"Setelah pernikahan nanti, jangan gunakan perasaanmu. Aku tidak akan mencintaimu," ucapnya datar, melirik dengan ujung ekor matanya. Begitu tajam nan dingin.
"Kenapa tidak membiarkanku mati saja?" lirih Nahla dalam putus asa. "Aku masih memiliki rasa manusiawi!" jawabnya tanpa menoleh sedikitpun. Zevaran pun kembali berlalu keluar menutup pintu dengan kasar. membuat wanita tersebut terkesiap. Nahla, kembali membenamkan wajahnya di antra lutut. ketakutan masih menguasai dirinya, siksaan dan makian masih menjadi bayang yang begitu mengerikan. Setelah ini apa yang akan ia alami selanjutnya, apakah tubuhnya masih mampu menahan setiap siksaan tersebut. 🍁🍁🍁 Keesokan harinya, pernikahan paksa tersebut benar-benar berlangsung dengan lancar tanpa masalah apa pun. Bahkan Nahla bersandiwara terlihat bahagia di hari pernikahan tersebut. Namun, tidak Zevaran yang murung. ‘Pantas saja, Tuan bangka itu memaksaku menikah dengan putranya. Ternyata tamu-tamunya orang petinggi,’ bisik Nahla dalam hati. Waktu sore hari, akhirnya kedua mempelai meninggalkan para tamu undangan turun dari pelaminan menuju kamar yaitu bilik milik Zevaran. Nahla berdiri ketakutan, melihat gerak gerik Zevaran yang terlihat begitu marah. Bahkan pria tersebut melepas kemeja dan dasi dengan kasar. Nahla tahu bagaimana perasaan pria tersebut, terjebak dalam pernikahan paksa ini. Nahla hanya mampu menunduk pasrah melihat kemarahan suaminya. Meski Zevaran tidak meledak, tetap saja gerak-geriknya menakutkan. Suara pintu menuju balkon terbuka dengan kasar, menyisakan Nahla seorang diri di dalam kamar besar milik Zevaran. Saat sang suami berada di balkon, barulah wanita itu bergerak melepas gaunnya, lalu membersihkan make-up tebal di wajahnya. Setelah mengganti gaun dengan pakaian tidur berupa celana panjang dan baju berlengan panjang, kemudian Nahla masuk ke dalam kamar mandi. “Aaaarrrggg!” Nahla meluapkan emosinya dalam wastafel yang penuh dengan air, menggelembung efek jeritan wanita tersebut. Setelah puas meratapi nasib barulah ia keluar dengan perasaan sedikit lebih baik. Nahla terkesiap melihat Zevaran telah kembali tengah duduk di ujung ranjang, menatapnya begitu lekat. “M-mau ke kamar mandi?” tanya Nahla gugup. “Aku ingin bicara denganmu,” ucap Zevaran sembari bersedekap dada. Nahla menatap Zevaran penuh ketakutan. “Baik,” jawab Nahla pelan sedikit mendekat. “Aku memiliki peraturan. Kamu tidak boleh mengenakan pakaian seksi di hadapanku, jangan tidur di dekatku, jangan pernah kepo dengan masa laluku, dan jangan coba untuk bertemu dengan ibu atau kakakmu,” tutur Zevaran final. "Maaf, Tuan. Dari beberapa peraturan itu, saya mampu mematuhinya. Tapi soal mereka, saya tidak bisa untuk tidak menemui mereka." Zevaran menghela napas kesal, lalu berkata tegas, "Patuhi peraturanku! Jangan membantah! Mereka tidak akan peduli denganmu. Kau sudah diserahkan kepada kami." "Karena terpaksa, Tuan. Tidak ada jalan lain untuk melunasi utang itu. Saya mohon! Beri saya kesempatan untuk bertemu dengan mereka." "Tidak akan! Jangan memaksaku!" Zevaran berang, tatapannya tajam menusuk ke arah wanita yang baru saja menjadi istrinya. Nahla menggeleng lemah. Ia belum bisa menerima peraturan tersebut. "Tuan, Anda bisa menambah peraturan untuk saya. Tapi izinkan aku bertemu dengan mereka," pinta Nahla, merosot di hadapan Zevaran. "Oke! Aku tambah peraturan: Jangan pernah memaksaku, dan jangan ada pembantahan." "Itu bukan peraturan, Tuan." "Apa kau bisa menjadi wanita yang penurut!" bentak pria itu. Nahla terdiam, melihat suaminya membuang wajah kesal ke sembarang arah. Zevaran lalu berdiri, menjauhi Nahla. "Oh iya, jika Mama bertanya apakah kita melakukan malam pertama, jawab saja sudah. Jika mereka menanyakan kapan kamu hamil, jawab saja kamu mandul. Mengerti?" "Mengerti, Tuan," jawab Nahla dengan gugup. "Satu lagi, jangan pernah bergantung padaku, meski kita sudah menikah,” ucapnya menatap Nahla dengan raut muak. Wanita itu hanya mengangguk pasrah. Peraturan itu terdengar sepertinya Zevaran enggan menanggung semua kehidupan Nahla. "Oke, cepat tidur. Kau tidur di lantai." Nahla spontan menoleh ke arah suaminya. "Maaf, Tuan, apakah ada selimut atau bantal?" tanyanya, menelan rasa malunya. "Tidak ada selimut untukmu," tekan Zevaran, lalu membaringkan tubuhnya, meninggalkan Nahla yang membeku. Nahla merebahkan diri di lantai tanpa alas dan bantal. Perlahan air mata mengalir dari sudut matanya. Rasanya hangat dan perih, ditambah dengan sikap bengis sang suami. Ternyata, pernikahan paksa tidak seindah cerita fiksi. Menjadi wanita yang tidak diinginkan sungguh menyakitkan. Nahla meringkuk menahan dingin yang menusuk tulangnya, ditambah udara AC yang begitu menusuk. Ia mulai menggigil hingga tidak bisa tidur. ‘Apa aku bangunkan saja? Kalau begini aku bisa mati kedinginan,’ bisiknya dalam hati. Nahla mengambil posisi duduk, lama ia menatap Zevaran yang tertidur nyenyak dalam bungkusan selimut setengah badannya. Tiba-tiba, perutnya berbunyi. Ia baru ingat bahwa seharian ini hanya makan pagi saja. "Duh, kenapa harus lapar sih! Aku harus makan apa?" gumamnya, meremas perutnya yang mulai bergejolak. Karena tidak tahan menahan lapar, Nahla melangkah keluar dari kamar dengan perlahan. Ia melihat jam dinding mewah bertengger di ruang keluarga. Pukul dua dini hari. Suasana yang sepi membuatnya yakin bahwa semua orang sudah tidur. Ia pun menuju dapur mencari makanan sisa. Setibanya di dapur, ia melihat meja makan begitu rapi dan bersih. Ia membuka kulkas yang penuh dengan makanan mentah, lalu memilih roti tawar dan susu putih sebagai pengganjal perutnya. Namun, saat baru hendak makan, tiba-tiba seorang maid bernama Rada datang dan merebut makanan dari tangannya. "Dasar tidak tahu malu! Sudah miskin, mencuri lagi! Ngapain kamu makan diam-diam?" makinya dengan sorot mata tajam. "Saya lapar. Dari siang hingga malam saya belum makan, Bi," jawab Nahla dengan suara gemetar. "Tidak ada makanan! Tidak sopan sekali tengah malam makan diam-diam! Kamu itu hanya wanita tawanan, tidak punya hak apa pun di sini!" "Iya, saya tahu, tapi saya juga butuh makan ...,” jawab Nahla, menahan sakit hati yang tidak bisa ia ungkapkan. Rada mencibir, lalu. "Cih!" Dengan sengaja, ia meludah ke roti yang hendak Nahla makan. Mata Nahla membelalak melihat kelakuan wanita itu. "Makan! Biar kau mendapatkan berkah!" seru Rada, tertawa puas. Nahla hanya bisa diam, ia tidak memiliki keberanian untuk melawan orang di istana ini. Meskipun pelayan di sana. Wanita malang itu pun kembali ke kamar dengan perut yang begitu laparnya. Perlahan ia membuka pintu, agar tidak mengganggu suaminya. Namun, ia terkejut mendapati Zevaran sudah bangun, duduk di tepi ranjang sembari meletakkan ponselnya di nakas. Nahla merasa menderita, malu, dan tidak berdaya. Ia pun kembali ke tempatnya semula, meringkuk, menahan rasa sakit yang ia rasakan malam ini. "Bangun!" suara Zevaran mengagetkannya. "Iya, Tuan." Segara Nahla kembali berdiri, sebelum dirinya mendapatkan makian atau amukan dari suaminya. Bersambung.Zevaran menerima telepon dari Hamdan. Mereka harus segera mengatur pertemuan, setelah beberapa hari lalu mendapat kabar bahwa mafia tanah tersebut telah kembali ke kotanya.Zevaran, bukan orang yang suka berurusan dengan dunia hitam. Sebagai CEO, yang paling sering dia hadapi hanyalah ormas pemalak, yang mencoba mencari keuntungan dari perusahaannya. Namun, kali ini situasinya berbeda.Dengan gerakan cepat, dia menyambar jaket kulitnya dan mengenakan topi hitam, menambah kesan dingin pada ketampanannya.Saat keluar dari kamar, tubuhnya bertubrukan dengan Nahla yang hendak masuk.Nahla terhuyung ke belakang, sebelum terjatuh Zevaran sigap menangkap tubuh rampingnya. Sejenak mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat.‘Tampan sekali,’ gumam Nahla dalam hati. Jantung Nahla berdegup kencang saat napas suaminya menerpa wajahnya.Namun, momen itu tak berlangsung lama. Zevaran menarik tubuhnya menjauh lalu mendesis dingin. “Cero
Di tempat lain, pagi-pagi sekali Sinta sudah sibuk memasak makanan kesukaan putrinya. Sambil bersenandung, ia menyelesaikan pekerjaannya di dapur. Hati wanita paruh baya itu terasa bahagia membayangkan bisa menemui putrinya. Padahal ia sendiri tidak tahu apakah kesempatan itu benar-benar akan ada atau tidak.“Mau ke mana, Bu?” tanya Dawin sambil menguap lebar.“Temui Nahla,” sahut Sinta datar.Dawin seketika terbelalak mendekati ibunya. “Jangan, Bu! Suaminya sangat melarang kita berjumpa dengan Nahla. Anak buah Tarom selalu memperingati itu,” tutur Dawin risau.“Itu salahmu, adik sendiri kamu jadikan tebusan. Sekarang kita enggak tahu, di sana dia hidup apa mati!” decit Sinta kesal setengah mati. Dawin hanya mampu mengusak rambutnya frustrasi.Setelah masakkannya selesai, Sinta berangkat menggunakan ojek online menuju rumah besannya. Setibanya di sana, wanita setengah baya itu berdiri mematung di depan pagar tinggi yang menjula
Semakin hari, Nahla mulai bosan dengan kehidupannya terus-menerus terkurung di dalam mansion. Ia meminta izin kepada Salma untuk duduk di halaman depan."Boleh, tapi harus ditemani oleh pelayan," tukas Salma seraya memanggil salah satu pelayan yang sedang bekerja.“Amel, temani Nahla duduk di luar.”"Siap, Nyonya!" ucap pelayan tersebut. Pelayan tersebut mengikuti Nahla keluar mansion. Mereka duduk di taman depan rumah, di mana banyak tanaman yang mencuri perhatian Nahla."Oh iya, saya mau tanya. Pelayan yang biasa memiliki tahi lalat di dekat matanya, ke mana?" tanya Nahla, mengacu pada Rada."Oh itu. Beberapa waktu lalu dipecat oleh Tuan Zevaran," sahut pelayan itu, berdiri di sisi kiri Nahla.Nahla mengerutkan keningnya. "Kenapa? Apa dia punya masalah?""Kita semua kurang tahu. Soalnya, waktu itu dipecatnya tengah malam. Kita yang ada di kamar pada kaget."‘Masa iya sih! Tuan Zevaran memecatnya kare
Zevaran mencengkeram dagu istrinya dengan keras, wajahnya tampak seperti pria bengis tak memiliki hati. "Seharusnya kamu berterima kasih! Kalau bukan aku yang menikahimu, kamu sudah mati kemarin!" cetusnya sinis. Nahla hanya mampu menutup mata dan menahan napas karena rasa takut kembali merayap di hatinya. Dengan keras, Zevaran melepaskan cengkeramannya hingga membuat Nahla sempoyongan ke sisi lain. Tatapan pria itu tajam dan bengis."M-maaf Tuan, tolong jangan menyiksaku juga," lirih Nahla, fisiknya terlalu lelah terus mendapatkan siksaan. "Masuk ke dalam,” titah pria itu, dengan bentakan yang begitu keras. Nahla buru-buru masuk dan mengunci diri di kamar mandi. Di sana ia meluapkan tangisnya tanpa bisa menahan suara, terdengar oleh Zevaran yang masih berdiri di balkon. Dengan frustrasi ia mengusap wajahnya. 🍁🍁🍁 Malam harinya, Nahla duduk di sudut kamar dengan mata sembab. Hatinya terasa seperti ditusuk ribuan jarum, sulit baginya menerima kehidupan yang begitu menyeramkan
"Kamu tidur di atas.” Nahla menatap Zevaran dengan mata membesar, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Suaminya itu hanya melirik sekilas sebelum beranjak keluar dari kamar. Meninggalkan Nahla. Sesaat, Nahla terdiam. Matanya mengarah ke ranjang yang tampak lebih nyaman dibanding lantai dingin tempatnya berbaring tadi. Perlahan, ia naik ke atas ranjang. Begitu tubuhnya menyentuh kasur yang empuk, ia merasakan kehangatan menjalar di seluruh tubuhnya. Untuk pertama kalinya setelah pernikahan ini, ia merasa sedikit dihargai. ‘Dia tidak seburuk yang aku kira.’ Nahla menatap pintu yang tadi dilewati Zevaran. Hatinya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ada dalam pikiran pria itu? 🍁🍁🍁 ‘Kau gila, Zevaran. Kenapa tadi kau menyuruhnya tidur di ranjang?’ Ia mengepalkan tangan, kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya, ia tidak menunjukkan kebaikan sekecil apa pun pada Nahla. Seharusnya, ia tetap bersikap dingin seperti sebelumnya. Tapi entah kenapa, melihat wan
"Setelah pernikahan nanti, jangan gunakan perasaanmu. Aku tidak akan mencintaimu," ucapnya datar, melirik dengan ujung ekor matanya. Begitu tajam nan dingin. "Kenapa tidak membiarkanku mati saja?" lirih Nahla dalam putus asa. "Aku masih memiliki rasa manusiawi!" jawabnya tanpa menoleh sedikitpun. Zevaran pun kembali berlalu keluar menutup pintu dengan kasar. membuat wanita tersebut terkesiap. Nahla, kembali membenamkan wajahnya di antra lutut. ketakutan masih menguasai dirinya, siksaan dan makian masih menjadi bayang yang begitu mengerikan. Setelah ini apa yang akan ia alami selanjutnya, apakah tubuhnya masih mampu menahan setiap siksaan tersebut. 🍁🍁🍁 Keesokan harinya, pernikahan paksa tersebut benar-benar berlangsung dengan lancar tanpa masalah apa pun. Bahkan Nahla bersandiwara terlihat bahagia di hari pernikahan tersebut. Namun, tidak Zevaran yang murung. ‘Pantas saja, Tuan bangka itu memaksaku menikah dengan putranya. Ternyata tamu-tamunya orang petinggi,’ bisik Nahla
Seorang wanita cantik duduk di samping pintu kamar, wajahnya sembab, matanya bengkak. Pandangannya kosong, pikirannya kalut, mencari cara untuk keluar dari tempat yang kini menjadi penjaranya. "Kenapa harus aku? Jahat sekali kamu, Bang!" lirihnya dengan suara parau. Manik matanya bergerak gelisah, mencari celah untuk melarikan diri. Dengan cepat ia melangkah menuju jendela besar di hadapannya. Tangannya bergetar mencoba membukanya tetapi sia-sia. Pintu kaca itu terkunci rapat. Tatapannya beralih ke luar, tubuhnya menegang saat menyadari betapa tingginya lantai kamar ini. "Kalau aku nekat, aku bisa mati," bisiknya mundur dengan napas memburu, tangannya bergerak gelisah. Ia kembali berdiri di dekat pintu, mengigit kuku-kukunya. Saat pikirannya berkecamuk, samar-samar ia mendengar langkah kaki mendekat. Perasaannya mulai menegang saat pintu terbuka, seorang pelayan berwajah jahat berdiri di ambang pintu, mata wanita setengah baya itu membelalak melihat keadaan Nahla yang begitu kacau
“Ampun, Kak! Berhenti menyiksaku,” raung Nahla menahan sakit, sesekali Nahla menahan napas akibat sakit luar biasa yang ia dapati. Wanita itu meringkuk dengan tangan dan lutut yang mengucurkan darah segar. Wanita malang itu menerima kekerasan hebat dari kakaknya, Dawin. "Sudah aku bilang, kamu harus turuti perintahku, Nahla. Aku pasti berhenti menyiksamu?" cetus Dawin dengan seringai jahat, hanya dengan cara seperti inilah ia bisa membuat adiknya menyerah. Sinta, sang ibu, berusaha menghalangi putranya. Jeritan dan tangisan kedua wanita itu tidak lagi ia pedulikan. "Dawin, berhenti! Dia adikmu!" Sedangkan Nahla meringis menahan perih yang menyiksa sekujur tubuhnya. Ia menatap Dawin dengan tatapan sayu, kehabisan tenaga akibat penderitaan yang dialaminya. "Kenapa harus aku, Kak? Kita masih bisa kerja keras untuk melunasi hutang itu," lirih Nahla dengan air mata mengalir deras di pipinya. Dawin mendesis sinis. "Kapan? Uang hasil kerja saja hanya cukup untuk sehari-hari. Hanya