“Huwek!”Stevia membekap mulutnya sembari lompat dari tempat tidur. Buru-buru berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan cairan bening ke dalam closet.Pagi-pagi buta ia harus terbangun karena perutnya terasa tidak nyaman sama sekali. Kehamilan ini benar-benar menyiksanya. Kepala terasa pusing dan tubuhnya lemas. Hampir tidak ada makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.Setelah beberapa saat, Stevia membasuh wajah juga mulutnya. Ia tatap pantulan diri di cermin. Wajahya terlihat sedikit pucat.Pelan ia berjalan keluar kamar mandi. Kembali menuju ranjang. Ia ingin rebah lagi. Setidaknya untuk mengurangi rasa mual. Harapnya sih begitu. Benar-benar tidak semangat untuk mengerjakan apapun.“Kamu ini bikin susah aja. Masih dalam perut aja bikin susah, gimana nanti pas lahir,” gerutu Stevia memukul perutnya kesal.Tiba-tiba ia sangat ingin makan cumi asam manis. Entah kenapa, membayangkannya saja membuat air liurnya seperti mengucur.Dengan langkah malas, ia pun turun dari pembaringan. Menuju
“Ma-Mama?” panggil Stevia tak percaya melihat wanita paruh baya diam bergeming di hadapannya. Yang juga menatapnya tak percaya.Mama Sarah. Wanita yang tetap terlihat cantik meski sudah berumur itu adalah wanita yang memberinya kasih sayang layaknya seorang ibu. Ia merasa memiliki seorang ibu lewat wanita itu.Ujung bibir Stevia tertarik samar melihat wanita di hadapannya. Ia bergerak maju hendak memeluk wanita itu.Namun, kalimat yang terlontar dari bibir wanita itu berhasil menahan gerakannya.“Kamu? Siapa yang kamu panggil, Mama? Saya bukan Mama kamu!” ujar wanita itu ketus.Stevia terkesiap. Kejut itu berhasil membuat hatinya tercubit. Memantik rasa nyeri hingga bola matanya berdenyar.Penolakan. Ah, ia sadar dengan reaksi penolakan wanita itu. Kenapa ia bisa lupa penyebab sikap dingin wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya. Wanita yang pernah akan menjadi ibu mertuanya.Mendadak Stevia merasakan sesal telah membatalkan pernikahan dengan Badai.“Ma, ehm, maksud Via, Tan–Tante.”
Bayu bergegas pulang setelah mendapat telepon dari Arya, salah satu remaja yang tinggal di panti asuhan tempatnya dulu. Ibu panti terjatuh karena darah tingginya tiba-tiba kambuh. Bayu bergegas menyusul ke rumah sakit. Arya bilang mereka sudah membawa ibu panti agar segera mendapat penanganan.Bayu menekan tombol interkom dan meminta Reka segera ke ruangannya.“Apa schedule ku setelah ini?” tanya Bayu langsung ketika Reka baru saja menghadapnya.Reka lekas memeriksa tabletnya. “Bapak ada agenda makan malam bersama Presdir Indo Sarana Corporation. Apa ada masalah?” Reka balik tanya demi melihat raut wajah sang bos. Bau-baunya, nih, si Bos bakalan minta batalkan.“Batalkan!” ujar Bayu tegas.Tuh, bener kan. Reka mencoba melapangkan dadanya. Resiko jadi asisten ya begitu.Bayu lekas bangkit dari kursi kebesarannya. Laki-laki itu meraih jas yang ia gantungkan di standing hanger. Lalu memakainya sembari melangkah ke arah Reka dan menadahkan tangan.Reka yang paham, lekas merogoh saku dan me
Tiada angin tiada hujan. Tiba-tiba bertanya nama pada orang asing di pertemuan pertama, sungguh terdengar kurang sopan. Mama Sarah menyadari itu.“Maaf. Kalau pertanyaan ibu kurang sopan.”Wanita itu merasa tidak enak.Berbeda dengan Bayu yang merasa tidak menyangka tiba-tiba ditanya seperti itu. Ia merasa bingung.“Tidak apa-apa,” ujarnya dengan raut dingin seperti biasanya.Mama Sarah membuang pandangan. Seperti tak ingin pemuda di depannya itu melihat rona di wajahnya.“Ibu hanya teringat pada putra ibu. Dia seusia denganmu.”Kaca-kaca samar menggenang di pelupuk mata Mama Sarah. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Ia sedikit mendongakkan kepala, agar kristal bening itu tak jatuh ke wajahnya. Buru-buru ia merogoh kantong plastik putih.“Ini. Ambillah!” Ia menyodorkan sekotak susu ukuran sedang.Bayu tergeming menatap sekotak susu di tangan wanita itu. Lalu beralih menatap wajah Mama Sarah seolah bertanya, ‘Kenapa?’.“Anak ibu suka susu cokelat,” ujarnya. Bibirnya memaksa senyum meski w
Alena Septira turun dari sebuah taksi daring yang mengantarkannya ke depan drop point lobby rumah sakit mewah di pusat kota. Angin berembus kencang karena ini menjelang tengah hari. Gadis itu sedikit mendongak, mengamati bangunan megah di hadapannya. Sungguh, semegah apapun bangunan rumah sakit, tidak ada seorang pun yang berharap untuk datang ke tempat ini. Tujuan Alena datang kemari adalah untuk mengantarkan titipan sahabatnya, Stevia.Alena menatap paper bag di tangannya sejenak lalu bergegas menuju meja informasi untuk bertanya. Ia menanyakan letak ruang rawat Badai, yang tidak lain adalah calon suami Stevia, sahabatnya. Setelah mengantongi informasi yang diperlukan, gadis itu bergegas ke tempat tujuan.Alena berdiri di depan pintu. Sepasang matanya menatap nama yang tertempel di samping pintu. Tn. Badai Aji Pamungkas. Artinya ia sudah berada di tempat yang benar. Baru saja ia akan mengetuk pintu, seseorang sudah lebih dulu membukanya dari arah dalam. Seorang wanita paruh baya y
Alena jelas terkejut. “Me-menikah, Tante?” tanya Alena mengulang ucapan wanita di hadapannya.Ibu Badai menjawab dengan anggukan.“Dengan Badai?” tanya Alena lagi seolah ingin memastikan.Wanita di hadapannya kembali mengangguk. “Ya.”Undangan sudah terlanjur tersebar dan tanggal pernikahan tinggal menghitung hari. Bagaimana mungkin mereka akan memberi pengumuman kepada semua tamu jika pernikahan batal. Itulah yang dipikirkan oleh ibu Badai.“Tapi, Tante. Apa ini gak terlalu–em–maksud saya–”Ah, bahkan Alena sampai kehilangan kata-katanya. Ucapan permintaan ibu Badai barusan sangat di luar perkiraannya. Ia sama sekali tidak menyangka.Ibu Badai terlihat ragu sebenarnya, tetapi ia harus mencoba. Melihat ekspresi tak percaya di wajah Alena, wanita itu pun kembali berujar. “Tante, akan berikan apapun yang kamu minta. Bukan. Kamu bisa mendapatkan apapun yang kamu inginkan,” ujar wanita itu segera meralat ucapannya.“Tante, maaf sebelumnya. Tapi ini terlalu mendadak. Saya tidak bisa menika
“Digadaikan?” tanya Alena tak percaya. “Benar. Suami Bu Mirna meminjam sejumlah uang pada Bos kami dengan menjaminkan sertifikat rumah ini.”Alena luruh di tempatnya. Kedatangan dua orang pria ini tidak lain untuk menagih angsuran utang yang ia sendiri tidak tahu. Ia masih mencerna informasi barusan.“Dan jika bulan ini kembali menunggak, mau tidak mau kami terpaksa akan menyita rumah ini,” lanjut pria berjaket kulit itu tanpa berbasa-basi.Baik Alena maupun Bu Mirna, sama-sama kaget. Rumah ini adalah satu-satunya peninggalan Papa Alena.“Kalau boleh tau, berapa ya uang yang dipinjam?” Alena memberanikan diri untuk bertanya tanpa menyebut nama ayah tirinya.“Dua ratus lima puluh juta,” jawab laki-laki itu.Mata Alena sukses membelalak tak percaya. Dua ratus lima puluh juta bukanlah uang yang sedikit. Bagaimana bisa Om Surya menjaminkan sertifikat rumah ini. Dasar kurang ajar. Tangan Alena terkepal menahan geram.“Dan jatuh tempo pembayaran adalah tanggal 20 bulan ini. Kami mohon ker
Setengah jam lebih Alena berada di kamar mandi dengan isi kepala yang melanglang buana. Akhirnya gadis itu merasa lebih segar dari sebelumnya. Ia yang telah berganti dengan pakaian tidur merebahkan diri di kasur tanpa dipan miliknya. Kedua netranya berkedap-kedip menatap plafon kamar. Pikirannya mengawang. Ia benar-benar bimbang.Meski memaksa kedua mata untuk memejam, tetapi ia merasa sulit untuk terlelap. Butuh perjuangan hingga akhirnya ia dapat terlelap pukul tiga dinihari. Dan pagi ini Alena sudah bangun dan membersihkan diri. Ia telah berdandan rapi, maksudnya berpakaian rapi dan sopan.Setelah semalaman berpikir, ia memutuskan untuk menerima tawaran ibu Badai.“Tante, saya bersedia menikah dengan Badai.”Hening. Alena terlihat berpikir, menggeleng cepat. Lalu, mengulang ucapannya.“Saya menerima tawaran Tante untuk menikah dengan Badai.”Alena menghela napas berat dan menatap lurus pantulan dirinya yang berdiri di depan cermin. Ia tersenyum samar.Kamu pasti bisa, Al. Batinnya