Share

Tubuh yang indah

Author: Rafasya
last update Last Updated: 2025-07-09 12:14:25

Zavier berdiri mematung. Napasnya tercekat.

Suara dari balik kamar mandi tadi, terlalu intim untuk didengar oleh telinga seorang pelayan. Ia menunduk, jantungnya berdegup kencang.

“Jangan bodoh, Zavier. Cepat keluar,” batinnya.

Namun rasa penasaran menguasai logika. Pelan-pelan, dia melangkah maju. Celah pintu kamar mandi sedikit terbuka.

Zavier mendekat. Lehernya seperti kaku, namun kepalanya tetap menoleh. Mata birunya mengintip melalui celah kecil.

Deg!

Matanya melebar.

Di dalam sana, Eliza sedang berendam dalam bathtub marmer putih, rambutnya tergelung asal, bahunya yang mulus, buah dada, serta area terlarang terlihat jelas dari balik buih sabun yang mengambang.

Namun yang membuat Zavier melongo bukan hanya itu, Eliza sedang menonton film semi dari tablet yang tersandar di rak kecil di dekat bathtub. Suara lembut dan adegan sensual dari film itu berpadu dengan gemericik air.

“Ya ampun ...” bisik Zavier dengan wajah memerah. “Ternyata cuma nonton film, aku kira tadi ...”

Ia buru-buru menunduk, menyesali keisengannya yang nyaris membawanya ke neraka.

Namun, tatapannya tak sengaja kembali tertuju pada Eliza.

Wanita itu mendongak sesekali ke arah layar, bibir bawahnya tergigit, dan bahunya yang putih mengilat basah seperti porselen. Zavier menelan ludah.

“Aku harus pergi sekarang. Kalau ketahuan, tamat sudah riwayatku.”

Ia mundur pelan. Kakinya hampir menyentuh ambang pintu. Tangannya meraih gagang pintu dengan perlahan.

Namun …

Cekrek.

Telinganya menangkap suara kecil dari belakang.

Eliza menoleh.

Pandangan mereka bertemu. Mata Hazel itu menyipit, wajahnya langsung berubah tajam.

“ZAVIER!”

Suara lantangnya membuat Zavier membeku di tempat. Kepanikan menyergap. Ia langsung berbalik dan berlari cepat menuju pintu kamar, hendak menyelamatkan diri sebelum terlibat dalam kesalahpahaman yang fatal.

“BERHENTI!” teriak Eliza.

Namun Zavier tidak mendengarkan. Tangannya sudah nyaris menyentuh gagang pintu, tapi ...

SET!

Cengkraman kuat menahan pergelangan tangannya dari belakang.

“ARGH!”

Tubuh Zavier tersentak ke belakang. Ia berbalik, dan mendapati Eliza—hanya mengenakan bathrobe tipis berwarna putih yang masih lembap, berdiri dengan mata tajam menatapnya. Rambutnya masih sedikit basah, pipinya memerah karena marah atau karena air panas, entahlah.

Zavier membeku. Tubuh mereka nyaris menempel.

Napas Eliza memburu, begitu pula Zavier. Tangannya masih mencengkram pergelangan tangan pria muda itu dengan kuat.

“Berani-beraninya kau mengintipku?” desis Eliza dengan suara serak menahan emosi.

Zavier mencoba menarik diri, “S-saya tidak mengintip, Nyonya! Saya hanya ...”

“Ssstt …” Eliza mendekatkan wajahnya. Wangi sabun mandi dan vanilla langsung menyergap penciuman Zavier.

“Saya kira Anda butuh bantuan, dan pintu kamar tidak dikunci. Saya ... saya minta maaf,” ucap Zavier terbata, wajahnya merah padam.

Eliza tidak langsung merespons. Matanya menelusuri wajah Zavier yang kini sangat dekat dengannya. Sorot mata biru Zavier yang jernih tampak bersih, terlalu bersih untuk seorang pelayan.

Ia menyipit.

“Lain kali,” ucap Eliza dingin, “kalau aku tidak menjawab, JANGAN PERNAH berani membuka pintuku tanpa izin. Mengerti?”

Zavier mengangguk cepat. “Iya, Nyonya. Maafkan saya ... saya janji tidak akan mengulanginya lagi.”

Eliza mendekat satu langkah lagi. Tatapannya masih menusuk. Tapi, ada yang berubah. Matanya kini tak lagi semarah tadi. Ada ketertarikan samar.

Ia melepaskan cengkramannya dengan perlahan. “Keluar dari sini, sebelum aku berubah pikiran.”

Zavier mengangguk sekali lagi, lalu buru-buru membuka pintu dan keluar dari kamar itu, menutupnya dengan hati-hati di belakangnya.

Begitu pintu tertutup, Zavier langsung menyandarkan punggungnya ke dinding lorong, menepuk dadanya yang bergemuruh hebat.

“Astaga … aku nyaris mati berdiri.”

***

Pukul 07:30

Ruang makan utama di Mansion Willson kembali dipenuhi aroma masakan hangat dan bau kopi segar.

Para pelayan, termasuk Zavier—bergerak cepat. Ada yang menuangkan teh, ada yang mengatur serbet, dan Zavier sendiri diminta berdiri di belakang kursi Eliza, siap mengangkat piring kapan pun diminta.

Mark duduk di ujung meja dengan wajah datar, sesekali mengaduk kopi sambil menatap ke layar ponselnya. Eliza, seperti biasa, duduk anggun di kursinya. Gaun paginya berwarna krem lembut, rambutnya digelung simpel tapi elegan.

Zavier berdiri tegak, menunduk sopan di belakang mereka. Pikirannya berusaha fokus pada tugasnya. Tapi sesekali, matanya melirik ke arah Eliza yang sejak tadi tak berbicara sepatah kata pun padanya. Entah mengapa, hawa dingin terpancar dari wanita itu, lebih dingin dari AC yang menyala di ruangan ini.

Mark tiba-tiba berdiri, ponsel di telinganya berdering pelan.

“Aku angkat telepon sebentar,” ucapnya datar, tanpa menoleh ke siapa pun.

Ia meninggalkan meja makan dengan langkah tegap, masuk ke ruang kerja kecil di sebelah ruang makan.

Zavier menunduk lagi, bersiap menarik piring saat Eliza selesai.

Namun …

Srat!

Tanpa aba-aba, Eliza menggeser mangkuk sup panas miliknya dengan cepat ke arah tepi meja. Tangan Zavier yang refleks hendak menahan malah terlambat.

BRAK!

Mangkuk sup itu terjatuh, menumpahkan isinya ke celana Zavier dan kaki Eliza. Sup kental itu panas, masih mengepul.

“Ahh!”

Zavier memekik tertahan, tubuhnya tersentak ke belakang. Cairan panas itu menyengat kulit kakinya yang tertutup celana. Tapi yang membuatnya lebih panik adalah wajah Eliza yang tetap tenang, seolah tak sengaja, padahal jelas dilakukan dengan sengaja.

Eliza mengangkat satu alis, menatap Zavier dengan dingin.

“Hmm, lihat apa yang kau lakukan,” ucapnya dengan nada dingin menggoda. “Sup panas itu mengotori kakiku.”

Zavier menggertakkan gigi, menahan diri.

“Maaf, Nyonya. Saya benar-benar tidak sengaja,” ucapnya cepat sambil membungkuk, meski sejujurnya ia tahu Eliza yang menyenggol mangkuk itu.

“Cepat bersihkan,” perintah Eliza, nada suaranya ringan, tapi penuh tekanan.

Zavier hendak memanggil pelayan lain untuk mengambil kain, namun Eliza menatapnya tajam.

“Apa aku harus ulangi?”

Zavier mengangguk pelan, menelan ludah, lalu berlutut di hadapan Eliza, mengambil tisu dari sisi meja, dan mulai mengelap kaki wanita itu.

Sentuhan pertama ke kulit halus itu membuat jantungnya berdegup cepat. Jemarinya sempat ragu, tapi ia berusaha cepat, profesional, dan menunduk dalam agar tak bertemu pandang.

Namun, dalam pikirannya, bayangan tadi pagi terlintas, saat ia tak sengaja melihat Eliza berendam. Bayangan kulit bening dan leher jenjang Eliza kembali mengusik kesadarannya.

“Fokus, Zavier. Ini hanya tugas. Hanya tugas.” Ia menggertakkan gigi, mempercepat gerakannya.

Eliza menunduk pelan, menatap sosok pria muda itu dari atas. Dalam diam, ia mengamati lekuk rahang Zavier, alisnya yang tebal, dan mata biru yang kini terpejam canggung. Ada sensasi aneh yang menguar di dadanya.

Namun, tak lama kemudian ...

“HEI! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!”

Suara Marck terdengar keras, berat, dan dingin seperti dentuman besi. Matanya menyipit melihat istrinya sedang duduk santai, sementara seorang pelayan laki-laki berlutut di depannya, mengusap kakinya dengan tisu.

Zavier membeku.

Eliza hanya menoleh santai. Senyum tipis menghias bibirnya.

“Dia hanya membersihkan sup yang tadi tertumpah.”

“Tertumpah atau sengaja dijatuhkan, Eliza?” tanya Marck, suaranya meninggi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Simpanan Nyonya Muda   Berbohong pada ibu

    “Ah, sebaiknya aku pulang. Itu bukan urusanku,” gumam Zavier sambil menggeleng pelan.Langkahnya kembali menuju mansion Willson terasa berat. Sepanjang perjalanan, pikirannya masih dipenuhi bayangan kota: gedung tinggi, jalanan padat, dan Mark yang mengomel sepanjang jalan. Hatinya gamang. Seumur hidup ia hanya mengenal tenangnya desa, suara jangkrik malam, dan aroma tanah basah. Kini, dia seperti dilempar ke dunia yang serba cepat, dingin, dan kejam.Setibanya di mansion, dua pengawal kepercayaan Mark membuka gerbang. Zavier melangkah masuk, napasnya yang belum sepenuhnya tenang, dia malah mendapati kepala pelayan laki-laki, Pak Gustav, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi mengintimidasi.“Hei, kau ke mana saja?” suara berat itu menyambutnya, seperti palu godam.“Saya baru saja mengantar Tuan Marck ke kantor,” jawab Zavier, mengatur napasnya.“Bagus, sekarang bantu bersihkan halaman belakang. Seluruh pelayan sedang bekerja menyiapkan mansion untuk tamu penting malam ini. Nyonya El

  • Menjadi Simpanan Nyonya Muda   Mark murka

    Ruangan makan mendadak sunyi. Zavier masih berlutut dengan tisu di tangan, sedangkan Eliza duduk anggun dengan kaki terjulur, seolah tak terjadi apa-apa.Mark mendekat dengan langkah berat. Dia menatap tajam ke arah Zavier, lalu berpindah ke Eliza.“Kau tahu peraturannya, Eliza. Tidak ada pelayan yang boleh menyentuh istri pemilik rumah ini. Apalagi seperti ini.” Nada suara Mark dingin dan penuh ancaman.Eliza mengangkat bahu, senyumnya tak bergeming.“Tenanglah, sayang. Dia hanya membersihkan sup di kakiku.” Eliza berdiri perlahan, memiringkan kepalanya, membelai dada suaminya yang bidang. “Aku yang memintanya. Lagipula kau tahu sendiri … pelayan-pelayan tua di rumah ini lambatnya seperti siput.”Mark tidak langsung merespons. Tatapannya tetap menusuk Zavier yang masih berlutut.Zavier buru-buru berdiri, menunduk dalam. “Maaf, Tuan. Saya ... hanya mengikuti perintah Nyonya.”Huh!Mark mendengus pelan. Namun kilatan curiga di matanya mulai surut karena sikap tenang Eliza.“Lain kali,

  • Menjadi Simpanan Nyonya Muda   Tubuh yang indah

    Zavier berdiri mematung. Napasnya tercekat.Suara dari balik kamar mandi tadi, terlalu intim untuk didengar oleh telinga seorang pelayan. Ia menunduk, jantungnya berdegup kencang.“Jangan bodoh, Zavier. Cepat keluar,” batinnya.Namun rasa penasaran menguasai logika. Pelan-pelan, dia melangkah maju. Celah pintu kamar mandi sedikit terbuka.Zavier mendekat. Lehernya seperti kaku, namun kepalanya tetap menoleh. Mata birunya mengintip melalui celah kecil.Deg!Matanya melebar.Di dalam sana, Eliza sedang berendam dalam bathtub marmer putih, rambutnya tergelung asal, bahunya yang mulus, buah dada, serta area terlarang terlihat jelas dari balik buih sabun yang mengambang.Namun yang membuat Zavier melongo bukan hanya itu, Eliza sedang menonton film semi dari tablet yang tersandar di rak kecil di dekat bathtub. Suara lembut dan adegan sensual dari film itu berpadu dengan gemericik air.“Ya ampun ...” bisik Zavier dengan wajah memerah. “Ternyata cuma nonton film, aku kira tadi ...”Ia buru-bu

  • Menjadi Simpanan Nyonya Muda   Suara desahan

    Cahaya lampu gantung kristal di ruangan kerja Mark memantul di permukaan meja kayu mahoni yang luas. Di atasnya, berserakan berkas-berkas dan map bisnis yang tertata rapi. Suara jam dinding berdetak pelan, menghitung detik dalam keheningan tegang.Kriet!Pintu terbuka pelan tanpa ketukan.Eliza masuk.Tubuhnya masih berbalut gaun satin hitam, rambutnya digelung rapi. Aroma vanilla segera mengisi ruangan.Mark duduk di balik meja besar, mengenakan kemeja putih tergulung hingga siku. Tangan kekarnya memegang pena, matanya fokus pada lembaran laporan keuangan.Tanpa sepatah kata, Eliza melangkah ringan ke arah pria itu, lalu merangkul pundaknya dari belakang. Lembut, perlahan.“Aku sibuk, El,” gumam Mark datar, tanpa menoleh.“Kau selalu saja sibuk, padahal aku ingin bermanja,” balas Eliza dengan nada lembut yang dibuat-buat, suaranya mengalun genit. “Tidak rindukah kamu padaku?”Tangannya yang halus menyusuri bahu Mark, lalu turun ke pipinya, membelai pelan. Jari-jarinya menyusuri garis

  • Menjadi Simpanan Nyonya Muda   Kau sangat tampan

    Langkah kaki Zavier terasa berat saat mengikuti Eliza menaiki tangga spiral menuju lantai dua mansion. Gaun wanita itu berkibar lembut setiap kali angin dari jendela panjang berembus.Tanpa berkata sepatah kata pun, Eliza berhenti di depan sebuah pintu besar berwarna maroon tua. Ia membuka pintu itu pelan, dan dari balik celahnya, tampak kamar tidur yang begitu mewah. “Masuk.”Perintahnya singkat, tak memberi ruang untuk penolakan.Zavier menelan ludah dan melangkah masuk. Kakinya sedikit bergetar saat menginjakkan kaki ke kamar sang Nyonya. Eliza menutup pintu dan berjalan ke arah meja rias. Ia membuka sebuah kotak perhiasan terbuat dari berlian mengkilap, lalu menghela napas panjang.“Ada satu yang hilang,” ucapnya pelan, namun tegas. “Anting peninggalan ibuku.”Zavier menoleh.“Maksud Nyonya … aku harus mencarinya?”Eliza berbalik perlahan. Tatapannya menusuk, tapi bibirnya melengkung sedikit.“Ya. Kau akan mencarinya untukku, malam ini juga. Dan kau tidak akan keluar dari kamar

  • Menjadi Simpanan Nyonya Muda   Lorong bawah tanah

    Setelah makan malam selesai dan ruang makan kembali sunyi, Zavier kembali ke kamarnya yang sempit dan pengap. Ia duduk di ujung ranjang, membuka ranselnya dan menarik keluar ponsel jadulnya. Layar kecil itu masih menyala samar dalam gelap. Ia menekan nomor yang sudah dihafalnya sejak kecil.Tuuut ... tuuutt!klik!“Halo?”Suara itu langsung menggetarkan dadanya. Suara ibunya terdengar lemah tapi hangat di seberang.“Zavier, kau sudah sampai di kota? Kenapa tidak mengabari ibu? Ibu sangat khawatir sejak tadi.”Zavier mengusap wajah, menyembunyikan raut letihnya. Ia berbaring sebentar, lalu menjawab pelan, “Sudah, Bu. Aku sekarang di tempat kerja.”“Kau ... betah, Nak?”Pertanyaan itu terdengar polos. Tapi bagi Zavier, seperti ditusuk dari dalam.Matanya melirik dinding kamar yang dingin. Ia masih bisa mengingat tatapan tajam Eliza tadi, kata-katanya yang mengancam, dan sikap semua pelayan lain yang seperti boneka hidup.“Iya, Bu, betah kok.”Zavier memaksa senyum yang tak bisa dilihat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status