16. Kesempatan
***
Rasya memarkirkan mobilnya di depan rumah kedua orang tuanya. Dengan langkah pelan ia memasuki kediaman keluarga Yarendra. Memutar kunci mobil pada jari tangan kanan, tidak lupa bibir yang bersenandung lirih.
Bibirnya membentuk senyuman saat melihat sang mama yang tengah santai menonton tivi. "Ma," panggilnya. Ia duduk di sebelah Desi dan merangkulnya lembut.
"Tumben kamu ke sini?" tanya Desi. Bola matanya menelisik pakaian Rasya. "Dari kantor langsung ke sini?"
Rasya mengangguk. "Ada perlu?" tanya Desi lagi.
"Papa manggil aku, Ma. Aku diminta menemui Papa sore ini," jelas Rasya.
Kening Desi terlipat, merasa bingung. "Papa minta kamu datang?" Rasya mengangguk. "Ada apa? Kok Mama tidak tahu?"
Rasya mengedikkan bahunya acuh. "Rasya
17. Ternyata *** Kafka mengendarai mobilnya dengan perasaan bahagia. Kafka baru saja menangani sebuah proyek yang dipercayakan pada dirinya oleh sang papa. Dan semakin ia bangga karena dirinya telah berhasil meyakinkan klien incaran perusahaannya di pertemuan pertama. Kesepakatan kerjasama di antara keduanya pun terjadi. Ah, papanya pasti bangga saat mengetahui apa yang dipercayakan padanya telah berhasil ia genggam. Cukup dengan satu kali percobaan. "Papa pasti bangga," ucapnya. Dalam berkendara, Kafka menangkap siluet yang sangat ia kenali. Tanpa memastikan dua kali pun, ia yakin akan sosok itu. yang menjadi pertanyaannya adalah untuk apa dia berada di sini? Tanpa mempertimbangkan lagi, Kafka segera membelokkan mobilnya ke tempat itu. Mencoba untuk menemuinya. Baru
18. Salah Minum *** "Kafka," panggil Ava tidak terlalu keras namun masih bisa didengar oleh orang yang ia lihat. Sosok itu berbalik menghadapnya. Ava tersenyum kala yang ia lihat tidaklah salah. Dapat Ava lihat wajah terkejut dari sosok yang baru saja ia panggil. Ava mendekati orang itu dengan senyumnya. "Ava," panggil orang itu yang tidak lain memanglah Kafka. "Kafka. Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Ava dengan senyumnya. "Aku mengantar klien yang sakit." Jawaban Kafka membuat Ava memicingkan matanya. "Baik banget kamu?" Kafka terkekeh. "Tadinya kita rapat. Tiba-tiba saja dia mengeluh sakit. Jadinya aku antar saja ke rumah sakit. Kebetulan juga rumah sakit ini yang paling dekat dengan tempat kami meeting." Ava hanya menganggukkan kepalanya tanda ia menerima jawaban dari Kafka.
19. Panas *** Sebuah gerakan langkah eksotis tercetak dari kaki jenjangnya. Menapaki lantai ruangan yang terasa begitu dingin di pekatnya awan mendung. Menuju tempat halus nan nyaman dan hangat. Mencoba menciptakan alunan yang ingin dimainkan. Menahan beban pada kedua tangan akan sosok cantik dalam gendongannya, raut mata tidak terbaca tidak pernah lepas akan kemolekan tubuh dalam dekapannya. Bak porselen rapuh, lengan kokoh itu merebahkan siluet nan anggun dengan kemeja. Jari panjang menyusuri setiap sapuan kulit halus nan putih dari lekukan tubuh wanita yang didambanya. "Ah." Suara merdu itu tercipta begitu saja kala telapak tangan nakal menapaki sebuah kekenyalan yang padat. Belaian-belaian halus ia sapukan pada tubuh sexy yang berada di bawah Kungkungannya. "Please!" Permohonan itu keluar begitu saja dari bibir s
20. Sesal *** Mata cantik itu mulai mengerjap pelan. Perlahan terbuka kecil untuk menyesuaikan cahaya lampu temaram yang menerpa pandangan.Beberapa kali mengerjap untuk memastikan apa yang tertangkap penglihatan, dahinya mengernyit bingung kala berhasil menyadarkan diri seutuhnya. Interior dinding yang didominasi warna hitam menampakkan tempat asing yang mencoba diingat. Bergerak pelan, perasaannya menjadi campur aduk kala ia merasakan kulitnya menyentuh sebuah kain halus. Tidak ingin hanya menduga duga, ia mulai mengintip bawah selimut yang ia kenakan. Matanya membulat seketika saat mendapati tubuhnya tengah dalam keadaan telanjang bulat. Polos tanpa sehelai benang pun. Perempuan itu mulai mengedarkan pandangannya, iris hazle kembali membulat semakin lebar kala ia mendapati sesosok tubuh kekar yang tengah terbaring di sampingnya. Sontak saja ia mene
21. Amarah Rasya *** Pukul delapan malam, mobil Kafka sudah terparkir di depan rumah Ava. Tanpa ada kata, Ava langsung membuka pintu mobil dan meninggalkan laki-laki yang semalam telah seranjang dengannya begitu saja. Berjalan lurus tanpa menoleh untuk memasuki rumahnya. Meninggalkan Kafka yang menatapnya tanpa kata, meninggalkan Kafka dengan tatapan bingung. Sesaat kemudian, senyum menawan terpatri di wajah pria itu. Sesungguhnya, bukannya takut akan sikap Ava, Kafka merasa Ava malah terlihat lucu. Bahkan, ia sangat ingin tertawa jika tidak mengingat tempatnya berada saat ini. Dengan wajah bahagianya, Kafka menyalakan mesin mobil, menjalankan ke arah jalanan dan bersatu dengan mobil yang lain, mulai meninggalkan pekarangan rumah Ava. Di sisi lain, Ava menghempaskan tubuhnya di atas ranjang kamar. Menangis tersedu-sedu menyesali semua perbuatannya. Untung saja saat i
22. Kedatangan Kafka *** Cahaya lampu temaram menghiasi tempat gelap ini. Suara dentuman alunan musik yang memekakkan telinga turut meramaikannya. Aroma menyengat dari berbagai merk alkohol menyatu dengan keringat para lautan manusia yang tengah asik meliukkan tubuhnya secara setengah sadar di atas lantai dansa. Bercampur dan berbaur menjadi satu. Tidak peduli tua atau muda, laki-laki atau perempuan, pejabat atau gelandangan, yang ada hanya kesenangan. Seseorang pria menggunakan kemeja dengan kancing bagian atas yang telah terbuka, serta lengan baju yang ditekuk hingga siku tengah turut menikmati pesta malam ini. Dia ... adalah Rasya. Ya, di sinilah pria itu saat ini. Duduk di atas kursi dan bersandar tidak berdaya pada meja bar. Satu tangan memegang gelas berisi cairan berwarna merah kehitaman. Kepala yang hampir menyentuh meja tidak membu
23. Memaksa *** "Hai, Sayang." Sapaan Kafka yang terdengar begitu sensual. Entah kenapa membuat Ava yang mendengar menjadi bergidik takut akan sikap pria di hadapannya. Ia seakan mendapati diri Kafka yang lain saat ini. Belum lagi saat tiba-tiba saja ingatan akan apa yang terjadi beberapa waktu lalu di antara mereka hadir berkelebat begitu saja, semakin membuat wanita itu merasa khawatir. Satu jentikan jari Kafka membuyarkan lamunan Ava akan kejadian beberapa hari lalu. Ditatapnya sang sahabat masa kecil yang saat ini menampilkan senyum smirk di hadapannya. Jangan tanya seberapa gelisahnya Ava saat ini. "Kamu tidak mempersilakan aku untuk masuk?" tanya Kafka. Pasalnya, mereka kini masih berdiri di ambang pintu. Mendengar itu, Ava semakin mengeratkan genggaman pada gagang pintu. Merapatkan tubuhnya pada daun k
24. Pelukan Kafka *** Pembicaraan beberapa waktu lalu di meja makan yang sempat membuat keduanya bersitegang di pagi hari, kini berlanjut membawa pasangan ini ke rumah sakit. Meski Rasya menampakkan wajah datar, Ava tetap menerbitkan senyum lebar. Tepat keesokan hari setelah kejadian itu dialaminya, Rasya tiba-tiba saja datang dan mengatakan kalau suaminya itu menyanggupi apa yang sempat Ava utarakan. Beberapa hari berlalu. Pasangan suami istri ini kembali lagi pada rumah sakit yang sama. Seperti halnya Ava, Rasya pun juga ditangani oleh Dokter Najwa. Selain memang dokter kepercayaannya, ia berpikir agar mudah berkonsultasi dengan apa yang selama ini telah dialami. Duduk berdampingan pada kursi pasien tentu saja membuat denyut jantung Ava berdetak tidak semestinya. Selain karena menunggu hasil dari pemeriksaan, ia masih memikirkan akan sika