Share

5 - Perusahaan Galih?

'Om Galih berusaha menggodaku? Apa tadi katanya? Dia belum makan malam hanya karena menungguku? Menakjubkan. Jantungku bahkan melompat dari sarangnya karena ucapan itu' batin Bening.

Galih mengibaskan telapak tangannya di depan Bening, "Melamun? Ayo, bergeraklah! Aku sudah lapar."

Bening tergagap, "Em, kita makan di bawah saja, Om." Wanita itu mana mungkin memasukkan Galih ke dalam kamarnya. Yang ada dia tidak bisa fokus makan.

"Di dalam saja. Kejauhan kalau harus turun lagi." Galih membuka pintu kamar Bening lebih dulu, memastikan bahwa Bening bisa masuk dengan aman. Lalu dia menutup pintu tersebut. Pria itu lebih dulu melangkah ke arah balkon setelah membawa nampan tersebut, meskipun Bening bisa membawanya dengan mudah.

Galih menaruh nampan tersebut ke atas meja, lalu memperbaiki kursi agar posisinya nyaman. "Duduklah!"

Bening menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia duduk dengan kikuk. Melihat Galih yang tergoda dengan penampakan makanan di depannya membuat pria itu menelan ludah.

"Om makan saja dulu," ucap Bening sembari mendorong nampan tersebut lebih dekat pada Galih.

"Kamu suka nggak kalau aku minta suapin?" tanya Galih dengan ekspresi tanpa dosa.

"Suapin?"

"Iya. Tenang. Aku nggak punya penyakit menular," lanjut Galih tanpa beban.

Bening bukan mempermasalahkan hal itu, tapi mereka akan berbagi sendok dan gelas. Apa itu artinya mereka secara tidak langsung berciuman? Bening pernah melakukannya dengan Genta, tapi hanya sesekali, itupun kecupan singkat. Tapi bukannya berbagi alat makan juga bisa diartikan kecupan singkat?

"Aku ambilkan sendok lagi ya, Om?" tanya Bening. Dia sudah berdiri tapi Galih menahannya.

"Makan satu sendok saja. Kenapa? Malu? Jijik?"

"Bukan begitu, Om."

"Sudahlah. Kalau kita berdebat terus gimana caranya makanan itu masuk ke dalam perut?" goda Galih. Dia mengambil piring tersebut dan menyendok nasi. Suapan pertama ditujukan pada Bening. Memang butuh waktu beberapa menit untuk Bening menerima suapannya. Detik berikutnya terjadi dengan sangat mudah seperti memang sudah seharusnya suami istri berbagi suapan.

Diam-diam Bening berusaha menyembunyikan detak jantungnya yang menggila jika tidak ingin malu.

"Terimakasih atas makanannya. Sebagai ucapan terimakasih, aku saja yang mencuci piring," ucap Galih yang dengan gerakan cepat berhasil membawa benda-benda itu. "Aku senang kita akhirnya bisa lebih dekat selangkah, Bening. Sapaan kita juga terdengar santai. Aku menyukainya. Terimakasih sudah mau membuka diri."

Bening tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya berkedip-kedip persis seperti orang bodoh. Hingga Galih menghilang, dia masih diam. Secara tidak sadar, dia menahan napas. Secepat itukah dia menghilangkan Genta dalam hatinya? Dia juga tidak sadar telah menggunakan bahasa yang lebih santai untuk bicara dengan Paman mantan kekasihnya itu.

°°°

Cahaya matahari selalu bersinar lebih dulu sebelum si pemilik mata itu membuka mata. Bening mengucek matanya, melempar selimut dengan serampangan. Dia membuka mata, tapi tidak ingin bangun begitu saja. Dia ingin berselancar di dunia maya berbagi keluh kesal pada semua orang yang mengenal dirinya karena hari ini hari pertama dia beralih tempat kerja.

Butuh waktu beberapa menit untuk Bening menekatkan hatinya untuk bangkit dan mandi. Dia sudah siap dengan semua perlengkapan kerjanya dalam tiga puluh menit, kemudian keluar kamar.

"Astaga, Om, kenapa berdiri di sini?" keluh Bening ketika melihat Galih berdiri di depan pintu kamarnya. Untuk apa pria itu menunggunya keluar kamar? Seperti penguntit saja.

"Menunggu kamu," ucap Galih singkat.

Benar kan? Bening saja tahu apa yang dipikirkan Galih.

"Aku bisa keluar sendiri, Om. Kenapa harus ditunggu? Bukannya lelah kalau harus berdiri dri tadi?" tandas Bening.

"Siapa bilang aku lelah? Aku mendengar kamu berjalan ke arah pintu dan aku langsung keluar. Momennya pas kan?"

Bening menghendikkan bahunya, "Terserahlah!"

Bening mendahului Galih untuk turun ke lantai dasar. Dia mendatangi meja makan dan duduk di tempat biasanya dia duduk. Sebelum dia menuang nasi ke atas piringnya sendiri, Galih menghentikannya.

"Suami dulu yang pertama, baru istri, Bening. Ayo, biasakan makan begitu! Kita satu keluarga, kamu harus banyak belajar," koreksi Galih.

Bening merasa tertohok. Dia menoleh pada Bik Sani yang memperhatikan mereka dari jauh. Bik Sani tampaknya geli melihat Bening ditegur. Bening merengut masam, dia menarik piring Galih, menuang nasi dan bertanya apa yang diinginkan Galih.

"Kalau kamu tanya padaku apa yang aku inginkan, sudah pasti aku akan menjawab kamu," tukas Galih, jawaban yang nyeleneh.

"Om," keluh Bening.

"Baiklah, baiklah. Aku ingin menu komplit," ucap Galih.

Bening menuang semua makanan ke atas piring Galih, lalu menuang ke atas piringnya sendiri. Selebihnya mereka makan dengan tenang. Galih yang sejak semalam tidak bisa tidur karena memikirkan hari ini akhirnya berubah senang setelah tahu matahari terbit. Dia bahkan tidak sabar untuk membuat Bening berada di dekatnya seharian.

Galih sudah menawarkan tumpangan tapi Bening menolak. Pria itu tidak ingin memaksa. Mereka akhirnya mengambil jalan sendiri-sendiri untuk pergi ke kantor. Meskipun pada akhirnya mereka akan bertemu di gedung yang sama.

Galih memasang senyum tipis ketika dia menapaki lantai pertama. Dilihatnya dari ekor matanya, Bening kesusahan membawa barang-barangnya. Galih menahan diri untuk tidak membantu Bening karena wanita itu belum tahu apa-apa. Dia masuk ke dalam lift, bergegas ke ruangannya sembari menunggu Bening sampai.

Sementara Bening masih sibuk bertanya pada bagian informasi dimana ruangan atasannya. Ketika nama Galih disebut oleh wanita berambut rapi itu, dahi Bening mengerut.

'Om Galih? Galih suamiku? Pamannya Genta? Benarkah?' batin Bening bingung. Dia hampir tidak bisa menapaki lantai dengan benar. Kenapa bisa kebetulan? Kenapa juga Galih tidak bicara padanya? Mungkinkah ada campur tangan Junar di dalam pergantian pegawai yang tiba-tiba itu?

Bening meletakkan barang-barangnya di meja yang bertuliskan meja sekretaris. Lalu berjalan kembali menuju pintu yang memiliki papan nama direktur utama di sana. Wanita itu menghela napas sebelum mengetuk pintu.

"Masuk!"

'Suara Om Galih'

Bening membuka pintu. Seseorang yang sudah dia curigai duduk di belakang meja, menyunggingkan senyum tipis begitu melihat wajah Bening. "Kenapa Om nggak bicara padaku?"

"Aku sudah mau bicara semalam tapi kamu menolak mendengar," ucap Galih enteng. Dia berdiri menghampiri Bening, "tugas-tugas kamu ada di meja. Aku berikan waktu satu hari untuk menghapal sedikit aturan tentang pekerjaan kamu. Selama di kantor, kita bukan suami istri, Bening. Jadi aku nggak akan menolerir setiap kesalahan yang kamu buat."

"Bukan ini yang ingin aku bicarakan, Om," sela Bening.

"Satu lagi, aku juga nggak mau membicarakan masalah pribadi di kantor."

"Bukan masalah pribadi, Om, maksud saya, Pak Galih. Ini masalah pekerjaan. Kenapa saya tiba-tiba dipindahkan ke perusahaan ini disaat saya sedang berjuang untuk karir saya? Apa ini semacam nepotisme? Apa bapak dan Pak Junar sedang mempermainkan saya?"

"Karena saya ingin melihat kamu setiap hari, setiap detik dan setiap jam. Tenang saja. Selama di sini kamu bebas belajar bagaimana menjadi sekretaris direktur. Kalau kamu merasa ini tidak adil, kenapa kamu tidak menyalahkan diri kamu sendiri yang selalu mendapat masalah di perusahaan Junar? Belajar bukan hanya di bangku perkuliahan tapi justru setelah keluar dari universitas kamu lebih banyak menggunakan kinerja otak kamu. Atau kamu tidak yakin dengan kecerdasan kamu? Kalau kamu tidak bisa menerima tantangan ini, kamu boleh pergi!"

°°°

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status