Langkah kaki Zavier terasa berat saat mengikuti Eliza menaiki tangga spiral menuju lantai dua mansion. Gaun wanita itu berkibar lembut setiap kali angin dari jendela panjang berembus.
Tanpa berkata sepatah kata pun, Eliza berhenti di depan sebuah pintu besar berwarna maroon tua. Ia membuka pintu itu pelan, dan dari balik celahnya, tampak kamar tidur yang begitu mewah. “Masuk.” Perintahnya singkat, tak memberi ruang untuk penolakan. Zavier menelan ludah dan melangkah masuk. Kakinya sedikit bergetar saat menginjakkan kaki ke kamar sang Nyonya. Eliza menutup pintu dan berjalan ke arah meja rias. Ia membuka sebuah kotak perhiasan terbuat dari berlian mengkilap, lalu menghela napas panjang. “Ada satu yang hilang,” ucapnya pelan, namun tegas. “Anting peninggalan ibuku.” Zavier menoleh. “Maksud Nyonya … aku harus mencarinya?” Eliza berbalik perlahan. Tatapannya menusuk, tapi bibirnya melengkung sedikit. “Ya. Kau akan mencarinya untukku, malam ini juga. Dan kau tidak akan keluar dari kamar ini sebelum menemukannya.” Zavier mengangguk pelan, merasa seperti seekor anak rusa yang masuk ke sarang harimau. Ia mulai bergerak, memeriksa sisi meja, celah laci, hingga ke sela-sela kursi empuk. Waktu berjalan lambat. Saat Zavier berlutut dan mengintip ke bawah ranjang besar, ia menyipitkan mata. Di sana gelap, tapi ada pantulan logam kecil yang membuatnya menunduk lebih jauh. Ia merangkak masuk, separuh tubuhnya masuk ke kolong ranjang. Dug! “Ah …” Tanpa sengaja, keningnya terbentur rangka besi ranjang. Suara denting kecil terdengar. Zavier mengerang pelan dan buru-buru mundur, mengusap keningnya yang nyut-nyutan. “Sial …” gumamnya pelan. Begitu ia menarik tubuhnya keluar, tubuhnya belum sempat sepenuhnya berdiri, dan saat dia berbalik .. Bruk! Tubuh Eliza yang sedang melangkah mendekat tanpa suara menabraknya dari depan. “Akhh!” Keseimbangan wanita itu goyah dan sebelum bisa menghindar, tubuh rampingnya jatuh tepat menimpa tubuh Zavier, membuat mereka berdua terjatuh di atas karpet lembut. Zavier terpaku. Tubuh Eliza menindihnya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Napas mereka membaur. Rambut Eliza menjuntai, sebagian menyentuh pipi Zavier. Aroma vanilla begitu kuat kini. Dan mata itu .. Mata Hazel milik Eliza—kini memandangi wajah Zavier dalam diam. Jantung Zavier berdetak cepat. Ia bisa merasakan dada Eliza yang naik-turun pelan di atas dadanya. Kedua tangan mereka bersentuhan, dan dalam beberapa detik yang terasa seperti keabadian, tak ada yang bergerak. Eliza terdiam. Matanya menyusuri wajah pelayan mudanya, kening lebar, garis rahang tegas, dan mata biru jernih yang begitu kontras dengan gelapnya kamar. Bahkan bulu mata Zavier tampak lebih panjang dari yang pernah dia lihat dari pria manapun. “Kau ... ” bisiknya, setengah tak sadar. “Kau punya wajah yang terlalu tampan ... untuk seorang pelayan.” Zavier tak menjawab. Ia bahkan nyaris lupa bernapas. Eliza seperti terpaku. Tapi detik berikutnya, ia mengerjapkan mata dan segera bangkit dengan gerakan cepat, membenarkan gaunnya dan menyapu rambut ke belakang telinga. “Ma-maafkan aku,” ucapnya datar, tapi ada nada lain di balik suaranya. Gugup? Tertarik? Zavier tak bisa memastikan. Ia ikut bangkit dan menunduk sopan. “Saya yang seharusnya minta maaf, Nyonya.” Eliza menarik napas dalam. Ia berbalik dan berkata tanpa menoleh, “Lanjutkan pencariannya. Anting itu harus ditemukan malam ini.” Dan tanpa kata lain, ia berjalan meninggalkan Zavier yang masih berdiri terpaku dengan detak jantung menggila. Apa sebenarnya yang baru saja terjadi? *** Setengah jam kemudian .... “Nyonya, anting Anda sudah ketemu.” Zavier berdiri tegak di ambang pintu dengan telapak tangan terbuka, memperlihatkan anting berlian berbentuk tetes air. Kilau benda itu tak semegah penampilannya di iklan perhiasan, tapi jelas terlihat mahal dan penuh sejarah. Eliza yang sejak tadi duduk santai di sofa beludru biru, sedang membolak-balik majalah mode edisi Paris, langsung menurunkan bacaan itu. Tanpa banyak kata, dia menatap Zavier, lalu berdiri anggun dan melangkah pelan menghampiri. Sepatunya yang berhak tipis membuat suara khas di lantai, nyaring di tengah keheningan kamar. Saat berdiri di depan Zavier, Eliza tidak langsung meraih anting itu. Sebaliknya, dia mengerjapkan mata sekali, dan memandang tangan Zavier. Lalu, ia membuka laci kecil di meja konsol dan mengambil plastik bening. Dengan gerakan anggun, ia menjepit anting itu dari telapak tangan Zavier menggunakan dua jari—seakan takut menyentuh kulitnya. Ia memasukkan anting itu ke dalam plastik, lalu menutupnya rapat. “Aku tidak suka benda berhargaku disentuh terlalu lama oleh orang lain,” gumamnya ringan, nyaris seperti menasihati anak kecil. Zavier yang masih berdiri tegak hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya berdesir, sedikit kesal. Wanita ini … tadi nyaris menimpanya, kini bersikap seolah ia sampah yang menodai berlian. “Tentu, Nyonya,” ucapnya tenang, menyembunyikan tatapan sinis di balik sopan santun. Eliza menatapnya sejenak, lalu membuka dompet kecil berwarna merah marun dari laci samping. Dengan jari-jari rampingnya, ia mengambil beberapa lembar uang—uang baru yang masih kaku, lalu menyodorkannya tanpa memandang wajah Zavier. “Sebagai bayaran atas pencarianmu.” Zavier menerimanya. Dia merasa senang, tapi dia menahan diri untuk tidak menunjukkan ekspresi terlalu senang. Wajahnya tetap netral, hanya matanya yang sedikit menyipit ... puas. “Terima kasih, Nyonya.” “Kau boleh kembali.” Eliza berbalik dan berjalan menuju kamarnya--tempat tidur utama, ruangan privat yang hanya ia akses. Gaunnya menyapu karpet saat ia melangkah, tubuhnya tegak, punggungnya lurus, seperti seorang permaisuri yang baru saja menyelesaikan urusan dengan pelayannya. Zavier menatap punggung wanita itu dalam diam. Begitu berbeda dari wanita desa biasa. Kecantikannya, sikapnya, dan lekuk tubuhnya yang begitu indah. Pintu dalam kamar tertutup. Suara klik halus terdengar. Hufftt! Zavier menghela napas pelan dan menunduk menatap uang di tangannya. Jumlahnya lumayan. Uang pertama yang ia dapat sejak menginjakkan kaki di mansion ini. “Syukurlah …” bisiknya, perlahan tersenyum. “Setidaknya aku bisa mengumpulkan uang dari upah ini. Untuk Ibu.”TOK! TOK! TOK!Pintu diketuk keras dari luar membuat Zavier terlonjak kaget.“Zavier, buka pintunya!”Zavier yang baru saja menyeka wajahnya, langsung refleks menoleh. Tubuhnya masih lemas, napas belum sepenuhnya teratur usai pembicaraan emosional dengan ibunya. Ia melangkah pelan dan membuka pintu.Kriek!Tampak Pak Gustav, kepala pelayan tua dengan raut wajah kaku, berdiri tegak dengan alis menyatu.“Ada apa, Pak Gustav?” tanya Zavier dengan suara lelah.Mata Gustav tajam menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. Seakan ingin menelanjangi semua alasan dan membongkar kelemahan.“Pekerjaan di luar belum selesai, dan kau malah enak-enakan di dalam kamar.”Zavier menelan ludah, berusaha tetap sopan meski hatinya berdesir geram.“Tapi ... tadi saya sudah membersihkan halaman belakang. Sampai lantainya mengkilap, Pak.” Nadanya masih sopan tapi sedikit terdengar getir.“Kau pikir mansion ini hanya punya halaman belakang, hah?!” Suara Gustav meninggi. “Kamar Nyonya Eliza belum dibersihkan.”
“Ah, sebaiknya aku pulang. Itu bukan urusanku,” gumam Zavier sambil menggeleng pelan.Langkahnya kembali menuju mansion Willson terasa berat. Sepanjang perjalanan, pikirannya masih dipenuhi bayangan kota: gedung tinggi, jalanan padat, dan Mark yang mengomel sepanjang jalan. Hatinya gamang. Seumur hidup ia hanya mengenal tenangnya desa, suara jangkrik malam, dan aroma tanah basah. Kini, dia seperti dilempar ke dunia yang serba cepat, dingin, dan kejam.Setibanya di mansion, dua pengawal kepercayaan Mark membuka gerbang. Zavier melangkah masuk, napasnya yang belum sepenuhnya tenang, dia malah mendapati kepala pelayan laki-laki, Pak Gustav, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi mengintimidasi.“Hei, kau ke mana saja?” suara berat itu menyambutnya, seperti palu godam.“Saya baru saja mengantar Tuan Marck ke kantor,” jawab Zavier, mengatur napasnya.“Bagus, sekarang bantu bersihkan halaman belakang. Seluruh pelayan sedang bekerja menyiapkan mansion untuk tamu penting malam ini. Nyonya El
Ruangan makan mendadak sunyi. Zavier masih berlutut dengan tisu di tangan, sedangkan Eliza duduk anggun dengan kaki terjulur, seolah tak terjadi apa-apa.Mark mendekat dengan langkah berat. Dia menatap tajam ke arah Zavier, lalu berpindah ke Eliza.“Kau tahu peraturannya, Eliza. Tidak ada pelayan yang boleh menyentuh istri pemilik rumah ini. Apalagi seperti ini.” Nada suara Mark dingin dan penuh ancaman.Eliza mengangkat bahu, senyumnya tak bergeming.“Tenanglah, sayang. Dia hanya membersihkan sup di kakiku.” Eliza berdiri perlahan, memiringkan kepalanya, membelai dada suaminya yang bidang. “Aku yang memintanya. Lagipula kau tahu sendiri … pelayan-pelayan tua di rumah ini lambatnya seperti siput.”Mark tidak langsung merespons. Tatapannya tetap menusuk Zavier yang masih berlutut.Zavier buru-buru berdiri, menunduk dalam. “Maaf, Tuan. Saya ... hanya mengikuti perintah Nyonya.”Huh!Mark mendengus pelan. Namun kilatan curiga di matanya mulai surut karena sikap tenang Eliza.“Lain kali,
Zavier berdiri mematung. Napasnya tercekat.Suara dari balik kamar mandi tadi, terlalu intim untuk didengar oleh telinga seorang pelayan. Ia menunduk, jantungnya berdegup kencang.“Jangan bodoh, Zavier. Cepat keluar,” batinnya.Namun rasa penasaran menguasai logika. Pelan-pelan, dia melangkah maju. Celah pintu kamar mandi sedikit terbuka.Zavier mendekat. Lehernya seperti kaku, namun kepalanya tetap menoleh. Mata birunya mengintip melalui celah kecil.Deg!Matanya melebar.Di dalam sana, Eliza sedang berendam dalam bathtub marmer putih, rambutnya tergelung asal, bahunya yang mulus, buah dada, serta area terlarang terlihat jelas dari balik buih sabun yang mengambang.Namun yang membuat Zavier melongo bukan hanya itu, Eliza sedang menonton film semi dari tablet yang tersandar di rak kecil di dekat bathtub. Suara lembut dan adegan sensual dari film itu berpadu dengan gemericik air.“Ya ampun ...” bisik Zavier dengan wajah memerah. “Ternyata cuma nonton film, aku kira tadi ...”Ia buru-bu
Cahaya lampu gantung kristal di ruangan kerja Mark memantul di permukaan meja kayu mahoni yang luas. Di atasnya, berserakan berkas-berkas dan map bisnis yang tertata rapi. Suara jam dinding berdetak pelan, menghitung detik dalam keheningan tegang.Kriet!Pintu terbuka pelan tanpa ketukan.Eliza masuk.Tubuhnya masih berbalut gaun satin hitam, rambutnya digelung rapi. Aroma vanilla segera mengisi ruangan.Mark duduk di balik meja besar, mengenakan kemeja putih tergulung hingga siku. Tangan kekarnya memegang pena, matanya fokus pada lembaran laporan keuangan.Tanpa sepatah kata, Eliza melangkah ringan ke arah pria itu, lalu merangkul pundaknya dari belakang. Lembut, perlahan.“Aku sibuk, El,” gumam Mark datar, tanpa menoleh.“Kau selalu saja sibuk, padahal aku ingin bermanja,” balas Eliza dengan nada lembut yang dibuat-buat, suaranya mengalun genit. “Tidak rindukah kamu padaku?”Tangannya yang halus menyusuri bahu Mark, lalu turun ke pipinya, membelai pelan. Jari-jarinya menyusuri garis
Langkah kaki Zavier terasa berat saat mengikuti Eliza menaiki tangga spiral menuju lantai dua mansion. Gaun wanita itu berkibar lembut setiap kali angin dari jendela panjang berembus.Tanpa berkata sepatah kata pun, Eliza berhenti di depan sebuah pintu besar berwarna maroon tua. Ia membuka pintu itu pelan, dan dari balik celahnya, tampak kamar tidur yang begitu mewah. “Masuk.”Perintahnya singkat, tak memberi ruang untuk penolakan.Zavier menelan ludah dan melangkah masuk. Kakinya sedikit bergetar saat menginjakkan kaki ke kamar sang Nyonya. Eliza menutup pintu dan berjalan ke arah meja rias. Ia membuka sebuah kotak perhiasan terbuat dari berlian mengkilap, lalu menghela napas panjang.“Ada satu yang hilang,” ucapnya pelan, namun tegas. “Anting peninggalan ibuku.”Zavier menoleh.“Maksud Nyonya … aku harus mencarinya?”Eliza berbalik perlahan. Tatapannya menusuk, tapi bibirnya melengkung sedikit.“Ya. Kau akan mencarinya untukku, malam ini juga. Dan kau tidak akan keluar dari kamar