Hari ini hari ketujuh Edo dirawat. Izin untuk pulang pun sudah kukantongi. Namun aku kini menjadi bingung. Mau pulang kemana?
Drt... Drt... Drt... "Hallo," Baru saja pulang Mimi sudah langsung menghubungi. Memang temanku yang satu itu ter the best. "Pulang ke rumah aku saja. Emakmu masih emosi. Kasihan Edo nanti kalau sampai menjadi pelampiasan,"ucap Mimi. " Kamu sudah bertemu emak?"tanyaku. Rumah Mimi dan emak sebenarnya jauh. Hanya saja terkadang mereka sering bertemu di tempat belanja. " Sudah. Dia ngoceh ngga karuan! Yang kamu anak tak tau berterima kasih sudah punya suami tidak pernah memberi uang. Yang bilang kamu sudah mencoreng nama baiknya. Yang bilang kamu sudah egois melupakan keluarga. Banyaklah!" jawab Mimi yang membuatku mengelus dada. " Kamu ngga bilang kalau aku tidak pernah pegang uang?" tanyaku. " Lah si Oon! Sudah sampai berbusa mulutku berbicara. Tapi kamu tau apa jawaban emak saat ku beri tahu soal kamu ngga diberi nafkah, "halah, Rahma itu memang dasarnya saja lelit. Pasti tidak dibolehin sama Asep kalau dia mau memberi uang emaknya. Kalau benar tidak diberi, bagaimana mereka makan selama ini?" Aku sebenarnya tidak terima dengan semua perkataan emak. Tetapi mau bagaimana lagi, emak bukanlah orang yang mudah diberi pengertian. " Kenapa nasibku harus mempunyai emak dan mertua yang sama sifatnya sih, Mi? Kalau ditanggapi terus, kapan aku bisa nabung?" ungkapku lemah. Kecewa, marah dan kesal menjadi satu. "Tidak usah pikirkan itu. Yang penting untuk sekarang, kamu tata dulu hidup kamu. Cari kerja yang bisa bawa Edo sekalian. Kamu ngga punya cita-cita untuk menyusahkan aku dalam mengasuh Edo kan?" Aku hanya tertawa terbahak mendengarnya. Apa iya aku sebegitunya tidak punya pikiran sampai menyusahkan teman yang selalu membantuku? " Bikin usaha saja kayaknya, Mi! Usaha apa ya kira-kira?" Pikiranku menerawang memikirkan apa yang akan aku lakukan ke depan. "Kembali sama bos lama. Pekerjaanmu kan di sana bagus. Siapa tahu masih di beri kesempatan untuk bekerja lagi?" ucapnya. Aku hanya menghela napas perlahan. Ini sudah satu tahun lebih. Apa bos belum dapat pengganti? "Sudah setahun lebih. Apa mungkin dia belum dapat pengganti?" tanyaku ragu. "Kalau sudah dapat pengganti, cari pekerjaan lain. Nanti aku bantu," jawab Mimi kembali. "Pulanglah. Aku tunggu di terminal empat jam lagi. Hati-hati di jalan,"pesannya. Aku pun lekas beberes beberapa barang perlengkapan kami. Sekalipun tak aku hubungi bapak dari anakku. Biarkan saja! Dari pada membuat kerusuhan, lebih baik biar dia tidak datang saja. Setelah berpamitan dengan para dokter dan perawat, aku menunggu bus di depan rumahSaya sakit. Perjalanan empat jam ini bukanlah hal yang mudah. Apalagi sambil membawa Edo yang baru pulang dari rumah sakit. Sering kali rewel dalam waktu yang lama namun aku selalu mencoba bersabar. Aku pun selalu meminta maaf kepada penumpang yang lain karena terganggu ulah anakku. "Mbak, coba jendelanya sedikit dibuka. Mungkin adiknya kegerahan,"ucap ibu-ibu di kursi seberang. Aku menurutinya dan membuka sedikit. Udara dari luar membuat angin semilir masuk melalui celahnya. Edo mulai merasa sedikit tenang. Aku kembali duduk mencari posisi nyaman. Hingga getar ponsel mengalihkan perhatianku. " Kamu kemana?" "Sudah pulang bukannya mengabari suami malah menghilang. Mau coba untuk menjadi per** lagi?" "Lekas pulang!" "Jangan coba-coba untuk menambah rasa maluku, Rahma! Cepat pulang." Lekas kuketik balasan untuk suami tercinta tak tahu diri itu. Aku sudah sangat memendam emosi dan sakit hati selama beberapa hari ini. "Aku tidak akan pulang. Tunggu saja sampai aku punya uang. Aku ingin kita lekas berpisah." Setelah balasan itu terkirim, aku memblokir nomor suamiku itu. Mungkin ini lebih baik agar pikiranku bisa sedikit waras. Baru saja tenang, ponselku sudah kembali berdering. Rupanya dari laki-laki masa lalu. Aku menghembuskan napas kasar. " Kamu mau melarikan diri? Jangan pernah berpikir bahwa lepas dariku itu mudah! Akan kukejar kamu kemana pun karena aku tak akan pernah melepaskanmu untuk kali ini.""Kenapa kalian dulu berpisah?" Aku dan Mimi menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di sekitar rumah sore ini karena sedari tadi aku sudah merasa tidak nyaman di punggung belakangku. "Karena ada masalah," jawabku singkat. Ya kali aku mau bilang kalau kami berpisah karena kepercayaan kuno? Kan tidak masuk akal! "Masalah apa? Aku lihat Rahmat sangat mencintaimu. Jadi pasti bukan dia yang buat masalah kan?" cerca Mimi lagi. Aku hanya menghembuskan napas lelah. Aku tak mau membongkar hal tak penting di masa lalu. Tetapi kenapa, Mimi malah mengoreknya sedari tadi. "Itu semua hanya masa lalu, Mi! Yang mungkin juga akan menjadi masalah suatu saat nanti juga karena kini semua orang menjadi tau, bahwa kami kembali bersama," Aku terdiam. Namun tidak dengan kakiku. Rasa panas di punggung sedari tadi membuatku semakin yakin kalau buah hatiku semakin tidak sabar untuk keluar dari dalam perut. " Balik yuk! Ngeri aku mendengarmu merasakan kesakitan. Apa operasi aja yuk! Jangan khawatir. Nant
"Ngapain kamu disini?" Pagi-pagi buta Mimi sudah terlihat di depan rumahku. Kurang kerjaan sekali sebenarnya. Mentang-mentang sekarang sudah tak kerja malam, jam segini sudah berkeliaran di rumah orang. "Mau jaga kamu. Siapa tau mau lahiran kan?" ucapnya santai. Mimi segera masuk ke dalam kamar yang biasa ia gunakan saat menginap disini. "Edo mana?" tanyanya langsung saat boneka hidupnya tak terlihat. Aku hanya menggeleng melihat sahabatku tak tau diri itu. "Ini masih jam lima. Edo juga masih terlelaplah." Tak kuhiraukan lagi keberadaannya. Aku harus segera beberes mumpung Edo belum terbangun. "Ngga usah masak! Aku dah pesan gulai dari waring depan gang. Lebih baik sekarang, kamu prepare apa yang akan kamu bawa kalau sampai melahirkan." Mimi beralih menuju lemari perlengkapan bayiku. Sedangkan aku, aku malah memilih berdiam diri sembari melihat betapa repotnya sahabatku itu. " Perlengkapan mandi dibawa tidak?" tanya Mimi padaku. Aku hanya menggeleng sebagai jawaba
"Do'amu terkabul. Aku akan menikah dengan seorang mafia." ucap Mimi dengan santainya. Aku sontak tertawa mendengar gurauan Mimi yang tidak tau aturan. Mana ada mafia di zaman sekarang. "Kalau bercanda yang masuk akal sedikit. Mana ada mafia di negara kita," balasku seraya terkekeh. Ada-ada saja!!! Namun tatapan mata tajam Mimi membuatku merasa kalau dia sedang tidak bercanda. "Mi,,," ucapku seraya membalas tatapan tajam matanya. Mimi hanya menjawab dengan mengangguk sebagai jawabannya. Namun... "Hwa...bagaimana ini, Ma! Kenapa ada manusia seperti dia yang mau menerima sampah seperti aku." Teriakan Mimi yang melengking membuat Edo yang sedang bermain pun menjadi ikut terkejut dan menangis. Lekas saja kegeplak punggungnya gemas karena teriakan dia, membuat Edo terkejut dan menangis. " Cup cup cup, sayang! Tante ngga marah kok. Cup cup cup ya." Aku mencoba mengangkat Edo dan menimangnya agar bisa diam. " Jangan teriak bisa ngga sih. Kalau anakku sudah menangis kaya
"Mau kemana kamu?" Aku sebenarnya sudah sangat kesal dengan kehadiran mas Rahmat disini. Tak tau kah dia kenapa aku lebih memilih rumah yang tiada tetangga seperti ini untuk dikontrak? Tentu saja untuk menghindari ucapan pedas dari orang-orang yang mengenalku sebagai orang ketiga diantara pernikahan Rahmat dan Agnes. Namun sepertinya, mas Rahmat tidak pernah peduli tentang hal itu. "Mau apalagi sih kamu kemari, Mas? Aku sudah lelah menjadi pergunjingan warga karena kehadiran kamu yang terus-menerus membuat aku selalu saja disindir yang ngga-ngga," seruku yang mulai lelah dengan sikap mas Rahmat yang bebal. Apalagi Agnes pun pernah datang ke rumah ini hanya untuk mencaci makiku. Sungguh! Kesalahan pertama yang berdampak selamanya kalau sudah seperti ini. " Apanya lagi yang mesti dipermasalahkan sih? Aku duda, kamu janda. Lalu apa salahnya?" ucap mas Rahmat tanpa merasa bersalah. Ingin rasanya kuremas mulut mas Rahmat yang terlalu santai dengan keadaan. Sama sekali dia tak per
Pov Rahma "Kita buat acara tujuh bulanan yang bagaimana ya sebaiknya?" ucap Rahmat dengan senyum melebar mengungkapkan betapa bahagianya dia dengan kehamilanku ini."Huft... Apa kamu ngga malu dengan kehamilanku ini? Setidaknya, jika kamu ngga malu, pikirkan bagaimana perasaanku," ucapku sembari menimang Edo yang terlihat sudah sangat ngantuk sekali. "Kenapa harus malu? Tak ada yang memalukan dengan anak kita," kekeh Rahmat yang membuatku menggeram kesal. "Anak ini ada di luar pernikahan. Nasabnya jatuh padaku, ibunya. Semua orang bahkan tau bahwa aku adalah orang ketiga diantara hubunganmu dengan Agnes dulunya. Apa kamu sadar beban apa yang akan ditanggung anakmu?" tanyaku berapi-api. Bukan aku tak menerimanya. Aku hanya menyesalkan kehadirannya yang diluar pernikahan. Itu akan menjadi ujian yang berat kala ia dewasa nanti. "Aku hanya akan berdoa kepada Tuhan saja semoga aku dan dia baik-baik saja, diberi kelancaran sampai melahirkannya nanti, dia lahir dengan sempurna tanpa
" Dia akan menjadi princess yang cantik dan penuh percaya diri karena ayahnya akan selalu menjadi garda terdepan untuk selalu melindunginya," ucap Rahmat sembari bernapas lega, perempuan yang selama ini dicarinya kini telah ketemu. Apalagi saat melihat perut Rahma yang membuncit, semakin yakin pula bahwa mimpinya bukan sekedar bunga tidur. Rahma dan Mimi tak bisa menyembunyikan raut wajah terkejut. Darimana laki-laki ini bisa menemukan lokasi tempat tinggal Rahma? "Aku sudah membuntuti Mimi berulang kali. Namun baru kali ini tujuan kepergiannya sama seperti tujuanku." Rahmat mendekati Rahma dan mencoba mengelus perutnya. Sebuah sambutan luar biasa karena anak di dalam perutnya juga bergerak seakan mengetahui jika yang menyentuhnya adalah ayahnya. " Selamat sore, anak ayah! Sehat kamu, Nak,"ucap Rahmat yang dibalas sundulan dari janin yang ada didalam perut Rahma. Rahmat tentu saja sangat bahagia pertanyaannya mendapatkan sambutan. Rahma yang tersadar akan kelakuan Rahmat seg