Di malam yang tenang, langit tampak kelam dengan taburan bintang yang hanya sedikit menampakkan diri. Di lantai atas sebuah gedung pencakar langit yang menjadi markas besar perusahaan teknologi ternama, sebuah ruangan berlabel CEO menyala terang meski jarum jam telah menunjuk pukul sembilan malam.
Angga duduk di balik meja kerjanya yang besar, bersandar lelah dengan memijat pelipis. Matanya sembab, tak hanya karena lelah, tapi juga karena pikiran yang tak kunjung usai. Tumpukan dokumen menanti untuk ditandatangani, laporan finansial perlu dianalisis, dan rapat dewan direksi masih menunggu.Di tengah heningnya ruangan, pintu terbuka perlahan. Leon, asisten pribadi sekaligus tangan kanan kepercayaannya, masuk dengan secangkir teh hangat yang mengepul lembut.“Bos,” ucap Leon sambil mendekat, nada suaranya penuh khawatir. “Jangan terlalu memaksakan diri kalau memang sedang tidak enak badan.”Angga mengangkat kepalanya, menatap Leon dengan pandangan kDi malam yang tenang, langit tampak kelam dengan taburan bintang yang hanya sedikit menampakkan diri. Di lantai atas sebuah gedung pencakar langit yang menjadi markas besar perusahaan teknologi ternama, sebuah ruangan berlabel CEO menyala terang meski jarum jam telah menunjuk pukul sembilan malam.Angga duduk di balik meja kerjanya yang besar, bersandar lelah dengan memijat pelipis. Matanya sembab, tak hanya karena lelah, tapi juga karena pikiran yang tak kunjung usai. Tumpukan dokumen menanti untuk ditandatangani, laporan finansial perlu dianalisis, dan rapat dewan direksi masih menunggu.Di tengah heningnya ruangan, pintu terbuka perlahan. Leon, asisten pribadi sekaligus tangan kanan kepercayaannya, masuk dengan secangkir teh hangat yang mengepul lembut.“Bos,” ucap Leon sambil mendekat, nada suaranya penuh khawatir. “Jangan terlalu memaksakan diri kalau memang sedang tidak enak badan.”Angga mengangkat kepalanya, menatap Leon dengan pandangan k
Tak terasa, hari telah merangkak perlahan meninggalkan senja yang muram dan berubah menjadi malam yang dingin. Cahaya lampu kota mulai menyala satu per satu, menghiasi cakrawala dengan kelap-kelip bagaikan bintang yang turun ke bumi.Di lantai atas sebuah apartemen mewah, di salah satu kamar bernuansa hangat dan elegan, berdiri seorang wanita muda di tepi balkon. Angin malam yang lembut memainkan helaian rambut panjangnya yang tergerai, sesekali menyingkap sebagian wajahnya yang dipoles riasan tipis, menonjolkan kecantikannya yang tenang dan anggun.Tatapan matanya menerawang jauh menembus gelapnya langit malam. Ada kesedihan samar di sana. Ada rindu yang tidak terucapkan. Wajahnya begitu tenang, namun menyimpan kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan. Siapa pun yang melihatnya akan berpikir bahwa dia adalah Aluna. Tapi tidak. Wanita itu adalah Alana—kembaran identik Aluna.Meski terlahir dari rahim yang sama, jalan hidup keduanya begitu berbeda. Aluna t
Daniel mengajak Aluna ke sebuah tempat makan sederhana yang terletak agak jauh dari pusat kota. Bukan restoran mewah yang biasa mereka datangi untuk urusan bisnis. Hari ini, Daniel ingin membicarakan sesuatu yang lebih pribadi, lebih dalam. Ia merasa ada hal-hal penting yang tak bisa dibahas di balik meja kerja atau suasana restoran yang terlalu formal. Kadang, tempat yang sederhana justru menghadirkan kenyamanan dan ketulusan yang sulit ditemukan di tempat bergengsi sekalipun.Café kecil itu berada di pinggiran kota London, tersembunyi di antara deretan toko-toko buku tua dan toko bunga klasik. Aromanya khas: campuran kopi hangat, kayu tua, dan kue kayu manis yang baru saja keluar dari oven. Aluna duduk di sudut ruangan, di balik jendela kaca yang menghadap ke jalan, menanti Daniel dengan secangkir cokelat hangat di tangan. Matanya sesekali melirik keluar, mengamati lalu lalang orang-orang yang berjalan cepat menantang angin musim gugur.Beberapa menit kemudian, Daniel muncul di depa
Setelah menyelesaikan urusannya di dalam ruangan Daniel, Aluna segera melangkah keluar dari restoran Tanpopo’s. Namun langkahnya terhenti secara mendadak.Tepat di depan pintu keluar, berdiri seseorang dengan tubuh tegap dan wajah penuh keyakinan. Angga. Pria yang sebelumnya mengaku bernama Wijaya itu kini berdiri dengan tangan terlipat di dada, menatap Aluna dengan sorot mata penuh perhitungan.Saking kagetnya, Aluna tanpa sengaja menabraknya. Tubuh mungilnya sedikit terpental ke belakang. Ia hampir jatuh, namun segera menegakkan tubuh dan menatap pria itu dengan mata membulat.“Ya Tuhan… kau?” ucap Aluna, setengah terkejut dan setengah kesal.Angga hanya menaikkan sebelah alisnya. “Kau hendak pergi ke mana? Biar aku antar,” katanya datar, seolah tidak ada kejadian berarti barusan.Namun bukannya terharu, Aluna justru memandangnya tajam. Napasnya terdengar berat, seperti menahan amarah.“Kenapa kamu ada di sini? Jangan bilang kamu menguntitku,” katanya penuh curiga.“Kalau aku bilan
Setelah selesai sarapan pagi, Aluna segera bersiap. Hari itu cuaca cukup cerah, langit tampak bersih dengan semburat jingga yang belum sepenuhnya menghilang.Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan.“Ini yang terbaik, Aluna… Demi semua orang,” gumamnya pelan, seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri.Tak berapa lama, taksi yang ia pesan lewat aplikasi pun tiba. Dengan langkah ringan namun hati berat, Aluna masuk ke dalam mobil tersebut. Sepanjang perjalanan menuju restoran milik Daniel, pikirannya melayang-layang. Ia menatap keluar jendela, memandangi pepohonan dan orang-orang yang berlalu lalang di pinggir jalan. Semua tampak berjalan seperti biasa, seolah dunia tak peduli dengan konflik kecil yang tengah berkecamuk di hatinya.'Kalau aku tetap bekerja di sana, mungkin semuanya akan jadi rumit. Aku tidak ingin membuat masalah baru untuk orang lain,' batinnya.Sesampainya di depan restoran, taksi berhenti perlahan. Aluna
Pagi itu, sinar matahari menyelinap malu-malu di balik tirai jendela kamar Aluna. Udara terasa segar, langit tampak biru cerah, seolah hari menjanjikan kebahagiaan. Namun, tidak bagi Aluna. Pagi yang biasanya ia sambut dengan semangat dan senyuman lebar, kali ini terasa hambar. Wajahnya kusut, matanya sembab, bibirnya mengerucut dalam diam.Ia duduk di tepi ranjang cukup lama, menatap nanar lantai kamar yang dingin. Tak ada suara, hanya detik jam dinding yang berdetak pelan seiring waktu yang terus berjalan.Biasanya, pagi adalah momen yang paling ia nantikan. Ia akan bersiap-siap pergi ke restoran Tanpopo’s, tempat ia bekerja sekaligus tempat hatinya berlabuh diam-diam. Daniel, pemilik restoran itu, bukan hanya sahabat masa kecilnya, tapi juga seseorang yang selama ini diam-diam mengisi ruang hati Aluna.Namun, malam tadi telah mengubah semuanya.Saat James mendadak masuk ke kamarnya hanya untuk mengantar black card dari Angga. Aluna masih ingat jelas bagaimana James, dengan ekspres
"Apa yang kau lakukan di sini, James?!" suara Aluna melengking cukup nyaring, memecah kesunyian kamar yang sebelumnya hanya diisi bunyi alat tinju yang bergoyang. Napasnya memburu, dada naik turun tak teratur, dan wajahnya memerah karena emosi. Keringat membasahi pelipisnya, tapi bukan itu yang paling mencolok—melainkan sorot mata tajam yang memancarkan kemarahan yang tertahan.James, yang berdiri kaku di ambang pintu, nyaris kehilangan kata. Detik itu juga tenggorokannya terasa tercekat, dan lidahnya seperti terikat tak bisa bergerak. Ia tak menyangka sambutannya akan seintimidasi ini. Ia hanya ingin menyampaikan amanah, itu saja.“A-aku... ha-hanya ingin menyampaikan sesuatu...” jawabnya dengan suara pelan, terdengar terbata dan gugup. Keringat dingin mulai muncul di pelipisnya. Meski sudah berusia lebih dari lima puluh tahun dan sudah menghadapi banyak situasi sulit selama bekerja untuk keluarga Kusuma, tetap saja, menghadapi kemarahan seorang gadis muda yang se
Malam itu, langit London terlihat bersih tanpa awan, dihiasi kerlipan bintang yang jarang muncul di kota padat seperti ini. Udara dingin khas musim gugur menyusup lewat celah-celah jendela, namun keindahan malam itu sama sekali tak mampu menenangkan hati James. Sejak matahari terbenam, pria paruh baya itu terus mondar-mandir di ruang tamu lantai bawah rumah keluarga Kusuma.Ia memandangi sebuah kartu kredit berwarna hitam mengkilap yang digenggamnya erat. Kartu itu bukan sembarang kartu, melainkan “Black Card”, simbol kepercayaan dan kemewahan yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Kartu itu diberikan langsung oleh majikannya, Tuan Angga Wijaya Kusuma, yang dengan ekspresi tenang namun penuh tekanan menyuruhnya untuk menyerahkan kartu itu kepada Aluna yang dikira Alana itu.Namun, James tampak ragu sebab melihat Aluna yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Yang jelas, sejak sore tadi, setelah Aluna pulang dalam keadaan murung dari tempat kerjanya, gad
Setelah pertemuan yang tidak mengenakkan di kafe sore tadi, Aluna memutuskan untuk pulang lebih awal. Tatapannya kosong, pikirannya kusut, dan hatinya diliputi rasa kecewa yang sulit dijelaskan. Ia bahkan tidak sanggup menatap wajah Daniel lebih lama lagi, takut air matanya jatuh tanpa permisi.Daniel tidak mempermasalahkan kepergian Aluna yang mendadak itu. Ia hanya menatap punggung gadis itu menjauh, dengan tatapan sendu yang sarat dengan pemahaman. Ia tahu, Aluna sedang tidak baik-baik saja. Bahkan dari nada bicaranya sejak awal mereka bertemu tadi, Daniel sudah merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hati gadis itu. Sesuatu yang tidak sanggup Aluna sembunyikan, meskipun ia berusaha sekeras mungkin.Sebuah taksi berwarna biru tua berhenti perlahan di depan rumah megah bercat krem muda. Dari dalamnya, sepasang kaki jenjang milik Aluna menuruni mobil itu dengan gerakan cepat, seolah ingin segera menghilang dari pandangan dunia. Ia membawa tas kecil yang sejak tad