LOGINZavier berdiri mematung. Napasnya tercekat.
Suara dari balik kamar mandi tadi, terlalu intim untuk didengar oleh telinga seorang pelayan. Ia menunduk, jantungnya berdegup kencang. “Jangan bodoh, Zavier. Cepat keluar,” batinnya. Namun rasa penasaran menguasai logika. Pelan-pelan, dia melangkah maju. Celah pintu kamar mandi sedikit terbuka. Zavier mendekat. Lehernya seperti kaku, namun kepalanya tetap menoleh. Mata birunya mengintip melalui celah kecil. Deg! Matanya melebar. Di dalam sana, Eliza sedang berendam dalam bathtub marmer putih, rambutnya tergelung asal, bahunya yang mulus, buah dada, serta area terlarang terlihat jelas dari balik buih sabun yang mengambang. Namun yang membuat Zavier melongo bukan hanya itu, Eliza sedang menonton film semi dari tablet yang tersandar di rak kecil di dekat bathtub. Suara lembut dan adegan sensual dari film itu berpadu dengan gemericik air. “Ya ampun ...” bisik Zavier dengan wajah memerah. “Ternyata cuma nonton film, aku kira tadi ...” Ia buru-buru menunduk, menyesali keisengannya yang nyaris membawanya ke neraka. Namun, tatapannya tak sengaja kembali tertuju pada Eliza. Wanita itu mendongak sesekali ke arah layar, bibir bawahnya tergigit, dan bahunya yang putih mengilat basah seperti porselen. Zavier menelan ludah. “Aku harus pergi sekarang. Kalau ketahuan, tamat sudah riwayatku.” Ia mundur pelan. Kakinya hampir menyentuh ambang pintu. Tangannya meraih gagang pintu dengan perlahan. Namun … Cekrek. Telinganya menangkap suara kecil dari belakang. Eliza menoleh. Pandangan mereka bertemu. Mata Hazel itu menyipit, wajahnya langsung berubah tajam. “ZAVIER!” Suara lantangnya membuat Zavier membeku di tempat. Kepanikan menyergap. Ia langsung berbalik dan berlari cepat menuju pintu kamar, hendak menyelamatkan diri sebelum terlibat dalam kesalahpahaman yang fatal. “BERHENTI!” teriak Eliza. Namun Zavier tidak mendengarkan. Tangannya sudah nyaris menyentuh gagang pintu, tapi ... SET! Cengkraman kuat menahan pergelangan tangannya dari belakang. “ARGH!” Tubuh Zavier tersentak ke belakang. Ia berbalik, dan mendapati Eliza—hanya mengenakan bathrobe tipis berwarna putih yang masih lembap, berdiri dengan mata tajam menatapnya. Rambutnya masih sedikit basah, pipinya memerah karena marah atau karena air panas, entahlah. Zavier membeku. Tubuh mereka nyaris menempel. Napas Eliza memburu, begitu pula Zavier. Tangannya masih mencengkram pergelangan tangan pria muda itu dengan kuat. “Berani-beraninya kau mengintipku?” desis Eliza dengan suara serak menahan emosi. Zavier mencoba menarik diri, “S-saya tidak mengintip, Nyonya! Saya hanya ...” “Ssstt …” Eliza mendekatkan wajahnya. Wangi sabun mandi dan vanilla langsung menyergap penciuman Zavier. “Saya kira Anda butuh bantuan, dan pintu kamar tidak dikunci. Saya ... saya minta maaf,” ucap Zavier terbata, wajahnya merah padam. Eliza tidak langsung merespons. Matanya menelusuri wajah Zavier yang kini sangat dekat dengannya. Sorot mata biru Zavier yang jernih tampak bersih, terlalu bersih untuk seorang pelayan. Ia menyipit. “Lain kali,” ucap Eliza dingin, “kalau aku tidak menjawab, JANGAN PERNAH berani membuka pintuku tanpa izin. Mengerti?” Zavier mengangguk cepat. “Iya, Nyonya. Maafkan saya ... saya janji tidak akan mengulanginya lagi.” Eliza mendekat satu langkah lagi. Tatapannya masih menusuk. Tapi, ada yang berubah. Matanya kini tak lagi semarah tadi. Ada ketertarikan samar. Ia melepaskan cengkramannya dengan perlahan. “Keluar dari sini, sebelum aku berubah pikiran.” Zavier mengangguk sekali lagi, lalu buru-buru membuka pintu dan keluar dari kamar itu, menutupnya dengan hati-hati di belakangnya. Begitu pintu tertutup, Zavier langsung menyandarkan punggungnya ke dinding lorong, menepuk dadanya yang bergemuruh hebat. “Astaga … aku nyaris mati berdiri.” *** Pukul 07:30 Ruang makan utama di Mansion Willson kembali dipenuhi aroma masakan hangat dan bau kopi segar. Para pelayan, termasuk Zavier—bergerak cepat. Ada yang menuangkan teh, ada yang mengatur serbet, dan Zavier sendiri diminta berdiri di belakang kursi Eliza, siap mengangkat piring kapan pun diminta. Mark duduk di ujung meja dengan wajah datar, sesekali mengaduk kopi sambil menatap ke layar ponselnya. Eliza, seperti biasa, duduk anggun di kursinya. Gaun paginya berwarna krem lembut, rambutnya digelung simpel tapi elegan. Zavier berdiri tegak, menunduk sopan di belakang mereka. Pikirannya berusaha fokus pada tugasnya. Tapi sesekali, matanya melirik ke arah Eliza yang sejak tadi tak berbicara sepatah kata pun padanya. Entah mengapa, hawa dingin terpancar dari wanita itu, lebih dingin dari AC yang menyala di ruangan ini. Mark tiba-tiba berdiri, ponsel di telinganya berdering pelan. “Aku angkat telepon sebentar,” ucapnya datar, tanpa menoleh ke siapa pun. Ia meninggalkan meja makan dengan langkah tegap, masuk ke ruang kerja kecil di sebelah ruang makan. Zavier menunduk lagi, bersiap menarik piring saat Eliza selesai. Namun … Srat! Tanpa aba-aba, Eliza menggeser mangkuk sup panas miliknya dengan cepat ke arah tepi meja. Tangan Zavier yang refleks hendak menahan malah terlambat. BRAK! Mangkuk sup itu terjatuh, menumpahkan isinya ke celana Zavier dan kaki Eliza. Sup kental itu panas, masih mengepul. “Ahh!” Zavier memekik tertahan, tubuhnya tersentak ke belakang. Cairan panas itu menyengat kulit kakinya yang tertutup celana. Tapi yang membuatnya lebih panik adalah wajah Eliza yang tetap tenang, seolah tak sengaja, padahal jelas dilakukan dengan sengaja. Eliza mengangkat satu alis, menatap Zavier dengan dingin. “Hmm, lihat apa yang kau lakukan,” ucapnya dengan nada dingin menggoda. “Sup panas itu mengotori kakiku.” Zavier menggertakkan gigi, menahan diri. “Maaf, Nyonya. Saya benar-benar tidak sengaja,” ucapnya cepat sambil membungkuk, meski sejujurnya ia tahu Eliza yang menyenggol mangkuk itu. “Cepat bersihkan,” perintah Eliza, nada suaranya ringan, tapi penuh tekanan. Zavier hendak memanggil pelayan lain untuk mengambil kain, namun Eliza menatapnya tajam. “Apa aku harus ulangi?” Zavier mengangguk pelan, menelan ludah, lalu berlutut di hadapan Eliza, mengambil tisu dari sisi meja, dan mulai mengelap kaki wanita itu. Sentuhan pertama ke kulit halus itu membuat jantungnya berdegup cepat. Jemarinya sempat ragu, tapi ia berusaha cepat, profesional, dan menunduk dalam agar tak bertemu pandang. Namun, dalam pikirannya, bayangan tadi pagi terlintas, saat ia tak sengaja melihat Eliza berendam. Bayangan kulit bening dan leher jenjang Eliza kembali mengusik kesadarannya. “Fokus, Zavier. Ini hanya tugas. Hanya tugas.” Ia menggertakkan gigi, mempercepat gerakannya. Eliza menunduk pelan, menatap sosok pria muda itu dari atas. Dalam diam, ia mengamati lekuk rahang Zavier, alisnya yang tebal, dan mata biru yang kini terpejam canggung. Ada sensasi aneh yang menguar di dadanya. Namun, tak lama kemudian ... “HEI! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!” Suara Marck terdengar keras, berat, dan dingin seperti dentuman besi. Matanya menyipit melihat istrinya sedang duduk santai, sementara seorang pelayan laki-laki berlutut di depannya, mengusap kakinya dengan tisu. Zavier membeku. Eliza hanya menoleh santai. Senyum tipis menghias bibirnya. “Dia hanya membersihkan sup yang tadi tertumpah.” “Tertumpah atau sengaja dijatuhkan, Eliza?” tanya Marck, suaranya meninggi.“Aku mencintaimu, Zavier …”Zavier menggertakkan gigi, rahangnya mengeras. Tangannya bergetar, dia memejamkan mata, dan kemudian …DOR!Suara tembakan meledak.Dentuman tembakan masih terngiang di telinga Zavier. Asap tipis mengepul dari moncong pistol yang baru saja dia lepaskan ke udara. Melihat zavier menembakkan pistol ke udara bukan ke arahnya, membuat Eliza terhuyung, tubuhnya limbung, lalu jatuh pingsan di tanah. Bruk!Zavier panik.“Eliza!” serunya, segera meraih tubuh wanita itu.“Kenapa dia pingsan? Peluru itu tidak mengenainya?”Ferdian tersenyum sinis, kemudian mendekat. “Kau menolak membunuhnya, Zavier? Sudah ayah duga kau memang masih mencintainya.”“Ayah, cukup!” Zavier mendesis. “Aku tidak bisa. Biar bagaimanapun, dia sedang mengandung. Aku tidak akan jadi pembunuh bayi tak berdosa.”Tanpa menunggu jawaban, Zavier mengangkat Eliza dan berlari ke mobil. Ferdian hanya terdiam, lalu memberi isyarat pada Prass dan pasukan untuk ikut.***Rumah Sakit.Setiba di rumah saki
Zavier melangkah mendekat, setiap jejak kakinya seperti dentuman palu di dada Eliza. “Kau pikir bisa mengelabui aku dengan bersembunyi di lemari? Kau salah besar, El.”Eliza mundur perlahan, punggungnya membentur dinding. “Jangan … jangan sentuh aku …” suaranya bergetar.Tatapan Zavier semakin tajam, senyumnya kejam. “Kau takkan bisa pergi dariku, El. Kau harus mempertanggungjawabkan semuanya. Malam ini, kau milikku.”“Ayo keluar!” suara Zavier membentak tajam, tangannya mencengkeram pergelangan Eliza dengan kasar. Ia menyeretnya keluar kamar, langkahnya lebar dan tergesa, membuat Eliza terseok-seok, hampir terjatuh. Nafas Eliza terengah, tubuhnya bergetar menahan sakit di pergelangan tangan. Mata Zavier menyala penuh dendam, setiap gerakannya seperti ingin segera menuntaskan misi—membawa Eliza ke hadapan ayahnya.“Zavier, lepaskan! Aku bisa jalan sendiri,” Eliza memberontak, mencoba menepis genggaman itu. Namun cengkeraman Zavier justru semakin keras.“Zavier … pelan-pelan, aku sedan
Tawa tuan Willson menggema di ruangan rahasia itu, suaranya nyaring dan penuh kemenangan, seakan-akan tidak peduli meskipun pistol Ferdian sudah diarahkan tepat ke kepalanya. “Hahahaha! Kalian pikir bisa mengalahkanku? Kalian semua hanyalah bidak kecil dalam permainan besar ini!” ejeknya merasa puas.Namun kesabaran Ferdian telah habis. Wajahnya mengeras, jemarinya menarik pelatuk tanpa ragu.“Dasar tidak berguna!”DOR!DOR!DOR!Peluru menghantam tepat di dada Willson, menembus jantungnya. Tubuh tua itu terhuyung, matanya membelalak tak percaya, lalu ambruk tak berdaya ke lantai. Darah merembes cepat, mengotori marmer mahal di ruangan itu. Suasana hening seketika, hanya tersisa napas berat Ferdian yang bergetar menahan amarah bercampur lega.Zavier, yang sedari tadi menahan diri, segera bergegas keluar. Langkahnya cepat, tatapannya fokus. Di luar, dia menemukan Prass yang sudah menunggunya sambil memantau pergerakan musuh melalui perangkat kecil di tangannya.“Paman, di mana Mark pe
Napas Tuan Willson tersengal-sengal, dadanya naik turun cepat. Setiap langkahnya terasa berat, tubuhnya sudah tidak sekuat dulu, namun tekad di matanya masih menyala. Anderson tidak ada di sana—itu artinya musuh besarnya sedang menyiapkan sesuatu yang lebih besar. Dengan sisa tenaganya, Willson segera pergi dari sana, menahan nyeri di pinggang, lalu keluar dari arena pertempuran.Mark yang masih dihajar oleh pengawal-pengawal Anderson menoleh cepat, matanya melebar saat melihat ayahnya pergi. “Dad! Tunggu aku!” teriaknya, mencoba melepaskan diri. Namun lengahnya dimanfaatkan oleh Zavier. Dengan kecepatan kilat, Zavier melayangkan pukulan keras ke rahang Mark.Bugh!Tubuh Mark terhuyung lalu terhempas ke lantai. Pandangannya berkunang-kunang, dunia berputar liar, dan sebelum sempat bangkit, kegelapan menelannya. Ia tergeletak tak sadarkan diri, darah menetes dari sudut bibirnya.Zavier tersenyum tipis. “Kau sangat lemah, Mark,” desisnya lirih. Alih-alih menolong, ia segera berbalik. L
Keesokan harinya, sesuai dengan skenario yang sudah disusun Ferdian Anderson, berita tentang kondisi Darisa yang masuk rumah sakit meledak di berbagai media. Tajuk-tajuk besar bertebaran: “Istri Tuan Besar Willson Kritis di Rumah Sakit”, “Racun Misterius, Darisa dalam Kondisi Koma”. Foto-foto Darisa saat dibawa masuk dengan kursi roda tersebar luas, menimbulkan spekulasi liar dari publik.Kabar itu cepat menyebar, bahkan sampai ke para pengusaha pesaing. Sebagian menunggu kejatuhan keluarga Willson, sebagian lagi khawatir akan terjebak dalam pusaran konflik besar. Namun satu hal jelas: ini adalah pukulan telak untuk kehormatan keluarga Willson.Di ruangannya, Tuan Willson meremas koran hingga berkerut, wajahnya merah padam. “Anderson... brengsek itu!” suaranya bergema. Dengan kasar, ia membanting koran ke meja marmer. Mark yang duduk di samping hanya bisa mengepalkan tangan, menahan amarah yang sama.“Daddy, mereka sudah terlalu jauh. Menghina kita di depan publik dengan cara ini sama
Mark menghempaskan napas kasar, matanya menyala merah saat genggaman di lengan Eliza mengencang. “Ah, Mark, lepaskan!” Amarahnya memuncak. “Kau memberitahu orang lain kode rahasia mansion ini, hah?” tanyanya, matanya menatap tajam. Eliza menunduk, napasnya tercekat. “A-aku tidak … tidak.” Suaranya nyaris tak terdengar; tangan kecilnya meremas ujung gaun, kuku-kukunya menekan kain sampai terasa sakit. Mark menatapnya semakin tajam. “Tidak apa? Beraninya kau, El. Aku sudah bilang jangan keluar mansion! Kau bertemu siapa, hah?” Sejenak, keheningan memadat. Dari bibir Eliza yang bergetar keluar nama yang membuat ruangan itu seakan beku. “Za-zavier …” APAH? “Brengsek! Jadi kau memberitahu Zavier?” Detik berikutnya, Mark mendorong tubuh Eliza sampai hampir terhuyung. “Maafkan aku, Mark …” gumam Eliza, menunduk menahan rasa bersalah dan malu. “Maaf katamu. Kau memang harus diberi pelajaran.” Kata-kata itu seperti palu yang siap menghantam. Sebelum tangan Mark sempat melayang ke w







