13. Peringatan
***
Rasya mengusap wajahnya kasar sembari mengendarai mobil dengan perasaan penuh penyesalan. Napasnya masih memburu kala mengingat hal yang baru saja terjadi padanya. "Bodoh. Bodoh kau Rasya," makinya tiada henti pada dirinya sendiri. Ya. Makian itu memang pantas ia terima.
Belum pernah ia merasa menjadi seorang pecundang sebelumnya. Namun, kali ini, kelakuannya benar-benar mencerminkan seorang pecundang.
Bahkan bisa disebut dengan lelaki pengecut, brengsek. Bisa-bisanya. Bisa-bisanya ia melakukan hal semenjijikkan itu. Ya Tuhan.
Tiada henti Rasya merutuki dirinya sendiri. Benar-benar merasa menjadi seorang suami yang tidak tahu diri. Rasya menghentikan laju mobilnya di salah satu mini market saat ia melihatnya. Memutuskan untuk membeli sebotol air mineral dingin untuk mendinginkan pikirannya sejenak.
Rasya menyiramkan air mineralnya yang tinggal sete
14. Gelisah *** "Tasya!" Suara riang nan keras itu menggema kala sang pemilik memasuki sebuah apartemen. Bertingkah seperti sang pemilik, ia melangkah pasti memasuki apartemen itu tanpa takut. Meneliti setiap sudut bangunan untuk mencari penghuni sebenarnya. Tiada ragu ia memasuki sebuah kamar kala dirinya tidak mendapati sosok yang dicari sedari tadi. Berharap seseorang itu memang berada di ruangan tersebut. Matanya melebar dan senyumnya merekah kala ia mendapati sosok yang sedari tadi ia cari tengah berdiri memunggunginya. Seperti tengah asyik memandangi hiruk pikuk suasana malam perkotaandan bergelayut manja dengan pikirannya. "Hem. Sedang melamun ternyata," ucapnya sembari berkacak pinggang. "He
15. Konsultasi *** "Hallo, Tante!" Suara milik wanita cantik itu menggema di dalam rumah milik keluarga Yarendra. Sapaan riang itu menyadarkan Desi yang tengah asyik dengan majalah fashion di pangkuannya. Dengan wajah bahagia, Desi bangkit untuk menyambut si pemilik suara dengan rangkulan dan ciuman hangat. "Zizi. Ya ampun, Tante kangen," ucap Desi sembari memberikan ciuman di pipi kiri dan kanan Zizi. Sungguh. Penyambutan yang berbeda sekali dengan yang biasa ia lakukan terhadap Ava. "Aduh. Calon mantu, Tante yang satu ini semakin cantik saja." Ucapan Desi yang memuji Zizi berhasil membuat Zizi mengembangkan senyum dan merona. "Duduk dulu, Sayang!" Keduanya duduk berdampingan pada sofa panjang. "Bibi. Buatkan dua minuman!" teriak Desi pada asisten rumah tangganya. Sesaat kemudian, atensi Desi kembali ter
16. Kesempatan *** Rasya memarkirkan mobilnya di depan rumah kedua orang tuanya. Dengan langkah pelan ia memasuki kediaman keluarga Yarendra. Memutar kunci mobil pada jari tangan kanan, tidak lupa bibir yang bersenandung lirih. Bibirnya membentuk senyuman saat melihat sang mama yang tengah santai menonton tivi. "Ma," panggilnya. Ia duduk di sebelah Desi dan merangkulnya lembut. "Tumben kamu ke sini?" tanya Desi. Bola matanya menelisik pakaian Rasya. "Dari kantor langsung ke sini?" Rasya mengangguk. "Ada perlu?" tanya Desi lagi. "Papa manggil aku, Ma. Aku diminta menemui Papa sore ini," jelas Rasya. Kening Desi terlipat, merasa bingung. "Papa minta kamu datang?" Rasya mengangguk. "Ada apa? Kok Mama tidak tahu?" Rasya mengedikkan bahunya acuh. "Rasya
17. Ternyata *** Kafka mengendarai mobilnya dengan perasaan bahagia. Kafka baru saja menangani sebuah proyek yang dipercayakan pada dirinya oleh sang papa. Dan semakin ia bangga karena dirinya telah berhasil meyakinkan klien incaran perusahaannya di pertemuan pertama. Kesepakatan kerjasama di antara keduanya pun terjadi. Ah, papanya pasti bangga saat mengetahui apa yang dipercayakan padanya telah berhasil ia genggam. Cukup dengan satu kali percobaan. "Papa pasti bangga," ucapnya. Dalam berkendara, Kafka menangkap siluet yang sangat ia kenali. Tanpa memastikan dua kali pun, ia yakin akan sosok itu. yang menjadi pertanyaannya adalah untuk apa dia berada di sini? Tanpa mempertimbangkan lagi, Kafka segera membelokkan mobilnya ke tempat itu. Mencoba untuk menemuinya. Baru
18. Salah Minum *** "Kafka," panggil Ava tidak terlalu keras namun masih bisa didengar oleh orang yang ia lihat. Sosok itu berbalik menghadapnya. Ava tersenyum kala yang ia lihat tidaklah salah. Dapat Ava lihat wajah terkejut dari sosok yang baru saja ia panggil. Ava mendekati orang itu dengan senyumnya. "Ava," panggil orang itu yang tidak lain memanglah Kafka. "Kafka. Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Ava dengan senyumnya. "Aku mengantar klien yang sakit." Jawaban Kafka membuat Ava memicingkan matanya. "Baik banget kamu?" Kafka terkekeh. "Tadinya kita rapat. Tiba-tiba saja dia mengeluh sakit. Jadinya aku antar saja ke rumah sakit. Kebetulan juga rumah sakit ini yang paling dekat dengan tempat kami meeting." Ava hanya menganggukkan kepalanya tanda ia menerima jawaban dari Kafka.
19. Panas *** Sebuah gerakan langkah eksotis tercetak dari kaki jenjangnya. Menapaki lantai ruangan yang terasa begitu dingin di pekatnya awan mendung. Menuju tempat halus nan nyaman dan hangat. Mencoba menciptakan alunan yang ingin dimainkan. Menahan beban pada kedua tangan akan sosok cantik dalam gendongannya, raut mata tidak terbaca tidak pernah lepas akan kemolekan tubuh dalam dekapannya. Bak porselen rapuh, lengan kokoh itu merebahkan siluet nan anggun dengan kemeja. Jari panjang menyusuri setiap sapuan kulit halus nan putih dari lekukan tubuh wanita yang didambanya. "Ah." Suara merdu itu tercipta begitu saja kala telapak tangan nakal menapaki sebuah kekenyalan yang padat. Belaian-belaian halus ia sapukan pada tubuh sexy yang berada di bawah Kungkungannya. "Please!" Permohonan itu keluar begitu saja dari bibir s
20. Sesal *** Mata cantik itu mulai mengerjap pelan. Perlahan terbuka kecil untuk menyesuaikan cahaya lampu temaram yang menerpa pandangan.Beberapa kali mengerjap untuk memastikan apa yang tertangkap penglihatan, dahinya mengernyit bingung kala berhasil menyadarkan diri seutuhnya. Interior dinding yang didominasi warna hitam menampakkan tempat asing yang mencoba diingat. Bergerak pelan, perasaannya menjadi campur aduk kala ia merasakan kulitnya menyentuh sebuah kain halus. Tidak ingin hanya menduga duga, ia mulai mengintip bawah selimut yang ia kenakan. Matanya membulat seketika saat mendapati tubuhnya tengah dalam keadaan telanjang bulat. Polos tanpa sehelai benang pun. Perempuan itu mulai mengedarkan pandangannya, iris hazle kembali membulat semakin lebar kala ia mendapati sesosok tubuh kekar yang tengah terbaring di sampingnya. Sontak saja ia mene
21. Amarah Rasya *** Pukul delapan malam, mobil Kafka sudah terparkir di depan rumah Ava. Tanpa ada kata, Ava langsung membuka pintu mobil dan meninggalkan laki-laki yang semalam telah seranjang dengannya begitu saja. Berjalan lurus tanpa menoleh untuk memasuki rumahnya. Meninggalkan Kafka yang menatapnya tanpa kata, meninggalkan Kafka dengan tatapan bingung. Sesaat kemudian, senyum menawan terpatri di wajah pria itu. Sesungguhnya, bukannya takut akan sikap Ava, Kafka merasa Ava malah terlihat lucu. Bahkan, ia sangat ingin tertawa jika tidak mengingat tempatnya berada saat ini. Dengan wajah bahagianya, Kafka menyalakan mesin mobil, menjalankan ke arah jalanan dan bersatu dengan mobil yang lain, mulai meninggalkan pekarangan rumah Ava. Di sisi lain, Ava menghempaskan tubuhnya di atas ranjang kamar. Menangis tersedu-sedu menyesali semua perbuatannya. Untung saja saat i