"Itu Tayo-nya sudah datang, Raccel!" Cassel memekik antusias menunjuk ke arah bus berwarna biru yang selalu berhenti di depan halte. "Wahhh... Asik! Naik Tayo! Naik Tayo!" seru Raccel lompat-lompat kesenangan. Bus itu akhirnya berhenti di depan mereka. Sopir Bus pun terkejut melihat dua anak kecil berwajah mirip berdiri di depan pintu. "Loh, kalian mau ke mana? Kalian sama siapa?" tanya sang sopir khawatir. "Kita mau ke rumah sakit Ibu Kota Pak, Maminya Cassel dibawa ke rumah sakit. Boleh antarkan ke sana? Cassel nanti kasih uang!" seru Cassel menjelaskan. "Iya. Raccel juga bawa uang, kalau kurang nanti minta ke Daddy!" sahut Raccel. Laki-laki berambut putih itu menoleh pada kondektur yang kini mengangguk. "Ayo naik, hati-hati nak... Awas jatuh," ujar sang kondektur membantu mereka naik. Kedua bocah manis itu duduk di samping sopir. Cassel merasa panas telinganya saat mendengar Raccel yang berkali-kali bersorak kesenangan. Untuk kali pertama dia naik bus. "Bisa diam tidak, k
"Apa yang kalian lakukan? Kenapa pergi dari sekolah, Sayang?" Damien menekuk kedua lututnya menatap dua anak manis yang kini memasang wajah sedih di hadapannya. Ekspresi mereka sangat-sangat mirip. "Cassel mau nyari Mami," jawab Cassel memeluk Damien. "Raccel ikut saja, enak tahu Dad... Tadi kita berdua naik Tayo!" seru Raccel berjinjit-jinjit kesenangan. Damien berdecak pelan, ia merangkul mereka berdua sebelum kembali berdiri dengan tubuh tegap menggandeng tangan mungil si kembar. Pandangannya tertuju pada Heins yang mematung di tempat. Laki-laki itu maju dua langkah. "Cassel... Ayo sama Om," ajak Heins melambaikan tangannya. "Tidak mau, Cassel mau ikut dengan Papi-nya Cassel, Om Ayah!" jawab anak itu menggenggam tangan Damien. "Cassel Sayang..." "Apa hakmu melarang putraku untuk ikut denganku, Dokter Heins?!" seru Damien menatap tajam. Heins begitu terkejut, dia terdiam dengan wajah pucat pasi. "Anak itu juga menjadi tanggung jawabku, Tuan Damien. Mamanya Cassel-" "Ken
Tidak ada percakapan antara Dalena dan Damien. Setelah membicarakan hal tadi, Damien malah melangkah keluar dan akhirnya mereka pulang. Sepanjang perjalanan Dalena dibuat resah oleh Damien. Ia tidak mengerti, kenapa bisa jadi seperti ini. "Berhenti di sini saja, Tuan," pinta Dalena. "Tidak, sampai di rumahmu!" jawab laki-laki itu tegas. "Tuan..." Dalena terdengar merengek, hal itu menggelikan untuk Damien. Semakin dia merengek, semakin Damien bergejolak ingin terus membuat Dalena hidup dalam keresahan. Sampai akhirnya mobil milik Damien berhenti di depan rumah Dalena. Mereka berdua pun turun dari dalam mobil bersamaan. "Tuan... Tuan ikut saya masuk?" tanya Dalena menatap Damien lagi. "Heem," jawab laki-laki itu. Dalena mendengkus pelan. 'Ya Tuhan... Bagaimana ini? Bagaimana kalau Damien bertemu dengan Cassel? Mati aku!' batin Dalena berteriak menangis. Pintu rumah dibuka oleh wanita pemilik tempat tersebut, namun ruangan yang sepi dan senyap menyambut Dalena. Tidak ada teria
"Kalian dari mana saja? Lizi, kenapa kau membawa Cassel pergi malam-malam?" Dalena mengomeli pengasuh anaknya tersebut dan gadis itu hanya tertunduk diam. Pandangan Dalena tertuju pada plastik besar berisi makanan dan mainan, juga peralatan sekolah untuk Cassel. Untuk kesekian kalinya Cassel dibelikan banyak makanan hingga lemari es penuh, dan mainan yang menumpuk banyak. "Ini... Mainan dan semua ini dari mana?" tanya Dalena menatap putranya. "Kak Lizi belikan, Mami," jawab Cassel. Dalena kembali menatap Lizi. "Liz, Ayahmu di London sakit. Kenapa kau setiap hari malah mentraktir Cassel seperti ini?! Uang dari mana sebayak ini, Liz?" "Anu... Saya punya tabungan pribadi." Lizi menjawabnya dengan wajah takut. Decakan kecil terdengar dari bibir Dalena. "Jangan sekali-kali lagi memanjakan Cassel dengan uangmu. Jangan mengajaknya pergi malam-malam, mengerti!" Gadis itu mengangguk, barulah Dalena mendekati Cassel dan menggendong putranya. Anak itu memeluk leher Dalena seraya membaw
"Ayo Dad! Come on...!" Raccel menarik jemari Damien dan mengajaknya cepat-cepat ke area taman. Di sana terdengar musik lagu anak-anak yang ramai dengan tarian para maskot taman. Ada badut kelinci, kucing, dan banyak lagi. "Raccel gendong Daddy saja, okay?" Damien menatap putrinya. "No! Raccel mau jalan sendiri!" tolak anak itu. "Nanti kau bisa hilang, Princess. Taman sangat ramai hari ini!" seru Damien menatap lekat-lekat wajah Raccel. Anak itu tetap keras kepala dan malah berlari meninggalkan Daddy-nya. Damien menghela napasnya panjang mengejar Raccel, juga Sabrina yang ikut mengejar mereka berdua. Raccel tersenyum bahagia dengan momen ini, dia melihat para maskot yang menari-nari, memberikan hadiah, dan banyak sekali anak-anak kecil berkumpul di sana. "Daddy, lihat itu! Lihat... Badut kelincinya pakai kaos kaki!" seru Raccel tertawa terpingkal-pingkal. Damien ikut tersenyum, ia menekuk kedua lututnya dan memeluk Raccel dari belakang, guna melindunginya. "Huhh... Panas! Ken
Kedua mata Dalena bergetar menatap laki-laki itu. Ia melangkah menekan kuat rasa takutnya kini mendekati Damien. Sorot mata laki-laki itu begitu lekat dan tajam padanya, lalu berpindah pada Cassel yang tertidur dalam pelukan Delana saat ini. Dalena mendekapnya dengan sangat-sangat erat. "Tu-Tuan Damien sedang apa di sini?" tanya Dalena menatapnya takut. Laki-laki itu tetap menatap Cassel. "Anak ini putramu?" Damien malah balik memberikan pertanyaan lain. Lidah Dalena terasa kelu, wanita itu mau tidak mau dia menganggukkan kepalanya. "Iya. Ini putra saya," jawab Dalena berusaha menutupi wajah Cassel. Namun Damien mendekat dan menarik dengan mudah jaket yang menutupi wajah anak itu. Laki-laki tampan itu tersenyum begitu jelas, sebelum ia menatap Dalena lagi. "Anak yang tampan, Dalena," ucapnya memuji. Dalena mengangguk pasrah. Detak jantungnya kali ini benar-benar berdegup tak karuan, syukurlah Damien tidak mengenali identitas asli Cassel, meskipun mereka mengenal, itulah yan
"Mami jangan pulang ya, kalau Mami pulang nanti Raccel nangis!" Raccel, anak itu memeluk lengan Dalena dengan erat. Ia menahan Dalena di ranjang untuk terus tertidur dengannya. "Iya Sayang, Mami tidak ke mana-mana kok. Mami akan tidur di sini sama Raccel. Janji!" Dalena mengusap pipi gembil Raccel dan mengecupnya. "Saaayang Mami!" seru anak itu memeluk erat tubuh Dalena. Dalena menyanyikan lagu pengantar tidur untuk Raccel. Tak sampai sepuluh menit anak itu sudah terlelap dengan nyaman. Barulah Dalena menyelimutinya dengan hangat, ia bangkit perlahan-lahan, memberikan kecupan di wajah sang putri dan gegas beranjak pergi. "Jam berapa ini?" gumam Dalena menengok jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. "Huhhh... Cassel pasti sudah tidur." Langkah Dalena menuju ke lantai satu, ia memelankan tiap langkahnya saat melihat Damien duduk di sofa ruang tamu. Laki-laki itu sibuk dengan laptopnya. Seperti yang Dalena tahu, Damien itu sangat sibuk. "Permisi Tuan, Raccel sud
"Cassel capek, Kak Lizi... Mami lama sekali! Cassel padahal sudah kangen sama Mami!" Anak laki-laki berwajah tampan itu berdiri di tengah jalan perumahan yang sepi. Seperti biasa, sambil disuapi sore ini Cassel menunggu Dalena pulang. Lizi berjongkok di samping Cassel dan menyuapinya dengan lahap. "Sabar ya Cassel, Mami pasti pulang kok..." Lizi mengusap pucuk kepala Cassel dengan gemas. "Emm, iya. Kalau Mami pulang, nanti Cassel ajak Mami jalan-jalan!" seru anak itu. "Kak Lizi di rumah saja, jangan ikut." "Siap Boss kecil!" Lizi mengacungkan jempolnya dan tersenyum manis. Cassel langsung berdiri memeluk Lizi. Hingga tak lama kemudian, muncul seorang wanita cantik masuk ke dalam gerbang perumahan. Senyuman Dalena terukir indah saat kepulangannya disambut oleh Cassel. Setelah sejak kemarin siang hingga sore ini ia baru pulang dan melihat wajah tampan putra tercintanya. "Mamiku...!" teriak anak itu berlari ke arah Dalena dengan bersemangat. Cassel berlari mengulurkan kedua tang