Share

7 - Emang Om Anak Kecil?

"Ini nggak seperti yang bapak, eh, maksudnya Om pikirkan," ucap Bening salah tingkah.

Dahi Genta mengerut, dia berpikir bahwa hubungan Bening dan Galih tidak semulus yang dia bayangkan. Pria itu tidak ingin minta maaf pada Galih karena apa yang dia lakukan bukan suatu kejahatan. "Senang bertemu kalian lagi di tempat ini."

"Gimana kabar kamu, Genta?" tanya Galih. Basa-basi kah?

Genta menyeringai, "Baik. Sangat baik. Makanya aku datang ke tempat ini untuk mengenang masa lalu, Om Galih."

"Masa lalu?"

Genta melirik Bening, "Ternyata kamu masih suka datang ke tempat ini? Kupikir kamu akan menghindari tempat favorit kita, Bening."

Bening bungkam. Ada rasa asing yang menyelusup dalam hatinya. Rasa tidak ingin mengatakan sesuatu. Dia takut jika Galih berpikir yang bukan-bukan. Alasannya datang ke sana bukan karena dia ingin mengenang masa lalu, tapi dia memang ingin batagor. Apakah alasannya akan tepat?

Galih berdehem selagi melihat kediaman Bening. Dia kemudian mengapit lengan Bening, membawanya mendekat. "Om yang membawanya ke sini karena Om lihat antriannya panjang pasti makanannya enak. Kamu jangan salah sangka pada Bening. Anggap saja pertemuan kali ini hanya kebetulan. Benar begitu, Bening?"

"Benar, Om," jawab Bening seketika.

"Karena masih banyak yang harus kami lakukan, kami permisi dulu, Genta. Nikmati makan siang kamu," ucap Galih. Dia sudah hampir melangkah ketika Genta membalas ucapannya.

"Om nggak malu merebut calon istriku?"

"Calon istri?" tanya Galih santai. Dia meminta Bening untuk masuk ke dalam mobil lebih dulu. Dia perlu bicara pada Genta. Melihat Bening yang tidak segera mengikuti arahannya, pria itu memaksanya untuk segera masuk dan kembali ke hadapan Genta. "Calon istri mana yang kamu sebutkan tadi? Bening? Kamu sudah melamarnya? Sudah punya komitmen untuk menikah? Kalau memang benar, kamu pantas menyebut Bening calon istri kamu."

"Aku dan Bening dalam proses ke arah sana kalau Om ingin tahu. Hanya saja prosesnya masih panjang dan berliku. Kenapa Om nggak cari wanita lain? Kenapa harus kekasih yang bertahun-tahun menjalin hubungan dengan keponakan om sendiri? Nggak malu, Om? Om bukannya harus introspeksi diri kalau tindakan Om benar-benar kelewatan?"

Tempat yang mereka pijaki bukan tempat yang pas untuk membicarakan masalah siapa merebut siapa. Galih tidak peduli, Genta apalagi. Mereka merasa perlu mengkonfirmasi apa yang ada di benak mereka.

Galih tertawa kecil, "Proses yang sangat panjang dan penuh lika-liku? Kenapa kamu nggak mencari wanita yang mau menunggu kamu selama mungkin? Genta, Genta, kamu ini terlalu banyak berpikir. Soal kekayaan bisa dicari bersama. Alasan apa yang kamu berikan pada Bening? Merintis bisnis? Bukannya kamu takut pada orangtua kamu? Mereka lebih suka kamu nggak menikah dari pada harus menghabiskan banyak uang untuk biaya pernikahan. Kamu yang perlu introspeksi diri bukan Om. Paham? Kalau Om sampai lihat kamu dekati Bening lagi, Om akan melakukan sesuatu yang akan kamu sesali."

Galih berbalik pergi, namun ...

Bugh!

Pukulan itu datang dari arah belakang. Genta mencoba memberikan pelajaran pada pamannya bahwa di bukan pria yang seperti itu.

"Eh, kok berantem? Stop!" teriak seorang wanita paruh baya yang sedang mengantri.

"Lerai dong!"

"Aneh-aneh saja. Siang-siang begini berkelahi."

"Bantu mereka, Mas! Kamu dan kamu, Mas, tolong!" perintah si pemilik gerobak. Dia sampai tidak bisa memotong batagornya dan memilih melerai mereka. Suasana lebih ricuh dari seharusnya. Genta dan Galih tidak ada yang mau mengalah. Sampai akhirnya Bening keluar dari mobil dan merentangkan tangannya tepat di tengah-tengah mereka. Wanita itu memasang wajah cemas, apalagi kondisi keduanya tidak jauh berbeda.

Kedua pria itu berhenti. Mereka melepaskan diri setelah ditarik masing-masing kubu. Bening melihat Genta yang sedang menyeka sudut bibirnya dengan perasaan kalut. Dia ingin sekali menolong Genta, membela pria itu namun dia sadar bahwa dia tidak bisa melakukannya.

Galih serta merta menarik Bening untuk menjauh. Mereka masuk ke dalam mobil. Galih melajukan kendaraannya dengan kecepatan agak tinggi, berharap Bening akan mengucapkan sesuatu. Namun, wanita itu hanya diam sembari melihat ke luar jendela.

"Kamu nggak mau mengatakan sesuatu?"

Bening menoleh, "Mengatakan apa?"

"Soal pemukulan misalnya."

"Om nggak apa-apa?"

"Menurutmu?"

Bening melirik Galih takut-takut. Dia meneliti setiap jengkal sisi kiri wajah Galih yang bisa dia lihat. Ada noda membiru di sana dengan sudut bibir yang memerah. "Om berdarah."

"Kamu baru sadar?"

"Maunya Om aku harus gimana?"

Galih ingin protes, namun dia menutup mulutnya. Dia tidak ingin bicara apapun lagi sebelum Bening menyadari apa yang harus dia lakukan pada suaminya.

Perjalanan yang tidak terlalu lama berubah lambat dari seharusnya. Galih berhenti di depan gedung perkantoran miliknya, meminta satpam untuk memarkirkannya sementara dia berjalan ke dalam tanpa menghiraukan Bening.

Bening menyusul dengan kesusahan. Langkah Galih yang tergesa-gesa membuat dia kehilangan kesempatan untuk masuk ke dalam lift bersama suaminya. Dia sempat melihat Galih membuang muka sebelum lift menutup sempurna.

Bening menghela napas lelah. "Aku salah apa?"

°°°

"Pak Galih, bukannya ada rapat?" tanya Bening ketika dia masuk ke dalam ruangan yang atmosfernya sudah tidak mengenakkan. Dia berpura-pura bahwa tidak ada masalah di antara mereka. Biar bagaimanapun mereka sudah berjanji akan bersikap profesional.

Galih menjawab dengan nada tajam menyindir, "Rapat? Em, rapat itu. Saya sudah cancel. Kamu bisa kembali ke meja kamu, kerjakan apa yang belum selesai. Untuk beberapa jam ke depan saya tidak ingin diganggu." Tatapan pria itu tertuju pada layar ponselnya yang diletakan di atas meja, mungkin pemandangan di sana lebih menarik dari pada harus melihat Bening.

Bening menghela napas frustasi. Apa salahnya? "Bapak marah pada saya soal tadi?"

Galih mendongak, jelas sekali tatapan pria itu sangat tidak bersahabat. "Menurut kamu, saya tidak profesional?"

Bening mengangguk pelan.

"Kamu pikir saya bisa menemui bawahan saya dengan muka begini?"

Bening menelisik lebih teliti kembali. Ternyata bagian kanan wajah Galih lebih parah dari yang dia lihat sebelumnya. Mendadak hatinya merasa rancu. Apakah dia perlu memperhatikan Galih? Apakah dia harus menanyakan apa yang sedang dirasakan suaminya? Tapi Bening tidak ingin hubungan mereka menjadi lebih dekat dari seharusnya.

Memang awalnya dia ingin begitu, tapi melihat Genta yang masih mengharapkannya, hatinya berubah haluan. Dia masih mencintai Genta meskipun pria itu menolak menikahinya.

"Saya rasa anda benar. Tunggu sebentar, Pak, saya ambilkan obat dulu," ucap Bening akhirnya. Tidak masalah basa-basi agar perlakuan Galih lebih baik padanya.

"Tidak perlu. Pergilah! Saya ingin sendiri karena masih banyak tugas yang perlu saya selesaikan," tolak Galih. Dia kembali sibuk dengan hal-hal yang tidak dimengerti Bening.

Bening merengut masam. Dia memantapkan hatinya untuk pergi dari sana. Galih tidak membutuhkannya.

°°°

"Apa dia nggak peka kalau aku ingin dibujuk? Kenapa malah pergi? Seenggaknya memaksaku bukan hal yang buruk. Apa aku keterlaluan?" gumam Galih bingung. Wajar kalau dia cemburu. Kenapa dia harus menyalahkan dirinya?

°°°

Malam harinya, tidak ada yang berubah dari sikap Galih. Justru pria itu semakin tidak banyak bicara ketika dia berhadapan dengan Bening di meja makan. Persis orang asing yang tidak punya ikatan apapun. Hingga tengah malam, tiba-tiba pintu kamar Galih diketuk seseorang. Galih beringsut turun dari tempat tidur dan membuka pintu.

Muka kusut Bening ditambah dengan mata membengkak membuat Galih kebingungan.

"Bening? Ada apa?"

"Masih tanya padaku, Om? Bukannya Om biang dari masalah ini? Apa salahku sampai Om begini? Aku sudah tanya baik-baik apa Om mau diobati atau nggak, tapi Om menolak. Lalu aku harus apa? Memaksa? Membujuk begitu? Emang Om anak kecil?"

°°°

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sri Haryani
hapus aplikasi
goodnovel comment avatar
Sri Haryani
kecewa aja mau baca kelanjutan ceritanya harus berbayar ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status