[Selamat Tuan, sekarang mata anda sudah normal.]
Jack meraba-raba matanya, mengulang untuk memakai kacamata hanya untuk dilepaskan kembali, menutup sebelah mata bergantian, dan membuka mata lebar-lebar untuk menatap sekeliling. Dia tersenyum haru, sebelum tertawa lepas. Jack tidak bisa menahannya. Rasanya seperti lahir kembali, melihat isi dunia secara langsung dengan sangat jelas tanpa penghalang lensa lagi.
Dia sangat ingat, bagaimana Elena dan keluarganya, juga beberapa rekan kerjanya dulu sering menjadikan sakit silindernya sebagai lelucon. Bahkan, pernah suatu waktu, Tommy sengaja mengambil dan menyembunyikan kacamatanya. Entah bagaimana dirinya yang mesti meraba-raba benda di sekitar karena kesulitan melihat, malah membuat keluarga Elena terbahak-bahak.
"Sistem, bagaimana kamu melakukannya?" Dia masih sulit percaya. Ini seperti mimpi!
[Semua berkat kebaikan anda, Tuan. Selama ini anda melihat dengan hati, merasakan kesulitan orang lain, dan senantiasa baik pada siapa pun. Anda mampu melihat celah yang diabaikan orang lain. Saya tersentuh.]
Jack menarik napas panjang. Di hari pertama menjadi Host dari Sistem Kekayaan Super, dia mendapat banyak keajaiban. Dalam hati dia bersumpah tidak akan menyia-nyiakan berkah itu!
"Sistem, sekarang aku tunawisma. Aku akan membeli rumah mewah besok, dan malam ini, mungkin tidur di hotel bukan ide buruk."
Jack teringat ada sebuah hotel bintang tiga tak jauh dari sana. Saat melintas di Havrefort Street yang lengang, ada sebuah penginapan dengan desain klasik yang menyita perhatian Jack. Bukan penginapan itu yang membuat Jack menghentikan laju, melainkan keributan yang terjadi.
Dia melihat dengan jelas, seorang wanita dengan penampilan berantakan merintih dan memelas, meminta untuk dilepaskan dari cengkeraman pria berkumis.
"Tolong, Tuan. Biarkan saya pulang." Wanita itu berusaha membebaskan lengannya.
"Tidak! Aku sudah menyewamu untuk satu malam."
Wanita itu memohon lagi, "Saya sudah melayani anda tadi. Jadi, tolong, izinkan saya pulang."
"Enak saja! Aku sudah membayar penuh. Teman-temanku akan datang. Kamu harus profesional! Cepat ikut denganku lagi!" Pria berkumis menyeret wanita itu tanpa kasihan.
Tentu saja hati Jack menjadi tak tenang melihat pemandangan itu. Tapi, dia bukan ahli beladiri, sedangkan pria berkumis itu bertubuh besar dengan otot-otot yang mencuat.
Jack tidak yakin rahangnya akan bertahan jika terkena tinju dari lengan kekar pria itu. Hanya saja, jerit tangis sang wanita benar-benar mengusik batinnya.
"Berhenti!" Jack nekat.
Pria berkumis berbalik, menatap Jack dengan mata seperti hendak keluar dari soketnya.
"Jangan ikut campur. Anggap saja kamu tidak melihat ini, atau aku akan membuat matamu tidak bisa melihat lagi."
Jack menelan ludah. Baru saja penglihatannya menjadi normal, kini seseorang mengancam akan menghilangkannya.
Jack menggeser pandangan pada si wanita malang. Dari sorot mata yang berkaca-kaca, Jack tahu, wanita itu mengharap pertolongan.
Tangan Jack yang bergetar dikepalkan. Dia mengumpulkan keberanian.
"Ke-kenapa anda memaksanya ikut jika dia ingin pulang?"
Pria berkumis mendengus. "Berandal kecil! Rupanya kamu benar-benar tidak sabar untuk buta!"
Dengan langkah terhentak, pria berkumis menyeret si wanita untuk menghampiri Jack. Sungguh, tiap derapnya berhasil memacu detak jantung Jack. Terlebih saat dia sudah dekat dan mengangkat tinjunya, otot-otot itu menjadi lebih jelas dan mengintimidasi.
"Terima ini, pecundang!" ujarnya saat hendak mengayunkan tinju pada Jack.
"Polisi!" kata Jack spontan dengan kedua tangan melingkupi kepala. Dia bahkan sekarang ragu, tengkoraknya cukup kuat untuk tidak retak. Sekurang-kurangnya, dia akan menerima jahitan di kepala akibat bocor.
"Apa?" Pria berkumis mengerem tangannya yang terkepal kuat.
"A-aku akan menelepon polisi."
Jangankan memohon ampun atau berusaha mencegah Jack untuk melakukannya, pria berkumis malah tertawa.
Jack menurunkan kedua tangan, melihat lawan terpingkal-pingkal.
"Asal kamu tahu, salah satu temanku yang akan datang ke mari untuk bersenang-senang dengan wanita ini adalah seorang polisi. Cepat panggil polisi lain sekarang agar acara nanti semakin seru."
Meski sempat kaget, Jack tahu tidak semua polisi demikian. Hanya saja, sekarang dia ragu untuk melapor.
‘Sistem, cari tahu kelemahannya!’ batin Jack
[Ditemukan! Nama: Paul Hogweed. Usia: 40 tahun. Kelemahan: istrinya, Grace Hogweed … …]
Jack menarik ujung bibirnya melihat layar transparan yang memuat sejumlah informasi pribadi pria berkumis.
“Apa yang membuatmu berani memandangku seperti itu hah?!” Paul menepuk dadanya. "Aku pemilik penginapan ini. Orang-orang tahu kehebatanku. Orang cerdas akan hormat padaku, tapi pecundang akan menyesal karena berani melawanku!”
“Jadi, namamu Paul Hogweed, benar?” Jack tidak menyisakan ekspresi ketakutan di wajahnya.
“O, kamu sudah tahu, baguslah. Ingat namaku di neraka, karena setelah ini aku akan membawamu masuk ke penginapanku!” Paul mencengkeram tangan Jack, menyeretnya bersama wanita malang, seperti menyeret kanak-kanak untuk dipaksa mandi.
“Tuan, tolong lepaskan pemuda ini. Tidak apa-apa, anda bawa saya masuk lagi.” Wanita itu berubah pikiran. Dia yang semula mencemaskan keselamatannya, kini khawatir pada Jack. Dia tahu Paul tidak pernah main-main dengan ucapannya.
“Kenapa aku harus memilih jika bisa mendapatkan kalian berdua? Hahaha, kamu akan menjalankan tugasmu, sedangkan pecundang ini akan menambah pemasukanku. Aku akan membedah tubuhnya, mengambil dan menjual organ dalamnya.” Paul mempererat cengkeramannya pada Jack dan wanita itu.
Si wanita terus memohon untuk pembebasan Jack. Tapi, dia menjadi kesal melihat Jack yang justru tampak tenang. “Tuan, sadarlah! Dia akan mengambil ginjalmu, jantungmu, mencongkel matamu. Dia akan membunuhmu!” suaranya terdengar frustrasi, membuat Paul tertawa semakin lantang.
"Dia tidak akan berani.”
Paul berhenti tepat di depan gerbang masuk. “APA?!” ujarnya dengan tubuh condong ke Jack.
Tapi Jack tidak terintimidasi. Dia berkata, “Dalam satu kali tekan, segala percakapan yang terekam di ponselku akan terkirim ke Nyonya Grace Hogweed.”
Paul terbelalak, wajahnya mendadak pucat. Dengan suara tergagap dia bertanya, “Bagaimana kamu mengenal istriku?”
“Apa aku tidak terlihat seperti mata-mata? Hahaha, rupanya penyamaranku memang sempurna.”
“Apa maksudmu?” Paul mencengkeram baju Jack. Dia mendesis, “Jangan main-main denganku.”
“Salah besar. Semestinya aku yang memperingatkan anda; jangan main-main dengan Nyonya Hogweed. Atau, anda akan kehilangan semuanya. Kekayaan, penginapan ini, fasilitas mewah, bahkan nama marga.”
Jack menatap tajam Paul. Dia berbisik, “Lanjutkan kelakukan busuk anda jika ingin kembali menjadi Paul LACTON.”
Wanita malang terkejut karena Paul melepaskan cengkeraman dari tangannya. Dia tidak tahu apa yang dikatakan Jack pada Paul, tapi yang jelas, situasi saat ini seperti berbalik.
“Si-siapa kamu sebenarnya?”
Keringat dingin membuat kening dan telapak tangan Paul basah. Pasalnya, tidak ada orang yang tahu tentang identitas aslinya selain sang istri. Tak heran dia menjadi ketakutan karena menjadi seorang Lacton artinya sama dengan kembali miskin, diremehkan, dimaki, dan kelaparan.
“Itu tidak penting. Yang terpenting, anda tidak lupa bahwa Nyonya Hogweed tidak akan senang melihat suaminya bersenang-senang dengan wanita lain. Dan aku memiliki rekaman suara anda saat mengatakan tentang rencana pesta yang akan anda lakukan bersama teman-teman anda di penginapan milik Nyonya Hogweed.” Jack menggoyang-goyangkan ponselnya.
“Tu-tuan, aku mohon, jangan mengirimkan rekaman itu pada istriku.” Paul mulai berpikir bahwa Jack adalah mata-mata yang dibayar istrinya untuk mengawasinya. Dia mengingat hari-hari belakangan, lalu mengerti mengapa sang istri bersikap ketus dan mudah curiga.
Merasa keselamatannya terancam, Paul membuang rasa malu, lalu memutuskan untuk berlutut di hadapan Jack. “Tuan, saya janji tidak akan menghianati Grace lagi. Saya mohon, beri saya kesempatan.”
Jack diam. Walau dia tahu alasan orang-orang itu bersikap demikian, dia tidak bisa berterus terang. "Mungkin karena kamu sangat cantik," jawab Jack sambil menunjukkan barisan giginya yang putih.Emma mendengus. "Kamu mulai lagi." Ia lalu turut tersenyum, "Tapi ini bagus. Artinya, jika aku diterima bekerja di sini, aku berada di lingkungan orang-orang yang sangat menghargai dan menghormati orang lain.""Itu benar. Sekarang, fokus saja pada wawancaramu, dan berhenti memikirkan hal lain.""Kamu benar. Aku harus fokus agar kesempatan berharga ini tidak terlewat begitu saja.""Pergilah, aku akan menunggu di sini." Jack duduk di kursi.Emma merapatkan bibir. "Apa kamu yakin akan menungguku di lobi? Um, aku belum tahu berapa lama waktu yang diperlukan untuk interview. Aku khawatir membuatmu menunggu terlalu lama." Dia duduk di samping Jack.Dengan santai Jack menjawab, "Tidak masalah. Aku bisa berkeliling jika bosan.""Tapi...""Jangan cemas. Aku sudah dewasa. Aku tidak akan tersesat."Sebu
Saat memasuki halaman gedung Redwave Group, Emma dibuat terpukau dengan kemegahan dan arsitektur bangunan itu. Sebelumnya ia hanya melihat dari luar, rupanya dari dalam area terlihat lebih bagus dari yang ia bayangkan. Ia turun dari skuter masih dengan tatapan terkesima, menyisir sekitar. Jack yang baru turun dengan sigap membantu melepas helm dari kepala Emma setelah melepas helmnya sendiri."Aku mendadak gugup." Emma memegang dadanya yang berdebar. Darahnya seperti mengalir lebih cepat, terpacu oleh detak jantung yang kian kencang."Bagus!"Kedua alis Emma turun, menoleh dengan lemas dan bertanya, "Apanya yang bagus?""Penampilanmu." Jack menjawab dengan semangat.Emma melipat bibirnya sambil menoleh ke arah lain, pipinya bersemu merah lantaran Jack tersenyum memujinya."Jangan menggodaku," ucapnya manja, "Aku serius, rasanya benar-benar gugup."Jack tertawa kecil, memandang Emma dalam-dalam. "Aku juga serius. Kamu benar-benar..." Ia menghentikan ucapannya.Emma menunggu dengan ti
"Kalian keterlaluan," desis Emma tak habis pikir. Napasnya menjadi pendek-pendek lantaran dadanya terasa sesak. Apa yang terlontar dari mulut Victor dan Elena seperti polusi yang mencemari sekitar."Aku hanya bercanda. Tolong jangan diambil hati." Victor memegang pundak Jack. Jack melirik ke arah tangan Victor yang lancang. Victor sempat membiarkan tangan itu tetap di sana beberapa saat. Tapi kemudahan tatapan tajam dan intens dari Jack, tanpa disertai sepatah kata pun, membuat hatinya ciut juga.Ketika Victor menarik tangannya kembali, dengan cepat Jack mengusap-usap bekas tangan Victor di pundaknya.'Kurang ajar! Dia kira tanganku ini tai?' Pelipis Victor berkedut. Meski Jack masih tidak mengatakan apapun, gesture yang ditunjukkan seperti menjelaskan bahwa tangan Victor telah mengotori pundak Jack.Lantas Victor mengangkat dagunya. Dengan kesombongan penuh dia menarik jasnya. "Hari ini adalah hari yang baik untukku. Aku akan menemui Tuan Filantropi di gedung Redwave Group untuk me
Jawaban Jack membuat Emma tertawa senang. Orang yang tiba-tiba muncul dan bersikap arogan memang tampak seperti orang yang sudah kehilangan akalnya. Senyum Jack menjadi lebih lebar mendengar tawa Emma yang renyah."Jack, bilang saja kalau kamu malu 'kan pada calon suamiku? Kami duduk manis di dalam mobil mewah, tidak kepanasan, tidak bau debu dan keringat, sedangkan kamu pergi kemana-mana masih dengan skuter rongsokmu. Menyedihkan!"Mata Emma terbuka lebar. Dia tidak menyangka. "Dia tahu namamu?""Jangankan nama, isi dompet tua Jack, bahkan seberapa usang celana dalamnya pun aku tahu. Haha!"Jack melempar tatapan tajam pada wanita yang ada di samping pengemudi mobil arogan. Sedangkan Emma menutup mulutnya dengan tangan mendengar ucapan si wanita yang sangat tidak pantas."Elena sayang, kamu membuat mantan suamimu marah lagi. Bagaimana jika nanti dia merajuk dan tidak mau datang di pesta pernikahan kita? Siapa yang akan membantu para pelayan untuk mengelap piring dan sendok? Dan siapa
Jack memejamkan mata. Ia menyiapkan diri seandainya Emma meluapkan kekecewaan dan kekesalan karena selama ini merasa dibohongi. Setidaknya di sana ada Laura yang bisa menjadi saksi bahwa sebenarnya semua bermula dari kesalahpahaman."Itu benar! Sekarang Jack sudah bekerja sebagai pelayan di The Groove Spot. Maksudku, sebelum menjadi pelayan, apa Jack memang suka berbagi apa saja pada orang lain?"Jack membuka dan mengerjapkan mata. Wajahnya tampak kaget, tapi juga lega mendengar ucapan Emma. Ia menahan senyumnya.Tapi tidak demikian dengan Laura. Ekspresi wajahnya semakin kesulitan. Kerutan di keningnya menjadi lebih banyak.Laura tidak mengerti mengapa seorang konglomerat seperti Tuan Hall harus menjadi pelayan di tempat karaoke. Dengan suara pelan dan ragu-ragu dia berkata, "Tapi..."Tidak ingin semuanya menjadi rumit, Jack segera menyela, "Nona Kills, um, aku rasa kami harus pergi sekarang. Ini pertama kalinya bagi Emma pergi ke gedung Redwave Group. Dia harus tiba di sana lebih aw
Jack memasukkan jari-jarinya ke sela-sela jari Emma. Adegan itu persis seperti saat mereka hendak memasuki The Foot Locker."Sudah aku katakan, aku yang akan membayarnya. Kamu jangan cemas."Emma menurut, melangkah mengikuti Jack sambil sesekali menghela napas panjang. Dia masih bingung dan khawatir, tapi genggaman tangan Jack cukup menenangkan hatinya.Jack membuat Emma duduk di kursi tunggu. "Sebentar ya, aku akan segera kembali." "Tolong jangan menyia-nyiakan uangmu. Masih belum terlambat untuk pergi sekarang. Jika kamu menjelaskan pada mereka baik-baik, aku rasa mereka akan mengerti. Itu mungkin sedikit menyebalkan, tapi, sepatu-sepatu itu masih utuh tanpa sedikitpun kerusakan. Mereka bisa menjualnya lagi kepada pengunjung lain."Ucapan panjang dari Emma dibalas Jack dengan singkat, "Aku mengerti."Jack pergi ke meja kasir sendiri. Dia tidak mau membuat Emma terkejut lantaran dia akan melakukan pembayaran menggunakan kartu hitam. Beberapa minggu lalu, personal asistennya mengirim