itu yang ada dikoper, Kak. Selebihnya baju-baju Kakak."

"Mana mungkin hanya baju itu, pasti ada baju yang lain!" Nathan tampak tidak percaya.

"Demi Allah, Kak. Kalau Kakak nggak percaya silahkan cek sendiri."

"Awas saja kalau kau berani bohong! Aku akan meninggalkanmu di sini," ancam Nathan kemudian turun dari mobil.

"Boleh!" Silla menyahut dan tak takut.

Nathan langsung membongkar koper itu, bahkan menuangkannya ke dalam bagasi belakang mobil supaya dia bisa leluasa mencari.

Dan ternyata, apa yang dikatakan Silla benar. Hanya beberapa baju kurang bahan yang dia temukan, tak ada baju perempuan yang lain.

"Bisa-bisanya Elsa ngirim baju haram untuk Silla, padahal nggak ada pantas-pantasnya sama sekali!" gerutunya kesal. Kemudian masuk lagi ke dalam mobil.

"Bagaimana, ketemu Kak bajunya?" tanya Silla.

Pria itu menggeleng, kemudian dengan raut cemberut dia segera mengemudikan mobil. Mau tidak mau, akhirnya pakaiannya dipinjam oleh Silla.

"Oh ya, nanti setelah kita sampai rumah dan Elsa bertanya tentang malam pertama kita. Kamu jawab saja bahwa kita sudah melakukannya, ya?"

"Kenapa begitu, Kak?" Silla tampak bingung, karena itu berarti Nathan memintanya untuk berbohong. "Bukannya itu sama saja seperti berbohong, kan kita belum ngapa-ngapain."

"Udah sih nggak usah bawel. Cukup turuti saja permintaanku. Lagian, siapa juga yang mau menyentuhmu. Nggak sudi, ya!" tegas Nathan.

Silla dapat merasakan sesak pada dadanya. Ternyata berbicara secara langsung terdengar jauh lebih menyakitkan dibanding berbicara dibelakang.

"Kok diam?" tanya Nathan, setelah beberapa saat Silla tak ada tanggapan.

"Aku harus jawab apa memangnya, Kak?"

"Ya iya kek atau apa gitu. Kan aku daritadi nungguin jawabannya. Kamu ini nggak ngerti-ngerti juga daritadi, ya! Dari dulu memang selalu membuatku kesal!" gerutu Nathan emosi, dia mendesaah dengan berat.

"Iya, Kak," jawab Silla, lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela. 'Sabar, Silla. Ini semua untuk kebahagiaan Elsa,' batinnya mencoba tegar.

*

*

"Assalamualaikum, Sayang ...," ucap Nathan setibanya dia di rumah mewahnya dan membuka pintu.

Sementara Silla di belakang ikut menyusul sambil mendorong koper mereka.

"Eh, Pak Nathan dan Nona Silla sudah pulang." Seorang pembantu rumah tangga datang menghampiri mereka, lalu mengambil alih koper di tangan Silla. "Selamat pagi Pak ... Nona."

"Pagi juga, Bi," sahut Silla sambil tersenyum.

"Di mana Elsa, Bi? Apa ada di kamarnya?" Nathan terlihat senang dan tidak sabar, ingin cepat-cepat bertemu dengan istri tercintanya. Kedua kaki itu kini melangkah cepat menyusuri anak tangga, namun ucapan Bibi pembantu seketika menghentikannya.

"Bu Elsa belum pulang, Pak. Sejak semalam."

"Belum pulang sejak semalam?!" Nathan menoleh, lalu turun dari anak tangga dengan raut heran. "Ke mana?"

"Saya nggak tau, Pak. Saya kira sama Bapak dan Nona Silla. Soalnya 'kan perginya bareng."

"Jadi Elsa belum pulang, dari pas pergi bertiga denganku, Bu?"

"Iya." Bibi mengangguk cepat.

"Ya Allah, ke mana Elsa?" Rasa khawatir menghinggapi ruang hati Nathan. Segera dia duduk di sofa lalu menghubungi Elsa via telepon. Sementara Silla, dia langsung menuju dapur untuk mencari makanan.

Perutnya terasa sangat lapar, karena sejak pagi belum sempat sarapan. Bahkan minum pun belum, karena memang Nathan membawanya pulang dengan buru-buru.

Satu panggilan, dua panggilan, tiga panggilan, dan empat panggilan akhirnya berhasil diangkat. Nathan merasa sangat lega.

"Assalamualaikum, Sayang. Apa kamu baik-baik saja?"

"Walaikum salam." Suara Elsa terdengar serak seperti bangun tidur. "Aku baik-baik saja, kenapa, Mas?"

"Kamu ada di mana, Sayang?"

"Aku ada rumah. Mas bagaimana malam pertamanya dengan Silla? Apa semuanya lancar?"

"Yang benar aja kamu ada di rumah, tadi barusan Bibi bilang padaku kalau kamu belum pulang."

"Kapan Mas telepon Bibi?"

"Aku nggak telepon Bibi, tapi aku pulang. Aku udah ada di rumah sekarang."

"Sayang ... kamu teleponan sama siapa?" Tiba-tiba, terdengar suara pria dari sana. Dan suara itu sangat familiar ditelinga Nathan.

"Lho, itu 'kan suara Daddy. Kamu lagi sama Daddy, Yang?" tanyanya yang tampak bingung.

Daddy yang dimaksud ini adalah ayah kandung Nathan. Dia memang memanggilnya dengan sebutan Daddy.

"Ooohhh iya, itu Daddy. Aku sekarang ada di rumah Daddy, Mas."

"Tadi kamu bilang di rumah, sekarang di rumah Daddy. Gimana sih kamu, Yang?" Nathan semakin bingung, dia juga jadi curiga dengan apa yang terjadi sebenarnya.

Apakah ada yang Elsa sembunyikan? Itulah yang ada dalam benaknya.

"Aku tadi bangun tidur, Mas. Jadi nyawaku belum sepenuhnya kumpul. Aku nggak ingat bahwa semalam menginap di rumah Daddy, jadi aku mengira sekarang ada di rumah," jelas Elsa, supaya tak membuat sang suami salah paham.

"Tapi kenapa kamu harus menginap di rumah Daddy, Yang? Dan kamu juga nggak ngomong dulu sama aku."

"Semalam itu nggak niat sebenarnya, Mas. Cuma tiba-tiba Daddy telepon pas aku pulang nganterin kamu dan Silla. Dia bilang kalau aku suruh nginap aja di rumahnya, biar aku nggak kesepian. Maaf juga kalau aku lupa ngabarin, karena aku memang nggak mau ganggu waktu kalian, Mas."

"Kamu ini bicara apa sih, Yang? Aku nggak suka, ya, kamu terus menerus mengatakan kata 'menganggu'! Silla itu nggak penting buatku!" tegas Nathan marah, tampak tersinggung dengan ucapan istrinya.

"Maaf, Mas. Kamu nggak perlu marah. Ya udah ... aku pulang sekarang, ya? Kamu udah sarapan belum? Biar nanti aku sekalian mampir ke restoran."

"Aku udah sarapan, Yang. Dan biar aku aja yang jemput kamu ke rumah Daddy, ya? Tunggu sebentar."

"Enggak usah, Mas! Aku bisa pulang sendiri kok!" sahut Elsa cepat. Dan entah mengapa suaranya mendadak seperti orang yang panik.

"Enggak apa-apa. Aku jalan sekarang."

"Dih, Mas, nggak usah. Lagian aku juga mau sekalian ke bengkel. Mau ngambil mobilku yang sempat diservise semalam."

"Nggak apa-apa, malah lebih bagus aku antar. Udah, ya, assalamualaikum, Sayang."

"Tapi, Mas—" Ucapan Elsa seketika terputus, saat Nathan memutuskan panggilan.

Pria itu bergegas keluar dari rumah, lalu masuk ke dalam mobilnya.

Silla yang melihat kepergian Nathan hanya diam dan memandanginya. Tadi dia juga tak sengaja mendengar percakapan Nathan lewat telepon, yang terdengar sangat mengkhawatirkan Elsa.

*

*

Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya Nathan tiba dikediaman kedua orang tuanya. Sebuah rumah mewah bercat silver.

Mobil sedan lamborghini berwarna hitam itu kini telah masuki halaman, lalu tak lama sang pemiliknya turun dari sana.

"Selamat pagi Pak Nathan," sapa satpam penjaga rumah yang baru saja membukakan pintu mobil untuknya.

"Pagi juga, Pak." Nathan tersenyum, tapi dahinya tampak mengerenyit karena tak melihat keberadaan mobil sang Daddy. "Apa Daddy udah berangkat kerja, Pak?"

"Pak Darwin dari semalam ...." Ucapan satpam itu seketika terputus ketika mobil Elsa memasuki halaman.

"Lho, Yang?" Nathan tampak bingung, melihat istrinya keluar dari sana dan langsung berlari memeluk tubuhnya.

"Apa Mas kangen sama aku?"

"Tentu saja aku kangen." Nathan dengan lembut mengusap punggung Elsa. Lalu bertanya dengan rasa penasaran yang mendalam. "Tapi kamu habis dari mana? Kok pergi dengan mobil, dan bukannya mobilmu katanya diservise di bengkel, ya?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Madu Sahabatku   Bab. 78 (END)

    Beberapa menit setelah kepergian Haikal dan Herlin, keheningan menyelimuti ruangan. Silla mengamati Nathan dengan seksama. Kegelisahan yang disembunyikannya tampak jelas bagi Silla, terlihat dari raut wajahnya yang tegang dan tangannya yang sesekali mengepal. Dia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Nathan. "Kakak kenapa? Dari tadi aku perhatikan... Kakak seperti gelisah. Ada masalah?" tanya Silla dengan lembut, suaranya penuh kekhawatiran. Dia meraih tangan Nathan, sentuhannya lembut namun penuh perhatian. Nathan menggeleng cepat, namun gerakannya terlihat kaku dan terburu-buru. Dia mencoba untuk menutupi kegelisahannya, tak ingin membuat Silla sedih dan khawatir. Perempuan itu terlihat sangat lelah setelah melahirkan. "Tidak kok," jawabnya, suaranya sedikit serak. "Sekarang kamu istirahat saja, ya? Kamu pasti capek. Atau... kamu lapar? Sebelum melahirkan kamu 'kan belum sempat makan siang." Dia berusaha mengalihkan pembicaraan, namun kegelisahannya masih terlihat jelas.

  • Menjadi Madu Sahabatku   Bab. 77

    "Tapi, Pa—" "Papa baik-baik saja, Ma," potong Haikal meyakinkan. Nathan menghela napas panjang, berat. "Alasannya, aku sendiri belum tau, Ma, Pa. Tapi tentang Elsa... dia sekarang di Bandung, bersama Daddy." Mata Herlin membulat tak percaya. "Bandung? Tadi pagi bukannya di berita, ada gempa di sana, kan?" Suaranya bergetar, khawatir. "Iya, Ma. Benar." Nathan merasakan jantungnya berdebar kencang. "Lalu, bagaimana keadaan Elsa? Dia tidak apa-apa, kan?" Herlin tampak sangat cemas. "Elsa—" Nathan terhenti. Suara tangis bayi memenuhi ruangan, tangis yang begitu nyaring, menandakan awal kehidupan yang baru. "Ooeee ... Ooeee ... Ooee ...." "Alhamdulillah... Itu anakku, Pa, Ma. Dia sudah lahir," bisik Nathan, suaranya bergetar menahan haru. Dia langsung sujud syukur, air matanya mengalir deras. "Alhamdulillah ya, Allah." Herlin dan Haikal berucap bersama, air mata mereka juga menetes. Seorang dokter wanita dengan seragam operasi keluar. "Selamat, Pak Nathan. Anda telah menjadi ayah

  • Menjadi Madu Sahabatku   Bab. 76

    "Sudah apa?" "Daddy-mu sudah meninggal, Tan." Suara Dahlia makin terisak. "Dan pihak polisi meminta tanda tangan Mommy, supaya mereka bisa mengantarkan jenazah Daddy pulang ke Jakarta." "A-apa?! M-meninggal?!" Mata Nathan melebar sempurna. Jantungnya berdebar-debar hebat, tubuhnya menegang kaku. Meskipun kebencian masih membara di hatinya, air mata tak terbendung. Dia menangis pilu, meratapi kepergian ayahnya yang begitu mendadak. "Oh ya, dan satu lagi. Katanya korban perempuan yang ada di sana adalah Elsa, Tan." "Elsa??" Suara Nathan terdengar serak. "Iya." "Elsa sendiri, bagaimana? Apakah dia—" Pertanyaan itu terhenti, digantikan oleh firasat buruk yang semakin kuat. "Elsa juga meninggal. Dia ikut tertimpa reruntuhan bangunan." "APA??" * * *

  • Menjadi Madu Sahabatku   Bab. 75

    'Maafkan Daddy, Sayang. Untuk hal ini... Daddy tidak bisa mengabulkan permintaanmu.Bukan apa-apa. Jika itu terjadi, dan Silla meninggal, Daddy bisa di penjara, dan kamu... kamu akan kembali bersama Nathan. Itulah yang Daddy takutkan.'Darwin tersenyum getir, lalu mereka duduk di sofa untuk melaksanakan ijab kabul. Karena Darwin ingin segera menikahi Elsa, pernikahan mereka pun dilakukan secara siri."Saya terima nikah dan kawinnya, Elsa Alfian binti Haikal Alfian, dengan mas kawin ...."Ijab kabul itu diucapkan, menggema khidmat di ruangan. Para saksi yang hadir langsung bersorak gembira."Sah!! Sah!!"Mereka resmi menjadi suami istri.Tiba-tiba, goncangan dahsyat mengguncang seisi ruangan. Bumi bergetar hebat, seakan-akan hendak retak."Dad!! Ada apa ini?? Kenapa semuanya berguncang?" jerit Elsa, panik dan ketakutan. Darwin segera berdiri, meraih tangan Elsa erat, berusaha membawanya keluar."Se

  • Menjadi Madu Sahabatku   Bab. 74

    Beberapa bulan kemudian...Tok! Tok! Tok!!Bunyi ketukan palu hakim memecah kesunyian ruang sidang, menandai berakhirnya babak panjang dalam hidup Nathan.Perceraiannya dengan Elsa telah resmi diputuskan. Ironisnya, dari sidang pertama hingga putusan akhir, Elsa tak pernah hadir. Begitu pula Darwin, yang seolah menghilang ditelan bumi. Ketiadaan mereka seakan menjadi saksi bisu atas berakhirnya sebuah ikatan."Kak ... ke mana ya, Elsa? Sejak awal hingga akhir sidang, dia tak pernah datang. Apakah dia baik-baik saja?" tanya Silla, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Dia setia menemani Nathan, meski memilih menunggu di mobil sesuai permintaan suaminya.Nathan menghela napas panjang. "Aku tak tau, Sayang. Papa dan Mama sudah mencoba menghubunginya, tapi... sudahlah. Biarkan saja. Yang terpenting, aku dan Elsa sudah resmi bercerai."Silla mengangguk pelan. "Iya, Kak.""Baiklah... sekarang kita makan, ya? Setelah itu, kit

  • Menjadi Madu Sahabatku   Bab. 73

    "Alhamdulillah... akhirnya Papa sudah bangun."Herlin tersenyum haru, melihat sang suami baru saja siuman. Haikal menatapnya dengan tersenyum tipis, manik matanya berkeliling menatap sekitar."Bagaimana keadaan Papa sekarang? Apa yang Papa rasakan? Apa dada Papa masih sakit?" Masih dengan raut kecemasan, Herlin menyentuh lembut dada suaminya."Enggak. Papa baik-baik saja." Haikal menjawab dengan lirih, menggeleng pelan. "Silla dan Nathan ke mana, Ma? Dan Papa sakit apa?""Mereka ada di sana, Pa." Herlin menunjuk ke arah lantai, dekat ranjang. Di sana ada Silla dan Nathan yang tengah tertidur dengan balutan satu selimut beralaskan kasur lantai. "Dan Papa sempat kena serangan jantung kata Dokter. Tapi sekarang Papa pasti akan segera sembuh, Papa jangan memikirkan hal yang berat-berat dulu, ya?"Mata Haikal berkaca, linangan air matanya perlahan membasahi pipi. "Bagaimana Papa tidak memikirkannya, sementara Elsa selalu membuat ulah. Masalah dengan Silla saja belum selesai, sekarang ada l

  • Menjadi Madu Sahabatku   Bab. 72

    "Tentu saja, Sayang. Daddy tidak berbohong," bisik Darwin, senyumnya manis namun terasa hampa bagi Elsa. "Karena itu, lepaskan Nathan. Daddy jauh lebih baik darinya, Sayang." Kalimat Darwin terasa seperti sebilah pisau yang menusuk hati Elsa. Dilema menghimpitnya. Benar, kepercayaan Nathan telah hilang, hubungannya dengan Silla semakin erat, apalagi Silla kini mengandung. Nathan pasti lebih memihak Silla. Tapi… merelakan Nathan? Mustahil. Hati Elsa menolak. Air mata mengancam membasahi pipinya. 'Kenapa… kenapa lagi-lagi aku yang sial? Silla selalu bahagia. Ketidakadilan ini… aku tak sanggup!' Rasa iri dan sakit hati membakar jiwanya. Darwin menunggu, sabar namun penuh tekanan. "Bagaimana? Apa kau setuju?" tanyanya akhirnya. Elsa menarik napas panjang, dadanya sesak. "Baiklah .…" suaranya tercekat. "Aku akan bersama Daddy. Tapi… aku minta satu hal." "Apa itu, Sayang? Katakan." Keheningan mencekam. Tangan Elsa mengepal erat, urat-uratnya menegang. "Aku ingin… Daddy melenyapkan Si

  • Menjadi Madu Sahabatku   Bab. 71

    "Keterlaluan sekali Elsa!!" Dia berdiri, tubuhnya menegang, urat-urat di tangannya menegang, mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Bukan hanya amarah, tetapi juga rasa sakit, kecewa, dan hancur yang terpancar dari sorot matanya. "Bagaimana bisa dia melakukan tindakan sebodoh ini? Dan untuk apa dia berselingkuh??" Suaranya bergetar, diselingi napas yang tersengal-sengal, menunjukkan betapa hancurnya hatinya.Herlin, dengan raut wajah yang dipenuhi kekhawatiran, bertanya, "Dengan siapa, Elsa berselingkuh, Tan?" Suaranya terdengar ragu, seperti meraba-raba kebenaran yang menyakitkan."Daddy," jawab Nathan lirih, suaranya nyaris tak terdengar, namun mampu menembus keheningan yang mencekam. Kata itu, "Daddy", menimbulkan bayangan gelap yang mengerikan.Herlin mengerutkan dahi, kebingungan. "Daddy? Daddy siapa?""Daddy Darwin, Ma. Daddy-ku." Jawaban Nathan itu bagai bom yang meledak di tengah ruangan."APA?!" Haikal menjerit, suaranya penuh keputusasaan.

  • Menjadi Madu Sahabatku   Bab. 70

    "Daddy minta maaf, atas semua yang Daddy lakukan padamu dan Mommy. Daddy tahu itu salah dan sangat menyakitkan. Tapi Daddy mohon... Jangan hukum Elsa.""Hukum??" Nathan menatap bingung. Ucapan Darwin membuatnya terhenyak, amarah mulai membuncah. "Apa maksudmu—""Daddy tau, kamu pasti akan bercerai dengan Elsa. Begitu juga dengan apa yang Mommy lakukan. Tapi ... jangan ceritakan alasan sebenarnya kepada orang tua Elsa, tentang perselingkuhan Daddy dan dia.""Kenapa?" Nathan mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menegang."Karena orang tua Elsa pasti akan sangat marah dan kecewa. Elsa sudah cukup menderita, harus berbagi kasih sayang orang tuanya dengan Silla. Jangan sampai karena ini, kasih sayang yang baru dia dapatkan sepenuhnya, akan hilang seketika."Nathan terkekeh getir, menggelengkan kepala. "Apa Daddy pikir, aku sendiri tidak menderita saat tahu kalian bermain api? Bagaimana dengan Mommy? Kenapa yang Daddy pikirkan hanya Elsa, sementara Daddy tak memikirkan betapa hancu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status