Cahaya lampu gantung kristal di ruangan kerja Mark memantul di permukaan meja kayu mahoni yang luas. Di atasnya, berserakan berkas-berkas dan map bisnis yang tertata rapi. Suara jam dinding berdetak pelan, menghitung detik dalam keheningan tegang.
Kriet! Pintu terbuka pelan tanpa ketukan. Eliza masuk. Tubuhnya masih berbalut gaun satin hitam, rambutnya digelung rapi. Aroma vanilla segera mengisi ruangan. Mark duduk di balik meja besar, mengenakan kemeja putih tergulung hingga siku. Tangan kekarnya memegang pena, matanya fokus pada lembaran laporan keuangan. Tanpa sepatah kata, Eliza melangkah ringan ke arah pria itu, lalu merangkul pundaknya dari belakang. Lembut, perlahan. “Aku sibuk, El,” gumam Mark datar, tanpa menoleh. “Kau selalu saja sibuk, padahal aku ingin bermanja,” balas Eliza dengan nada lembut yang dibuat-buat, suaranya mengalun genit. “Tidak rindukah kamu padaku?” Tangannya yang halus menyusuri bahu Mark, lalu turun ke pipinya, membelai pelan. Jari-jarinya menyusuri garis rahang tajam pria itu dengan gerakan memikat. “Ada apa, hm? Apa ada masalah dengan pelayan?“ “Hmm, ada satu pelayan yang membuatku jengkel hari ini. Tapi itu tidak terlalu masalah.” Eliza terus memberikan rangsangan pada Mark. Namun— Clek! Mark menepis tangan itu dengan kasar. Kursinya bergeser sedikit. “Aku sedang tak ingin, El.” Suaranya datar. Eliza terpaku. Matanya yang indah menyipit, luka kecil menggores sorotnya. “Kenapa selalu begini ...? Sampai kapan aku harus menunggu?” tanyanya lirih. “Bukankah hampir satu tahun kita tidak bercinta?" Mark menegakkan tubuhnya, lalu berdiri dan menatapnya dengan mata tajam, seperti elang mengawasi mangsanya. Ia mendekat beberapa langkah, berhenti di hadapan Eliza. “Sudah berapa kali aku bilang, aku tidak berselera. Terlalu banyak pekerjaan membuatku lelah setiap hari.” Hufftt! Eliza menghela napas kasar. Dia berpikir bahwa dirinya sudah tak menarik bagi Mark, atau mungkin pria itu selingkuh. Ia mendongak, memandangi wajah suaminya. Pria itu—yang dulu mencumbunya penuh gairah, yang pernah memujanya seperti bintang, kini hanya menatapnya datar, padahal dia sudah dandan secantik mungkin. “Mark …” Suaranya nyaris tak terdengar. Bibirnya bergetar, tubuhnya ikut kaku. Mark menghela napas panjang, lalu memalingkan wajah. “Aku sedang tidak ingin, El. Pergilah.” “Kau menolakku lagi?” Mark menghela napas, “Kau masih ingin bicara atau aku yang akan keluar dari sini?” “Baik, aku akan keluar,” ucapnya dengan senyum yang dibuat-buat seolah tidak apa-apa dengan penolakan Mark barusan. *** Keesokan harinya. “Potong kakimu atau mati!” ucap Eliza dengan tatapan tajam. “Aaaaaa!” Zavier terbangun dengan jeritan tajam. Dadanya naik turun, keringat dingin membasahi pelipis dan punggungnya. Napasnya terputus-putus, matanya liar menatap sekeliling kamar kecil itu yang masih remang-remang diterpa sinar fajar. Ia menatap tangannya, lalu menggerakkan kakinya, “Hufftt syukurlah masih utuh.” Zavier mengusap wajah dengan kasar, “Astaga …” desisnya. “Mimpi apa aku barusan?” Mimpi itu terasa nyata, terlalu nyata. Sorot mata Eliza yang dingin, senyum manis yang berubah tajam, dan pisau mengilat yang mengarah ke tubuhnya. Suara ancaman itu masih bergema di telinganya. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan diri. Tik-tak ... tik-tak ... Suara jam dinding membuatnya refleks menoleh. Matanya membelalak. “Astaga! Ini sudah jam 7 pagi!” Zavier segera melompat dari tempat tidur. Dalam waktu singkat, ia merapikan rambutnya seadanya, mencuci muka, dan mengganti pakaian ke seragam pelayan yang sudah mulai kusut. Ia mengencangkan dasi kecil di leher dan menyelipkan kemeja ke dalam celana hitamnya. “Aku tak boleh terlambat. Kalau Nyonya Eliza tahu, bisa-bisa mimpi tadi jadi kenyataan.” Langkahnya cepat menuju dapur. Di sana, para pelayan lain sudah sibuk. Ada yang memotong buah, ada yang menyusun piring, dan ada yang menjaga roti agar tidak gosong di oven. Zavier ikut bergabung, mengambil pisau dapur dan mulai memotong tomat. Ia mencoba mencairkan suasana. “Selamat pagi. Wah, sepertinya sarapan di sini menu-nya juga harus lebih lengkap ya?” Tak ada yang tertawa. Bahkan tak ada yang menoleh. Ia melirik ke kanan, lalu ke kiri. “Hei, apa aku salah bicara?” Seseorang pria tua pelayan lama, mendesis pelan. “Ssstt ... jangan banyak bicara. Nyonya Eliza tidak suka suara gaduh pagi-pagi.” Zavier terdiam. Ia menghela napas berat, menahan keinginan untuk menumpahkan keluhannya. “Peraturan macam apa ini, saat memasak pun tak boleh mengobrol atau bercanda sedikit ...” batinnya. “Kenapa mereka bisa betah?” Tak lama, pintu dapur terbuka. Ruby masuk dengan langkah terburu-buru, wajahnya sedikit tegang. “Zavier, ikut aku.” “Ada apa, Bibi?” “Nyonya Eliza meminta salah satu pelayan untuk membantunya.” Deg! “Kenapa harus aku? Biar yang lain saja.” Ruby menghela napas, “Pelayan lain sibuk semua, hanya kau yang lenggang.” Zavier menelan ludah. Sekilas, mimpi tadi pagi kembali muncul. Bayangan Eliza berdiri dengan pisau dan mata membunuh menghantui benaknya. “Hufftt.” “Baiklah, aku akan segera ke sana.” Ruby mengangguk, tidak banyak bicara. Zavier menarik napas dalam-dalam. Ia menggenggam erat sisi celananya, mencoba menenangkan diri. Langkahnya menuju lorong-lorong panjang di mansion itu terasa seperti perjalanan menuju ruang eksekusi. Setiap suara langkah kakinya memantul di dinding marmer, menambah kesan mencekam. Di depan kamar Eliza, ia berdiri. Menatap pintu di depannya. Tok! Tok! “Permisi … Anda butuh bantuanku, Nyonya?” Suara Zavier lirih, nyaris tak terdengar. Diam. Tak ada jawaban. Ia menegakkan tubuh, lalu mengetuk pintu kembali. Tok! Tok! Tok! Masih sunyi. Zavier menunduk, menempelkan telinga ke pintu. Tak ada suara. Bahkan napas pun tak terdengar. “Apa dia tidak ada? Atau ... memang sedang menunggu?” Ia mencoba membuka gagang pintu. Kriet! Pintu terbuka. Zavier menelan ludah. Seluruh bulu kuduknya berdiri. “Astaga ... jangan bilang ini mimpi buruk yang akan jadi kenyataan.” Perlahan, dia mendorong pintu. Ruangan itu remang, tirai masih tertutup sebagian, menciptakan cahaya senja pagi yang samar. Aroma parfum mahal menyambutnya—aroma khas Eliza. Aroma yang entah kenapa, kini membuat jantung Zavier makin berdebar. “Nyonya?” Hening. Tidak ada suara. Dengan langkah ragu, ia masuk. Sepatu hitamnya tenggelam dalam karpet empuk. Matanya menyisir setiap sudut, ranjang berkanopi rapi, kursi velvet di sudut, meja rias dengan puluhan botol kecil, dan kaca besar yang memantulkan bayangannya sendiri—ia tampak gugup. “Permisi ... Nyonya Eliza?” Zavier berdiri mematung di tengah kamar, matanya terpaku pada pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Dari balik celah itu, samar-samar terdengar suara air mengalir ... disusul oleh suara lain. “Ummh ... ahh ....” Deg! Tubuh Zavier membeku seketika. Suara itu menyerupai desahan yang tak sengaja lolos dari bibir seseorang.Mark berdiri tegak, wajahnya penuh bara amarah. Rahangnya mengeras, tatapan tajamnya tak pernah lepas dari Zavier yang masih terkapar di lantai, babak belur. Suaranya menggelegar, dingin namun penuh dendam.“Bawa dia,” ujarnya lantang, menunjuk Zavier dengan telunjuknya. “Masukkan dia ke dalam ruang bawah tanah. Jangan ada yang memberi makan atau minum. Tapi sebelum itu … pukuli dia sampai tak bisa bangun!”Perintah itu bagaikan vonis mati. Dua anak buah Mark, pria bertubuh kekar dengan wajah tanpa ekspresi, langsung maju. Mereka menunduk sedikit memberi hormat sebelum meraih tubuh Zavier dengan kasar.Eliza sontak terbelalak. Tubuhnya gemetar, matanya membesar. “Mark, jangan! Itu terlalu kejam!” serunya dengan suara panik, air mata masih mengalir di pipinya. Namun, teriakan itu hanya disambut tatapan dingin sang suami.“Diam, Eliza,” ucap Mark ketus. “Aku tak akan membiarkan bajingan itu lolos setelah berani menodai keluargaku. Jika kau masih membelanya, aku justru akan semakin curig
Zavier sontak terlonjak turun dari ranjang, tubuhnya kaku panik. Selimut yang menutupi mereka segera diraih Eliza dengan tangan gemetar, dia menutup tubuhnya rapat-rapat, wajahnya pucat pasi. Napasnya tersengal seolah baru saja tertangkap basah melakukan dosa terbesar dalam hidupnya.Sementara itu, Mark melangkah maju dengan tatapan menyala penuh amarah. Setiap langkahnya terdengar berat, menghantam lantai kamar bagaikan dentuman yang menyeramkan. Matanya menajam, penuh kebencian, seolah siap merobek siapa pun yang ada di hadapannya.Zavier terburu-buru meraih kemeja yang tadi tergeletak di lantai, tangannya gemetar berusaha mengenakannya. Namun sebelum sempat ia memasang satu kancing pun—BUGHH!Tinju Mark mendarat telak di wajahnya. Pukulan keras itu membuat kepala Zavier terhuyung ke samping, tubuhnya jatuh terjerembap ke lantai. Darah segar langsung merembes dari sudut bibirnya.“BAJINGAN KAU! Beraninya menyentuh istriku!” teriak Mark, suaranya menggema penuh amarah. Wajahnya mera
Malam hari.Jarum jam dinding perlahan merambat menuju angka delapan. Suasana mansion mulai hening, hanya terdengar langkah para pelayan yang sibuk beres-beres sebelum beristirahat. Lampu-lampu gantung menyala temaram, menciptakan bayangan panjang di setiap sudut lorong.Zavier duduk di tepi ranjangnya, kepala menunduk. Jemarinya terus meremas kain celana seolah mencoba menahan gejolak dalam dadanya.“Jam delapan …” bisiknya pelan. Napasnya tersengal. “Aku harus menemuinya, atau sebaiknya tidak?”Ingatan akan pelukan Eliza sore tadi membuat dadanya berdesir. Kata-kata wanita itu terus terngiang di telinganya. “Aku merindukanmu, Zavier … tolong, hanya sekali ini saja.”Zavier menggenggam kepalanya. “Sial, kalau aku pergi, aku mengkhianati semua batas. Tapi kalau aku tidak datang … aku akan menyakitinya. Dia pasti menunggu.”Detak jantungnya semakin keras, mengalahkan suara detik jam di dinding.Perlahan, ia bangkit. Kakinya melangkah keluar kamar, menyusuri lorong dengan hati-hati. Set
“Bulan madu kami ditunda minggu depan. Mark ada urusan bisnis mendadak, jadi … dia berangkat sendiri,” ujar Eliza pelan, suaranya lirih, seakan ingin menguji reaksi Zavier.Zavier terdiam. Sekilas ada cahaya kecil dalam hatinya, rasa lega yang ia sendiri benci untuk dirasakan. Namun, ia cepat-cepat menutupinya, wajahnya tetap datar. “Oh,” gumamnya singkat.Namun sebelum ia sempat menambah kata lain, Eliza tiba-tiba melangkah cepat ke arahnya. Kedua lengannya terangkat, lalu membungkus tubuh Zavier erat-erat. Tubuh Eliza bergetar dalam pelukannya, dan itu membuat Zavier membeku.“Nyonya …,” Zavier tercekat, tubuhnya kaku. “Nanti ada yang melihat kita.” Matanya melirik kanan-kiri, seakan bayangan para pelayan bisa muncul dari balik semak kapan saja.Tapi Eliza justru semakin merapatkan pelukannya, kepalanya bersandar di dada Zavier. Aroma parfum lembutnya memenuhi indera penciuman Zavier, membangkitkan sejuta kenangan.“Aku merindukanmu, Zavier,” bisiknya pelan, seolah setiap kata diper
Keesokan harinya.“El, ayok. Kita harus segera sampai ke bandara.”Suara Mark terdengar dari pintu, cukup keras hingga memecah lamunan panjang Eliza. Wanita itu sempat terlonjak kecil, seakan baru sadar ia berada di dunia nyata. Matanya yang kosong menatap koper besar di samping tempat tidur. Sesaat, jemarinya berhenti di pegangan koper, enggan menariknya. Namun akhirnya, dengan tarikan napas panjang, ia mengangguk.“Iya, aku siap,” jawab Eliza, suaranya nyaris tak berjiwa.Ia meraih pegangan koper dan mulai menyeretnya keluar kamar. Bunyi roda koper berdecit halus di lantai marmer, mengiringi langkahnya yang terasa berat. Di luar, Mark sudah berdiri tegak dengan jas kasual rapi, wajahnya tampak lebih segar dibanding hari-hari biasanya. Tatapan matanya penuh semangat, berbeda jauh dari tatapan murung Eliza.Di pelataran mansion, beberapa pelayan dan pengawal sudah bersiap. Seorang sopir membuka bagasi mobil hitam panjang yang berkilau, lalu koper-koper mereka dimasukkan satu per satu.
Zavier berlari secepat mungkin, kakinya seperti tak menyentuh tanah. Napasnya memburu, dada naik turun liar. Di belakang, suara teriakan para penjaga masih terdengar, walau sedikit meredup. Ia harus segera menghilang sebelum benar-benar terkepung.Begitu melihat sudut lorong kecil yang jarang dilewati, ia segera membelok tajam. Langkahnya terburu, hampir terpeleset karena lantai licin. “Akhh!”Di ujung lorong, ada tong sampah besar dari besi, dipenuhi bau busuk sisa dapur. Tanpa pikir panjang, Zavier meraih topi dan masker penyamarannya, lalu menjejalkannya ke dasar tong. Ia mendorong beberapa karung sampah untuk menutupinya, menyamarkan bukti penyamaran yang bisa menggiring siapa pun ke dirinya.“Hilangkan jejak, cepat!” gumamnya terburu, jari-jarinya gemetar.Matanya lalu menangkap sosok kamera kecil yang menempel di sudut langit-langit. Hatinya berdegup lebih keras. Kalau rekaman itu sampai diperiksa, ia akan selesai. Dengan sigap, Zavier meraih batang besi karatan di dekat tong,