Share

4. Tamu Tak Terduga

"Denis, tunggu!" Teriakan Shaka membuat Denis menghentikan langkah dan langsung berbalik untuk menatap sahabatnya tersebut.

"Kamu ke mana dulu tadi, kok telat? Gak ngelakuin hal aneh-aneh, 'kan?"

Denis mengernyitkan alis, lalu sebentar kemudian terbahak-bahak usia mendengar pertanyaan Shaka itu. "Emang apa yang mau kulakuin? Berusaha bunuh diri atau mabuk-mabukkan gitu?" Denis bertanya balik.

Shaka menghela napas lega. Dia lalu menepuk pelan bahu kanan Denis dan berkata, "Den, kalau kamu ada ganjalan, cerita ke aku atau Sarah, ya? Please, jangan kamu pendam sendiri. Kami berdua akan siap sedia ada buat kamu. Kamu harus ingat itu."

Denis menatap lekat-lekat sahabatnya tersebut. Lalu, pemuda berwajah manis itu tersenyum lembut dan menjawab, "Tentu. Namun, kali ini aku ingin sendiri dulu, Ka. Yah, setidaknya, karena ini masalah keluarga, aku gak mau kamu repot dan akhirnya gak fokus dengan urusanmu sendiri."

"Tapi—"

"It's okay, Bro. Santai aja. Aku gak akan ngelakuin hal-hal gak berguna. Apalagi mabuk-mabukkan? Hahaha .... Bau minuman alkohol saja sudah membuatku mual, apalagi meminumnya. Dan lagi, aku masih punya banyak mimpi di masa depan yang ingin kuraih, jadi aku gak akan mati sekarang."

Shaka mengangguk. Dengan bangga dia peluk sahabatnya itu erat-erat. Lalu, setelah melepaskan pelukannya, Shaka menepuk pelan dada bidang Denis dan berkata, "Kamu tangguh, Den. Aku percaya padamu!"

"Shaka!"

Baik Shaka maupun Denis langsung mengalihkan tatapan mata mereka ke asal suara. Sarah datang dengan langkah kaki cepat ke arah kedua pemuda jangkung tersebut.

"Dicariin Mas Bagas. Masuk sana!"

"Aku?" Shaka menunjuk wajahnya dengan telunjuk sendiri. Sarah mengangguk dan langsung mendorong tubuh Shaka ke arah gedung.

"Aneh kamu! Ketua pelaksana tapi main kabur aja setelah briefing. Jelas Mas Bagas selaku penanggung jawab kesal! Dia mau diskusi dulu, eh kamu main pergi aja!"

"Iya, iya. Aku ke sana. Bawel ah!" Sambil menggerutu, Shaka berjalan kembali ke gedung, meninggalkan Sarah yang berkacak pinggang menatapnya dengan judes, dan Denis yang terkekeh-kekeh geli.

Setelah Shaka masuk ke gedung, Denis terlihat bersiap segera ke parkiran menuju mobilnya, saat Sarah tiba-tiba mencekal lengan pemuda itu, membuat Denis kaget dan menatap si gadis dengan tatapan tanya.

"Aku mau tanya sesuatu," Sarah mulai membuka mulut, masih mencengkeram erat lengan sahabatnya itu, "apa kamu ada masalah dan aku gak tahu?"

Selama sepersekian detik Denis hanya menatap Sarah dalam diam, lalu kemudian dia menghela napas dalam-dalam, dan sambil menepis pelan tangan Sarah di lengannya, dia menjawab, "Iya. Tapi, aku gak mau cerita sama kamu."

"Why?" Sarah terlihat tersinggung. "Aku juga sahabatmu, gak cuma Shaka!"

"Aku tahu," Denis melembutkan nada bicaranya, karena Sarah memang gampang tersinggung, "justru karena aku gak mau kamu ikut kerepotan dengan masalahku, padahal kamu udah cukup sibuk—"

"So what? Kamu gak percaya sama aku?" Sarah masih merengut kesal.

Denis terkekeh-kekeh pelan. "Bukan gitu, Sar. Sebenarnya aku juga gak mau Shaka ikut ambil pusing. Apalagi masalahku klasik juga, antara aku dan Ayah."

"Tapi, Den ...." Sarah terlihat ragu akan melanjutkan perkataannya. Namun, setelah diam beberapa saat, dia akhirnya bersuara lagi, "Aku yakin ada masalah lebih pelik, karena pasti ayahmu itu melakukan sesuatu setelah Mas Dave enggak ada."

Denis tak menyahut apa pun. Sebab, memang benar dugaan Sarah itu. Bahwa masalah antara dirinya dan sang ayah kali ini jauh lebih rumit dari biasanya. Meninggalnya David membuat dia harus menjadi satu-satunya harapan sang ayah, dan mau tak mau memang harus berhadapan dengan fakta, bahwa dia satu-satunya bidak catur yang ayahnya miliki kini.

"Udah malam, baiknya kalau kamu gak ada lagi yang mau diurusin di sini, segera pulang aja, Sar. Naik motor atau gak? Mau bareng aku?" Denis mengalihkan pembicaraan, dan terlihat memang sengaja segera ingin mengakhirinya.

Sarah mendengkus. Tiba-tiba dia melingkarkan kedua lengannya ke leher Denis dan menarik kepala pemuda itu ke bahunya, memeluk tubuh Denis erat-erat.

"Aku akan tunggu sampai kamu siap untuk cerita. Kapan pun itu, Den. Kamu punya aku dan Shaka. Kami siap ada saat kamu butuh."

Sarah melepaskan pelukannya, dia meraih kedua tangan Denis dan menggenggamnya erat. Setelah tersenyum lembut, dia lalu berkata, "Shaka sangat menyayangimu seperti saudara kandungnya sendiri. Dan sampai kapan pun," Sarah terlihat menggigit bibir bawahnya sebelum kembali melanjutkan, "aku akan tetap menunggumu untuk bisa membalas rasa cintaku."

Hati Denis agak sedih mendengarnya. Dia tahu, Sarah menyukainya sejak mereka remaja dulu. Meski pada akhirnya menjalin hubungan dengan beberapa pria, Sarah akhirnya putus setelah menyadari meski berusaha sekuat apa pun, tetap tak bisa mengenyahkan rasa cintanya pada Denis.

Sementara Denis sendiri, meski juga ingin membalas perasaan Sarah, tetap dia tak bisa. Mungkin karena hatinya telah beku semenjak sang ibu tiada, atau mungkin sejak kedua orang tuanya bercerai. Bisa jadi juga memang dia belum bisa membuka hati, dan menemukan kecocokan dengan seorang perempuan.

"Makasih, Sar. Jadi, mau bareng aku atau gimana?" Denis melepaskan genggaman tangan Sarah dengan lembut.

Sarah menggeleng. "Aku masih ada diskusi dengan Mas Bayu. Nanti tak nebeng ke Shaka aja. Hati-hati di jalan, ya!"

Denis mengangguk, lalu setelah pamit, dia meninggalkan Sarah yang menatapnya dengan raut sedih, menuju ke mobilnya yang ada di parkiran.

***

Denis berlari dengan tergopoh-gopoh dari hall utama pameran, menuju ke ruang VIP yang biasa digunakan untuk panitia menemui tamu penting atau berdiskusi dengan narasumber. Wajah pemuda itu tampak senang, hatinya pun terasa bahagia.

Bagaimana tidak? Seniornya yang adalah penanggung jawab dari acara besar tahunan milik fakultasnya ini, yaitu Bagas Anendra, memberitahukan padanya lewat sambungan telepon tadi, kalau ada pembeli yang akan mengambil lukisannya dengan harga tiga kali lipat dari yang dia tawarkan.

Ini bukan hal yang main-main tentu saja. Mengingat bahwa selama dia tiga kali mengikuti pameran akbar tahunan tersebut, dua kali karya lukisnya kalah dari milik seniornya yang bernama Jenny Giovanca, gadis 25 tahun yang terkenal sebagai mahasiswa jenius di Program Studi Seni Lukis, terlebih di Fakultas Seni Budaya.

Denis ingin sekali bisa melampaui Jenny itu, sehingga dia berusaha keras. Tekun berlatih, menenggelamkan diri di banyak buku dan jurnal mengenai seni lukis, serta mendatangi beberapa narasumber di bidang itu, termasuk Prof. Indrawan, Guru Besar sekaligus orang yang selama ini banyak membantunya untuk berkembang menjadi pelukis yang jauh lebih keren, dibanding saat dia masih mahasiswa baru dulu.

Denis membuka pintu ruang VIP dengan semangat dan wajah semringah. Mulutnya terbuka dan hendak menyapa Bagas, serta calon pembeli lukisannya, saat tiba-tiba jantungnya serasa berhenti berdetak, kala mengetahui siapa sang pembeli itu.

Wanita cantik tersebut tersenyum manis padanya. Dia memakai kemeja warna biru muda, dengan jas biru dongker, lalu celana panjang senada warna jas, dan heels hitam. Rambut indahnya dikuncir tinggi, meninggalkan dua juntai anak rambut di depan masing-masing telinga. Seperti biasa, dia tak menor saat merias wajah, karena meski tanpa kosmetik sekali pun, wanita tersebut tetap tampak cantik.

"Nah, ini pelukisnya, Bu Nadia. Namanya Denis Wibisono. Dia satu tingkat di bawah saya. Saya senang sekali melihat Ibu begitu antusias dengan hasil karya Denis. Mudah-mudahan di perbincangan kalian nanti, ada juga bahasan tentang kerja sama atau rencana donasi yang tadi Ibu sampaikan, untuk galeri lukis kampus kami."

Bagas lalu berdiri, dia mengkode Denis yang masih terbelalak kaget menatap Nadia dan berdiri mematung di dekat pintu, untuk segera duduk menemui wanita tersebut.

Melihat reaksi Denis yang tak wajar, Bagas kesal, alih-alih curiga atau heran kenapa adik tingkatnya tersebut seperti itu. Dia segera berjalan menuju Denis dan menepuk agak keras bahu pemuda tersebut.

"Hei, Denis! Jangan bengong saja! Kamu harus bisa menampilkan kesan sopan dan baik agar pembeli karyamu itu mau sekaligus jadi donatur dan ke depannya bersedia menjadi partner galeri seni kampus kita," bisik Bagas kesal.

Denis melirik sang senior. Dia mengerutkan kening, ingin sekali membalas bahwa dia lebih baik tak menjual lukisan miliknya itu daripada harus dibeli oleh mantan calon kakak iparnya yang sangat dia benci itu.

Denis tahu benar, bahwa Nadia yang selama ini selalu tak mau tahu apa urusan dia, seolah mereka tak pernah saling tahu meski sejak kecil saling mengenal, jika pada akhirnya tertarik dengan hal paling penting dalam hidup Denis itu, pasti ada tujuan licik besar di dalamnya.

"Saya tinggal dulu, Bu Nadia. Semoga obrolannya dengan Denis lancar dan hangat, serta menemukan hasil yang menggembirakan bagi kita semua." Bagas mengangguk sopan pada Nadia, lalu mendorong dengan agak sedikit kasar tubuh Denis, agar adik tingkatnya itu segera duduk di dekat Nadia.

Setelah Bagas pergi dan menutup pintu, tinggallah Denis berdua di dalam ruangan bersama Nadia. Wanita yang delapan tahun lebih tua darinya itu lalu mengambil cangkir teh hangat di meja, dan menyesap isinya pelan.

"Jadi," Nadia meletakkan lagi cangkirnya di atas meja, "kamu mau kita berbincangnya begini saja? Kamu berdiri dan aku duduk?"

Denis menghela napas dalam-dalam. Berusaha melonggarkan hatinya dari amarah yang tiba-tiba datang menghampiri. Dengan berat hati, akhirnya pemuda itu berjalan dan duduk di sofa dekat Nadia, yang masih tersenyum anggun padanya itu.

"Kalau kamu tiba-tiba tertarik dengan hal terpenting dalam hidupku, pastinya ada rencana jahat di baliknya. Apa maumu, Nad?"

"Astaga!" Nadia terlihat kaget, tapi Denis tahu bahwa wanita itu hanya berakting saja. "Kok kamu nanyanya gitu amat, sih, Den?"

"Tolong jangan bertele-tele, kalau kamu memang ada hal yang hendak dibicarakan denganku, lakukan sesuai maumu, tapi tolong," Denis mencondongkan tubuhnya hingga bisa menatap lebih tajam ke kedua iris cokelat Nadia, "jangan permainkan galeri lukis kampus, atau hanya menjadikannya alat untuk memuluskan rencana licikmu entah apa itu."

Denis kembali duduk tegak. "Cukup kamu bermain saja denganku, lakukan apa saja maumu, tapi apa yang kamu sampaikan ke Mas Bagas tentang rencana kerja sama atau donasi pada galeri lukis kampusku itu, jangan pernah kau susupi dengan hal-hal buruk."

Nadia terkekeh-kekeh. "Gila! Kamu beneran udah dewasa ya sekarang, Den. Keren banget—"

"Nad!" Denis sudah mulai terlihat tak bisa menahan emosi yang sedari tadi serasa hampir meledak dalam dirinya. Membuat wanita itu sedikit kaget, dan mengerutkan kening.

Setelah keduanya saling diam selama beberapa saat, Nadia kemudian menghela napas dan berkata, "Aku tak tahu apakah sampai sekarang Om Adi masih mempersulitmu untuk bisa lebih dalam menyelami dunia yang kamu cintai ini atau tidak, tapi yang aku ingat dari cerita David dulu, kamu sangat tersiksa dan ingin bebas. Aku hanya ingin menawarkan sebuah jalan, bagaimana kamu bisa tetap ada di dunia tercintamu ini, tanpa harus jadi bidak catur Om Adi, karena meninggalnya David otomatis akan membuatmu jadi demikian nantinya."

Denis ingin menimpali, tapi Nadia mengangkat tangannya terlebih dulu, mengisyaratkan pemuda tersebut untuk tidak menyela, karena dia belum selesai bicara.

"Masalah aku hendak bekerja sama dan menjadi donatur tetap galeri seni kampusmu, itu serius. Bukankah saat kecil dulu aku selalu bilang, bahwa aku kagum pada bakat melukismu yang luar biasa itu? Dan kamu juga pasti tahu bahwa aku memang menyukai dunia seni apa pun itu, termasuk seni lukis, meski aku tak bisa menjadi pelaku, tapi sebagai pengamat saja."

"Tapi, kamu bukan tipe orang yang membeli karya dari seniman pemula sepertiku, 'kan?" Akhirnya Denis bersuara.

Nadia terkekeh-kekeh lagi. Dia mengambil cangkirnya dan menyesap habis teh hangat di dalam benda tersebut. Nadia meletakkan lagi cangkir itu ke meja, sambil menatap lekat-lekat Denis dan berkata, "Kali ini aku akan lebih memperhatikan dan mendukung semua langkahmu di dunia seni lukis, atau apa pun itu yang menjadi passion-mu, meski harus mengeluarkan uang tak sedikit, atau membagi perhatianku sekali pun."

Nadia tersenyum tipis sebelum kembali melanjutkan, "Karena, aku ingin kamu jadi suamiku, Denis."

Selama sepersekian detik, Denis hanya bisa diam membisu karena masih tak paham dengan apa yang Nadia bicarakan. Sampai kemudian, saat otaknya mulai bisa bekerja dan memahami apa maksud Nadia, pemuda itu spontan berdiri dan berteriak tak percaya.

"Apa? Apa maksudmu?"

Nadia ikut berdiri, mendekat ke Denis dan menyentuh lembut lengan mantan calon adik iparnya itu, lalu berbisik, "Ayo kita tunangan, lalu menikah. Dan aku akan membebaskanmu dari cengkeraman Om Adi selamanya."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Diana Agustina
Masih mantau gmn sebenernya niat nadia baek apa g tuu,,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status