Pria itu keluar dari pintu kedatangan internasional bandara. Ia menggeret koper dengan sebelah tangan dan sebelah tangan lagi dibenamkan dalam saku celana. Setelan jas formal yang dikenakannya cukup menunjukkan strata sosial yang ia punya.Wajah tampan dibingkai rahang tegas yang dihiasi jambang tipis. Kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Menambah kesan maskulin. Auranya dingin tak tersentuh tanpa senyuman di bibir.Dia adalah Bayu. Bayu Segara Putra.Salah satu pebisnis muda yang sukses menduduki dua puluh besar pengusaha paling berpengaruh.“Selamat datang kembali, Bos!” sambut seorang lelaki muda yang tak berbeda jauh umur dengannya.Ia adalah Reka, sang asisten. Lelaki itu mengambil alih koper sang bos.“Hmm!”Bayu hanya menjawab dengan dehaman. Kembali melangkah diikuti sang asisten.“Bagaimana anak itu?” tanya pria itu tanpa menghentikan langkah.Jeda beberapa saat hingga ia menoleh pada asistennya.“Dia tetap menikah seperti rencana awal.”Bayu menghentikan lang
Mendengar keributan berasal dari ruangan bosnya, Reka bergegas ke sana. Ia disambut tatapan penuh tanya oleh staff sekretaris di lantai itu. Namun, ia tak peduli.Reka mengetuk pintu dan mendorongnya perlahan. Ia terkejut melihat papan nama bosnya tergeletak tak jauh dari pintu. Ia langsung memungutnya. Dan mengusap dengan penuh hati-hati, seolah benda itu adalah benda keramat yang rapuh. Tak salah sih sebenarnya.“Apa yang terjadi?” tanya Reka yang masih memeluk papan nama atasannya.Bayu menoleh. Wajahnya jelas masih diselimuti emosi.“Kau, berikan gadis itu uang dalam jumlah besar!” titahnya.“Ya?” Reka terkejut.“Aku tidak suka menikmati sesuatu secara gratis,” jelasnya.‘Berapa harga diri gadis itu?’ Ia akan membayarnya. Bayu akan tersinggung jika orang lain meremehkannya. Ia tidak suka.“Baik. Berapa yang harus saya berikan?” tanya Reka agar tak salah langkah.“Satu Milyar.”“Ya?”Lagi-lagi Rela berseru terkejut. Satu milyar bukan uang yang sedikit. Tapi bosnya itu seolah enteng
Selesai sarapan, Alena membereskan bekas peralatan makan serta menyimpan makanan yang tak habis. Hanya meringkasi saja. Mencucinya akan dikerjakan ART mertuanya.Alena kembali ke kamar mengambil tas serta ponsel dan dompet. Saat akan keluar lewat pintu depan, ia melihat Badai tengah duduk di sofa ruang keluarga sembari memeriksa sesuatu di tabletnya. Ia menghampiri dan berdiri tepat di samping Badai.Menyadari ada orang di sebelahnya membuat Badai spontan mendongak. Ia melihat Alena terlihat sedikit salah tingkah.“Ehmm, Mas–” ucap gadis itu sedikit ragu. Semburat merah menghiasi dua belah pipi gadis itu.Badai tentu merasa sedikit kaget mendengar panggilan istrinya. Ada perasaan yang berbeda saat mendengar panggilan baru itu. Namun, ia dapat dengan cepat menguasai ekspresinya.“Ya?”“Aku berangkat dulu.” Alena mengulurkan tangan pada suaminya.Badai yang paham pun lantas menyodorkan tangan kanannya. Alena membawa punggung tangan sang suami untuk ia cium. Berharap keberkahan langkahny
“Huwek!”Stevia membekap mulutnya sembari lompat dari tempat tidur. Buru-buru berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan cairan bening ke dalam closet.Pagi-pagi buta ia harus terbangun karena perutnya terasa tidak nyaman sama sekali. Kehamilan ini benar-benar menyiksanya. Kepala terasa pusing dan tubuhnya lemas. Hampir tidak ada makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.Setelah beberapa saat, Stevia membasuh wajah juga mulutnya. Ia tatap pantulan diri di cermin. Wajahya terlihat sedikit pucat.Pelan ia berjalan keluar kamar mandi. Kembali menuju ranjang. Ia ingin rebah lagi. Setidaknya untuk mengurangi rasa mual. Harapnya sih begitu. Benar-benar tidak semangat untuk mengerjakan apapun.“Kamu ini bikin susah aja. Masih dalam perut aja bikin susah, gimana nanti pas lahir,” gerutu Stevia memukul perutnya kesal.Tiba-tiba ia sangat ingin makan cumi asam manis. Entah kenapa, membayangkannya saja membuat air liurnya seperti mengucur.Dengan langkah malas, ia pun turun dari pembaringan. Menuju
“Ma-Mama?” panggil Stevia tak percaya melihat wanita paruh baya diam bergeming di hadapannya. Yang juga menatapnya tak percaya.Mama Sarah. Wanita yang tetap terlihat cantik meski sudah berumur itu adalah wanita yang memberinya kasih sayang layaknya seorang ibu. Ia merasa memiliki seorang ibu lewat wanita itu.Ujung bibir Stevia tertarik samar melihat wanita di hadapannya. Ia bergerak maju hendak memeluk wanita itu.Namun, kalimat yang terlontar dari bibir wanita itu berhasil menahan gerakannya.“Kamu? Siapa yang kamu panggil, Mama? Saya bukan Mama kamu!” ujar wanita itu ketus.Stevia terkesiap. Kejut itu berhasil membuat hatinya tercubit. Memantik rasa nyeri hingga bola matanya berdenyar.Penolakan. Ah, ia sadar dengan reaksi penolakan wanita itu. Kenapa ia bisa lupa penyebab sikap dingin wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya. Wanita yang pernah akan menjadi ibu mertuanya.Mendadak Stevia merasakan sesal telah membatalkan pernikahan dengan Badai.“Ma, ehm, maksud Via, Tan–Tante.”
Bayu bergegas pulang setelah mendapat telepon dari Arya, salah satu remaja yang tinggal di panti asuhan tempatnya dulu. Ibu panti terjatuh karena darah tingginya tiba-tiba kambuh. Bayu bergegas menyusul ke rumah sakit. Arya bilang mereka sudah membawa ibu panti agar segera mendapat penanganan.Bayu menekan tombol interkom dan meminta Reka segera ke ruangannya.“Apa schedule ku setelah ini?” tanya Bayu langsung ketika Reka baru saja menghadapnya.Reka lekas memeriksa tabletnya. “Bapak ada agenda makan malam bersama Presdir Indo Sarana Corporation. Apa ada masalah?” Reka balik tanya demi melihat raut wajah sang bos. Bau-baunya, nih, si Bos bakalan minta batalkan.“Batalkan!” ujar Bayu tegas.Tuh, bener kan. Reka mencoba melapangkan dadanya. Resiko jadi asisten ya begitu.Bayu lekas bangkit dari kursi kebesarannya. Laki-laki itu meraih jas yang ia gantungkan di standing hanger. Lalu memakainya sembari melangkah ke arah Reka dan menadahkan tangan.Reka yang paham, lekas merogoh saku dan me
Tiada angin tiada hujan. Tiba-tiba bertanya nama pada orang asing di pertemuan pertama, sungguh terdengar kurang sopan. Mama Sarah menyadari itu.“Maaf. Kalau pertanyaan ibu kurang sopan.”Wanita itu merasa tidak enak.Berbeda dengan Bayu yang merasa tidak menyangka tiba-tiba ditanya seperti itu. Ia merasa bingung.“Tidak apa-apa,” ujarnya dengan raut dingin seperti biasanya.Mama Sarah membuang pandangan. Seperti tak ingin pemuda di depannya itu melihat rona di wajahnya.“Ibu hanya teringat pada putra ibu. Dia seusia denganmu.”Kaca-kaca samar menggenang di pelupuk mata Mama Sarah. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Ia sedikit mendongakkan kepala, agar kristal bening itu tak jatuh ke wajahnya. Buru-buru ia merogoh kantong plastik putih.“Ini. Ambillah!” Ia menyodorkan sekotak susu ukuran sedang.Bayu tergeming menatap sekotak susu di tangan wanita itu. Lalu beralih menatap wajah Mama Sarah seolah bertanya, ‘Kenapa?’.“Anak ibu suka susu cokelat,” ujarnya. Bibirnya memaksa senyum meski w
Alena Septira turun dari sebuah taksi daring yang mengantarkannya ke depan drop point lobby rumah sakit mewah di pusat kota. Angin berembus kencang karena ini menjelang tengah hari. Gadis itu sedikit mendongak, mengamati bangunan megah di hadapannya. Sungguh, semegah apapun bangunan rumah sakit, tidak ada seorang pun yang berharap untuk datang ke tempat ini. Tujuan Alena datang kemari adalah untuk mengantarkan titipan sahabatnya, Stevia.Alena menatap paper bag di tangannya sejenak lalu bergegas menuju meja informasi untuk bertanya. Ia menanyakan letak ruang rawat Badai, yang tidak lain adalah calon suami Stevia, sahabatnya. Setelah mengantongi informasi yang diperlukan, gadis itu bergegas ke tempat tujuan.Alena berdiri di depan pintu. Sepasang matanya menatap nama yang tertempel di samping pintu. Tn. Badai Aji Pamungkas. Artinya ia sudah berada di tempat yang benar. Baru saja ia akan mengetuk pintu, seseorang sudah lebih dulu membukanya dari arah dalam. Seorang wanita paruh baya y