"Hah?"Aura refleks tertegun ketika mendengar pertanyaan itu. Dalam kepalanya langsung terlintas kejadian saat dia pernah kepergok oleh Jose.Walaupun Jose memiliki banyak kekurangan, satu hal yang paling mencolok adalah rasa memilikinya yang sangat berlebihan.Aura teringat saat dia makan bersama Fendro, juga saat pergi ke acara bersama Fendro dan akhirnya tertangkap basah. Akibatnya sangat fatal.Jadi, setelah berpikir sejenak, Aura berdeham dan menjawab, "Jam segini tentu saja masih di kantor.""Oh ya?" Tawa pelan terdengar dari seberang, rendah dan serak. Suara Jose itu seolah-olah langsung menyentuh telinga Aura lewat ponsel.Aura merasa daun telinganya menjadi geli dan hangat sampai dia menjauhkan ponselnya sedikit. Dia pun tersenyum dan menjawab, "Ya."Sebelum Aura sempat berbicara lebih jauh, dari sana terdengar suara "klik". Telepon ditutup sepihak.Wajah Aura penuh tanda tanya. Dia menatap layar ponsel, menggigit bibir bawah, semakin merasa gelisah saat dipikirkan. Akhirnya,
Aura berpikir sejenak, lalu berdiri dan menutup laptopnya. Dia langsung membawa laptop itu keluar dari kantor.Sekretaris di sampingnya hanya bisa diam. 'Bukankah katanya Bu Aura adalah putri kandung Pak Anrez? Kok hubungan mereka terlihat nggak akur ya?'Saat si sekretaris masih bingung, Aura sudah keluar dari perusahaan dengan tas di tangan.Juwita melihat Aura keluar dari balik kaca ruangannya. Jarinya mengepal erat karena gugup, sorot matanya pun tampak diliputi kegelisahan.Setelah keluar dari kantor, Aura tidak tahu harus pergi ke mana. Dia berpikir sebentar, lalu menelepon Efendi. Dia mengira Efendi sedang di kelab seperti biasa, tetapi ternyata tidak.Efendi sedang berada di sebuah hotel spa dengan pemandian air panas. Dia bertanya, "Mau ke sini sekarang?"Aura menjawab, "Ya, aku ke sana.""Kirim alamatnya, aku mungkin butuh bantuanmu."Tak sampai semenit setelah telepon ditutup, Efendi langsung mengirimkan alamatnya.Aura menyetir sendiri menuju tempat itu. Saat dia tiba, wakt
"Kalau aku beri tahu semuanya, Ibu bisa jamin aku akan keluar dari sini dengan aman?"Aura menaikkan alisnya sedikit. Ujung jarinya yang ramping dan putih berputar pelan di bibir cangkir kopi."Itu tergantung, tergantung apakah jawabannya bisa membuatku puas atau nggak."Juwita mengerutkan kening sedikit. Ekspresinya kembali menunjukkan keraguan. Dia benar-benar menyesal sekarang. Kalau saja dulu tidak tergoda oleh uang itu, dia tidak akan berada dalam posisi serbasalah seperti sekarang.Orang itu jelas bilang semuanya aman, tetapi siapa sangka tiba-tiba Aura muncul.Juwita menggertakkan giginya perlahan. Kepalanya sungguh kacau.Aura melihat arlojinya sekilas. Wajahnya mulai menunjukkan ketidaksabaran.Juwita melirik ke arahnya dengan hati-hati. "Memang bukan aku yang ambil uang itu. Anggota Keluarga Tanjung yang ambil. Memang aku menerima bagian, tapi kalau semua ini terbongkar ...."Dari nadanya, Juwita masih ingin menggunakan hal ini untuk mengancam balik Aura.Aura tertawa kecil.
Aura menoleh ke belakang menatapnya."Ada apa lagi?" tanya Aura sambil menoleh.Juwita menggigit bibirnya. "Itu ... bisa nggak jangan lapor polisi?""Oh?" Aura tersenyum, menampilkan giginya yang putih dan rapi. Wajahnya terlihat begitu lembut, seolah-olah dirinya sama sekali tidak berbahaya. "Bukankah tadi kamu bilang masalah ini nggak ada hubungannya denganmu?"Juwita menelan ludah. Ekspresinya tampak dipenuhi dilema.Aura perlahan kehilangan kesabaran. Dia menarik tangannya dari genggaman Juwita dan hendak kembali melangkah.Namun, detik berikutnya, Juwita tiba-tiba berlutut di lantai. Suaranya cukup keras sampai membuat Aura terkejut.Aura menoleh kembali dengan alis terangkat. "Ada apa ini?"Juwita tahu Aura hanya pura-pura bertanya. Dia memejamkan mata sesaat seperti mengumpulkan keberanian besar, sebelum akhirnya berkata, "Bu Aura, aku sudah tahu salah. Aku nggak seharusnya melakukan hal itu.""Tolong jangan lapor polisi. Kalau Ibu melaporkannya ke polisi, hidupku benar-benar ak
Meskipun nada bicaranya masih terdengar normal, tubuhnya terlihat cukup tegang dan kedua tangannya terus mengusap satu sama lain.Aura terkekeh-kekeh. "Kamu 'kan sudah lama kerja di perusahaan ini dan sekarang aku adalah atasanmu. Masa aneh ajak kamu ngobrol sebentar?"Dibandingkan dengan kegugupan Juwita, Aura tampak jauh lebih santai. Dia mengangkat cangkir kopi, menyeruput sedikit, tetapi tatapannya tetap tertuju ke wajah Juwita.Juwita mengangkat pandangan sambil memaksakan senyuman kaku ke arah Aura. "Ibu benar. Jadi, apa yang ingin Ibu ketahui?""Sudah berapa lama kamu kerja di perusahaan ini?" tanya Aura dengan pelan."Kira-kira tiga atau empat tahun.""Oh ...." Aura tertawa kecil sambil mengangguk. "Jadi, kamu merasa posisi wakil presdir yang tiba-tiba kujabat ini mengancam kariermu?""Ya .... Hah?" Juwita tak menyangka akan ditanya seperti itu. Dia terdiam sesaat, lalu memandang Aura dengan bingung. "Kenapa bicara begitu? Aku justru senang Ibu masuk perusahaan ini. Sama sekali
"Tujuanku ya ... supaya kerja keras ibuku nggak hancur di tanganmu."Aura mengangkat bahu, lalu tertawa kecil. "Soal aku dan Jose ada hubungan apa ...."Dia sengaja menarik suaranya, memasang ekspresi misterius. Melihat Anrez menatapnya dengan penasaran, dia kembali tersenyum. "Kenapa Ayah nggak langsung ke Alatas Heir buat tanya?"Sambil berbicara, Aura menguap, lalu meregangkan tubuh. Lengan bajunya yang berbahan sutra melorot, memperlihatkan lengannya yang putih mulus. "Aku benar-benar ngantuk. Mau tidur.""Nggak boleh!" bentak Anrez dengan tajam. Kali ini, dia tak lagi bertele-tele. "Kamu nggak boleh lanjut periksa laporan keuangan perusahaan!""Kamu baru saja masuk kantor, belum paham apa-apa. Ini perusahaan keluarga sendiri. Jangan-jangan setelah tahu semuanya, kamu mau laporkan ke orang luar?"Aura menatapnya dengan ekspresi penasaran. "Oh, jadi Ayah juga masih sadar ya kalau kita satu keluarga? Tapi dulu, kenapa Ayah lebih rela kasih perusahaan ke orang luar daripada kasih ke a