Share

Kau sangat tampan

Penulis: Rafasya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-09 08:59:52

Langkah kaki Zavier terasa berat saat mengikuti Eliza menaiki tangga spiral menuju lantai dua mansion. Gaun wanita itu berkibar lembut setiap kali angin dari jendela panjang berembus.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Eliza berhenti di depan sebuah pintu besar berwarna maroon tua. Ia membuka pintu itu pelan, dan dari balik celahnya, tampak kamar tidur yang begitu mewah.

“Masuk.”

Perintahnya singkat, tak memberi ruang untuk penolakan.

Zavier menelan ludah dan melangkah masuk. Kakinya sedikit bergetar saat menginjakkan kaki ke kamar sang Nyonya.

Eliza menutup pintu dan berjalan ke arah meja rias. Ia membuka sebuah kotak perhiasan terbuat dari berlian mengkilap, lalu menghela napas panjang.

“Ada satu yang hilang,” ucapnya pelan, namun tegas. “Anting peninggalan ibuku.”

Zavier menoleh.

“Maksud Nyonya … aku harus mencarinya?”

Eliza berbalik perlahan. Tatapannya menusuk, tapi bibirnya melengkung sedikit.

“Ya. Kau akan mencarinya untukku, malam ini juga. Dan kau tidak akan keluar dari kamar ini sebelum menemukannya.”

Zavier mengangguk pelan, merasa seperti seekor anak rusa yang masuk ke sarang harimau. Ia mulai bergerak, memeriksa sisi meja, celah laci, hingga ke sela-sela kursi empuk.

Waktu berjalan lambat.

Saat Zavier berlutut dan mengintip ke bawah ranjang besar, ia menyipitkan mata. Di sana gelap, tapi ada pantulan logam kecil yang membuatnya menunduk lebih jauh. Ia merangkak masuk, separuh tubuhnya masuk ke kolong ranjang.

Dug!

“Ah …”

Tanpa sengaja, keningnya terbentur rangka besi ranjang. Suara denting kecil terdengar. Zavier mengerang pelan dan buru-buru mundur, mengusap keningnya yang nyut-nyutan.

“Sial …” gumamnya pelan.

Begitu ia menarik tubuhnya keluar, tubuhnya belum sempat sepenuhnya berdiri, dan saat dia berbalik ..

Bruk!

Tubuh Eliza yang sedang melangkah mendekat tanpa suara menabraknya dari depan.

“Akhh!”

Keseimbangan wanita itu goyah dan sebelum bisa menghindar, tubuh rampingnya jatuh tepat menimpa tubuh Zavier, membuat mereka berdua terjatuh di atas karpet lembut.

Zavier terpaku.

Tubuh Eliza menindihnya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Napas mereka membaur. Rambut Eliza menjuntai, sebagian menyentuh pipi Zavier. Aroma vanilla begitu kuat kini.

Dan mata itu ..

Mata Hazel milik Eliza—kini memandangi wajah Zavier dalam diam.

Jantung Zavier berdetak cepat. Ia bisa merasakan dada Eliza yang naik-turun pelan di atas dadanya. Kedua tangan mereka bersentuhan, dan dalam beberapa detik yang terasa seperti keabadian, tak ada yang bergerak.

Eliza terdiam.

Matanya menyusuri wajah pelayan mudanya, kening lebar, garis rahang tegas, dan mata biru jernih yang begitu kontras dengan gelapnya kamar. Bahkan bulu mata Zavier tampak lebih panjang dari yang pernah dia lihat dari pria manapun.

“Kau ... ” bisiknya, setengah tak sadar. “Kau punya wajah yang terlalu tampan ... untuk seorang pelayan.”

Zavier tak menjawab. Ia bahkan nyaris lupa bernapas.

Eliza seperti terpaku. Tapi detik berikutnya, ia mengerjapkan mata dan segera bangkit dengan gerakan cepat, membenarkan gaunnya dan menyapu rambut ke belakang telinga.

“Ma-maafkan aku,” ucapnya datar, tapi ada nada lain di balik suaranya. Gugup? Tertarik? Zavier tak bisa memastikan.

Ia ikut bangkit dan menunduk sopan. “Saya yang seharusnya minta maaf, Nyonya.”

Eliza menarik napas dalam. Ia berbalik dan berkata tanpa menoleh,

“Lanjutkan pencariannya. Anting itu harus ditemukan malam ini.”

Dan tanpa kata lain, ia berjalan meninggalkan Zavier yang masih berdiri terpaku dengan detak jantung menggila.

Apa sebenarnya yang baru saja terjadi?

***

Setengah jam kemudian ....

“Nyonya, anting Anda sudah ketemu.”

Zavier berdiri tegak di ambang pintu dengan telapak tangan terbuka, memperlihatkan anting berlian berbentuk tetes air. Kilau benda itu tak semegah penampilannya di iklan perhiasan, tapi jelas terlihat mahal dan penuh sejarah.

Eliza yang sejak tadi duduk santai di sofa beludru biru, sedang membolak-balik majalah mode edisi Paris, langsung menurunkan bacaan itu. Tanpa banyak kata, dia menatap Zavier, lalu berdiri anggun dan melangkah pelan menghampiri.

Sepatunya yang berhak tipis membuat suara khas di lantai, nyaring di tengah keheningan kamar. Saat berdiri di depan Zavier, Eliza tidak langsung meraih anting itu.

Sebaliknya, dia mengerjapkan mata sekali, dan memandang tangan Zavier.

Lalu, ia membuka laci kecil di meja konsol dan mengambil plastik bening.

Dengan gerakan anggun, ia menjepit anting itu dari telapak tangan Zavier menggunakan dua jari—seakan takut menyentuh kulitnya. Ia memasukkan anting itu ke dalam plastik, lalu menutupnya rapat.

“Aku tidak suka benda berhargaku disentuh terlalu lama oleh orang lain,” gumamnya ringan, nyaris seperti menasihati anak kecil.

Zavier yang masih berdiri tegak hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya berdesir, sedikit kesal. Wanita ini … tadi nyaris menimpanya, kini bersikap seolah ia sampah yang menodai berlian.

“Tentu, Nyonya,” ucapnya tenang, menyembunyikan tatapan sinis di balik sopan santun.

Eliza menatapnya sejenak, lalu membuka dompet kecil berwarna merah marun dari laci samping. Dengan jari-jari rampingnya, ia mengambil beberapa lembar uang—uang baru yang masih kaku, lalu menyodorkannya tanpa memandang wajah Zavier.

“Sebagai bayaran atas pencarianmu.”

Zavier menerimanya. Dia merasa senang, tapi dia menahan diri untuk tidak menunjukkan ekspresi terlalu senang. Wajahnya tetap netral, hanya matanya yang sedikit menyipit ... puas.

“Terima kasih, Nyonya.”

“Kau boleh kembali.”

Eliza berbalik dan berjalan menuju kamarnya--tempat tidur utama, ruangan privat yang hanya ia akses. Gaunnya menyapu karpet saat ia melangkah, tubuhnya tegak, punggungnya lurus, seperti seorang permaisuri yang baru saja menyelesaikan urusan dengan pelayannya.

Zavier menatap punggung wanita itu dalam diam.

Begitu berbeda dari wanita desa biasa. Kecantikannya, sikapnya, dan lekuk tubuhnya yang begitu indah.

Pintu dalam kamar tertutup. Suara klik halus terdengar.

Hufftt!

Zavier menghela napas pelan dan menunduk menatap uang di tangannya. Jumlahnya lumayan. Uang pertama yang ia dapat sejak menginjakkan kaki di mansion ini.

“Syukurlah …” bisiknya, perlahan tersenyum. “Setidaknya aku bisa mengumpulkan uang dari upah ini. Untuk Ibu.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Aku ... Ayahmu!

    “A-aku masih hidup?” suara Zavier terdengar parau, bergetar, seakan tak percaya dengan kenyataan yang ia rasakan.Tubuhnya masih terasa berat, lemah, penuh luka yang berdenyut perih di setiap sisi. Matanya berkeliling menatap ruangan itu. Aroma obat sangat menusuk. Bukan tempat yang dikenalnya, bukan pula neraka yang ia bayangkan jadi tujuan akhir setelah penyiksaan panjang dari Mark.Pintu masih setengah terbuka, dan di sana berdiri seorang pria dengan jas hitam kusut, wajahnya penuh peluh, tangan masih memegang suntikan. Dialah Prass, ia menatap Zavier dengan campuran terkejut dan lega.“Di mana aku?” tanya Zavier lagi, suaranya serak. Prass menutup pintu perlahan, lalu berjalan mendekat. “Kau ada di tempat yang aman, Zavier. Tenanglah.”“Aman?” Zavier menyipitkan mata, menatap tajam penuh curiga. “Kau siapa? Bagaimana kau tahu namaku?”Prass menghela napas panjang, lalu duduk di kursi di samping ranjang. “Aku bukan musuhmu. Namaku Prass. Aku menemukanku kau di tengah hutan, hampir

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Zavier sadar

    Dua Minggu kemudian ...Ferdian Anderson duduk di kursi kulit hitam berseberangan dengan Prass, wajah tuanya penuh gurat lelah. Matanya sayu, jelas terlihat kegelisahan yang sudah berhari-hari menghantui pikirannya.“Bagaimana keadaan putraku, Prass?” tanya Ferdian dengan suara berat, seakan setiap kata yang keluar mengandung beban tak tertanggungkan.Prass, yang sedari tadi menatap berkas laporan medis di tangannya, mendesah pelan sebelum akhirnya menatap Ferdian dengan sorot mata serius. “Hmm … lukanya memang sudah mengering. Tubuh Zavier kuat, lebih kuat dari yang aku perkirakan. Namun—” Prass menekankan kata itu dengan nada berat. “Bekas luka di bahu dan punggungnya … tidak akan pernah hilang. Luka-luka itu akan menjadi tanda permanen, pengingat dari semua penyiksaan yang sudah dia alami.”Ferdian memejamkan mata rapat-rapat, lalu meraup wajah tuanya dengan kedua tangan. Getaran halus tampak jelas di jemarinya. Ia menghela napas panjang, penuh rasa sesal. “Anakku … kenapa kau haru

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Murkanya Tn. Anderson

    Tubuh Eliza terombang-ambing di antara kerumunan orang yang panik. Gaun panjangnya terinjak berkali-kali, membuat langkahnya kian terhuyung. Bahunya berkali-kali dihantam tubuh orang-orang yang berlarian tanpa arah. Suara tangisan, teriakan, dan dentuman benda pecah bercampur menjadi satu, menambah kekacauan di dalam ballroom hotel yang kini berubah menjadi lautan kepanikan.“Di mana Mark?” Eliza menoleh ke kanan-kiri dengan napas memburu. Matanya nanar mencari sosok Mark, Tuan Willson, atau siapapun dari keluarga Willson, namun wajah-wajah asing penuh ketakutan itulah yang memenuhi pandangannya.Hatinya semakin tercekat. “Daddy? Mom? Kalian di mana?!” suaranya bergetar, hampir tertelan oleh hiruk pikuk.Tiba-tiba—DUARRR!!!Ledakan kedua mengguncang hotel jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. Lantai bergetar hebat hingga lampu gantung raksasa di atas kepala bergoyang keras, sebagian serpihannya jatuh menghantam meja-meja hidangan. Suara kaca pecah menggelegar, menambah kengerian malam

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   BOM!!

    “Ada apa, Dad? Kenapa kita harus bertemu secara pribadi seperti ini?” tanya Mark sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kulit hitam yang empuk. Kini, mereka berada di ruangan privasi di hotel tersebut.“Dad, kenapa memanggilku kemari? Apa ada masalah?” tanya Mark lagi.Namun Tuan Willson tidak langsung menjawab. Pria tua itu hanya menatap dalam ke arah putranya, lalu perlahan membuka map hitam yang dibawanya. Dengan tangan yang tampak tenang tapi penuh makna, ia menyerahkan beberapa lembar dokumen resmi ke hadapan Mark.Mark meraih dokumen itu dengan kening berkerut. Begitu matanya mulai membaca baris demi baris, pupilnya melebar. Lembar-lembar itu berisi akta peralihan kepemilikan, surat kuasa, dan dokumen hukum lainnya. Tangannya sedikit bergetar, lalu bibirnya membentuk senyum lebar.“Setelah anak yang dikandung Eliza lahir, kau akan menjadi pemilik WLS Group sesungguhnya,” ucap Tuan Willson dengan suara berat, penuh wibawa. “Daddy tidak akan ikut campur lagi. Semua aset, seluruh sa

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Tes DNA

    “Tuan, sejak kapan Anda di sini? Maaf, aku habis ke toilet,” ucap Prass dengan nada canggung. Dia sedikit kaget melihat Ferdian sudah berdiri di sana.Ferdian terdiam, bahunya tegang, wajahnya tertunduk menatap dompet lusuh yang ia genggam erat. Matanya memerah, seperti menahan sesuatu yang hendak meledak.“Tuan, apa yang terjadi?” Prass bertanya hati-hati, berusaha menebak apa yang telah ia lewatkan.Ferdian mengangkat kepalanya perlahan. Pandangan matanya tajam, namun berlapis emosi yang sulit dijelaskan. Bibirnya bergetar saat kata-kata itu meluncur, “Dia … dia putraku, Prass. Zavier putraku.”Prass terbelalak. “Hah? Di-dia ...“ tunjuk Prass ke arah Zavier yang terbaring lemah. “Putramu? Bagaimana … bagaimana bisa?”Dengan tangan gemetar, Ferdian mengangkat foto dari dompet itu. Foto seorang wanita yang tersenyum lembut. “Lihat ini. Dia adalah istriku yang sudah lama menghilang. Susan … dan fotonya ada pada dompet pemuda ini.” Suaranya pecah, penuh luka.Prass menelan ludah. “Tuan

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Pesta penyiksaan

    “Ayo cepat, lambat sekali!” suara Mark terdengar dingin bercampur amarah. Tangannya yang kuat mencengkeram lengan Eliza dengan kasar, menariknya tanpa peduli pada langkahnya yang tertatih.Eliza berusaha mengimbangi, tubuhnya sedikit oleng karena gaun mewah yang menjuntai menyulitkan setiap langkahnya. Tumit tinggi yang dikenakannya makin membuatnya kesusahan, sementara tangan Mark terus menarik tanpa memberi kesempatan.“Mark … pelan-pelan … aku tidak bisa cepat,” suara Eliza bergetar, napasnya memburu, satu tangannya refleks mengusap perutnya. “Aku juga sedang hamil.”Namun Mark menghentikan langkahnya mendadak, menoleh menatap Eliza dengan sorot mata penuh kebencian. Rahangnya mengeras, suara rendahnya terdengar penuh ancaman.“Aku tidak peduli. Lagi pula itu bukan anakku.”Eliza tercekat, seolah udara mendadak berhenti masuk ke paru-parunya.Mark mendekat, wajahnya semakin dingin, bisikannya menusuk telinga Eliza bagai belati yang menorehkan luka tak kasat mata.“Jika bukan karena

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status