"Ini nggak seperti yang bapak, eh, maksudnya Om pikirkan," ucap Bening salah tingkah.
Dahi Genta mengerut, dia berpikir bahwa hubungan Bening dan Galih tidak semulus yang dia bayangkan. Pria itu tidak ingin minta maaf pada Galih karena apa yang dia lakukan bukan suatu kejahatan. "Senang bertemu kalian lagi di tempat ini.""Gimana kabar kamu, Genta?" tanya Galih. Basa-basi kah?Genta menyeringai, "Baik. Sangat baik. Makanya aku datang ke tempat ini untuk mengenang masa lalu, Om Galih.""Masa lalu?"Genta melirik Bening, "Ternyata kamu masih suka datang ke tempat ini? Kupikir kamu akan menghindari tempat favorit kita, Bening."Bening bungkam. Ada rasa asing yang menyelusup dalam hatinya. Rasa tidak ingin mengatakan sesuatu. Dia takut jika Galih berpikir yang bukan-bukan. Alasannya datang ke sana bukan karena dia ingin mengenang masa lalu, tapi dia memang ingin batagor. Apakah alasannya akan tepat?Galih berdehem selagi melihat kediaman Bening. Dia kemudian mengapit lengan Bening, membawanya mendekat. "Om yang membawanya ke sini karena Om lihat antriannya panjang pasti makanannya enak. Kamu jangan salah sangka pada Bening. Anggap saja pertemuan kali ini hanya kebetulan. Benar begitu, Bening?""Benar, Om," jawab Bening seketika."Karena masih banyak yang harus kami lakukan, kami permisi dulu, Genta. Nikmati makan siang kamu," ucap Galih. Dia sudah hampir melangkah ketika Genta membalas ucapannya."Om nggak malu merebut calon istriku?""Calon istri?" tanya Galih santai. Dia meminta Bening untuk masuk ke dalam mobil lebih dulu. Dia perlu bicara pada Genta. Melihat Bening yang tidak segera mengikuti arahannya, pria itu memaksanya untuk segera masuk dan kembali ke hadapan Genta. "Calon istri mana yang kamu sebutkan tadi? Bening? Kamu sudah melamarnya? Sudah punya komitmen untuk menikah? Kalau memang benar, kamu pantas menyebut Bening calon istri kamu.""Aku dan Bening dalam proses ke arah sana kalau Om ingin tahu. Hanya saja prosesnya masih panjang dan berliku. Kenapa Om nggak cari wanita lain? Kenapa harus kekasih yang bertahun-tahun menjalin hubungan dengan keponakan om sendiri? Nggak malu, Om? Om bukannya harus introspeksi diri kalau tindakan Om benar-benar kelewatan?"Tempat yang mereka pijaki bukan tempat yang pas untuk membicarakan masalah siapa merebut siapa. Galih tidak peduli, Genta apalagi. Mereka merasa perlu mengkonfirmasi apa yang ada di benak mereka.Galih tertawa kecil, "Proses yang sangat panjang dan penuh lika-liku? Kenapa kamu nggak mencari wanita yang mau menunggu kamu selama mungkin? Genta, Genta, kamu ini terlalu banyak berpikir. Soal kekayaan bisa dicari bersama. Alasan apa yang kamu berikan pada Bening? Merintis bisnis? Bukannya kamu takut pada orangtua kamu? Mereka lebih suka kamu nggak menikah dari pada harus menghabiskan banyak uang untuk biaya pernikahan. Kamu yang perlu introspeksi diri bukan Om. Paham? Kalau Om sampai lihat kamu dekati Bening lagi, Om akan melakukan sesuatu yang akan kamu sesali."Galih berbalik pergi, namun ...Bugh!Pukulan itu datang dari arah belakang. Genta mencoba memberikan pelajaran pada pamannya bahwa di bukan pria yang seperti itu."Eh, kok berantem? Stop!" teriak seorang wanita paruh baya yang sedang mengantri."Lerai dong!""Aneh-aneh saja. Siang-siang begini berkelahi.""Bantu mereka, Mas! Kamu dan kamu, Mas, tolong!" perintah si pemilik gerobak. Dia sampai tidak bisa memotong batagornya dan memilih melerai mereka. Suasana lebih ricuh dari seharusnya. Genta dan Galih tidak ada yang mau mengalah. Sampai akhirnya Bening keluar dari mobil dan merentangkan tangannya tepat di tengah-tengah mereka. Wanita itu memasang wajah cemas, apalagi kondisi keduanya tidak jauh berbeda.Kedua pria itu berhenti. Mereka melepaskan diri setelah ditarik masing-masing kubu. Bening melihat Genta yang sedang menyeka sudut bibirnya dengan perasaan kalut. Dia ingin sekali menolong Genta, membela pria itu namun dia sadar bahwa dia tidak bisa melakukannya.Galih serta merta menarik Bening untuk menjauh. Mereka masuk ke dalam mobil. Galih melajukan kendaraannya dengan kecepatan agak tinggi, berharap Bening akan mengucapkan sesuatu. Namun, wanita itu hanya diam sembari melihat ke luar jendela."Kamu nggak mau mengatakan sesuatu?"Bening menoleh, "Mengatakan apa?""Soal pemukulan misalnya.""Om nggak apa-apa?""Menurutmu?"Bening melirik Galih takut-takut. Dia meneliti setiap jengkal sisi kiri wajah Galih yang bisa dia lihat. Ada noda membiru di sana dengan sudut bibir yang memerah. "Om berdarah.""Kamu baru sadar?""Maunya Om aku harus gimana?"Galih ingin protes, namun dia menutup mulutnya. Dia tidak ingin bicara apapun lagi sebelum Bening menyadari apa yang harus dia lakukan pada suaminya.Perjalanan yang tidak terlalu lama berubah lambat dari seharusnya. Galih berhenti di depan gedung perkantoran miliknya, meminta satpam untuk memarkirkannya sementara dia berjalan ke dalam tanpa menghiraukan Bening.Bening menyusul dengan kesusahan. Langkah Galih yang tergesa-gesa membuat dia kehilangan kesempatan untuk masuk ke dalam lift bersama suaminya. Dia sempat melihat Galih membuang muka sebelum lift menutup sempurna.Bening menghela napas lelah. "Aku salah apa?"°°°"Pak Galih, bukannya ada rapat?" tanya Bening ketika dia masuk ke dalam ruangan yang atmosfernya sudah tidak mengenakkan. Dia berpura-pura bahwa tidak ada masalah di antara mereka. Biar bagaimanapun mereka sudah berjanji akan bersikap profesional.Galih menjawab dengan nada tajam menyindir, "Rapat? Em, rapat itu. Saya sudah cancel. Kamu bisa kembali ke meja kamu, kerjakan apa yang belum selesai. Untuk beberapa jam ke depan saya tidak ingin diganggu." Tatapan pria itu tertuju pada layar ponselnya yang diletakan di atas meja, mungkin pemandangan di sana lebih menarik dari pada harus melihat Bening.Bening menghela napas frustasi. Apa salahnya? "Bapak marah pada saya soal tadi?"Galih mendongak, jelas sekali tatapan pria itu sangat tidak bersahabat. "Menurut kamu, saya tidak profesional?"Bening mengangguk pelan."Kamu pikir saya bisa menemui bawahan saya dengan muka begini?"Bening menelisik lebih teliti kembali. Ternyata bagian kanan wajah Galih lebih parah dari yang dia lihat sebelumnya. Mendadak hatinya merasa rancu. Apakah dia perlu memperhatikan Galih? Apakah dia harus menanyakan apa yang sedang dirasakan suaminya? Tapi Bening tidak ingin hubungan mereka menjadi lebih dekat dari seharusnya.Memang awalnya dia ingin begitu, tapi melihat Genta yang masih mengharapkannya, hatinya berubah haluan. Dia masih mencintai Genta meskipun pria itu menolak menikahinya."Saya rasa anda benar. Tunggu sebentar, Pak, saya ambilkan obat dulu," ucap Bening akhirnya. Tidak masalah basa-basi agar perlakuan Galih lebih baik padanya."Tidak perlu. Pergilah! Saya ingin sendiri karena masih banyak tugas yang perlu saya selesaikan," tolak Galih. Dia kembali sibuk dengan hal-hal yang tidak dimengerti Bening.Bening merengut masam. Dia memantapkan hatinya untuk pergi dari sana. Galih tidak membutuhkannya.°°°"Apa dia nggak peka kalau aku ingin dibujuk? Kenapa malah pergi? Seenggaknya memaksaku bukan hal yang buruk. Apa aku keterlaluan?" gumam Galih bingung. Wajar kalau dia cemburu. Kenapa dia harus menyalahkan dirinya?°°°Malam harinya, tidak ada yang berubah dari sikap Galih. Justru pria itu semakin tidak banyak bicara ketika dia berhadapan dengan Bening di meja makan. Persis orang asing yang tidak punya ikatan apapun. Hingga tengah malam, tiba-tiba pintu kamar Galih diketuk seseorang. Galih beringsut turun dari tempat tidur dan membuka pintu.Muka kusut Bening ditambah dengan mata membengkak membuat Galih kebingungan."Bening? Ada apa?""Masih tanya padaku, Om? Bukannya Om biang dari masalah ini? Apa salahku sampai Om begini? Aku sudah tanya baik-baik apa Om mau diobati atau nggak, tapi Om menolak. Lalu aku harus apa? Memaksa? Membujuk begitu? Emang Om anak kecil?"°°°"Mas, tolong ambilkan popok untuk Daryl. Tumben hari ini sudah ganti tiga kali," ucap Bening sedikit berteriak pada Galih. Bening dan Daryl ada di ruang keluarga sementara Galih sedang sibuk di dapur untuk membuat salad sayur. Melihat postingan seseorang di media sosial membuat lidahnya bergoyang. "Beli kan bisa, Mas. Ngapain kamu repot-repot bikin?" tanya Bening siang tadi ketika suaminya meneleponnya."Nggak. Pokoknya aku mau homemade. Nanti pulang dari kantor aku langsung mampir ke supermarket untuk beli bahan-bahannya. Kamu mau nitip sesuatu? Buah-buahan di kulkas masih banyak?""Masih, Mas. Eh, tapi aku mau anggur ya. Belikan yang manis.""Makannya sambil lihat aku nanti juga manis, Sayang.""Ish, benar-benar.""Tunggu aku ya. Aku nggak lembur kok. Nanti kita makan malam sama-sama," ucap Galih dengan cerianya. "Siap, laksanakan!""Biar saya saja yang ambilkan popok, Tuan," sela asisten rumah tangga mereka. Galih mengiyakan, "Terimakasih, Mbak. Ternyata membuat salad sayur ngga
"Kalau ada yang bilang kado ini kurang mahal, berarti orang itu udah gi—nggak punya pemikiran untuk hemat," keluh Bening sembari menggelengkan kepalanya. Dia hampir saja salah bicara. Mana mungkin dia mengatakan suaminya gila? Yang ada dia diceramahi habis-habisan."Nggak apa-apa, Bening. Sekali-kali. Lagi pula Genta adalah keponakanku dan aku wajib memberikan kado istimewa."Bening mengangkat kunci yang diberi gantungan berbentuk salju itu ke depan wajahnya, "Ini kompleks perumahan atau apartemen, Mas?""Perumahan. Lokasinya nggak jauh dari rumah Tante Fitri jadi biar mereka bisa sering-sering main."Satu-satunya perumahan yang paling dekat dengan rumah Fitri adalah perumahan elite. Bening tahu berapa harganya karena dulu sekali dia pernah ditawari untuk membeli satu unit sebelum tempat itu dibangun. Niat hati Bening dan Genta ingin mengambil salah satu unit yang letaknya paling strategis karena dengan cara itu mereka bisa menabung bersama untuk mendapatkan rumah mereka sendiri. Sa
"Sinta. Suster Sinta," jawab Genta memperkenalkan sang calon istri. Galih terperanjat. Dia pernah mendengar nama itu di suatu moment. Tapi dimana? "Oh, saya ingat sekarang. Anda perawat di rumah sakit waktu itu kan?"Wanita bernama Sinta itu mengangguk sembari tersenyum. "Perkenalkan, saya Sinta, suster yang pernah merawat anda dan Mas Genta."Uluran tangan itu disambut oleh Galih dan Bening. "Duh, sudah manggil Mas," goda Bening. Dia berkedip manis pada Genta.Genta tampaknya salah tingkah. Dia tidak bisa berkata-kata. Hanya saja pandangannya condong ke arah Sinta sejak tadi. Pria itu menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya. "Masuk, Sinta! Kita ngobrol bentar sebelum makan malam," ajak Karisma. Dia membawa calon keluarga besar mereka menuju ruangan yang dipenuhi banyak orang. Sinta melupakan sesuatu, dia kembali pada Bening sembari memberikan paper bag lumayan besar. "Untuk baby Daryl. Semoga jadi anak yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya. Saya turut senang."Bening menyun
"Gimana kalau Lingga Daryl Putra Galih.""Bagus, Mas. Aku suka.""Nama panggilannya Daryl."°°°Munculnya bayi mungil tampan yang sudah dinantikan banyak orang, tak urung membuat suasana rumah menjadi lebih berwarna. Kediaman rumah Galih tidak pernah sepi karena setiap hari sang nenek pasti akan datang bergantian. Entah itu moment dimana Karisma membawakan seperangkat alat makan yang normalnya digunakan anak usia lima tahun. Belum lagi Tiara yang menggunakan kesempatan emas itu untuk mendandani sang cucu dengan pernak-pernik kerajaan.Bening harus merelakan sang anak dimanja oleh para neneknya. Wanita itu hanya punya kesempatan untuk menggendong sang bayi ketika beranjak tidur."Duh, Daryl sayang, kenapa sih kamu nggak mau tidur sama nenek. Biar mama kamu lebih santai," keluh Karisma. Seharian wanita paruh baya itu sibuk menggendong Daryl sampai mamanya geleng-geleng kepala."Mamanya sudah terlalu santai, Nenek Sayang," jawab Bening seolah Daryl yang menjawab. Dia membawa satu nampan
Dokter wanita itu tersenyum, "Benar, Bu. Usia kandungannya sudah tujuh minggu. Selamat ya, Ibu. Kalau ada keluhan apa-apa bicara pada saya, saya akan meresepkan obatnya."Bening speechless. Dia tidak bisa berkata-kata. Yang dia lakukan hanyalah mengusap perutnya yang bahkan tidak dia ketahui ada keberadaan seorang bayi di dalam sana. Dia merasa tidak pernah mual di pagi hari. Semuanya baik-baik saja. Apa dia tidak normal?"Apa nggak mual nggak apa-apa, Dok?" tanya Bening. "Morning sickness? Tidak masalah, Bu. Semua kehamilan memiliki keluhan sendiri-sendiri. Ada yang mual di pagi hari sampai trimester kedua, ada yang tidak mual sama sekali sampai trimester tiga. Nanti kita pantau dulu apakah ibu mengalami gejala kehamilan yang bagaimana. Ada yang mau ditanyakan lagi, Bu? Kalau tidak saya pamit ke ruang sebelah ya. Masih ada pasien lain yang belum saya tangani.""Apa dokter menghubungi suami saya?" tanya Bening cepat. Pasalnya dia tidak melihat ponselnya ada dimana. Apalagi tas yang d
"Bukan tiba-tiba, Pak. Saya sudah memikirkannya matang-matang. Saya ingin jadi ibu rumah tangga yang baik," ucap Bening dengan senyuman manisnya.Junar merespon dengan kening mengerut, "Kamu yakin?""Yakin, Pak. Saya sudah terlalu lama menjadi wanita karir. Saya mau istirahat dan menikmati hidup saya sebagai istri yang baik. Lagi pula suami saya kaya, Pak. Saya bisa minta uang sama suami saya," canda Bening. Dia sudah memikirkannya matang-matang sejak insiden yang terjadi pada Genta. Hidup itu jika dipikirkan hanyalah sebagai permainan. Kadang naik ke permukaan, kadang turun sampai ke dasar, kadang juga hilang tanpa bekas. Bening hanya tidak ingin melewatkan moment emas kebersamaannya dengan Galih. Junar tidak bisa berbuat banyak. Bening pasti sudah menimbang secara matang keputusannya. "Kamu tahu kan kalau kamu harus cari pengganti dulu sebelum kamu pergi?"Bening mengangguk, "Saya sudah pasang iklan, Pak.""Wah, ternyata kamu bersungguh-sungguh," komentar Junar dengan gelengan kep
Tanpa pikir panjang Bening menarik Genta ke dalam pelukannya. Penampakan wajah Genta mengerikan, bukan seperti Genta yang dia kenal. Pria itu kacau, sangat kacau.Bening tidak tega meninggalkannya sendirian. Dia membawa Genta masuk. Hampir saja kakinya terkena pecahan kaca kalau Genta tidak menahannya."Hati-hati," gumam pria itu tanpa sadar. Bening menahan napasnya ketika melihat ruangan itu amburadul dengan barang-barang berserakan. Entah botol parfum yang pecah atau benda-benda bertebaran tanpa terlihat mana bagian-bagiannya. Semuanya kacau balau. "Duduklah! Aku cari obat merah. Mukamu kenapa jadi begini?" tanya Bening sendu. Ada beberapa goresan melintang yang entah disebabkan karena apa. Genta menahan gerakannya, pria itu justru menenggelamkan kepalanya dalam bahu Bening. "Di sini saja. Jangan kemana-mana."Bening tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Pelukan itu mengerat seiring dengan tangisan tanpa suara Genta. Bening menepuk bahunya, menenangkan meskipun dia tidak y
"MERRY!" Genta berlari menghampiri Merry yang terbaring di bawah meja setelah pria itu melempar reruntuhan almari yang menghantam tubuhnya. Rasa sakitnya bahkan tidak sepadan ketika melihat sang mempelai wanita terkapar dengan darah dimana-mana. Genta bersimpuh di samping Merry, membawa kepala wanita itu ke atas pangkuannya. "Bertahanlah! Aku akan memanggil ambulans."Tatapan sendu Merry masih bisa terekam jelas di mata Genta. Pria itu meraung, mengumpat pada keadaan yang membuat dia tidak bisa menghubungi ambulans. Ya Tuhan, jemarinya tidak bisa bergerak. Tangannya sudah tidak mau berkompromi dengannya. Alhasil pria itu hanya memerintah pada pegawai butik yang masih bisa menyelamatkan diri."TELEPON AMBULANS!"Genta tidak sanggup melihat gaun yang tadinya berwarna putih broken white itu kini telah menjelma menjadi kemerahan. Matanya memanas, seiring dengan sentuhan pelan pada lengannya.Tatapan mata penuh cinta Merry menyapanya. "Ma-af," lirih Merry. Genta belum menjawab apa-apa
"Setelah Merry sempat dilecehkan dulu, dia mengalami trauma. Dia takut ditinggalkan dan tidak mau meninggalkan pria yang sudah serius dengannya. Kami sudah membawanya ke psikiater dan hasilnya sudah jauh lebih baik. Karena itulah aku ingin memberikan kesempatan entah keberapa kalinya pada Merry untuk hidup lebih baik. Tapi ternyata dia sangat mencintai Genta sampai tidak rel melepaskannya," jelas Ajik. Dia menghela napas kasar. Raut wajah cemasnya sudah lebih dari cukup untuk membenarkan ucapannya. Genta terdiam. Dia mencoba memahami alasan Ajik. Biar bagaimanapun adiknya tetap anggota keluarga yang harus dilindungi. Berbeda dengan pamannya yang langsung bicara, menjawab penjelasan Ajik. "Aku turut prihatin tapi semua keputusan tetap pada Genta." Lalu Galih menoleh pada keponakannya."Gimana, Genta? Apa kamu mau menerima Merry? Aku akan berusaha membuat dia berubah. Dia pasti menurut untuk berobat ke psikiater lagi kalau kamu yang meminta," bujuk Ajik. Satu-satunya jalan untuk membu