"Silla, kamu mau 'kan jadi maduku?" Seperti petir yang menyambar di tengah hari, Silla terkejut mendengar permintaan tak terduga dari Elsa–sahabatnya, yang selama ini dianggapnya sebagai saudara. Selembar kertas hasil pemeriksaan dokter menunjukkan jika dia tidak subur, Elsa akhirnya meminta Silla untuk menjadi madunya. Hanya sebentar, hanya sampai Silla berhasil melahirkan keturunan untuk suami Elsa. Awalnya, Silla menolak dengan tegas. Namun, desakan terus menerus membuatnya akhirnya setuju. Lalu, bagaimana jika dirinya terjebak dalam lingkaran pernikahan itu? Apalagi, sedari dulu hingga sekarang, Silla rupanya masih memendam rasa kepada Nathan—suami dari Elsa. Akankah semaunya berjalan semestinya? Atau, Silla justru tak ingin lepas dari Nathan?
View MoreTak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka perlahan. Silla muncul dengan langkah lemas, matanya masih terasa berat karena kantuk yang belum hilang."Ada apa, Kak? Kok malam-malam Kakak ke kamar—" Ucapan Silla terhenti tiba-tiba, saat Nathan menerobos masuk dan segera menutup pintu."Kamu jangan ge'er dulu, aku datang ke sini karena ingin bicara empat mata. Bukan hal lain!" Nathan menegaskan dengan ekspresi wajah serius, khawatir Silla salah mengartikan kedatangannya."Bicara empat mata tentang apa, Kak?" Silla mendekati Nathan yang kini sudah duduk di sofa pojok ruangan."Aku ingin kita secepatnya bercerai.""Bercerai?!" Silla terlihat sedikit terkejut, tapi lebih dominan bingung. "Tapi aku 'kan belum hamil dan melahirkan, Kak.""Kamu nggak perlu hamil apalagi sampai melahirkan. Aku sama sekali nggak butuh seorang anak, apalagi yang keluar dari rahimmu!" tegas Nathan dengan emosi yang sulit ditutupi. Sorot matanya terlihat tajam menatap ke arah Silla. "Nggak butuh! Lagian, aku juga me
Cukup lama Nathan memandangi layar ponsel, menunggu balasan dari Darwin.Waktu terasa berjalan lambat, seperti detik-detik yang tak kunjung berlalu.Sampai akhirnya Elsa selesai mandi dan keluar dari kamar mandi melangkah menghampirinya. Langkahnya terdengar lembut di lantai keramik yang masih sedikit basah dari uap air mandi Elsa."Mas lagi ngapain? Kok lihatin hapeku terus?" tanyanya heran seraya meraih ponselnya, lalu terkejut saat melihat sebuah chat dari Darwin dan balasannya. Matanya membulat kaget, seolah menemukan sesuatu yang tak terduga. "Lho ... kok Mas tiba-tiba bales chatnya Daddy? Ini chat kapan?""Chat tadi. Iya maafin aku, Yang. Aku membalasnya karena penasaran aja," jawab Nathan dengan suara lembut yang penuh penyesalan, mencoba menjelaskan tanpa menyakiti perasaan Elsa."Penasaran gimana? Dan harusnya Mas izin dulu dong sama aku. Lagian hapeku 'kan tadinya ada di tas, kenapa main dikeluarin gitu aja?" Elsa terlihat kesal, segera dia mencabut charger ponsel meski bate
"Oohh ini ... aku habis jatuh tadi, Sa, kepleset," jawab Silla yang terpaksa berbohong. Dia hanya tidak ingin nantinya Elsa berpikir yang tidak-tidak tentangnya terhadap Nathan.Elsa terlihat terkejut dan khawatir mendengar penjelasan Silla. Dia ikut menyentuh bokong Silla, mengekspresikan rasa simpati dan kekhawatirannya."Kok bisa, kamu kepleset?!" tanya Elsa, sambil tetap memperhatikan reaksi Silla dengan seksama. Kemudian, Elsa kembali bertanya dengan nada yang penuh curiga, "Tapi, ngapain kamu dari kamar Mas Nathan dan aku, Sil? Apa ada Mas Nathan juga, di dalam kamar?"Silla merasa tegang, namun dia mencoba menjelaskan dengan cepat, "Ada Kak Nathan di dalam. Tapi kamu jangan berpikir yang enggak-enggak, Sa." Silla menyilangkan kedua tangannya dengan cepat, berusaha menenangkan situasi yang semakin rumit. "Aku tadi masuk ke kamarmu karena diminta Kak Nathan untuk mengisi air pada bathub, katanya dia mau berendam."Elsa mulai meraba-raba, "Jadi kamu sekalian lihatin Mas Nathan ber
"Aku ingin kamu menyiapkan air hangat untuk mandi," pinta Nathan dengan lembut, suaranya penuh harap."Air hangat?!" Silla terlihat sedikit bingung dengan permintaan Nathan, namun dengan penuh kehati-hatian dia mencoba untuk memahaminya. "Maksudnya, Kakak ingin berendam di dalam bathtub yang aku isi dengan air hangat?""Iya, masa begitu saja kamu nggak mengerti? Ayoklah," ajak Nathan, lalu melangkah lebih dulu menaiki anak tangga.Silla dengan langkah ragu menyusulnya dari belakang, hatinya dipenuhi keraguan saat Nathan membuka pintu kamarnya dengan lembut."Kenapa diam? Bukannya masuk." Nathan menyadari bahwa sang istri sejak tadi diam mematung di depan pintu. Padahal, dia sendiri sudah lebih dulu memasuki kamar."Aku nggak enak buat masuknya, Kak. Ini 'kan kamar Kakak sama Elsa." Silla menatap sekeliling kamar dengan raut bingung, ragu antara masuk atau tidak. Terutama karena Elsa tidak ada di rumah, Silla tidak ingin terjadi kesalahpahaman yang tidak diinginkan."Kenapa memangnya?"
"Aku kurang tau, Kak." Silla menggeleng bingung dan mencoba untuk menebak-nebak. "Apa mungkin sama Kak Nathan kali, ya? Atau sama Papa Haikal.""Pak Haikal kebetulan lembur, Nona, dia masih ada di kantor.""Oohh berarti sama Kak Nathan kali," sahut Silla lalu menoleh ke arah Shaka. "Oh ya, Kak. Pas dichat semalam katanya Kakak mau bicara. Bicara apa kira-kira?""Kita bicara di cafe saja, ya, Nona. Sekalian ngopi. Biar enak.""Oke." Silla mengangguk setuju.**Di sebuah cafe yang dikenal dengan kehangatan dan aroma kopi yang menggoda, Shaka dan Silla duduk bersama di meja kecil. Suasana seakan terhenti sejenak ketika Shaka memesan secangkir kopi hitam untuknya dan sepiring cappuccino untuk Silla.Dengan tatapan penuh kekhawatiran, Shaka memulai percakapan yang penuh makna, "Maaf, Nona, jika pertanyaanku mengarah ke arah pribadi. Tapi sebagai seorang pria yang selama ini mencintai Nona, rasanya aku benar-benar nggak percaya dengan tindakan yang Nona lakukan," kata Shaka yang memulai ob
"Dia suami sahabatku, Pak," jawab Silla dengan cepat, suaranya penuh keyakinan. "Dia orang baik, bukan maling."'Cih ... apa yang dia katakan? Pasti si Silla sengaja, mengatakan aku suami sahabatnya karena di depan si Rival-Rival ini,' batin Nathan dengan perasaan sebal. Kendati demikian, Silla sebenarnya tak salah di sini, karena memang benar Nathan adalah suami sahabatnya juga."Aahh terserah. Mau dia suami sahabatmu kek, suamimu kek, aku nggak peduli!! Intinya dia harus dibawa ke kantor polisi!!" tegas pria berkepala plontos yang seolah memaksa, tetap kekeh ingin membawa Nathan pergi.Rival segera ikut campur untuk membela Nathan. "Tunggu sebentar, Pak!" kata Rival sambil menghalangi pria berkepala plontos untuk menutup pintu mobil. Rival ingin membantu Nathan, terutama setelah mengetahui bahwa Silla mengenalnya. "Bagaimana jika kita memeriksa rekaman CCTV terlebih dahulu, Pak. Dengan begitu, kita bisa memastikan apakah benar atau tidak bahwa dia adalah maling. Beruntungnya, ada CC
Sebelumnya.... Setelah mencuci piring, Silla melangkah keluar dari restoran melalui pintu belakang, berniat untuk membuang sampah bekas sisa makanan para pengunjung. Tong sampah terletak dekat area parkiran, tidak jauh dari pintu belakang restoran. "Silla! Sil!" seru seseorang saat Silla hendak membuang kantong plastik ke dalam tong sampah. Silla menoleh dan tersenyum saat melihat bahwa yang memanggilnya adalah Rival, pemilik restoran, yang berarti bosnya.. "Pak Rival, apa ada sesuatu?" tanya Silla sopan sambil sedikit menundukkan pandangannya. "Aku punya sesuatu untukmu, Sil. Mohon di terima, ya!"ujar Rival sambil merogoh saku jas abu-abunya dan mengeluarkan sebuah kotak cincin yang indah. Silla terkejut melihat cincin berlian yang cantik di dalam kotak tersebut. Meskipun terkesan, Silla merasa heran dengan tindakan tiba-tiba Rival memberikannya cincin tersebut. Rival dikenal sebagai bos yang baik oleh Silla, terutama jika dibandingkan dengan pengalaman Silla dengan bos-
[Bicara tentang apa, ya, Kak?] Silla membalas dan selang beberapa detik pun Shaka membalasnya lagi. [Besok aku kasih tau. Nona Silla sendiri besok kerja, nggak?] [Kerja, Kak.] [Ya sudah, sampai ketemu besok. Nona segera tidur, jangan begadang. Karena itu nggak baik.] [Iya, Kak.] Balasan dari Silla mengakhiri chattingan mereka. Segera, Silla menaruh kembali ponselnya di atas nakas kemudian mulai memejamkan mata. *** Keesokan harinya. Silla sudah rapih dan bersiap untuk pergi bekerja. Dia memakai baju bebas sekarang, karena seragam pelayan biasa dipakai saat sudah berada di restoran dan siap bekerja. Langkah Silla terhenti saat memasuki ruang makan. Nathan dan Elsa sudah ada di sana, sedang sarapan bersama. Nathan terlihat rapi dan tampan dalam stelan jasnya, namun tatapannya menusuk ke arah Silla. "Selamat pagi, Kak Nathan, Elsa," sapa Silla dengan senyum di bibirnya. Meskipun sambutannya mungkin akan diabaikan oleh Nathan, Silla tetap ramah. "Selamat pagi, Silla.
"Nona ... maafin Bibi, ya?" ucap Bibi pembantu yang datang menghampiri Silla, ketika baru saja Silla menyelesaikan makan malamnya.Ekspresi wajah Bibi dipenuhi dengan penyesalan yang mendalam, akibat kejadian yang menimpa Silla tadi.Dia juga tak menyangka, jika Nathan mampu memperlakukan Silla seperti itu, padahal jelas Silla adalah istrinya juga.Apalagi dia adalah istri muda, yang biasanya orang-orang selalu lebih mengutamakannya ketimbang istri tua. Namun, kenyataannya kali ini sungguh berbeda."Eh, Bi." Silla langsung menoleh, raut wajahnya tampak bingung. Dia tak memahami maksud Bibi meminta maaf. "Kenapa Bibi minta maaf? Bibi salah apa?""Gara-gara Bibi, Nona jadi dimarahi Pak Nathan. Sumpah ... Bibi nggak tau kalau akhirnya akan seperti ini, Bibi minta maaf, Nona," sesal Bibi dengan sepenuh hati, sambil menangkup kedua tangannya di bawah dagu."Ya ampun Bibi, nggak usah berlebihan begitu ah." Silla justru tertawa, dia berpikir tingkah Bibi terlalu berlebihan padanya. "Santai a
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.