Share

Bab 6. Aku Bukan Malaikat

Badai duduk termenung di sisi jendela lebar kamarnya. Lebih tepatnya, kamar sementara di lantai bawah, selama proses pemasangan lift. Memang sebelumnya kamar laki-laki itu berada di lantai atas. Namun, sejak dirinya harus terperangkap di kursi roda, tak akan bisa ia berpindah ke lantai berbeda menggunakan tangga.

Laki-laki itu termenung, memikirkan banyak hal. Semuanya terjadi begitu cepat. Seolah hanya mimpi. Kecelakaan yang membuat kedua kakinya lumpuh. Ditinggalkan kekasih saat pernikahan di depan mata.

Namun, seharusnya ia masih bersyukur. Hanya kakinya yang lumpuh. Bukan nyawanya yang melayang. Meski Stevia meninggalkannya, ada Alena yang menggantikan. Bukankah itu sebuah keberuntungan?

Pikirannya mengawang, merentang waktu.  Ingatannya mendarat di saat Stevia mendatanginya, dua hari sebelum pernikahannya dengan Alena.

“Badai, aku minta maaf. Bisakah kita lanjutkan rencana pernikahan kita? Aku kembali untuk itu.”

Badai menatap dingin, tetapi sorot matanya tajam.

“Tidak.”

Hanya satu kata, tetapi jawaban singkat laki-laki itu terdengar tegas. Sarat akan penolakan.

Stevia cukup terkejut mendengarnya. “Tapi … undangan sudah terlanjur kamu sebar, kan?” tanya Stevia lagi. Seakan mengingatkan lelaki itu.

“Gak masalah,” ujar Badai kelewat santai. “Aku akan tetap menikah.”

“Tapi, gimana kamu bisa menikah tanpa pengantin?” Stevia merasa tidak percaya.

Badai mendengkus setengah tertawa. Pupil matanya mengerucut, menatap tajam gadis di hadapannya. Seperti anak panah yang siap dilesakkan.

“Kamu pikir aku gila? Tentu saja aku menikahi seorang perempuan, bukan sekedar pelaminan kosong.” Ada nada kemarahan pada kalimat laki-laki itu. Apa maksud Stevia mengatainya menikah tanpa pengantin. Perempuan itu sedang mengejeknya?

“Siapa perempuan gila yang mau menikah dengan orang cacat seperti kamu?” tanya Stevia meluap-luap tanpa menyaring kalimatnya.

Hingga sedetik kemudian ia sadar akan ucapannya barusan. Tatapan Badai menghunus padanya. Ia pun menjadi gelagapan.

“B-Badai, mak-sudku–”

Rahang laki-laki itu berkedut samar. “Kamu gak perlu khawatir siapa perempuan itu. Jangan samakan semua perempuan seperti kamu.”

Ucapan Badai memojokkan Stevia. Gadis itu terdiam seketika. 

Badai hendak memutar kursi rodanya. Namun, Stevia sigap menahannya. Gadis itu memutari kursi roda Badai dan bersimpuh di hadapannya.

“Apa yang kamu lakukan?” sentak Badai terdengar marah. Ia tak suka melihat orang berlutut. Bukan karena tidak rela, lantaran orang itu adalah Stevia. Akan tetapi, karena baginya orang yang berlutut itu terlihat menyedihkan dan…hina.

“Aku paham kamu marah. Aku minta maaf. Aku mau tetap menikah sama kamu. Toh awalnya memang kita akan menikah, kan?” ujar Stevia lagi-lagi mengingatkan.

“Aku gak masalah meski kamu gak menyentuhku sama sekali, asal kita tetap menikah.”

Ucapan Stevia terdengar seperti kesombongan di telinga Badai. Dan ia merasa muak dengan wajah sok polos gadis itu. Permintaan maafnya hanya di bibir saja.

Mungkin Stevia berpikir jika ia tidak akan menyentuh gadis itu karena kondisinya saat ini. Ucapan gadis itu seolah sanggup menerima kondisi Badai, nyatanya gadis itu memandangnya sebagai orang menyedihkan.

Ia tersenyum sinis.

“Bukannya kamu gak mau menghabiskan sisa umurmu merawat orang cacat sepertiku?” Badai bertanya dengan sebelah alis terangkat samar. Ia mengingatkan Stevia akan sebaris kalimat menyakitkan yang diucapakan gadis itu. Badai tidak akan lupa.

Netra Stevia berdenyar seketika. Ia tidak menyangka jika Badai akan membalikkan kata-katanya. Ia seolah kehilangan kemampuan bicara.

“I-itu–”

“Silakan pergi!” usir Badai.

Stevia menggeleng, menolak pergi. Ia tidak beranjak seinci pun dari tempatnya. Gadis itu justru kian memegang erat kursi roda Badai, menahan laki-laki itu.

Ia menunduk. “Kita harus tetap menikah,” ujar Stevia pada akhirnya dengan suara lirih. “Aku minta jangan batalkan pernikahan kita.”

Hening beberapa saat, hingga semburan tawa Badai menggema. Seolah apa yang diucapkan oleh Stevia barusan adalah hal yang lucu.

“Aku gak salah dengar? Kamu lupa, kamulah yang membatalkan rencana pernikahan kita?” ujar Badai dengan raut wajah yang kembali berubah dingin.

“Aku mohon. Hanya pernikahan ini yang bisa menyelamatkanku.” Stevia kian tertunduk.

Badai mendengkus. “Menyelamatkanmu? Dari apa?” tanya Badai tajam. Laki-laki itu sungguh tidak mengerti dengan maksud Stevia. Namun, sedetik berikutnya matanya seketika melebar, menatap lurus perempuan di hadapannya.

“Kamu hamil?” tanya Badai yang terkesan menuduh. Tidak ada jawaban dari Stevia, membuat Badai yakin.

“Kemana laki-laki itu, kenapa gak kamu kejar dia? Bukannya kamu bilang kamu mencintainya?” sindir Badai. Ia tidak habis pikir pada Stevia. Kenapa perempuan itu tidak meminta pertanggungjawaban lelaki yang menghamilinya, malah justru mendatanginya?

“Dia…gak mau bertanggung jawab,” ujarnya lirih. Mungkin ia merasa malu meminta Badai untuk bertanggung jawab.

Badai kembali tertawa sumbang. “Jadi kamu mau menjadikanku tumbal agar bayimu punya status?” Badai menjeda ucapannya. Ia mendengkus pelan.

“Aku gak peduli apa kamu beneran hamil atau cuma pura-pura. Itu bukan urusanku. Dan semoga kamu tidak lupa, selama kita bersama, aku sama sekali tidak pernah menyentuhmu.”

Tidak perlu menjelaskan lebih jauh sentuhan seperti apa. Stevia tentu paham maksud ucapannya Badai.

Gadis itu mengangkat wajah, menatap Badai di depannya. Hatinya terasa sakit mendapatkan ketidakpedulian Badai. Tanpa terasa bulir bening mengalir di pipinya.

“Aku pinjam kata-kata kamu,” ujar Badai dengan tatapan dingin yang menusuk.

“Aku, bukan malaikat. Aku tidak bisa mengakui benih laki-laki lain sebagai darah dagingku,” lanjut Badai tegas dan jelas.

Apakah Badai jahat? Tidak. Ia hanya ingin mengingatkan Stevia. Dengan gadis itu yang meninggalkannya, mungkin itu adalah cara Tuhan untuk menyelamatkannya agar tidak terjerat lebih jauh.

Ia memang cacat saat ini, tetapi ia masih punya harga diri. Hatinya tidak selapang itu untuk menerima benih orang lain untuk dia akui sebagai anaknya. 

Stevia sepenuhnya kehilangan kata-kata. Ucapan Badai berhasil membuat kepercayaan dirinya runtuh seketika. Tubuh itu lemas seakan kehilangan daya. Pegangan tangannya pada kursi roda Badai perlahan terlepas.

Lamunan Badai terputus saat mendengar suara pintu dibuka. Laki-laki itu menoleh dan melihat Alena melangkah ragu memasuki kamarnya.

Benar. Ia hampir lupa jika gadis itu sekarang adalah istrinya.

“Ngapain kamu ke sini?” tanya Badai dingin.

Alena menghentikan langkah dan terdiam di tempat. Gadis itu bingung harus bicara apa.

“Itu– Mama Sarah bilang kalau kamar kamu di sini,” ujarnya ragu.

“Terus?” tanya Badai dengan wajah menyebalkan. Lelaki itu memutar kursi rodanya hingga kini menghadap Alena.

“Jadi, ya–” Alena seolah bingung harus berkata apa. Karena mereka telah menikah, ya, ia pikir akan tinggal di kamar yang sama. Ia tidak salah, 'kan?

“Dengar, kita memang sudah menikah. Tapi, ya… sampai di situ aja.”

“Kamu bisa pilih kamar manapun di rumah ini, tapi jangan pernah menginjak kaki ke kamar ini. Untuk hari ini aku masih bisa mentolerir.”

Alena melongo tidak percaya. Apakah barusan Badai tengah memberinya garis batas yang tidak boleh ia lewati? Apakah itu peringatan agar ia tidak mengusik privasi laki-laki itu. Ada rasa nyeri di ulu hatinya.

“Bukannya kita menikah demi keuntungan masing-masing?” ujar Badai mengingatkan. “Aku, demi nama baik keluarga. Dan kamu, demi bayaran dari Mama. Impas, kan?” lanjutnya memperjelas.

Ah, Alena lupa akan hal itu. Apa Badai menilai dirinya sebagai wanita materialistis yang rela menukar diri demi sejumlah uang? Mengingat itu membuat hatinya kian perih. Apa ia memang serendah itu? Tangannya tergenggam menyimpan getar samar.

“Tunggu apa lagi? Keluar sekarang! Aku mau istirahat.”

Tanpa menunggu reaksi Alena, laki-laki itu kembali memutar kursi rodanya membelakangi sang istri. Kalimat pengusiran yang terlontar dari mulut Badai menyadarkan Alena dari lamunnya seketika.

“Ah, i-iya. Maaf,” ujarnya. Buru-buru ia keluar dari kamar laki-laki itu. Tidak ingin membuat Badai bicara lebih jauh lagi yang hanya akan mengingatkannya akan siapa dirinya di mata laki-laki itu. Karena itu hanya akan membuat hatinya kian perih.

***

Alena menatap seisi kamar bercat putih tempatnya berada kini. Tadi saat keluar dari kamar Badai, ia bertanya pada asisten rumah tangga. Ternyata Badai sudah menyiapkan kamar lain untuknya. Bahkan kopernya juga sudah berada di sana. Padahal laki-laki itu tadi bilang jika ia bebas memilih kamar manapun. Ia tersenyum getir. Bukan itu poin utamanya.

Ia tidak tahu bagaimana nasib pernikahannya yang masih dalam hitungan jam. Ini terasa abu-abu. Melihat sikap Badai padanya tadi, ia tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan laki-laki itu. Bisa saja, laki-laki itu mengajukan perpisahan jika waktunya sudah tiba.

Alena menutup wajahnya dengan sebelah telapak tangan. Apakah pernikahannya hanya akan berakhir pada perceraian?

Huh! Lenguhan lelah lolos dari mulutnya.

“Aku terlalu banyak mikir yang enggak-enggak.” Ia kembali menghela napas lelah.

Gadis itu lalu menjatuhkan punggungnya begitu saja di kasur yang terasa empuk. Wangi seprai memberi kenyamanan dan kelembutan kasur sejenak memanjakan pengindranya. Ia mencoba untuk terlelap.

Alena terbangun oleh suara ketukan pintu. Rupanya asisten rumah tangganya yang memanggil.

“Dipanggil Ibu, Non. Makan malam,” ujar Mbak Rana, wanita yang lebih tua darinya itu.

“Oh, iya. Tunggu sebentar.” Alena berbalik ke dalam untuk mengambil jepit rambut lalu membasuh wajah.

Di meja makan sudah duduk seorang wanita setengah baya. Wanita yang masih nampak begitu cantik di usia setengah abadnya. Mama Sarah, sang ibu mertua.

“Oh, halo, Sayang. Gimana tidurnya, nyenyak?” tanya sang mertua.

Alena mengangguk pelan sembari tersenyum.

“Sini!” ajak sang mertua lagi sembari menepuk kursi di sebelahnya, meminta Alena duduk di sana.

“Maaf, Alena tadi gak sempat bantuin masak.” Alena merasa tidak enak karena makanan sudah terhidang dan kini tinggal makan saja.

“Gak apa-apa. Si Mbak juga cuma masak sop aja, selebihnya sisa acara tadi,” Mama Sarah membesarkan hati sang menantu.

Memang hidangan acara tadi masih berlebih. Meski beberapa sudah dibungkus untuk dibawakan pada para kerabat, masih ada cukup banyak untuk dibawa pulang.

“Ini omong-omong Badai kemana?” tanya Mama Sarah.

Alena menggaruk kepala merasa kikuk. Bagaimana ia tahu kalau ia saja tidak sekamar dengan laki-laki itu. Ralat, ia diusir dari kamar laki-laki itu oleh sang empunya.

“Tadi sudah saya panggil, Bu,” ujar si Mbak.

“Tolong dipanggil lagi, ya?” pinta Mama Sarah.

Baru saja si Mbak hendak memanggil tuan mudanya, laki-laki itu ternyata sudah menampakkan diri menggulir kursi rodanya menuju meja makan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status