Disebuah bar yang paling terkenal di Kota London, terlihat seorang pria yang tampak kacau. Rambutnya berantakan. Kantung matanya menghitam, tanda kekurangan tidur. Serta sorot mata yang kosong menatap lurus ke depan. Diiringi musik kencang yang cukup mendebarkan dada.
Pria itu adalah Angga. Ditemani segelas wine beralkohol yang aromanya menyengat. Angga meneguk secara kasar. Setiap kali minuman yang ada ditangannya habis, Angga meminta Leon untuk mengisi kembali dari botol wine yang tinggal sisa seperempat ke dalam gelasnya. Terlihat dua insan sepasang kekasih baru datang. Duduk di bangku sofa yang jaraknya tidak terlalu jauh dari hadapan Angga. Seketika pandangan Angga menatap nanar ke arah sepasang kekasih itu. Mereka tidak segan untuk saling bercumbu di depan umum. Membuat Angga yang sedang dalam pengaruh alkohol, membayangkan bahwa wanita itu adalah Aluna—calon istrinya, bersama dengan pria liar.Setelah perdebatan panjang dan negosiasi yang tak kalah melelahkan dengan Aluna uang dikira Alana itu di rumahnya, Angga mengambil keputusan yang tak terduga bahkan untuk dirinya sendiri. Ia tidak kembali ke apartemennya malam itu. Hatinya terlalu sesak, pikirannya terlalu kacau untuk duduk diam di ruang mewah penuh kesepian yang biasanya menjadi tempatnya bersembunyi dari dunia. Di balik kemudi mobilnya, Angga melajukan kendaraan tanpa arah pasti. Lampu-lampu jalanan menyala remang, menari di kaca depan yang mulai berkabut oleh embusan AC dan napasnya sendiri. Wajahnya tampak letih, bukan karena fisik semata, tapi oleh pergolakan batin yang tak kunjung reda. Beberapa puluh menit kemudian, ia memutuskan berhenti di depan sebuah rumah sederhana namun menenangkan. Rumah itu tak besar, namun suasananya teduh, seolah mampu memeluk siapa pun yang datang dengan beban di pundak. Tanpa ragu, Angga mematikan mesin mobil dan keluar.
Mata Aluna seketika berbinar. Ada secercah harapan yang menyusup di sela-sela kecemasan saat Angga berkata bahwa ia bisa memutuskan perjodohan ini. Untuk sesaat, dunia terasa lebih ringan.Namun harapan itu hanya berumur sekejap. Satu kalimat dari Angga menghempaskannya kembali ke dasar kenyataan."Kalau kamu ingin membatalkan perjodohan ini, kamu juga harus memikirkan bagaimana caranya menutupi aib keluarga Kusuma kalau pernikahan kita dibatalkan," ucap Angga, tegas dan tanpa kompromi.Aluna terdiam, menelan ludah perlahan. Lalu ia menghela napas panjang, seolah mencoba mencerna beban yang kembali diletakkan di pundaknya."Kenapa harus aku?" bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Ia menatap Angga, sorot matanya sendu. "Keluarga Kusuma punya segalanya—kekayaan, kekuasaan. Dari begitu banyak gadis di luar sana, kenapa harus memilih aku sebagai calon menantu? Aku bukan siapa-siapa."Angga tidak langsung menjawab. Ia melipat tangan di depan d
"Katakan padaku. Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Angga lagi, kali ini dengan suara yang nyaris berbisik. Namun ada tekanan di balik nada lembut itu—dorongan untuk mengetahui kebenaran yang tersimpan di balik diamnya Aluna.Aluna tak segera menjawab. Tatapannya kosong, mengambang jauh, seolah pikirannya sedang menjelajahi lorong-lorong waktu yang sulit dijangkau siapa pun. Di tangannya, cangkir teh hangat masih mengepul, namun tak mampu menghangatkan kegundahan yang menggigil di dadanya.Ia menyesap perlahan, sekadar memberi jeda untuk perasaan yang bergulat di dalam. Wajah Angga di seberangnya hanya samar-samar tampak, tertelan cahaya temaram di ruangan itu—sama seperti kebenaran yang selama ini ia sembunyikan."Kamu tidak perlu berhati-hati saat berbicara denganku," kata Angga lagi, lebih tenang. "Anggap saja aku temanmu. Bukan calon suami yang tidak kau kenal."Aluna mendongak. Sorot matanya bertubrukan dengan bayang-bayang sosok pria itu—so
“Kenapa kamu terus-menerus menelepon James dan memintanya agar aku pulang cepat? Ada sesuatu yang terjadi?” Suara Angga terdengar datar, namun di balik nada tenangnya tersembunyi tekanan yang nyaris menyesakkan. Tatapannya menusuk, dalam, seperti berusaha membaca seluruh isi hati Aluna hanya dari sorot matanya.Aluna menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya mengepal kecil di sisi tubuhnya. “Ini... tentu saja tentang perjodohan,” ujarnya pelan, hati-hati. Kepalanya menunduk, tak sanggup menatap wajah Angga yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya.Angga menarik napas pelan, sorot matanya tak berubah. “Aku dengar dari James, kamu terlihat gelisah saat sampai di rumah. Wajahmu pucat, dan kamu menolak makan. Apa yang sebenarnya terjadi?”Aluna mengangkat wajahnya sebentar, lalu cepat-cepat menggeleng. “Tidak ada. Tidak ada yang terjadi sama sekali,” jawabnya dengan suara yang terlalu cepat, terlalu defensif.Namun dalam hatinya, badai berkeca
“Kenapa kamu terus-menerus menelepon James dan memintanya agar aku pulang cepat? Ada sesuatu yang terjadi?” Suara Angga terdengar datar, namun di balik nada tenangnya tersembunyi tekanan yang nyaris menyesakkan. Tatapannya menusuk, dalam, seperti berusaha membaca seluruh isi hati Aluna hanya dari sorot matanya.Aluna menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya mengepal kecil di sisi tubuhnya. “Ini... tentu saja tentang perjodohan,” ujarnya pelan, hati-hati. Kepalanya menunduk, tak sanggup menatap wajah Angga yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya.Angga menarik napas pelan, sorot matanya tak berubah. “Aku dengar dari James, kamu terlihat gelisah saat sampai di rumah. Wajahmu pucat, dan kamu menolak makan. Apa yang sebenarnya terjadi?”Aluna mengangkat wajahnya sebentar, lalu cepat-cepat menggeleng. “Tidak ada. Tidak ada yang terjadi sama sekali,” jawabnya dengan suara yang terlalu cepat, terlalu defensif.Namun dalam hatinya, badai berkecamuk. ‘Haruskah aku memberitahumu bahwa
Aluna membeku. Segalanya terjadi terlalu cepat—sentuhan bibir itu, tekanan lembut namun memaksa, dan hawa tubuh Angga yang begitu dekat. Matanya membelalak saat kesadaran menghantamnya lebih keras dari angin sore yang menerpa balkon Tanpopo’s. Lalu... pandangannya jatuh pada sosok di ambang pintu balkon. Daniel. Pria itu berdiri tegak, tubuhnya sedikit menegang, sorot matanya tak bisa disembunyikan—terkejut, jelas. Tapi tidak marah. Tidak juga cemburu. Hanya… kosong. Seperti sedang melihat sesuatu yang tidak penting. Sesuatu yang tidak menyentuh hatinya. Itu yang paling menyakitkan bagi Aluna. Dengan gerakan refleks, Aluna mendorong tubuh Angga menjauh. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun menahan emosi dan rasa malu yang mendadak membakar wajahnya. Tanpa berkata apa-apa, tangan kanannya terangkat, dan— Plak!
“Itu gila. Terlalu berisiko. Kamu bisa hancur kalau rahasiamu terbongkar.”Aluna mengangguk. “Makanya aku cerita padamu. Karena aku percaya. Aku tahu ini berat, tapi... aku harap kamu bisa menjaga rahasiaku, Daniel.”Daniel diam sejenak. Lalu ia tersenyum kecil, penuh ketulusan.“Kamu tenang saja, Aluna. Rahasiamu aman bersamaku. Aku janji.”Mata Aluna berkaca-kaca, namun ia tahan. Sebelum suasana menjadi terlalu emosional, Daniel menambahkan dengan nada ringan namun tulus, “Dan kalau kamu mau, aku bisa bantu kamu cari Alana. Kita cari dia sama-sama.”Aluna menatap Daniel, terkejut sekaligus tersentuh. “Kamu serius?”“Serius,” jawab Daniel. “Apa pun untuk sahabat kecilku... dan sekarang, menjadi wanita kuat yang berdiri di tengah badai.”Mereka saling pandang sejenak, hingga pelayan datang dengan dessert penutup. Keheningan itu berubah menjadi kenyamanan. Tapi satu hal tetap tak terucap: cinta yang Aluna rasakan... dan c
Aluna masih duduk di bangku taman, menunduk, membiarkan kucing kecil itu bermain dengan ujung jarinya. Angin bertiup lembut, menggoyangkan helaian rambutnya yang terurai. Ia begitu tenggelam dalam dunianya, sampai tak menyadari langkah kaki yang mendekat perlahan dari arah belakang.Langkah itu berhenti tepat di sampingnya.“Alana?”Suara itu—hangat, lembut, dan terdengar asing sekaligus familiar.Aluna mendongak cepat. Matanya langsung bertemu dengan sepasang mata cokelat yang dalam. Lelaki itu mengenakan jaket kulit berwarna gelap, rambutnya sedikit acak namun tetap terlihat rapi. Wajahnya bersih, tampan, dengan senyum tipis yang mengintip dari bibirnya.“Daniel?” Aluna langsung berdiri, kucing kecil itu melompat turun dari pangkuannya. “Kau... bukannya kamu di Tokyo?”Daniel tersenyum lebih lebar. “Tebak siapa yang buka cabang restoran di kota ini?”Aluna masih terkejut, tapi sorot matanya berubah hangat. “Apa kebetul
Suara pintu tertutup pelan, dan keheningan kembali menyelimuti ruang tamu yang penuh ketegangan itu. Abigael menatap Aluna dengan mata yang mulai memerah, bukan karena marah, melainkan karena kelelahan dan tekanan yang menumpuk. “Ayah akan temukan dia, Nak,” ucap Abigael pelan, nadanya berbeda—lebih rapuh, seolah ia sedang memohon kepada takdir, bukan hanya kepada anaknya. “Alana... dia pasti punya alasan, dan Ayah akan mencarinya sampai ketemu.” Aluna memalingkan wajah, menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh. Tangannya mengepal di sisi tubuh, seolah tubuhnya sendiri mencoba menahan hati yang ingin meledak. “Aluna,” lanjut Abigael, “kau itu kuat. Lebih kuat dari Alana. Dari siapa pun. Kau selalu bisa diandalkan... selalu bisa berdiri ketika yang lain jatuh. Ayah bangga padamu.” Kata-kata itu, walau terasa seperti penenang yang terlambat datang, tetap menggores luka yang dalam.