Share

5. Tawaran

Denis menepis tangan Nadia. Pemuda itu terlihat akan beranjak pergi meninggalkan wanita cantik tersebut, tetapi Nadia segera meraih lengan Denis.

"Den!" Nadia terlihat kesal, karena seolah Denis menganggapnya main-main.

Denis mengerutkan kening saat menatap tangan Nadia di lengannya. Namun, sebelum pemuda itu menepis lagi tangannya, Nadia lebih dulu melepaskan lengan Denis.

"Aku yakin tawaran ini akan menguntungkan dirimu—"

"Menguntungkan dari segi apa? Yang ada aku akan berada dalam bawah cengkeramanmu dan kamu akan bebas bermain-main dengan keluarga Wibisono!"

Melihat Denis mulai tak bisa mengendalikan emosinya, Nadia kemudian segera menghela napas. Dia berpikir, memang harusnya dia yang bersikap lebih tenang di sini, mengingat Denis jauh lebih muda darinya.

"Kumohon, duduklah dulu!"

Denis masih diam membisu. Nadia menghela napas lagi. Dengan agak kasar, dia hempaskan tubuh indahnya ke sofa, dan menarik pelan tangan Denis yang masih berdiri.

"Denis," panggilnya lembut.

"Oke! Hanya sepuluh menit. Apabila dalam jangka waktu itu yang kudengar adalah omong kosong, maka jangan pernah kamu temui dan ajak aku bicara tentang hal itu lagi, Nadia." Denis akhirnya duduk di samping Nadia.

Nadia tersenyum tipis dan mengangguk. "Terima kasih untuk sudah memberiku waktu, aku gak akan bertele-tele kok."

Nadia lalu menatap lekat Denis yang sudah melihat ke arahnya. "Kalau kita menikah, sebagian sahamku akan kuatasnamakan dirimu, dan kamu gak perlu jadi apa pun di WW Tech. Kamu jalani saja kehidupan yang kamu inginkan. Mau melukis, membangun mini art studio dengan dua sahabatmu itu ... apa pun."

Denis diam selama beberapa saat, sebelum akhirnya mendengkus dan hendak berdiri. Buru-buru Nadia mencekal lengan Denis dan berkata lagi, "Aku serius, Denis! Ini bukan omong kosong—"

"Apanya yang bukan omong kosong? Sahammu itu paling besar di WW Tech, lebih besar dari milik ayahku. Lalu, dengan baik hati akan kamu bagi dua kepadaku, yang adalah anak dari sainganmu di WW Tech?"

Nadia hendak menimpali, tetapi Denis kembali bersuara, "Yang lebih lucu lagi, aku tahu kamu dan Ayah bersaing memperebutkan saham terbesar dan posisi Presdir WW Tech. Dengan kamu menikahi Mas Dave, posisimu semakin kuat, ayah juga. Tepatnya, ada simbiosis mutualisme di dalamnya. Namun, bagaimana dengan jika kamu menikahiku? Yang diuntungkan hanya kamu, karena ayahku—"

Nadia terkekeh-kekeh geli, membuat kata-kata Denis terputus. Setelah puas tertawa, Nadia lalu berkata, "Itulah tujuan utamaku. Meninggalnya David sebenarnya bisa menjadi jalan besar bagi Om Adi untuk mendapatkan saham lebih besar di WW Tech, yaitu dari milik David. Di lain sisi, dia memang harus mengorbankan posisi yang sudah mapan ditempati David sebelumnya, atau menempatkan orang kepercayaan barunya, agar tetap bisa mendukungnya naik ke Presdir suatu hari nanti."

Nadia menghela napas pelan sebelum kembali melanjutkan, "Aku sejujurnya melakukan ini bukan karena aku sangat menginginkan itu, Denis. Kamu tahu? Aku tak percaya lagi dengan hal berbau cinta setelah lelaki itu mengkhianati dan meninggalkan diriku."

Denis tahu, yang dimaksud dengan 'lelaki itu' pasti adalah mantan suami Nadia. Pancaran mata Nadia terlihat agak meredup, seolah wanita itu kembali merasakan sakit, atas bekas luka yang digoreskan oleh mantan suaminya.

"Pun saat terpaksa menerima perjodohan dengan David. Posisiku menjadi sulit. Namun, melihat David begitu baik dan tulus menyukaiku, membuat aku iba."

Nadia menatap lekat-lekat kedua mata Denis. "Bohong jika kamu tak curiga pada Om Adi, meski dia ayahmu sendiri, 'kan?"

Denis terkejut, tetapi dalam hati dia membenarkan apa perkataan wanita itu. Adi Wibisono adalah orang terlicik yang pernah dia temui dalam hidup. Seorang suami yang tega menelantarkan istri, dan seorang ayah yang tega membuang anaknya sendiri. Seorang ayah yang membesarkan anak lelaki pertamanya tanpa kasih sayang, memupuknya dengan banyak trik-trik agar bisa menjadi makhluk yang sama licik dengannya. Semua demi harta, demi jabatan, demi kembalinya saham WW Tech utuh pada keluarga Wibisono.

Persaingan jelas-jelas tampak, antara keluarga Wibisono dan Wardoyo di dalam WW Tech. Namun, kedua keluarga itu tak bisa saling serang secara langsung, dan memilih untuk berusaha menjegal dengan menjalin ikatan kekeluargaan.

"Aku curiga, kematian David bukan hal yang lumrah—"

"Apa maksudmu?" Denis terkejut dengan kata-kata Nadia tersebut.

Nadia menggigit bibir bawahnya sebelum menjawab, "Aku curiga ada sabotase. Ketika David meninggal, banyak pihak akan diuntungkan. Salah satunya ayahmu, dan yang lainnya juga banyak lagi—"

"Termasuk kamu, 'kan?" Denis menatap tajam Nadia.

Nadia mengangguk. "Ya, karena aku yang adalah tunangan David, akhirnya lepas dari ikatan pertunangan itu, sehingga Om Adi atau keluarga Wibisono tak akan bisa campur tangan dengan urusanku. Namun, dibandingkan keuntungan, aku lebih tidak mendapatkan apa pun dari kematian David, selain rasa kehilangan."

Hening selama beberapa saat. Nadia tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, sementara Denis menunggu wanita itu kembali berbicara.

"David sejujurnya adalah lelaki baik. Hanya saja, dia sangat patuh pada Om Adi." Nadia mendongak kepada Denis. "David adalah kebalikanmu yang selalu menentang Om Adi, dan memiliki mimpi serta passion hidup yang kuat."

"Itu karena Mas Dave tak ingin hidup susah," gumam Denis. Hatinya perih saat teringat, bagaimana hancur hati Jenar saat David menolak ikut dengan sang ibu dan dirinya, hanya karena tak mau kehilangan segala kemewahan hidup yang dia dapatkan dari keluarga Wibisono. Membuat sosok David tumbuh menjadi seperti boneka hidup, yang siap melakukan apa pun kemauan Adi Wibisono, tanpa peduli pada dirinya sendiri.

"Ya, aku tahu itu." Nadia menanggapi. "Justru karena David yang seperti itulah, membuat keuntungan besar bagi Om Adi untuk memanfaatkannya. Berbeda denganmu yang sangat sulit untuk dia jinakkan, tapi akan sangat menguntungkan kalau kamu mau menjadi bidak caturnya, karena dengan kamu menjadi satu-satunya ahli waris Wibisono, klaim saham akan semakin kuat di tangan Om Adi."

Denis mengerjapkan matanya dengan bingung, membuat Nadia terkekeh-kekeh geli. "Masalah saham dan bisnis memang rumit. Kamu hanya akan paham jika berkecimpung di dalamnya. Intinya sih, kalau kamu mengikuti kemauan Om Adi, kamu gak akan mendapatkan apa pun kecuali kehilangan mimpi dan kebebasan hidupmu selama ini. Memang, saat Om Adi meninggal kelak, kamulah pewaris tunggal yang akan mengelola semua aset dan saham Wibisono, tapi apakah itu sebanding dengan hidup yang kamu tinggalkan?"

"Aku sendiri pun tak akan diam begitu saja dan cuma-cuma melepaskan aset dan saham yang sudah susah payah dikelola keluarga Wardoyo. Itulah kenapa aku mengajakmu bekerja sama. Bohong jika kamu tak mencurigai Om Adi, meski dia ayah kandungmu sendiri, bahwa dia bisa jadi tega melakukan cara tak halal, bahkan pada keluarganya sendiri, 'kan?"

Denis terkejut, tapi juga membenarkan apa kata Nadia. Dia tahu, sangat tahu, sejahat dan licik apa ayahnya itu. Entah mengapa dia juga curiga, dengan David yang meninggal, maka itu bisa memutuskan hubungan keluarga Wibisono dan Wardoyo dari ikatan pernikahan dan kekeluargaan, sehingga Adi bebas kembali melakukan serangan demi serangan kepada keluarga Wardoyo tanpa ada halangan, beban, atau rasa tak enak sedikit pun.

"Jadi," Denis bersuara lagi, "kamu ingin aku menyerang ayahku sendiri?"

"Tidak." Nadia menjawab dengan cepat. "Aku hanya ingin kamu hidup dengan mengejar mimpi dan menjalani kehidupan yang kamu harapkan saja. Itu sudah cukup. Kamu gak perlu menjalani apa pun, diam saja dan hiduplah sesukamu."

"Ha?" Denis tak paham maksud Nadia.

"Yah," Nadia menyelipkan anak rambut di pelipis kanannya ke belakang telinga, "setidaknya Om Adi tak punya bidak catur kuatnya, kalau kamu bebas hidup tanpa tergantung pada dukungan keluarga Wibisono, 'kan? Dia tak bisa lagi mengatur dan memonopoli dirimu, dan tak ada lagi celah baginya untuk melakukan intimidasi, karena yang akan terus mendukung dan memberimu semua fasilitas hidup, kini adalah aku."

Denis ternganga, tak percaya bahwa Nadia bisa berpikir sejauh dan selicin itu dengan sangat rapi. Di satu sisi, Denis mengakui kejeniusan Nadia, sisi lainnya justru membuatnya takut. Nadia begitu misterius, dan sangat besar ambisinya untuk bisa terus melangkah maju tanpa rasa takut sedikit pun.

"Aku yakin, kamu pasti juga penasaran ingin tahu apakah David meninggal wajar atau tidak."

Perkataan Nadia membuat Denis tertarik bertanya, "Kamu ingin aku mencurigai ayahku sendiri?"

Nadia menggeleng pelan. "Bukan Om Adi saja, tapi kamu tahu, bukan? Ada banyak orang di sekitar Wibisono dan Wardoyo yang juga sama licik dan tak bisa dipercaya."

"Dan lagi, Denis," Nadia kini bangkit dari duduknya seperti hendak pergi karena merasa telah jelas memberikan banyak penjelasan pada Denis, "aku mengajakmu bekerja sama ini, bukan berarti aku akan menjadikanmu sekutu. Kamu bebas melakukan apa pun hidupmu. Tujuanku hanya ingin kamu jauh dari Om Adi, sehingga dia tak memiliki lagi bidak catur kuat, dan calon pengelola saham yang selama ini telah dia rencanakan. Itu keuntungan yang ingin aku dapatkan. Masalah jika kamu ingin menyelidiki kematian David, lakukanlah sesukamu."

Nadia mengambil tasnya, membuka dan menuliskan sebuah cek. Wanita itu lalu menyerahkan kertas itu ke Denis dan berkata, "Serahkan ini pada seniormu tadi. Hubungi aku lagi jika memang galeri seni kampusmu ini membutuhkan lagi bantuan dana. Asal ada transparansi penggunaan dana bantuan dan laporan bulanan yang jelas, aku akan setia menjadi donatur tetap di sini."

Nadia tersenyum manis. "Pikirkan lagi tawaranku. Kamu akan mendapatkan hidup dan mengejar mimpimu sendiri, bisa menggali misteri kematian David tanpa intervensi siapa pun, dan juga memiliki fasilitas hidup bebas tanpa harus kesulitan masalah materi."

"Dan aku, apa pun keuntungan yang akan aku dapatkan dari kerja sama kita ini, tak ada kaitannya denganmu. Meski suatu hari kita menikah, hidupmu adalah milikmu, dan hidupku adalah milikku. Kamu bebas berkencan dengan perempuan mana pun selama kita menikah, asal tak sampai menimbulkan berita skandal di luar sana."

"Kamu terbebas dari cengkeraman Om Adi, dan suatu hari, kamu bisa membangun keluarga Wibisono kembali, setelah Om Adi meninggal dan mau tak mau hanya kamu yang berhak menerima segala warisannya nanti."

"Lalu," Denis ikut berdiri, "apa yang akan kamu lakukan pada ayahku?"

"Apa jika pada akhirnya berakhir dengan kematian Om Adi, kamu akan sedih?" Nadia bertanya balik.

Denis terkejut, tapi kemudian dia menggeleng. "Bahkan, dia tak peduli dengan ibuku saat meregang nyawa. Dan langsung kembali menjalankan semua ambisinya meski Mas David baru saja meninggal."

"Tapi," Denis terlihat ragu, sebelum akhirnya melanjutkan, "bagaimana dengan keselamatan nyawamu sendiri?"

Nadia tampak terkejut saat Denis menanyakan itu. Entah kenapa, hatinya sedikit hangat, saat menemukan ada nada khawatir meski sedikit, dari pertanyaan Denis tersebut.

"Persaingan bisnis erat kaitannya dengan taruhan nyawa, Denis." Nadia maju dan membenarkan kerah kemeja Denis yang agak berantakan. "Kalau aku mati, itu konsekuensi. Siapa yang kuat, dia yang akan bertahan. Siapa yang bertahan, dia akan menang. Kalau aku mati, aku adalah pihak yang kalah."

Nadia mendongak, menatap Denis dengan puas. "Itu urusanku, sekali lagi kamu gak perlu tahu atau ikut campur. Hiduplah sesuai keinginanmu. Urusanku dengan Om Adi tak ada kaitan denganmu. Kalau Om Adi adalah seseorang yang berharga bagimu, aku janji tak akan melukainya meski sedikit. Namun, aku tak bisa janji tak akan menyerang jika dia melukaiku atau keluargaku, meski harus dengan taruhan nyawanya atau nyawaku sendiri."

Denis terdiam, tak menanggapi perkataan Nadia itu. Wanita cantik tersebut kemudian menepuk pelan dada bidang Denis dan berkata, "Pikirkan saja dulu. Aku tak memaksa. Kamu berhak menolak jika tak mau, dan lebih memilih siap membantu Om Adi dan kehilangan kehidupan serta mimpimu yang berharga itu."

Nadia kemudian berjalan meninggalkan Denis menuju ke pintu keluar, tapi sebelum benar-benar pergi, Nadia berbalik dan kembali berkata pada Denis, "Jika semua sudah berjalan lancar, Om Adi dan orang-orang licik di sekitarnya bisa disingkirkan, serta saham Wardoyo aman dan saham Wibisono jatuh murni di tanganmu tanpa harus terbagi ke pihak-pihak lain, kita bisa bercerai."

"Jika dari pernikahan kita nanti ada anak yang lahir, maka kamu bisa mengambilnya jika kamu mau. Aku tak akan menjadikannya robot penerus, dan membebaskan hidupnya mau seperti apa. Intinya, anak kita nanti tak akan menjalani kesusahan hidup seperti yang kita berdua alami."

Denis menemukan ada sedikit raut sedih di wajah Nadia. Namun, dia segera menggeleng pelan, menghilangkan rasa iba yang sesaat muncul di hatinya.

"Akan aku pikirkan dulu," kata Denis. Membuat Nadia mengangguk puas, dan segera pergi meninggalkan Denis.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
agustiarifina
ditunggu updatenya kakak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status