Share

6. Bimbang

Denis menatap langit-langit kamar sambil berbaring telentang di atas kasur king size miliknya. Otaknya berputar cepat, membuat kepalanya menjadi sedikit pusing. Dia lalu memijat kedua pelipisnya, sambil mulai memejamkan mata.

Ingatan tentang ekspresi wajah Nadia, dan apa yang disampaikan wanita itu padanya di siang hari tadi, benar-benar membuatnya tak selera makan malam. Tubuhnya yang lelah setelah seharian beraktivitas di pameran seni, ditambah dengan memikirkan tawaran Nadia, membuatnya mual.

Apalagi melihat menu makanan yang selalu itu-itu saja di meja makan. Hampir tak pernah ada sosok Adi Wibisono yang akan duduk bersama dengannya di sana.

Sebelumnya, ketika David masih hidup, Denis agak terhibur atau sekadar masih memiliki minat makan di rumah itu, karena kakaknya tersebut masih sudi menemaninya makan. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan. David sudah tak ada di dunia ini lagi.

Meski Denis tak menyangkal bahwa David juga tak banyak memberikan cinta dan perhatian kepadanya seperti seorang kakak pada adiknya, tetapi Denis juga tak mau menampik kenyataan bahwa David seperti itu karena didikan Adi yang ambisius pada duniawi saja, tanpa memedulikan kasih sayang dalam keluarga.

Jujur, Denis sangat lelah. Ingin bisa keluar dari rumah Wibisono secepatnya. Ketika Jenar, ibunya, meninggal dulu, dia bagai menelan buah simalakama. Antara di luar sana tak memiliki siapa pun dan bingung harus melakukan apa, atau masuk ke keluarga Wibisono tapi siap diatur begini dan begitu oleh sang ayah.

Pilihan Denis bisa dikatakan tepat, karena dia memiliki akses dan support material untuk melanjutkan pendidikan dan menjalani hari-harinya sebagai pelukis, meski sekadar sebagai mahasiswa.

Namun, juga bisa dikatakan salah, karena dia harus siap menjalani hidup sesuai kemauan Adi, dan pada akhirnya sekarang saat David meninggal, harus siap menggantikan posisi David sebagai bidak catur utama Adi.

Saat dia kebingungan harus bagaimana, datanglah Nadia menawarkan sesuatu yang menurutnya tak masuk akal, tetapi juga membuat hatinya bimbang. Kesempatan bisa lepas dari jeratan Adi Wibisono, dengan mengandalkan support material dan semuanya yang dia butuhkan, dari seorang Nadia yang jauh lebih kaya dari ayahnya.

Namun, dia harus siap menjalankan peran sebagai pendamping wanita itu, sedangkan dia tak memiliki perasaan apa pun pada Nadia. Jangankan perasaan kagum atau sekadar cinta monyet, Denis tak menyukai Nadia, baik sifat maupun dunia yang wanita itu jalani sekarang. Meski pemuda itu tak mengelak, bahwa Nadia memang memiliki paras cantik dan tubuh yang indah.

Otomatis, jika menjadi pendamping Nadia, maka dia akan berada di kubu wanita itu. Mau tak mau, meski Nadia mengatakan bahwa dia tak akan ikut campur urusan Denis dalam menjalani hidup demi meraih mimpi sebagai pelukis dan bebas dari cengkeraman Adi Wibisono, tetapi bukankah dengan posisi Denis yang lebih minor daripada Nadia, suatu saat pemuda itu harus siap mengikuti apa yang dimau oleh wanita itu?

Denis membuka matanya lagi, lalu mendengkus kesal. Tawaran dari Nadia benar-benar menggiurkan. Namun, apa dia sudah siap menjadi boneka perempuan itu? Berlaku manis dan mesra layaknya sepasang kekasih. Lalu ... menikah?

Denis mendadak duduk tegak dan wajahnya menegang karena baru teringat bahwa sesuatu yang bernama pernikahan itu bukan hal yang sepele. Apalagi Nadia tadi menyinggung tentang anak.

"Ah, sialan!" Denis menutup wajahnya dengan kedua tangan, karena entah kenapa tiba-tiba ada rona merah muncul di kedua pipi dan kupingnya.

Baru membayangkan dia akan berakting mesra dengan Nadia saja, sudah membuat perutnya bagai digelitik, apalagi kalau mereka melanjutkan hubungan palsu itu ke jenjang pernikahan. Apa Nadia akan benar-benar mengajaknya berhubungan layaknya suami dan istri?

"Gila si Nadia," Denis membuka kedua tangannya, lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "apa aku harus melakukan hal-hal itu selama kontrak, atau bagaimana mau dia sebenarnya?"

Denis kembali menghempaskan diri ke kasur, menatap langit-langit kamar. Pikirannya melayang lagi. 'Kalau aku menolak, aku tak perlu memusingkan diri dengan melakukan akting mesra atau apalah itu. Namun, masalahnya aku tetap akan jadi mainan Ayah.' Denis bergumam dalam hati.

Pemuda itu lalu memaki udara kosong. Kepalanya benar-benar sakit sekarang. Rasa pusing yang tadi hanya terasa sekitar enam puluh persen, mendadak berubah menjadi seratus persen.

"Oke, kupikirkan besok saja. Tidur, Denis, tidur!"

***

Ini hari ketiga Adi Wibisono tak pulang ke rumah. Denis tak peduli. Mau tak pulang seterusnya ke rumah juga dia tak akan melakukan protes pada ayahnya itu. Pemuda tersebut pernah mendengar bahwa ada seseorang yang memergoki ayahnya bersama dengan seorang wanita masuk ke hotel.

Namun, menurut Denis itu tak masuk akal. Otak dan hati Adi Wibisono sudah mati, tepatnya dimatikan oleh nafsu untuk bisa kembali meraih kekayaan dan kekuasaan yang katanya dulu adalah milik keluarga Wibisono, sebelum akhirnya jatuh ke tangan keluarga Wardoyo.

Sampai-sampai, ayahnya itu tega meninggalkan, ah tidak ... membuang maksudnya, Jenar Ayu yang adalah istrinya sendiri, seolah sudah tidak membutuhkan perempuan yang dia nikahi karena perjodohan itu.

Sebelumnya, Jenar memiliki seorang kekasih. Namun, keluarga Jenar yang memiliki hutang budi pada keluarga Wibisono, menawarkan untuk mengikat jalinan kekeluargaan dengan menikahkan Jenar dan Adi.

Denis tersenyum kecut saat mengingat bagaimana ekspresi wajah sang ibu, tatkala ayahnya dengan tanpa perasaan mengatakan, "Pergi dari rumah ini dan tunggu surat cerai dariku!"

Pemuda itu lalu mengusap mulutnya dengan serbet makan, setelah menghabiskan satu gelas penuh susu vanilla dan sepiring nasi goreng telur sebagai sarapan paginya.

Belum juga beranjak dari meja makan, ponsel Denis bergetar. Pemuda tersebut lalu merogoh kantung celana jeans-nya dan mengerutkan kening, saat menemukan nama 'Nadia' terpampang di layar benda pipih itu.

"Apa?" Denis menyapa dengan malas.

'Makan siang, yuk!'

Ajakan Nadia membuat isi perut Denis hampir keluar. "Apa? Maksudmu apa, sih?"

Nadia terkekeh-kekeh di seberang sana. Lalu, wanita itu berkata, 'Hanya ingin memastikan kalau kamu masih tetap hidup setelah kemarin terlihat sangat syok dengan tawaranku.'

"Sialan!" Denis mengumpat, sambil kembali menghempaskan diri ke kursi makan.

'Den, kalau aku kasih kamu waktu seminggu, cukup gak? Buat kasih jawaban.'

"Terlalu cepat. Sialan kamu, Nad! Kamu pikir itu hal yang mudah untuk segera diputuskan?"

Nadia kembali terkekeh-kekeh, kali ini lebih keras. Membuat perut Denis makin terasa diaduk-aduk.

'Kamu tahu? Saat ini sedang ada tender besar yang itu sangat memberikan jalan atau peluang besar bagi Om Adi memasukkan kamu dengan segera ke dalam perusahaan. Jadi, aku pikir, pasti sebentar lagi Om Adi akan menekanmu untuk mau masuk ke WW Tech. Bagaimanapun caranya.'

"Hah?" Denis mulai merasakan kepalanya berputar hebat, saat mendengar kabar dari Nadia itu.

'Yap, makanya aku nawarin kamu waktu seminggu. Kalau kamu oke, kita bisa muncul dengan manis secara perlahan-lahan di publik, dengan seolah-olah tertangkap mata wartawan atau orang di WW Tech di mana kita sedang berduaan—'

"Nad," Denis memotong, "Mas David baru beberapa bulan lalu meninggal. Kamu yakin?"

'Kenapa? Aku bisa saja bilang kita dekat karena awalnya saling menghibur setelah kematian David.'

Denis gusar setelah mendengar kata-kata Nadia itu. "Dan orang akan memandang kita aneh-aneh karena berpacaran setelah Mas Dave gak ada—"

'Denis,' kali ini Nadia yang memotong, 'itu urusan aku nanti. Oke? Kamu terima beres saja, asal bisa menjalankan peranmu dengan baik. Apa kamu tahan terus diintimidasi Om Adi dengan cara aksesmu diblokir begini?'

"Hei!" Denis mengerutkan kening. "Dari mana kami tahu?"

'Aku Nadia. Kamu lupa?'

"Brengsek!" Denis mendengkus kesal, sementara Nadia kembali terkekeh-kekeh.

"Oke kalau begitu, seminggu, atau enam hari lagi akan kusampaikan apa jawabanku untukmu. Aku butuh konsultasi juga dengan Shaka dan—"

'Wait!' Nadia memotong dengan cepat. 'Ini rahasia antara kita berdua saja. Tak ada yang boleh tahu. Siapa pun. Termasuk dua sahabatmu itu.'

"Tapi—"

'Nggak, Den!' Nadia menolak dengan tegas apa yang hendak Denis pinta. 'Ini rawan. Kamu gak pernah tahu, siapa orang yang benar-benar tulus ada buat kamu, dan siapa yang akhirnya akan menusukkan pisau ke punggungmu suatu hari nanti.'

Denis menggigit bibir bawahnya dengan hati ngilu. Satu sisi dia membenarkan apa kata Nadia, sisi lain ... dia merasa aneh, membayangkan andai Shaka mengkhianati dia suatu hari nanti.

Dengan Nadia yang hidup keras di dunia yang gelap itu, kali ini Denis mengalah dan percaya. Sebab, Denis yakin wanita itu pasti memiliki banyak pengalaman pahit selama hidup di antara orang-orang yang bagai serigala berbulu domba. Termasuk, mantan suami yang mengkhianati dia dulu.

'Karena udah gak ada lagi yang mau aku sampaikan, aku tutup dulu teleponnya—'

Perkataan Nadia terpotong oleh panggilan Denis. Meski awalnya ragu, tetapi akhirnya pemuda itu bertanya dengan agak malu-malu, "Jadi makan siang bareng gak?"

Nadia tak langsung menjawab, tetapi beberapa detik kemudian dia tertawa keras. Lalu, wanita itu menjawab, 'Oke. Jemput aku di rumah. Hari ini aku baru pulang dari Batu pukul 10.00, sampai Malang mungkin jam 10.30. Kita makan di rumahku saja.'

Kemudian mereka memutuskan sambungan telepon. Denis menatap layar ponselnya sambil bergumam, "Yah, tak ada salahnya makan bersama. Sambil aku bisa mengetahui lebih dalam apa motif yang mungkin Nadia sembunyikan dariku."

Tiba-tiba Denis merasa gusar. Perutnya seperti terasa geli. Buru-buru dia membuka lagi ponselnya dan mengirmkan pesan chat ke Nadia.

'Jangan pernah anggap makan siang kita ini adalah kencan. Oke?'

Beberapa detik kemudian, datang balasan dari Nadia. 'Tenang saja, Sialan!'

"Dasar wanita brengsek!" Denis segera berdiri dan memasukkan lagi ponselnya ke saku celana jeans-nya. Sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, dia menggerutu tak jelas. Tanpa pemuda itu sadar, bahwa kedua kupingnya sudah memerah.

***

Nadia tersenyum tipis dan meletakkan ponselnya ke meja. Masih menikmati segelas espresso hangatnya di pagi yang cerah ini. Wanita itu lalu menatap ke luar jendela kamar hotel tempatnya berada.

Entah mengapa, ingatannya kembali berputar pada kejadian hampir 20 tahun lalu, saat pertama kali dengan malu-malu Denis menunjukkan sesuatu padanya. Gambar yang dibuat Denis kecil, sebuah rumah mungil dengan tiga anak di halamannya.

'Yang paling tinggi ini Mas Dave, paling pendek aku, dan di tengah pakai rok dan pita ini kamu, Mbak!'

Nadia masih ingat, pancaran ceria dan polos di mata Denis kecil kala itu. Sosok bocah yang masih setia memanggilnya 'Mbak Nadia'. Sebelum kemudian anak lelaki mungil itu berubah menjadi begitu pendiam dan tatapan matanya redup, setelah perceraian kedua orang tuanya, dan mengetahui kenyataan bahwa dia tengah hidup di dunia yang begitu gelap.

'Kenapa aku ada di antara kalian? Kan aku bukan anak keluarga Wibisono?' tanya Nadia kala itu.

Denis kecil dengan cepat segera menjawab, 'Karena Mbak Nadia suatu hari akan jadi keluarga Wibisono. Soalnya Ibu sayang sama Mbak Nadia, jadi aku pikir akan lebih baik kalau Mbak Nadia juga jadi anak Ibu.'

Nadia terkekeh-kekeh secara tiba-tiba saat mengingat wajah polos Denis kecil itu. "Tante Jenar, semoga Tante tenang dan bahagia di alam sana. Terima kasih, karena Tante sudah mau menyayangi saya, jauh melebih Papa dan Mama."

Nadia lalu menyesap habis semua espresso-nya, dan kemudian segera bangkit untuk menuju ke kamar mandi. Entah mengapa, ada sedikit semangat yang tiba-tiba menyusup masuk ke hatinya, untuk segera pulang kembali ke Malang. Padahal, biasanya dia sangat malas kembali ke kota kelahirannya itu, karena pasti akan menjumpai lagi rutinitas dan orang-orang menyebalkan di sekitarnya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
hidayat s
Kayak apa ya?... heheehe
goodnovel comment avatar
Diana Agustina
next kak, penasaran banget makan siangnya kaya apaa hehe
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status