Share

Suara desahan

Author: Rafasya
last update Last Updated: 2025-07-09 09:20:00

Cahaya lampu gantung kristal di ruangan kerja Mark memantul di permukaan meja kayu mahoni yang luas. Di atasnya, berserakan berkas-berkas dan map bisnis yang tertata rapi. Suara jam dinding berdetak pelan, menghitung detik dalam keheningan tegang.

Kriet!

Pintu terbuka pelan tanpa ketukan.

Eliza masuk.

Tubuhnya masih berbalut gaun satin hitam, rambutnya digelung rapi. Aroma vanilla segera mengisi ruangan.

Mark duduk di balik meja besar, mengenakan kemeja putih tergulung hingga siku. Tangan kekarnya memegang pena, matanya fokus pada lembaran laporan keuangan.

Tanpa sepatah kata, Eliza melangkah ringan ke arah pria itu, lalu merangkul pundaknya dari belakang. Lembut, perlahan.

“Aku sibuk, El,” gumam Mark datar, tanpa menoleh.

“Kau selalu saja sibuk, padahal aku ingin bermanja,” balas Eliza dengan nada lembut yang dibuat-buat, suaranya mengalun genit. “Tidak rindukah kamu padaku?”

Tangannya yang halus menyusuri bahu Mark, lalu turun ke pipinya, membelai pelan. Jari-jarinya menyusuri garis rahang tajam pria itu dengan gerakan memikat.

“Ada apa, hm? Apa ada masalah dengan pelayan?“

“Hmm, ada satu pelayan yang membuatku jengkel hari ini. Tapi itu tidak terlalu masalah.”

Eliza terus memberikan rangsangan pada Mark. Namun—

Clek!

Mark menepis tangan itu dengan kasar. Kursinya bergeser sedikit.

“Aku sedang tak ingin, El.” Suaranya datar.

Eliza terpaku. Matanya yang indah menyipit, luka kecil menggores sorotnya.

“Kenapa selalu begini ...? Sampai kapan aku harus menunggu?” tanyanya lirih. “Bukankah hampir satu tahun kita tidak bercinta?"

Mark menegakkan tubuhnya, lalu berdiri dan menatapnya dengan mata tajam, seperti elang mengawasi mangsanya. Ia mendekat beberapa langkah, berhenti di hadapan Eliza.

“Sudah berapa kali aku bilang, aku tidak berselera. Terlalu banyak pekerjaan membuatku lelah setiap hari.”

Hufftt!

Eliza menghela napas kasar. Dia berpikir bahwa dirinya sudah tak menarik bagi Mark, atau mungkin pria itu selingkuh.

Ia mendongak, memandangi wajah suaminya. Pria itu—yang dulu mencumbunya penuh gairah, yang pernah memujanya seperti bintang, kini hanya menatapnya datar, padahal dia sudah dandan secantik mungkin.

“Mark …”

Suaranya nyaris tak terdengar. Bibirnya bergetar, tubuhnya ikut kaku.

Mark menghela napas panjang, lalu memalingkan wajah. “Aku sedang tidak ingin, El. Pergilah.”

“Kau menolakku lagi?”

Mark menghela napas, “Kau masih ingin bicara atau aku yang akan keluar dari sini?”

“Baik, aku akan keluar,” ucapnya dengan senyum yang dibuat-buat seolah tidak apa-apa dengan penolakan Mark barusan.

***

Keesokan harinya.

“Potong kakimu atau mati!” ucap Eliza dengan tatapan tajam.

“Aaaaaa!”

Zavier terbangun dengan jeritan tajam. Dadanya naik turun, keringat dingin membasahi pelipis dan punggungnya. Napasnya terputus-putus, matanya liar menatap sekeliling kamar kecil itu yang masih remang-remang diterpa sinar fajar.

Ia menatap tangannya, lalu menggerakkan kakinya, “Hufftt syukurlah masih utuh.”

Zavier mengusap wajah dengan kasar, “Astaga …” desisnya. “Mimpi apa aku barusan?”

Mimpi itu terasa nyata, terlalu nyata. Sorot mata Eliza yang dingin, senyum manis yang berubah tajam, dan pisau mengilat yang mengarah ke tubuhnya. Suara ancaman itu masih bergema di telinganya. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan diri.

Tik-tak ... tik-tak ...

Suara jam dinding membuatnya refleks menoleh. Matanya membelalak.

“Astaga! Ini sudah jam 7 pagi!”

Zavier segera melompat dari tempat tidur. Dalam waktu singkat, ia merapikan rambutnya seadanya, mencuci muka, dan mengganti pakaian ke seragam pelayan yang sudah mulai kusut. Ia mengencangkan dasi kecil di leher dan menyelipkan kemeja ke dalam celana hitamnya.

“Aku tak boleh terlambat. Kalau Nyonya Eliza tahu, bisa-bisa mimpi tadi jadi kenyataan.”

Langkahnya cepat menuju dapur. Di sana, para pelayan lain sudah sibuk. Ada yang memotong buah, ada yang menyusun piring, dan ada yang menjaga roti agar tidak gosong di oven.

Zavier ikut bergabung, mengambil pisau dapur dan mulai memotong tomat. Ia mencoba mencairkan suasana.

“Selamat pagi. Wah, sepertinya sarapan di sini menu-nya juga harus lebih lengkap ya?”

Tak ada yang tertawa. Bahkan tak ada yang menoleh.

Ia melirik ke kanan, lalu ke kiri.

“Hei, apa aku salah bicara?”

Seseorang pria tua pelayan lama, mendesis pelan. “Ssstt ... jangan banyak bicara. Nyonya Eliza tidak suka suara gaduh pagi-pagi.”

Zavier terdiam. Ia menghela napas berat, menahan keinginan untuk menumpahkan keluhannya.

“Peraturan macam apa ini, saat memasak pun tak boleh mengobrol atau bercanda sedikit ...” batinnya. “Kenapa mereka bisa betah?”

Tak lama, pintu dapur terbuka. Ruby masuk dengan langkah terburu-buru, wajahnya sedikit tegang.

“Zavier, ikut aku.”

“Ada apa, Bibi?”

“Nyonya Eliza meminta salah satu pelayan untuk membantunya.”

Deg!

“Kenapa harus aku? Biar yang lain saja.”

Ruby menghela napas, “Pelayan lain sibuk semua, hanya kau yang lenggang.”

Zavier menelan ludah. Sekilas, mimpi tadi pagi kembali muncul. Bayangan Eliza berdiri dengan pisau dan mata membunuh menghantui benaknya.

“Hufftt.”

“Baiklah, aku akan segera ke sana.”

Ruby mengangguk, tidak banyak bicara.

Zavier menarik napas dalam-dalam. Ia menggenggam erat sisi celananya, mencoba menenangkan diri.

Langkahnya menuju lorong-lorong panjang di mansion itu terasa seperti perjalanan menuju ruang eksekusi. Setiap suara langkah kakinya memantul di dinding marmer, menambah kesan mencekam.

Di depan kamar Eliza, ia berdiri. Menatap pintu di depannya.

Tok! Tok!

“Permisi … Anda butuh bantuanku, Nyonya?”

Suara Zavier lirih, nyaris tak terdengar.

Diam.

Tak ada jawaban.

Ia menegakkan tubuh, lalu mengetuk pintu kembali.

Tok! Tok! Tok!

Masih sunyi.

Zavier menunduk, menempelkan telinga ke pintu. Tak ada suara. Bahkan napas pun tak terdengar.

“Apa dia tidak ada? Atau ... memang sedang menunggu?”

Ia mencoba membuka gagang pintu.

Kriet!

Pintu terbuka.

Zavier menelan ludah. Seluruh bulu kuduknya berdiri. “Astaga ... jangan bilang ini mimpi buruk yang akan jadi kenyataan.”

Perlahan, dia mendorong pintu. Ruangan itu remang, tirai masih tertutup sebagian, menciptakan cahaya senja pagi yang samar. Aroma parfum mahal menyambutnya—aroma khas Eliza. Aroma yang entah kenapa, kini membuat jantung Zavier makin berdebar.

“Nyonya?”

Hening.

Tidak ada suara.

Dengan langkah ragu, ia masuk. Sepatu hitamnya tenggelam dalam karpet empuk. Matanya menyisir setiap sudut, ranjang berkanopi rapi, kursi velvet di sudut, meja rias dengan puluhan botol kecil, dan kaca besar yang memantulkan bayangannya sendiri—ia tampak gugup.

“Permisi ... Nyonya Eliza?”

Zavier berdiri mematung di tengah kamar, matanya terpaku pada pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Dari balik celah itu, samar-samar terdengar suara air mengalir ... disusul oleh suara lain.

“Ummh ... ahh ....”

Deg!

Tubuh Zavier membeku seketika. Suara itu menyerupai desahan yang tak sengaja lolos dari bibir seseorang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Selesai!

    “Aku mencintaimu, Zavier …”Zavier menggertakkan gigi, rahangnya mengeras. Tangannya bergetar, dia memejamkan mata, dan kemudian …DOR!Suara tembakan meledak.Dentuman tembakan masih terngiang di telinga Zavier. Asap tipis mengepul dari moncong pistol yang baru saja dia lepaskan ke udara. Melihat zavier menembakkan pistol ke udara bukan ke arahnya, membuat Eliza terhuyung, tubuhnya limbung, lalu jatuh pingsan di tanah. Bruk!Zavier panik.“Eliza!” serunya, segera meraih tubuh wanita itu.“Kenapa dia pingsan? Peluru itu tidak mengenainya?”Ferdian tersenyum sinis, kemudian mendekat. “Kau menolak membunuhnya, Zavier? Sudah ayah duga kau memang masih mencintainya.”“Ayah, cukup!” Zavier mendesis. “Aku tidak bisa. Biar bagaimanapun, dia sedang mengandung. Aku tidak akan jadi pembunuh bayi tak berdosa.”Tanpa menunggu jawaban, Zavier mengangkat Eliza dan berlari ke mobil. Ferdian hanya terdiam, lalu memberi isyarat pada Prass dan pasukan untuk ikut.***Rumah Sakit.Setiba di rumah saki

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Pelan-pelan Zavier

    Zavier melangkah mendekat, setiap jejak kakinya seperti dentuman palu di dada Eliza. “Kau pikir bisa mengelabui aku dengan bersembunyi di lemari? Kau salah besar, El.”Eliza mundur perlahan, punggungnya membentur dinding. “Jangan … jangan sentuh aku …” suaranya bergetar.Tatapan Zavier semakin tajam, senyumnya kejam. “Kau takkan bisa pergi dariku, El. Kau harus mempertanggungjawabkan semuanya. Malam ini, kau milikku.”“Ayo keluar!” suara Zavier membentak tajam, tangannya mencengkeram pergelangan Eliza dengan kasar. Ia menyeretnya keluar kamar, langkahnya lebar dan tergesa, membuat Eliza terseok-seok, hampir terjatuh. Nafas Eliza terengah, tubuhnya bergetar menahan sakit di pergelangan tangan. Mata Zavier menyala penuh dendam, setiap gerakannya seperti ingin segera menuntaskan misi—membawa Eliza ke hadapan ayahnya.“Zavier, lepaskan! Aku bisa jalan sendiri,” Eliza memberontak, mencoba menepis genggaman itu. Namun cengkeraman Zavier justru semakin keras.“Zavier … pelan-pelan, aku sedan

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Kehancuran

    Tawa tuan Willson menggema di ruangan rahasia itu, suaranya nyaring dan penuh kemenangan, seakan-akan tidak peduli meskipun pistol Ferdian sudah diarahkan tepat ke kepalanya. “Hahahaha! Kalian pikir bisa mengalahkanku? Kalian semua hanyalah bidak kecil dalam permainan besar ini!” ejeknya merasa puas.Namun kesabaran Ferdian telah habis. Wajahnya mengeras, jemarinya menarik pelatuk tanpa ragu.“Dasar tidak berguna!”DOR!DOR!DOR!Peluru menghantam tepat di dada Willson, menembus jantungnya. Tubuh tua itu terhuyung, matanya membelalak tak percaya, lalu ambruk tak berdaya ke lantai. Darah merembes cepat, mengotori marmer mahal di ruangan itu. Suasana hening seketika, hanya tersisa napas berat Ferdian yang bergetar menahan amarah bercampur lega.Zavier, yang sedari tadi menahan diri, segera bergegas keluar. Langkahnya cepat, tatapannya fokus. Di luar, dia menemukan Prass yang sudah menunggunya sambil memantau pergerakan musuh melalui perangkat kecil di tangannya.“Paman, di mana Mark pe

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Perang ll

    Napas Tuan Willson tersengal-sengal, dadanya naik turun cepat. Setiap langkahnya terasa berat, tubuhnya sudah tidak sekuat dulu, namun tekad di matanya masih menyala. Anderson tidak ada di sana—itu artinya musuh besarnya sedang menyiapkan sesuatu yang lebih besar. Dengan sisa tenaganya, Willson segera pergi dari sana, menahan nyeri di pinggang, lalu keluar dari arena pertempuran.Mark yang masih dihajar oleh pengawal-pengawal Anderson menoleh cepat, matanya melebar saat melihat ayahnya pergi. “Dad! Tunggu aku!” teriaknya, mencoba melepaskan diri. Namun lengahnya dimanfaatkan oleh Zavier. Dengan kecepatan kilat, Zavier melayangkan pukulan keras ke rahang Mark.Bugh!Tubuh Mark terhuyung lalu terhempas ke lantai. Pandangannya berkunang-kunang, dunia berputar liar, dan sebelum sempat bangkit, kegelapan menelannya. Ia tergeletak tak sadarkan diri, darah menetes dari sudut bibirnya.Zavier tersenyum tipis. “Kau sangat lemah, Mark,” desisnya lirih. Alih-alih menolong, ia segera berbalik. L

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Perang

    Keesokan harinya, sesuai dengan skenario yang sudah disusun Ferdian Anderson, berita tentang kondisi Darisa yang masuk rumah sakit meledak di berbagai media. Tajuk-tajuk besar bertebaran: “Istri Tuan Besar Willson Kritis di Rumah Sakit”, “Racun Misterius, Darisa dalam Kondisi Koma”. Foto-foto Darisa saat dibawa masuk dengan kursi roda tersebar luas, menimbulkan spekulasi liar dari publik.Kabar itu cepat menyebar, bahkan sampai ke para pengusaha pesaing. Sebagian menunggu kejatuhan keluarga Willson, sebagian lagi khawatir akan terjebak dalam pusaran konflik besar. Namun satu hal jelas: ini adalah pukulan telak untuk kehormatan keluarga Willson.Di ruangannya, Tuan Willson meremas koran hingga berkerut, wajahnya merah padam. “Anderson... brengsek itu!” suaranya bergema. Dengan kasar, ia membanting koran ke meja marmer. Mark yang duduk di samping hanya bisa mengepalkan tangan, menahan amarah yang sama.“Daddy, mereka sudah terlalu jauh. Menghina kita di depan publik dengan cara ini sama

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Menolak rindu

    Mark menghempaskan napas kasar, matanya menyala merah saat genggaman di lengan Eliza mengencang. “Ah, Mark, lepaskan!” Amarahnya memuncak. “Kau memberitahu orang lain kode rahasia mansion ini, hah?” tanyanya, matanya menatap tajam. Eliza menunduk, napasnya tercekat. “A-aku tidak … tidak.” Suaranya nyaris tak terdengar; tangan kecilnya meremas ujung gaun, kuku-kukunya menekan kain sampai terasa sakit. Mark menatapnya semakin tajam. “Tidak apa? Beraninya kau, El. Aku sudah bilang jangan keluar mansion! Kau bertemu siapa, hah?” Sejenak, keheningan memadat. Dari bibir Eliza yang bergetar keluar nama yang membuat ruangan itu seakan beku. “Za-zavier …” APAH? “Brengsek! Jadi kau memberitahu Zavier?” Detik berikutnya, Mark mendorong tubuh Eliza sampai hampir terhuyung. “Maafkan aku, Mark …” gumam Eliza, menunduk menahan rasa bersalah dan malu. “Maaf katamu. Kau memang harus diberi pelajaran.” Kata-kata itu seperti palu yang siap menghantam. Sebelum tangan Mark sempat melayang ke w

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status