Jack tersenyum miring lagi. Dia sengaja menginjak jempol kaki Paul kuat-kuat. “Tenang Tuan Hogweed. Aku suka tawar menawar.”
Paul meringis. Biarpun berat badan Jack jauh di bawahnya, tetap saja pria itu berdiri bertumpu di atas satu jempol kakinya. Tapi dia tidak mungkin marah. Paul malah memegang kaki Jack, “Katakan Tuan, apa saja akan saya lakukan, asalkan anda tetap merahasiakan dosa-dosa saya dari Grace.”
Jack mengambil kakinya dari atas jempol Paul. “Mudah saja. Lakukan tiga hal untukku.”
Paul diam berpikir. Jika bukan karena istrinya, jangankan melakukan tiga hal untuk Jack, berlutut padanya seperti sekarang pun dia tidak sudi. Walaupun begitu, tidak mungkin juga dia menawar.
“Baik Tuan, dengan senang hati,” jawabnya menahan dongkol.
“Pertama, minta ampun padanya.” Jack menunjuk wanita yang bernama Laura Kills itu.
Paul menoleh pada Laura untuk memberikan tatapan tajam. Dalam hati dia menentang keras permintaan Jack. Harga dirinya terkoyak! Tapi lisannya mencoba bernegosiasi baik-baik, “Tuan, saya akan melakukan yang lainnya, tapi tidak dengan meminta maaf pada wanita jalang ini.”
“Saya akan merelakan uang penuh yang sudah saya bayarkan, dan itu sudah sangat cukup. Tidak perlu meminta maaf. Dia beruntung bertemu dengan anda, jika tidak dia pasti akan pulang dengan banyak luka memar.” Paul masih mengintimidasi Laura.
“Terserah padamu. Hanya saja Tuan, setiap pilihan ada konsekuensinya.” Jack membalas Paul dengan tatapan lebih mengintimidasi.
Paul menelan ludah. Bayang-bayang kemurkaan istrinya membuat Paul tidak punya pilihan. Terpaksa dia menjawab, “Baik, Tuan. Aku akan melakukannya.” Paul kalah. Giginya gemeretak. Dia sempat memukulkan tinju ke tanah sebelum berdiri.
“Siapa yang mengizinkanmu berdiri?” sergap Jack.
Paul tersentak. Sesaat tercermin dari ekspresi wajahnya, bahwa dia mengumpat dalam hati. Tentu Paul yang biasa dilayani, tidak terima diperlakukan seperti ini. Tapi, apa dia bisa melawan? Tidak sama sekali.
Laura menutup mulutnya dengan kedua tangan saat melihat Paul kembali menempelkan lututnya ke tanah, lalu bergerak mendekatinya.
Laura refleks mundur!
“Kurang ajar! Kenapa-”
Belum sampai Paul menuntaskan kekesalannya, Jack bertanya menohok, “Apa seperti itu etika meminta maaf, Tuan Lacton.”
Mata Paul terbelalak mendengar Jack melantangkan penyebutan nama marga yang seperti kutukan untuknya. Dia segera merevisi ucapannya pada Laura. “Nona Kills.” Paul mengambil jeda untuk menahan rasa mual.
Sementara itu, Laura tersenyum senang mendengar sapaan itu. Berulangkali berurusan dengan pria gila bernama Paul, itu kali pertama namanya disebut dengan bermartabat, dan ternyata namanya cukup pantas.
“Ya,” jawab Laura.
Paul mendongak untuk memberi Laura tatapan tajam. Seperti mengadu, Laura membalas dengan menatap Jack. Dan sebagai responsnya, Jack menendang punggung Paul.
Paul memaksa tersenyum dengan tulang rahang yang lebih menonjol, “Nona, aku menyesal, tolong maafkan aku.”
“Ya, Tuan Hogweed, saya maafkan.”
“Jangan!” Jack menyahut. Dia mendekati Laura. “Nona, pria ini sudah menyakitimu. Kamu tidak boleh memaafkannya dengan mudah. Sekurang-kurangnya, berikan tamparan keras di pipinya, pukulan di perutnya, atau bahkan tendangan di kemaluannya. Jangan takut. Tuan Hogweed tidak akan membalas, aku jamin. Benar ‘kan, Tuan?”
‘Sialan!’ kata Paul dalam diam. Dia tahu Jack tidak sedang bertanya, tapi sedang menyatakan permintaannya.
“Ini syarat kedua dariku, Tuan,” ucap Jack membenarkan prasangka Paul.
Laura masih ragu. “Tapi-”
“Tunggu apa lagi, Nona? Jangan berpikir lagi, lakukan saja.”
SLAP!
Laura menampar tanpa memberi aba-aba. Perlahan dia tersenyum, seperti mendapatkan kado berharga.
“Bagus!” Jack memuji sambil bertepuk tangan. Dia menyemangati, “Lebih keras, Nona!”
Laura mengangguk.
“Ow!” teriak Paul karena Laura menjambak kuat rambutnya. Dia menjadi semakin kesal karena Laura tertawa setelah melihatnya kesakitan.
“Teruskan, Nona! Pastikan kali ini kamu melakukannya dengan sekuat tenaga.” Jack terus memprovokasi.
Laura menurut seperti atlet yang mendengar arahan dari sang pelatih. Dia mengingat hal-hal buruk yang dilakukan Paul padanya. Ia mengepalkan tangan, menurunkan pandangan, menatap fokus pada satu titik, tepat di tengah.
Paul menggeleng, menyadari kali ini Laura mengincar area vitalnya. Namun, belum sampai mulutnya berkata apa-apa untuk mencegah, peristiwa naas terjadi sangat cepat. Raungan kesakitan dari Paul pun menyusul. Ia terpincang-pincang memegangi kemaluannya, sebelum ambruk di tanah.
“Dia tidak akan marah padaku ‘kan?” Laura memastikan keselamatannya.
“Tidak akan. Dia seorang penyabar. Dan lagi, setahuku Tuan Hogweed adalah pria sejati. Dia pasti akan memenuhi janjinya.”
Paul tidak berkomentar meski dalam batin dia memaki Jack dan mengeluarkan sumpah serapah untuk Laura. Yang dia lakukan hanya memegangi kemaluannya sambil berharap tidak ada masalah dengan itu.
“Baiklah, dua permintaan sudah terpenuhi. Sekarang, permintaan terakhir dariku adalah jangan pernah menemui Nona ini lagi, selamanya. Aku sudah mengirimkan rekaman ini padamu, tapi aku juga akan tetap menyimpannya. Sekali saja aku melihatmu mendatangi Nona ini, habislah riwayatmu.” Jack mengancam tanpa peduli pada rasa ngilu yang masih diderita Paul.
Tanpa menunggu Paul menyanggupi permintaan ketiganya, Jack menggandeng tangan Laura, mengajaknya mendekat ke skuternya.
Jack membuka kopernya. Dia berkata, “Pakailah ini, Nona. Meski tampak lusuh, ini masih cukup menghangatkan.”
Laura menerima dan mengenakan jaket hitam Jack. Meski kebesaran, dia merasa nyaman memakainya. Kemudian, dia duduk di jok belakang skuter, dibonceng Jack.
“Bagaimana dengan Tuan Hogweed?” Laura menoleh pada Paul yang terbaring di tanah, mengapitkan kedua kaki selagi tangannya masih memegang kemaluan.
“Biarkan dia menikmati tendangan perpisahan dari Nona.”
Laura tertawa kecil. “Baiklah kalau begitu.”
“Di mana rumahmu, Nona?” tanya Jack setelah mesin menyala.
“Paradise Roadway.”
Kening Jack berkerut. “Di mana itu?”
Wajah Laura tampak terkejut. Siapa sebenarnya pria yang telah menolongnya, hingga tak tahu Paradise Roadway. Setelah diam beberapa saat, Laura menjawab, “Tuan lurus saja, di persimpangan depan belok ke kiri. Terus mengikuti jalan. Aku tunjukkan nanti.”
“Baiklah.”
Skuter melaju, tanpa percakapan. Tapi, Laura mengangkat tangannya sambil melihat pinggang Jack. Angin malam membuat kaos putih pria itu terisi. Dengan ragu-ragu dia melingkarkan tangannya ke pinggang Jack.
Jack tersenyum, tanpa berkomentar atau sekadar menunduk sesaat untuk melihat tangan Laura yang berpegangan padanya. Dia hanya fokus menyetir.
Hingga sampai di Paradise Roadway, tidak ada percakapan antarkeduanya. Namun, seketika kedua alis Jack tertaut, “Ini …”
“Aku tinggal di sini, Tuan. Terima kasih sudah menolongku.”
Jack masih diam melihat suasana di sekitar tempat tinggal Laura. Ada banyak wanita dengan riasan tebal dan pakaian minim keluar masuk gedung bersama lelaki berbagai usia, tapi rerata adalah pria paruh baya.
Paradise Roadway adalah nama rumah bordil kelas dua di jalan Bogettin. Namun, karena tempat pelacuran ini lebih tenar, orang-orang mulai melupakan nama asli jalan tersebut. Terdapat berbagai aktivitas dunia malam di tempat hiburan itu, seperti diskotik, kasino, dan pasar gelap.
“Maaf Tuan, aku tidak bisa mengajak anda mampir untuk sekadar minum teh. Orang-orang di sini lebih suka minuman beralkohol.”
Jack menjadi kikuk dengan situasi itu. Ini kali pertama dia ke rumah bordil, sebelumnya kehidupan Jack hanya untuk kerja dan kerja, fokusnya hanyalah kebahagiaan Elena.
“Maaf ya, aku kira kamu tinggal di rumah bersama keluargamu.”
Laura tersenyum dengan mata berkaca-kaca. “Jika ini di desaku, pasti ibuku akan sangat berterima kasih padamu, bahkan memaksa Tuan untuk makan malam bersama.”
“Pasti itu menyenangkan.” Jack mengangguk-angguk. “Baiklah Nona, segera masuk dan beristirahat.”
Laura menghela napas. “Ini masih jam kerja. Tapi, aku akan membujuk bosku agar tidak mengizinkan pelanggan membawaku keluar. Terkadang mereka bertindak brutal di luar akal sehat.”
“Kalau begitu aku akan menyewamu.”
Jack berdiri di depan kontrakan Emma dengan membawa sebuket bunga mawar putih. Ini hari yang baik karena dia telah menuntaskan janjinya untuk mentraktir Lily dan Irene sekaligus. Meski itu bukan kopi dan hanya air mineral, tidak masalah, justru lebih sehat.Sekarang, paginya menjadi semakin cerah setelah melihat Emma membuka pintu dan menyapanya dengan senyum terindah. "Hai, um, ini bunga." Jack tersenyum juga, ada sedikit gugup yang menggelayuti hatinya.Kedua mata Emma membulat saat Jack menyerahkan buket mawar putih. Senyumnya menjadi lebih lebar. Tampak jelas bahwa dia terpukau dengan keindahan rangkaian bunga itu, putih bersih."Nanek pasti akan sangat senang melihat ini. Manis sekali!" Emma mencubit lembut pipi Jack.Jelas Jack senang, tapi raut mukanya berubah. "Nenek?" Sebelah alisnya menjadi lebih tinggi."Ya, bunga ini... untuk Nenek 'kan?"Jack menunduk sejenak sambil tersenyum. Dia mengelus lehernya. "Ya, tentu saja."Jack tidak menyangkal Emma biarpun dia membeli bunga i
Kali ini rahang Lily benar-benar jatuh ke lantai. "Maksudmu, Tuan Tampan menyamar menjadi pesuruh yang mengantarkan pesanan, membawa nampan, berpakaian hitam putih dengan dasi kupu-kupu? Menjadi orang yang mau diperintah ini itu?""Itu belum seberapa sampai kamu tahu bahwa saat itu Emma datang bersama pacarnya untuk merayakan ulang tahun temannya.""Hah?!" Lily terbelalak. Dia terdiam, kesulitan untuk mengucapkan kata-kata.Irene menghela napas. "Kecil kemungkinan bagi kita untuk masuk ke hati Jack. Aku tidak tahu, apa yang membuat Emma menjadi sangat istimewa untuknya." Dia mengangkat kedua tangan.Dua wanita yang tadi saling berteriak, kini mendadak akur. Mereka berbicara dari hati ke hati, mengisahkan awal mula pertemuan mereka dengan Jack. Sekarang, keduanya memikul rasa yang sama, patah hati."Tapi, menurut cerita yang kamu sampaikan, artinya mereka belum berpacaran 'kan?" tanya Lily berharap.Irene membuka botol air mineral. Dia meneguknya. "Jika kamu bertemu dengan Emma, sungguh
Ruangan itu menjadi hening sesaat. Lily tersenyum puas karena Irene terpancing provokasinya. Kecanggungan jelas menyelimuti hati Irene karena sudah keceplosan atas isi hatinya. Terlebih, yang dia lihat dari reaksi Jack hanyalah sempat terkejut beberapa saat, sesudahnya tidak terlihat raut senang. Dia khawatir Jack tidak berkenan dengan apa yang dia lakukan, sehingga tidak sudi lagi mengenalnya.Sebetulnya Jack memang terkejut. Tapi, satu-satunya hal yang mengejutkan Jack adalah fakta bahwa itu merupakan pertemuan keduanya dengan Irene. Dia sekarang mengerti, dua wanita yang saling berteriak di sampingnya memiliki satu kesamaan, sama-sama mudah jatuh cinta."Maaf, Jack. Aku tidak bermaksud... um, ini terjadi begitu saja," lirih Irene, tidak ingin suasana kikuk itu terus berlangsung.Tanpa diduga, Jack menyunggingkan senyum. Dia memegang tangan Irene. Hal itu tentu membuat Lily tidak bisa menahan rahangnya untuk tidak jatuh.Pipi Irene merona. Terbesit di benaknya bahwa Jack juga memil
Lily tersentak. Dia mendadak was-was. Sungguh, ucapan pedas Irene seperti sambaran petir yang menghantamnya. Pasalnya, dia sudah bersikap ramah dan cukup manis, tetapi Irene malah membalas dengan lancang!Dalam keadaan kesal itu, Lily melirik ke arah Jack untuk melihat reaksinya. Dia tentu mencemaskan penilaian Jack terhadap dirinya, setelah Irene mengumbar citra buruknya tanpa filter sama sekali.Lily tidak mau skandal masa lalunya membuat Jack enggan untuk dekat dengannya. Sebelum ini, tanpa kabar miring saja, dia kesulitan untuk meluluhkan hati Jack. Lily bisa bernapas normal karena Jack tidak menunjukkan perubahan mimik yang berarti. Sepertinya Jack tidak terpengaruh.Meski demikian, Lily sudah terlanjur kesal pada Irene. Dengan raut wajah dan nada bicara lebih dingin dan tegas, Lily menyangkal, "Itu hanya rumor. Bukan rahasia lagi jika seseorang yang penting dan berpengaruh, public figur, artis, ataupun orang terkenal menjadi target utama infotainment dan berita-berita gosip. Me
“Apa dia pacarmu juga? Bagus! Itu artinya kamu suka wanita!” Lily bertepuk tangan.Jack bergeming, menatap Lily dengan espresi wajah datar. Dia tidak berkomentar, tetapi sebuah napas panjang yang lepas dari mulutnya cukup mewakili perasaannya.“Apa aku boleh membukakan pintu sekarang?” Lily mengerjap-ngerjapkan matanya.Jack mengulurkan tangannya ke arah pintu dengan senyum pasrah, masih tanpa mengatakan apa-apa.Karena Jack sudah mempersilakan, Lily pun membuka pintu dengan semangat penuh.“Selamat datang!” serunya menyapa tamu Jack dengan wajah berseri.Ternyata, tamu yang datang mengunjungi apartemen Jack adalah manajer The Groove Spot, Irene Walker. Sebenarnya hari ini belum waktunya libur, tetapi dia sengaja meninggalkan tempat karaoke itu sejenak terkhusus untuk menemui Jack.Selain karena mobil super mewah Jack masih berada di tempat parkir The Groove Spot, Irene juga sudah tidak kuat lagi menahan rasa rindu. Terlebih pesan yang dia kirim beberapa hari lalu kepada Jack tidak di
Dada Jack menjadi sesak mengingat kelancangan wanita yang berdiri di depan pintunya. Dia sampai refleks menutup bibirnya sendiri. Meski begitu, sekarang Jack tersenyum sambil menggelengkan kepala.Bisa-bisanya wanita itu datang saat aku baru saja memikirkannya!Jack menghela napas panjang. Itu flat apartemennya, tidak ada yang perlu dia cemaskan. Lagipula, ini malah lebih efisien. Dia bisa mentraktir wanita gila itu minum di rumahnya saja."Hei Tuan Tampan, sampai kapan kamu akan membiarkan pacarmu ini menunggu? Buka pintunya, lalu kita ke tempat fitness bersama, oke?!"Jack mengernyitkan dahi mendengar celoteh Lily Harvey. Sejak kapan mereka berpacaran? Jack tahu, waktu itu dengan seenaknya Lily mengangkat diri sendiri menjadi pacar barunya. Tapi Jack tidak mengira jika Lily akan melakukannya lagi sekarang.Apa dia benar-benar berpikir bahwa mereka telah berpacaran? Astaga!Seolah mendengar kata batin Jack, dari luar Lily menyahut, "Sejak kita resmi berpacaran, belum sekali pun kita