Share

4 - Makan Malam Bersama Ya?

Junar tidak bisa berhenti tertawa melihat ekspresi Galih yang menahan malu. Bagaimana tidak? Tampang Bening tidak bisa berbohong mengenai hubungan mereka. Kalau Junar percaya ucapan Bening, itu sama saja dia yang bodoh.

Galih mendesis, "Sialan! Puas menertawakanku?"

Junar menghapus setitik air mata karena tawanya yang tidak berujung itu dengan ujung jari, lalu dia mengatupkan dua telapak tangannya dalam satu tangkupan. "Puas sekali. Bagaimana kamu bisa menikahi wanita yang tujuh tahun di bawah kamu? Atau jangan-jangan kamu main dukun? Kelihatan sekali kalau dia nggak suka sama kamu."

Galih mendaratkan punggungnya pada sofa, "Ya, kamu benar. Bening memang nggak suka padaku karena usiaku ini. Selain itu, kami juga nggak punya ikatan sebelumnya. Wajar kalau dia memanggilku Om."

Junar menyesal kopinya setelah sebelumnya menghirup aromanya yang menenangkan. Di meletakkan kembali cangkir tehnya, lalu berkata, "Kamu memaksanya?"

"Bukan begitu. Aku hanya memberikan pilihan dan dia menerima. Seperti yang kamu tahu, usia wanita yang sudah menginjak dua puluh lima tahun menjadi usia yang terlalu matang. Dia selalu ditekan keluarganya untuk menikah sementara kekasihnya nggak kunjung memberikan kejelasan. Jadi ... aku yang mengambil alih."

"Mengambil alih? Seperti bisnis saja," gurau Junar. Dia mulai memahami situasi, "lalu, apa yang kamu inginkan dariku? Kamu datang ke sini bukan karena kamu merindukanku kan? Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan? Apa itu? Apa ini mengenai Bening?" tebak Junar. Dilihat dari manik mata Galih yang bergerak, dia sudah tahu tujuan sebenarnya Galih.

"Jangan memberikan dia kesulitan! Atau kalau kamu berminat, bagaimana kalau kita saling mentransfer pegawai? Semacam barter?" tawar Galih.

Junar menaikkan satu alisnya, "Maksudnya? Bening mau kamu tempatkan di perusahaan kamu?"

"Begitulah."

"Kenapa kamu nggak minta dia langsung?"

"Kalau dia mau, sudah kulakukan dari kemarin."

"Em, jadi dia menolak?" goda Junar. Dia menyeringai lebar, "boleh. Asal kirimkan pegawai yang paling kompeten yang kamu punya. Seperti ... Michelle?"

Mata Galih melebar. "Michelle?"

"Hm. Michelle. Sekretaris pribadi kamu. Gimana?"

"Oh, God. Kamu menipuku!"

Junar kembali menyesap kopinya, "Menipu? Tidak, ini barter yang adil. Kamu dapatkan istrimu dan aku dapatkan sekretaris pribadi kamu. Ya, itung-itung aku tahu apa yang akan kamu lakukan untuk proyek besar yang mungkin saja bisa aku dapatkan."

"Sialan!"

"Deal?"

Galih berpikir sejenak. Dia merasa buruk kalau harus memberikan Michelle. Sejujurnya dia ingin menawarkan gaji tinggi pada Rudi, sekretaris manager keuangan jika mau beralih ke perusahaan Junar. Tapi yang diminta Junar justru Michelle, sekretaris yang sudah lama bekerja untuknya. Tidak masalah. Dia bisa memberikan penawaran yang sama dan hanya kontrak kerja satu tahun.

Galih bisa membuat Bening jatuh cinta sebelum pertukaran itu selesai. Ya, ide Junar tidak buruk. Dia bertekad untuk mendapatkan hati Bening.

"Deal. Tapi jangan ambil keuntungan yang lebih. Ingat, perusahaan kita memahami betul arti sportivitas. Jangan ada main belakang! Satu lagi syarat, aku akan mengambil kembali Michelle karena pertukaran ini hanya sementara," jelas Galih.

Meskipun Galih seenak jidatnya melakukan penawaran, tapi Junar tidak peduli. Dia bisa membuat Michelle tetap berada di pihaknya karena sekretaris yang dia miliki sekarang tidak sekompeten Michelle. "Oke, nggak masalah. Jadi kita deal?"

"Deal."

°°°

"Saya dipecat, Pak? Kenapa? Karena saya istri teman lama bapak? Saya justru tidak mau ada nepotisme, Pak. Suami saya juga memaksa saya untuk mau naik jabatan tapi saya tidak mau. Tolong pikirkan lagi, Pak!" pinta Bening. Dia susah payah bertahun-tahun bertahan di bawah tekanan pekerjaan yang tidak main-main, tapi kalau tiba-tiba dia dipaksa untuk pergi, hatinya akan sakit sekali.

'Semua ini salah Om Galih' batin Bening geram.

Junar mencopot kacamatanya, sedikit menekan area hidungnya yang gatal, "Siapa yang memecat kamu? Kami sudah merencanakan pertukaran pegawai sejak lama dan kebetulan kandidat yang terpilih itu kamu. Bukannya saya sudah bilang tadi kalau kamu cukup kompeten? Jadi, apa salahnya?"

Apa salahnya? Tentu saja salah. Bening harus memulai adaptasi lagi di tempat baru, harus menjajaki orang-orang yang entah akan menerimanya dengan baik atau tidak. Benar-benar menyebalkan. Rasanya wanita itu ingin mencubit lengan Junar karena kesal dengan keputusan sepihak.

"Tapi, Pak, bapak harusnya bicara dulu sama saya kan? Lagi pula memang ada pertukaran pegawai? Setahu saya yang bisa ditukar itu mahasiswa, misal ke luar negeri. Kenapa saya baru dengar?"

"Itu masalah kamu baru dengar atau tidak. Yang jelas, keputusan sudah bulat. Kamu jangan khawatir, perusahaan tempat kamu pindah bukan perusahaan sembarangan. Posisi kamu juga lumayan tinggi. Kamu tidak perlu minder atau apa. Lakukan saja yang terbaik," kata Junar dengan santainya.

Bening menghela napas berat. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia keluar dari ruangan itu untuk bersiap merapikan barang-barangnya.

°°°

Pulangnya, Bening tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Bik Sani menyapanya tapi respon Bening tidak sesantai biasanya.

Bening langsung masuk kamar dan terduduk lesu di sisi ranjang. Semua barang-barangnya masih berada di dalam mobil, dia enggan untuk membawanya masuk. Lagi pula besok barang-barang itu juga harus dia bawa lagi.

"Kalau sampai tempatnya kurang memuaskan, lebih baik resign saja," gumam Bening.

Tok tok tok!

"Resign?" Sapaan Galih terdengar dari balik pintu. Pria itu bisa melihat wajah kusut Bening dari sana. Dia mengetuk lagi karena Bening tidak juga menjawab. "Boleh masuk?"

"Masuk saja, Om," tukas Bening.

Galih membuka pintu lebar lebar, lalu dia masuk. Melihat Bening yang menatap kosong ke arah meja riasnya, pasti Junar sudah memberitahukan masalah perpindahan pegawai itu. "Kenapa? Mau resign?"

Galih berdiri lumayan jauh dari Bening, mengedarkan pandangannya ke segala arah. Tapi seringkali dia melirik Bening untuk mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya.

"Bukan, Om. Ceritanya panjang. Aku malas menjelaskan," gumam Bening.

"Aku mau bicara sesuatu kalau..,"

"Maaf ya, Om. Lain kali saja kalau mau bicara. Aku benar-benar malas bicara."

Galih mengangkat bahu, "Baiklah. Kita bicara besok saja. Mau makan malam apa? Oke, nggak usah dijawab. Muka kamu menyeramkan. Aku ke kamar dulu." Pria itu takut kalau melihat tampang Bening yang mendelik padanya. Dia keluar dan melanjutkan apa yang dia lakukan sebelum Bening datang tadi.

°°°

"Lapar lagi," gumam Bening. Dia keluar kamar setelah pukul sembilan malam karena perutnya berbunyi. Dia menolak makan malam tadi karena malas beranjak dari kamarnya yang nyaman.

Wanita itu turun ke bawah, membuka kulkas dan menghangatkan sisa makan malam tadi. Setelah siap, dia membawanya naik ke kamarnya. Bening hampir melompat dari tempatnya ketika melihat Galih ada di depan pintu kamarnya. "Astaga, Om, bicara dong kalau berdiri di sana."

"Kan kamu belum sampai di atas. Nanti malah kamu jatuh," ucap Galih. Dia melihat nampan dengan menu lengkap itu, "lapar?"

"Iya."

"Makan malam bersama ya? Aku juga belum makan tadi menunggu kamu."

Oh, Tuhan! Bening mengerjap dengan bodohnya.

°°°

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status