Angga menutup pintu apartemen dengan lebih keras dari yang seharusnya. Wajahnya muram, rahangnya mengeras, dan langkah-langkahnya berat seolah membawa beban yang tak terlihat. Satu tarikan napas panjang ia hembuskan begitu kakinya menginjak lantai kayu apartemen yang dingin dan sepi.Begitu punggungnya menyentuh kasur, dering ponsel memecah keheningan. Layar menunjukkan nama yang tak asing: Arya Wiguna Kusuma.Angga langsung menjawab, duduk setengah tegak.“Kapan kamu sampai di London kak? Kenapa tidak memberitahuku lebih dulu?” suaranya penuh nada protes, tapi juga rindu yang tertahan.Terdengar tawa ringan di seberang sana. “Namanya juga kejutan,” jawab Arya santai. “Aku ingin datang setelah semuanya benar-benar rampung. Perusahaan ini... Aku dirikan dari nol, Angga. Tanpa nama besar ayah, tanpa campur tangan siapa pun. Dan sekarang, akhirnya jalan juga.”Angga terdiam. Antara bangga dan khawatir.“Kamu selalu terlalu keras kep
Angga menghela napas panjang. Sorot matanya berubah menjadi gelap namun tajam.“Selama aku masih bisa menikmatinya,” jawabnya singkat. “Selama aku bisa melihat reaksinya tanpa dia tahu siapa aku. Ini... menyenangkan.”James menunduk. Ia sudah terlalu lama melayani Angga untuk tahu kapan harus diam.Aluna menatap gagang pintu kamar dengan ragu. Kakinya masih berdenyut pelan, sisa dari keseleo kemarin. Ia mencoba berdiri, namun rasa nyeri memaksanya menyerah pada kenyataan.“James!” panggilnya dari balik pintu yang setengah terbuka.Tak butuh waktu lama, suara langkah cepat terdengar di tangga. James muncul, wajahnya menyiratkan perhatian. “Iya, Nona? Ada yang bisa saya bantu?”“Aku mau ke bawah. Tapi... sepertinya butuh bantuanmu.”Tanpa banyak bicara, James segera mendekat, menunduk sedikit dan memapah tubuh Aluna dengan lembut. Langkah demi langkah, mereka menuruni tangga.Setelah berhasil duduk di sofa ruang t
Suara pintu tertutup pelan, dan keheningan kembali menyelimuti ruang tamu yang penuh ketegangan itu. Abigael menatap Aluna dengan mata yang mulai memerah, bukan karena marah, melainkan karena kelelahan dan tekanan yang menumpuk. “Ayah akan temukan dia, Nak,” ucap Abigael pelan, nadanya berbeda—lebih rapuh, seolah ia sedang memohon kepada takdir, bukan hanya kepada anaknya. “Alana... dia pasti punya alasan, dan Ayah akan mencarinya sampai ketemu.” Aluna memalingkan wajah, menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh. Tangannya mengepal di sisi tubuh, seolah tubuhnya sendiri mencoba menahan hati yang ingin meledak. “Aluna,” lanjut Abigael, “kau itu kuat. Lebih kuat dari Alana. Dari siapa pun. Kau selalu bisa diandalkan... selalu bisa berdiri ketika yang lain jatuh. Ayah bangga padamu.” Kata-kata itu, walau terasa seperti penenang yang terlambat datang, tetap menggores luka yang dalam.
Aluna masih duduk di bangku taman, menunduk, membiarkan kucing kecil itu bermain dengan ujung jarinya. Angin bertiup lembut, menggoyangkan helaian rambutnya yang terurai. Ia begitu tenggelam dalam dunianya, sampai tak menyadari langkah kaki yang mendekat perlahan dari arah belakang.Langkah itu berhenti tepat di sampingnya.“Alana?”Suara itu—hangat, lembut, dan terdengar asing sekaligus familiar.Aluna mendongak cepat. Matanya langsung bertemu dengan sepasang mata cokelat yang dalam. Lelaki itu mengenakan jaket kulit berwarna gelap, rambutnya sedikit acak namun tetap terlihat rapi. Wajahnya bersih, tampan, dengan senyum tipis yang mengintip dari bibirnya.“Daniel?” Aluna langsung berdiri, kucing kecil itu melompat turun dari pangkuannya. “Kau... bukannya kamu di Tokyo?”Daniel tersenyum lebih lebar. “Tebak siapa yang buka cabang restoran di kota ini?”Aluna masih terkejut, tapi sorot matanya berubah hangat. “Apa kebetul
“Itu gila. Terlalu berisiko. Kamu bisa hancur kalau rahasiamu terbongkar.”Aluna mengangguk. “Makanya aku cerita padamu. Karena aku percaya. Aku tahu ini berat, tapi... aku harap kamu bisa menjaga rahasiaku, Daniel.”Daniel diam sejenak. Lalu ia tersenyum kecil, penuh ketulusan.“Kamu tenang saja, Aluna. Rahasiamu aman bersamaku. Aku janji.”Mata Aluna berkaca-kaca, namun ia tahan. Sebelum suasana menjadi terlalu emosional, Daniel menambahkan dengan nada ringan namun tulus, “Dan kalau kamu mau, aku bisa bantu kamu cari Alana. Kita cari dia sama-sama.”Aluna menatap Daniel, terkejut sekaligus tersentuh. “Kamu serius?”“Serius,” jawab Daniel. “Apa pun untuk sahabat kecilku... dan sekarang, menjadi wanita kuat yang berdiri di tengah badai.”Mereka saling pandang sejenak, hingga pelayan datang dengan dessert penutup. Keheningan itu berubah menjadi kenyamanan. Tapi satu hal tetap tak terucap: cinta yang Aluna rasakan... dan c
Sebuah pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar dan seketika membuyarkan lamunan Aluna yang saat ini tengah merenungi nasibnya yang malang. "Permisi non, Tuan Abigael menyuruh saya untuk memanggil Non Aluna agar segera turun ke bawah. Karena keluarga dari mempelai pria sudah tiba. Tinggal menunggu pengantin prianya datang non," ucap pelayan yang bekerja di kediaman megah milik keluarga Abigael—ayah Aluna. "Baiklah. Saya akan segera turun," balas Aluna. Tatapannya datar dan dingin. Aluna sejenak menatap dirinya dari pantulan kaca. Kecantikan alami yang dimiliki Aluna sejak kecil membuatnya terlihat menawan. Berbalut gaun putih panjang, dipadu dengan polesan make up tipis diwajahnya, semakin menambah pesonanya yang sempurna. Namun bukan pancaran kebahagiaan yang tercipta diwajahnya, melainkan tatapan sendu penuh kesedihan yang mendalam. Seperti menyimpan beban yang sangat berat. Bukannya seorang pengantin harusnya terlihat bahagia dihari pernikahannya? Tetapi tidak untuk Aluna. B
Aluna mengamati sekelilingnya. Matanya menatap awas. Memastikan bahwa semua orang saat ini sedang lengah. Saat sudah yakin, gaun pengantin berwarna putih yang panjangnya melebihi mata kaki itu disingkapnya, hingga sebatas lutut.Sepatu kaca ber 'hak' tinggi yang dipakainya segera dilepas dan ia berlari sekencang mungkin. Semua orang yang berada di pesta pernikahan tersebut sontak menatap kepergian Aluna dengan tatapan tidak percaya--termasuk Abigael yang telah selesai mengangkat panggilan. "Penjaga! Tolong segera hentikan dia!" teriak Abigael. Jeritan kencang dari ayahnya membuat Aluna panik. Dia semakin mengencangkan lajunya. Namun hal tak terduga terjadi. Sebelum Aluna mencapai pintu keluar, sudah ada beberapa penjaga yang menghalangi langkahnya. 'Ah sial!' gerutu Aluna, seraya menghentikan langkahnya secara mendadak. Aluna tak kehabisan akal. Matanya menoleh ke arah samping. Tampak sebuah tangga yang mengarah ke lantai atas. Tanpa pikir panjang, Aluna segera berlari
Aluna sontak menatap kedua netra Angga meski ketakutan. "Tuan, aku mohon jangan bawa aku ke kantor polisi. Sungguh, aku tidak berniat untuk mencuri mobilmu. Percayalah padaku," mohonnya, sambil mengatupkan kedua tangannya didada. Sorot mata penuh ketakutan yang ditunjukkan oleh Aluna, membuat Angga merasa iba. Namun, semakin dalam Angga menyelami manik mata indah milik Aluna, membuat debaran jantungnya terpacu. "Jika Anda tidak ingin berbicara tidak apa. Aku anggap itu sebagai jawaban 'iya'. Terima kasih Tuan, aku akan mengingat kebaikanmu dimasa depan," ucap Aluna, dengan penuh rasa percaya diri yang tinggi. Aluna mengganggap diamnya Angga adalah suatu jawaban, bahwa dia akan dilepaskan. Namun apa yang dipikirkan olehnya, tidak sama dengan pikiran Angga. "Tidak semudah itu Nona. Sekarang ini semuanya sudah diatur oleh hukum. Suka atau tidak suka, kau harus bertanggungjawab atas perbuatanmu," tegas Angga. Namun sudut bibirnya terangkat, nyaris tak terlihat. Tertutupi oleh
“Itu gila. Terlalu berisiko. Kamu bisa hancur kalau rahasiamu terbongkar.”Aluna mengangguk. “Makanya aku cerita padamu. Karena aku percaya. Aku tahu ini berat, tapi... aku harap kamu bisa menjaga rahasiaku, Daniel.”Daniel diam sejenak. Lalu ia tersenyum kecil, penuh ketulusan.“Kamu tenang saja, Aluna. Rahasiamu aman bersamaku. Aku janji.”Mata Aluna berkaca-kaca, namun ia tahan. Sebelum suasana menjadi terlalu emosional, Daniel menambahkan dengan nada ringan namun tulus, “Dan kalau kamu mau, aku bisa bantu kamu cari Alana. Kita cari dia sama-sama.”Aluna menatap Daniel, terkejut sekaligus tersentuh. “Kamu serius?”“Serius,” jawab Daniel. “Apa pun untuk sahabat kecilku... dan sekarang, menjadi wanita kuat yang berdiri di tengah badai.”Mereka saling pandang sejenak, hingga pelayan datang dengan dessert penutup. Keheningan itu berubah menjadi kenyamanan. Tapi satu hal tetap tak terucap: cinta yang Aluna rasakan... dan c
Aluna masih duduk di bangku taman, menunduk, membiarkan kucing kecil itu bermain dengan ujung jarinya. Angin bertiup lembut, menggoyangkan helaian rambutnya yang terurai. Ia begitu tenggelam dalam dunianya, sampai tak menyadari langkah kaki yang mendekat perlahan dari arah belakang.Langkah itu berhenti tepat di sampingnya.“Alana?”Suara itu—hangat, lembut, dan terdengar asing sekaligus familiar.Aluna mendongak cepat. Matanya langsung bertemu dengan sepasang mata cokelat yang dalam. Lelaki itu mengenakan jaket kulit berwarna gelap, rambutnya sedikit acak namun tetap terlihat rapi. Wajahnya bersih, tampan, dengan senyum tipis yang mengintip dari bibirnya.“Daniel?” Aluna langsung berdiri, kucing kecil itu melompat turun dari pangkuannya. “Kau... bukannya kamu di Tokyo?”Daniel tersenyum lebih lebar. “Tebak siapa yang buka cabang restoran di kota ini?”Aluna masih terkejut, tapi sorot matanya berubah hangat. “Apa kebetul
Suara pintu tertutup pelan, dan keheningan kembali menyelimuti ruang tamu yang penuh ketegangan itu. Abigael menatap Aluna dengan mata yang mulai memerah, bukan karena marah, melainkan karena kelelahan dan tekanan yang menumpuk. “Ayah akan temukan dia, Nak,” ucap Abigael pelan, nadanya berbeda—lebih rapuh, seolah ia sedang memohon kepada takdir, bukan hanya kepada anaknya. “Alana... dia pasti punya alasan, dan Ayah akan mencarinya sampai ketemu.” Aluna memalingkan wajah, menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh. Tangannya mengepal di sisi tubuh, seolah tubuhnya sendiri mencoba menahan hati yang ingin meledak. “Aluna,” lanjut Abigael, “kau itu kuat. Lebih kuat dari Alana. Dari siapa pun. Kau selalu bisa diandalkan... selalu bisa berdiri ketika yang lain jatuh. Ayah bangga padamu.” Kata-kata itu, walau terasa seperti penenang yang terlambat datang, tetap menggores luka yang dalam.
Angga menghela napas panjang. Sorot matanya berubah menjadi gelap namun tajam.“Selama aku masih bisa menikmatinya,” jawabnya singkat. “Selama aku bisa melihat reaksinya tanpa dia tahu siapa aku. Ini... menyenangkan.”James menunduk. Ia sudah terlalu lama melayani Angga untuk tahu kapan harus diam.Aluna menatap gagang pintu kamar dengan ragu. Kakinya masih berdenyut pelan, sisa dari keseleo kemarin. Ia mencoba berdiri, namun rasa nyeri memaksanya menyerah pada kenyataan.“James!” panggilnya dari balik pintu yang setengah terbuka.Tak butuh waktu lama, suara langkah cepat terdengar di tangga. James muncul, wajahnya menyiratkan perhatian. “Iya, Nona? Ada yang bisa saya bantu?”“Aku mau ke bawah. Tapi... sepertinya butuh bantuanmu.”Tanpa banyak bicara, James segera mendekat, menunduk sedikit dan memapah tubuh Aluna dengan lembut. Langkah demi langkah, mereka menuruni tangga.Setelah berhasil duduk di sofa ruang t
Angga menutup pintu apartemen dengan lebih keras dari yang seharusnya. Wajahnya muram, rahangnya mengeras, dan langkah-langkahnya berat seolah membawa beban yang tak terlihat. Satu tarikan napas panjang ia hembuskan begitu kakinya menginjak lantai kayu apartemen yang dingin dan sepi.Begitu punggungnya menyentuh kasur, dering ponsel memecah keheningan. Layar menunjukkan nama yang tak asing: Arya Wiguna Kusuma.Angga langsung menjawab, duduk setengah tegak.“Kapan kamu sampai di London kak? Kenapa tidak memberitahuku lebih dulu?” suaranya penuh nada protes, tapi juga rindu yang tertahan.Terdengar tawa ringan di seberang sana. “Namanya juga kejutan,” jawab Arya santai. “Aku ingin datang setelah semuanya benar-benar rampung. Perusahaan ini... Aku dirikan dari nol, Angga. Tanpa nama besar ayah, tanpa campur tangan siapa pun. Dan sekarang, akhirnya jalan juga.”Angga terdiam. Antara bangga dan khawatir.“Kamu selalu terlalu keras kep
Langkah Aluna tertahan di anak tangga kedua.“Astaga, Tuan! Apa yang kamu—”Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya sudah terangkat dari lantai. Angga, tanpa aba-aba, menggendongnya dengan satu gerakan mantap.“H-Hey! Turunkan aku!” pekik Aluna, kedua tangannya memukul pelan dada lelaki itu, tapi tak benar-benar berniat melawan.Angga tak menjawab. Tatapannya lurus, rahangnya mengeras seakan menahan sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi belum waktunya. Ia membawa Aluna melintasi ruang tamu, lalu menyusuri lorong sempit menuju kamar gadis itu.Begitu sampai, Angga membuka pintu dengan kakinya, masuk, lalu menutupnya dengan punggung.Aluna masih diam, matanya membulat, hatinya berdebar tak menentu. Baru saat Angga menurunkannya perlahan ke lantai, ia sadar bahwa napasnya tertahan sejak tadi.“Kamu kenapa sih?” tanya Aluna pelan, hampir seperti bisikan.Namun, Angga yang dikira Wijaya itu tak menjawab. Kakinya malah melangkah ke arah Aluna. Aluna mundur satu langkah, punggungny
"Dia saat ini ada di Brick Lane, pergilah jemput dia!" suruh Arya."Baiklah kak, terima kasih. Karena kamu sudah kembali lagi ke London, pergi dan temuilah ayah. Dia pasti sangat merindukanmu," saran Angga.Sontak saja perkataan yang baru saja terlontar dari mulut Angga, membuat Arya mendengus geli."Apakah kamu pikir pak tua itu masih ingin melihatku? Baiklah, jangan memikirkan tentang masalahku. Ayo kita minum nanti setelah kamu menjemput gadis itu. Aku yakin saat ini kamu sedang terburu-buru. Cepatlah pergi!" suruh Arya. Tanpa menjawab perkataan kakaknya, Angga menganggukan kepala dengan cepat, seraya bergegas menuju mobilnya untuk pergi menjemput Aluna di Brick Lane. Arya hanya menatap kepergian sang adik hingga mobilnya hilang saat di persimpangan jalan. Seraya tersenyum penuh arti.****Saat Angga tiba dikawasan Brick Lane, matanya memicing saat tak sengaja melihat Aluna sedang berjalan terseok-seok. An
Aluna mendengus kesal. Lantaran Arya menghentikan mobilnya secara mendadak. "Apakah kamu tau jika berhenti mendadak seperti ini sangat berbahaya!" ucap Aluna, wajahnya terlihat tertekuk. Arya menghela napas berat. Dia mulai sadar bahwa gadis yang ada dihadapannya bukanlah Alana. Namun Arya tetap berpura-pura menganggap bahwa Aluna itu adalah Alana."Alana, dengar baik-baik. Aku peringatkan kepadamu, aku tidak peduli siapa pria liarmu. Tapi caramu saat ini bertindak hanya akan mempermalukan keluarga Kusuma. Jika kamu terus bertingkah aneh dengan pria liarmu itu, aku akan memastikan, bahwa kalian berdua akan mati dengan sangat buruk, mengerti!" ucap Arya dengan sorot mata yang tajam. Suaranya terdengar berat dan penuh penekanan. Tenggorokan Aluna tercekat. Hingga membuatnya kesusahan untuk menelan salivanya. Lidahnya terasa kelu. Saat Arya yang dipikirnya adalah Angga, memberikan ancaman kepadanya. "A-aku...""Turunlah sekarang
Aluna terpaku, saat seseorang yang bertabrakan dengannya barusan menyebut nama kembarannya—Alana. Rasa penasaran yang tinggi, membuat Aluna membalikkan tubuhnya ke arah belakang. Aluna termangu, saat melihat seorang pria tampan mengenakan jubah tengah menatapnya dengan intens. Kerutan samar tercipta dikening Aluna. 'Apakah dia Tuan Angga? Dia sedikit tua, tapi tampan,' batin Aluna menerka-nerka. Netranya sibuk meneliti sosok pria didepannya, dari atas ke bawah, begitu sebaliknya. "Alana, kenapa kamu keluar dengan pakaian seperti ini?" Sontak saja perkataan pria yang diduga sebagai Angga oleh Aluna, membuatnya tercengang. "Apa ada yang salah dengan pakaianku?" tanya Aluna balik. Sambil melihat pakaiannya yang terlihat biasa saja, menurutnya. Saat ini Aluna memakai kaos oblong, dipadukan dengan celana jeans. Serta membalut tubuhnya dengan jaket berbulu. "Ikutlah denganku," ajak pria asing itu, sambil meraih lengan Aluna. Tanpa sengaja netranya melihat Angga, tengah