Seorang wanita cantik duduk di samping pintu kamar, wajahnya sembab, matanya bengkak. Pandangannya kosong, pikirannya kalut, mencari cara untuk keluar dari tempat yang kini menjadi penjaranya.
"Kenapa harus aku? Jahat sekali kamu, Bang!" lirihnya dengan suara parau. Manik matanya bergerak gelisah, mencari celah untuk melarikan diri. Dengan cepat ia melangkah menuju jendela besar di hadapannya. Tangannya bergetar mencoba membukanya tetapi sia-sia. Pintu kaca itu terkunci rapat. Tatapannya beralih ke luar, tubuhnya menegang saat menyadari betapa tingginya lantai kamar ini. "Kalau aku nekat, aku bisa mati," bisiknya mundur dengan napas memburu, tangannya bergerak gelisah. Ia kembali berdiri di dekat pintu, mengigit kuku-kukunya. Saat pikirannya berkecamuk, samar-samar ia mendengar langkah kaki mendekat. Perasaannya mulai menegang saat pintu terbuka, seorang pelayan berwajah jahat berdiri di ambang pintu, mata wanita setengah baya itu membelalak melihat keadaan Nahla yang begitu kacau. "Kamu seperti binatang gila!" cibirnya sinis. Nahla menunduk murung menahan sakit hati. "Ikut aku cepat!" tekan sang pelayan. Nahla mundur menolak mengikuti wanita itu. "Saya mau dibawa ke mana?" tanyanya dengan suara sumbang. "Kamu harus menghadap Tuan Muda dan Tuan Besar." "A-apa yang mereka inginkan?" Nahla menelan ludah, tubuhnya bergetar. "Aku mohon, bantu aku keluar dari sini!" Pelayan itu mendecak, wajahnya penuh ejekan. "Lebih baik kau mati daripada aku yang mati karena membebaskanmu!" Wanita itu meraih tangan Nahla dengan kasar, menyeretnya keluar kamar. Langkah Nahla semakin lemas saat mereka semakin mendekati ruangan tempat Tuan Tarom, sang pemilik mansion tengah menunggu. Suhu tubuhnya mendadak panas dingin, seakan ia tengah berjalan menuju ambang kematian. Saat pintu terbuka, dua pria berbeda usia berdiri di dalam ruangan. Mata mereka menatapnya dengan cara yang berbeda. "Siapa dia?" tanya pria muda itu, Zevaran. Tatapannya tajam, penuh selidik. "Nahla," sahut Tarom. "Dia akan menjadi pengganti wanita itu. Kamu harus mau." Nahla membelalak tajam, darahnya seketika terasa berhenti. ‘Menikah? Mana mungkin aku menikah dengannya?’ Pikirnya panik. Ia menatap pria di depannya sangat tampan, tetapi sorot matanya penuh intimidasi. “Aku tidak ingin menikah dengannya!” suara Zevaran terdengar tegas, jelas menolak keputusan ayahnya. ‘Bagus! Kau harus menolak, agar aku bisa pergi dari neraka ini!’ batin Nahla penuh harapan. "Kamu tahu, dia diserahkan agar hutang ayahnya lunas," ujar Tarom, mendekati putranya. "Kamu ingat Joko? Dia putrinya. Jika kamu tidak menikahinya, kita bisa mengambil organ tubuhnya untuk mengganti uang yang sudah dicuri oleh Joko." Nahla membeku, wajahnya seketika pucat. Lututnya lemas, tubuhnya hampir merosot ke lantai. “Tuan, jangan lakukan itu pada saya! Saya mohon, saya bisa melakukan apa saja, asal jangan membunuh saya,” rintihnya, jatuh berlutut di hadapan Tarom, berharap ada belas kasihan di hati pria itu. Tarom tertawa rendah, menatapnya sinis. "Bahkan jika kamu mengepel lantai istanaku dengan lidahmu, hutang ayahmu takkan bisa lunas! Kamu bukan siapa-siapa, bahkan jika menjadi istri putraku, kamu tetap menjadi tawananku. Sewaktu-waktu, aku bisa menjual organ tubuhmu." Nahla menggeleng cepat, jiwanya begitu terguncang. Ini tidak manusiawi! Kesalahan ayahnya seharusnya tidak menjadi beban hidupnya. Ia menoleh ke arah Zevaran, pria itu menatapnya dengan dingin. “Tuan Muda, tolong saya! Selamatkan saya,” pintanya, berlutut sembari membungkukkan tubuhnya. Zevaran menatapnya dengan sorot masih sama. "Aku tidak akan menikah denganmu. Aku bahkan tidak mengenalmu." Tarom terkekeh. "Tidak masalah." Ia menatap putranya dengan tatapan penuh perhitungan. "Lagi pula, masalahmu dan ayah memang berbeda. Jika kau tak menikahinya, ayah akan mengambil organ tubuhnya. Dengan begitu, ayah bisa mendapatkan uang yang lebih banyak." Nahla semakin gemetar, tubuhnya lemah tak berdaya. Ia menggenggam betis Zevaran, menangis tersedu. "Saya mohon, Tuan! Saya masih ingin hidup. Saya janji akan bekerja lebih keras, saya akan membayar hutang ayah saya!" Zevaran mendengus pelan. "Berapa puluh tahun kau harus bekerja hanya untuk melunasi hutang itu?" Nahla menelan ludah. Matanya nanar, tubuhnya terasa seperti es. "Apa kau setuju dengan pernikahan ini?" tanya Zevaran dengan nada datar. Cepat-cepat Nahla mengangguk, ketakutan masih menggantung di matanya. "Kamu menerima karena takut?" "I-iya, Tuan ...,” sahut Nahla suaranya seketika tercekat. Zevaran menghela napas panjang. Ada sedikit rasa iba di matanya, tapi tidak cukup untuk mengubah keputusannya. Ia menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Aku rasa, lebih baik kau mati daripada aku harus hidup bersama wanita yang tidak kukenal." Nahla terisak, tubuhnya seketika melemas. Ucapan tersebut bagaikan pedang yang menusuk hatinya, sehingga ia merasakan sakit luar biasa mendengar jawaban tersebut. Zevaran berbalik dan berjalan keluar, meninggalkan Nahla dalam ketakutan. Saat pintu tertutup, tubuh Nahla merosot ke lantai. Isakannya menggema di dalam kamar membuat dada Zevaran terasa bergemuruh. Seorang maid masuk, menarik Nahla kembali ke kamarnya. Di dalam kamar, Nahla semakin putus asa. "Siapa pun, tolong aku! Aku tidak ingin mati di sini!" jeritnya histeris. Matanya liar mencari jalan keluar. Dalam kepanikan yang tidak ingin mati sia-sia, ia meraih kursi besi dan menghantamkan ke kaca jendela. Kaca itu pecah berkeping-keping. Nahla segera membersihkan serpihannya, bersiap untuk melompat. Namun, sebelum sempat kabur, sebuah tangan menariknya dengan kasar, membuatnya jatuh di atas pecahan kaca. "Kamu memang ingin mati, ya!" bentak pelayan itu, menginjak tangannya yang sudah penuh luka. Nahla menjerit kesakitan. Wanita itu mengangkat tangannya gemetar melihat darah segar yang mengalir di telapak tangannya. Tuan Tarom yang berada di luar, langsung menghampiri Nahla dengan sorot begitu tajam. Tangannya terangkat tinggi lalu. PLAK! Sebuah tamparan keras dari Tarom membuat wanita malang itu tersungkur. "Berani-beraninya kau mencoba kabur! Jika kau berulah lagi, ibumu dan kakakmu juga akan ikut mati!" ancamnya dingin. Mendorong kepala Nahla dengan tongkat di tangannya. Zevaran dan ibundanya baru saja tiba. Keduanya terkesiap melihat cairan merah yang berceceran di lantai, pria bertubuh tinggi itu mendekati ayahnya sembari berkata, “Hentikan, Ayah!” Pria itu menurunkan tongkat ayahnya dari kepala Nahla. Tarom menyeringai. "Keputusan ada padamu. Hidup dan matinya dia tergantung padamu." Nahla menutup mata, tubuhnya menggigil ketakutan hingga ke tulang. Zevaran menatapnya lama. Lalu, dengan suara dingin, lidahnya mendadak kelu sebelum akhirnya berkata. "Baiklah. Aku akan menikahinya." Nahla mendongak, menatapnya tak percaya. Pandangan mereka bertemu sejenak sebelum akhirnya Tarom tersenyum puas dan berlalu. Nahla kembali di bawa oleh sang pelayan kembali ke dalam kamar. Mengurungnya bagaikan hewan peliharaan. Nahla hanya mampu membenamkan wajahnya ketakutan. Pintu kamar kembali terbuka, menampakkan Zevaran masuk menatap langit senja dari jendela. 'Apa yang dia ingin lakukan?' ucap Nahla dalam hati. bersambungZevaran menerima telepon dari Hamdan. Mereka harus segera mengatur pertemuan, setelah beberapa hari lalu mendapat kabar bahwa mafia tanah tersebut telah kembali ke kotanya.Zevaran, bukan orang yang suka berurusan dengan dunia hitam. Sebagai CEO, yang paling sering dia hadapi hanyalah ormas pemalak, yang mencoba mencari keuntungan dari perusahaannya. Namun, kali ini situasinya berbeda.Dengan gerakan cepat, dia menyambar jaket kulitnya dan mengenakan topi hitam, menambah kesan dingin pada ketampanannya.Saat keluar dari kamar, tubuhnya bertubrukan dengan Nahla yang hendak masuk.Nahla terhuyung ke belakang, sebelum terjatuh Zevaran sigap menangkap tubuh rampingnya. Sejenak mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat.‘Tampan sekali,’ gumam Nahla dalam hati. Jantung Nahla berdegup kencang saat napas suaminya menerpa wajahnya.Namun, momen itu tak berlangsung lama. Zevaran menarik tubuhnya menjauh lalu mendesis dingin. “Cero
Di tempat lain, pagi-pagi sekali Sinta sudah sibuk memasak makanan kesukaan putrinya. Sambil bersenandung, ia menyelesaikan pekerjaannya di dapur. Hati wanita paruh baya itu terasa bahagia membayangkan bisa menemui putrinya. Padahal ia sendiri tidak tahu apakah kesempatan itu benar-benar akan ada atau tidak.“Mau ke mana, Bu?” tanya Dawin sambil menguap lebar.“Temui Nahla,” sahut Sinta datar.Dawin seketika terbelalak mendekati ibunya. “Jangan, Bu! Suaminya sangat melarang kita berjumpa dengan Nahla. Anak buah Tarom selalu memperingati itu,” tutur Dawin risau.“Itu salahmu, adik sendiri kamu jadikan tebusan. Sekarang kita enggak tahu, di sana dia hidup apa mati!” decit Sinta kesal setengah mati. Dawin hanya mampu mengusak rambutnya frustrasi.Setelah masakkannya selesai, Sinta berangkat menggunakan ojek online menuju rumah besannya. Setibanya di sana, wanita setengah baya itu berdiri mematung di depan pagar tinggi yang menjula
Semakin hari, Nahla mulai bosan dengan kehidupannya terus-menerus terkurung di dalam mansion. Ia meminta izin kepada Salma untuk duduk di halaman depan."Boleh, tapi harus ditemani oleh pelayan," tukas Salma seraya memanggil salah satu pelayan yang sedang bekerja.“Amel, temani Nahla duduk di luar.”"Siap, Nyonya!" ucap pelayan tersebut. Pelayan tersebut mengikuti Nahla keluar mansion. Mereka duduk di taman depan rumah, di mana banyak tanaman yang mencuri perhatian Nahla."Oh iya, saya mau tanya. Pelayan yang biasa memiliki tahi lalat di dekat matanya, ke mana?" tanya Nahla, mengacu pada Rada."Oh itu. Beberapa waktu lalu dipecat oleh Tuan Zevaran," sahut pelayan itu, berdiri di sisi kiri Nahla.Nahla mengerutkan keningnya. "Kenapa? Apa dia punya masalah?""Kita semua kurang tahu. Soalnya, waktu itu dipecatnya tengah malam. Kita yang ada di kamar pada kaget."‘Masa iya sih! Tuan Zevaran memecatnya kare
Zevaran mencengkeram dagu istrinya dengan keras, wajahnya tampak seperti pria bengis tak memiliki hati. "Seharusnya kamu berterima kasih! Kalau bukan aku yang menikahimu, kamu sudah mati kemarin!" cetusnya sinis. Nahla hanya mampu menutup mata dan menahan napas karena rasa takut kembali merayap di hatinya. Dengan keras, Zevaran melepaskan cengkeramannya hingga membuat Nahla sempoyongan ke sisi lain. Tatapan pria itu tajam dan bengis."M-maaf Tuan, tolong jangan menyiksaku juga," lirih Nahla, fisiknya terlalu lelah terus mendapatkan siksaan. "Masuk ke dalam,” titah pria itu, dengan bentakan yang begitu keras. Nahla buru-buru masuk dan mengunci diri di kamar mandi. Di sana ia meluapkan tangisnya tanpa bisa menahan suara, terdengar oleh Zevaran yang masih berdiri di balkon. Dengan frustrasi ia mengusap wajahnya. 🍁🍁🍁 Malam harinya, Nahla duduk di sudut kamar dengan mata sembab. Hatinya terasa seperti ditusuk ribuan jarum, sulit baginya menerima kehidupan yang begitu menyeramkan
"Kamu tidur di atas.” Nahla menatap Zevaran dengan mata membesar, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Suaminya itu hanya melirik sekilas sebelum beranjak keluar dari kamar. Meninggalkan Nahla. Sesaat, Nahla terdiam. Matanya mengarah ke ranjang yang tampak lebih nyaman dibanding lantai dingin tempatnya berbaring tadi. Perlahan, ia naik ke atas ranjang. Begitu tubuhnya menyentuh kasur yang empuk, ia merasakan kehangatan menjalar di seluruh tubuhnya. Untuk pertama kalinya setelah pernikahan ini, ia merasa sedikit dihargai. ‘Dia tidak seburuk yang aku kira.’ Nahla menatap pintu yang tadi dilewati Zevaran. Hatinya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ada dalam pikiran pria itu? 🍁🍁🍁 ‘Kau gila, Zevaran. Kenapa tadi kau menyuruhnya tidur di ranjang?’ Ia mengepalkan tangan, kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya, ia tidak menunjukkan kebaikan sekecil apa pun pada Nahla. Seharusnya, ia tetap bersikap dingin seperti sebelumnya. Tapi entah kenapa, melihat wan
"Setelah pernikahan nanti, jangan gunakan perasaanmu. Aku tidak akan mencintaimu," ucapnya datar, melirik dengan ujung ekor matanya. Begitu tajam nan dingin. "Kenapa tidak membiarkanku mati saja?" lirih Nahla dalam putus asa. "Aku masih memiliki rasa manusiawi!" jawabnya tanpa menoleh sedikitpun. Zevaran pun kembali berlalu keluar menutup pintu dengan kasar. membuat wanita tersebut terkesiap. Nahla, kembali membenamkan wajahnya di antra lutut. ketakutan masih menguasai dirinya, siksaan dan makian masih menjadi bayang yang begitu mengerikan. Setelah ini apa yang akan ia alami selanjutnya, apakah tubuhnya masih mampu menahan setiap siksaan tersebut. 🍁🍁🍁 Keesokan harinya, pernikahan paksa tersebut benar-benar berlangsung dengan lancar tanpa masalah apa pun. Bahkan Nahla bersandiwara terlihat bahagia di hari pernikahan tersebut. Namun, tidak Zevaran yang murung. ‘Pantas saja, Tuan bangka itu memaksaku menikah dengan putranya. Ternyata tamu-tamunya orang petinggi,’ bisik Nahla
Seorang wanita cantik duduk di samping pintu kamar, wajahnya sembab, matanya bengkak. Pandangannya kosong, pikirannya kalut, mencari cara untuk keluar dari tempat yang kini menjadi penjaranya. "Kenapa harus aku? Jahat sekali kamu, Bang!" lirihnya dengan suara parau. Manik matanya bergerak gelisah, mencari celah untuk melarikan diri. Dengan cepat ia melangkah menuju jendela besar di hadapannya. Tangannya bergetar mencoba membukanya tetapi sia-sia. Pintu kaca itu terkunci rapat. Tatapannya beralih ke luar, tubuhnya menegang saat menyadari betapa tingginya lantai kamar ini. "Kalau aku nekat, aku bisa mati," bisiknya mundur dengan napas memburu, tangannya bergerak gelisah. Ia kembali berdiri di dekat pintu, mengigit kuku-kukunya. Saat pikirannya berkecamuk, samar-samar ia mendengar langkah kaki mendekat. Perasaannya mulai menegang saat pintu terbuka, seorang pelayan berwajah jahat berdiri di ambang pintu, mata wanita setengah baya itu membelalak melihat keadaan Nahla yang begitu kacau
“Ampun, Kak! Berhenti menyiksaku,” raung Nahla menahan sakit, sesekali Nahla menahan napas akibat sakit luar biasa yang ia dapati. Wanita itu meringkuk dengan tangan dan lutut yang mengucurkan darah segar. Wanita malang itu menerima kekerasan hebat dari kakaknya, Dawin. "Sudah aku bilang, kamu harus turuti perintahku, Nahla. Aku pasti berhenti menyiksamu?" cetus Dawin dengan seringai jahat, hanya dengan cara seperti inilah ia bisa membuat adiknya menyerah. Sinta, sang ibu, berusaha menghalangi putranya. Jeritan dan tangisan kedua wanita itu tidak lagi ia pedulikan. "Dawin, berhenti! Dia adikmu!" Sedangkan Nahla meringis menahan perih yang menyiksa sekujur tubuhnya. Ia menatap Dawin dengan tatapan sayu, kehabisan tenaga akibat penderitaan yang dialaminya. "Kenapa harus aku, Kak? Kita masih bisa kerja keras untuk melunasi hutang itu," lirih Nahla dengan air mata mengalir deras di pipinya. Dawin mendesis sinis. "Kapan? Uang hasil kerja saja hanya cukup untuk sehari-hari. Hanya