Share

5. Tangisan Ava

5. Tangisan Ava

***

Kafka keluar dari ruang kerja papanya. Meninggalkan Tuan Yarendra bersama temannya. Ingin segera melihat wajah cantik perempuan yang ia cintai. Mata, hidung mungil, bibir tipis juga senyum manisnya. Ah, sungguh cantik dan memabukkan. Ava memang benar-benar membuat dirinya gila.

Ayolah, Kaf. Bahkan semua yang ada di tubuh Ava selalu membuatmu mabuk. Pria dengan kaus biru donker itu hanya bisa menggelengkan kepala dan tersenyum saat menuruni tangga.

Namun, senyum Kafka menghilang kala ia melihat Ava menangis dan berlari ke arah taman belakang. Tanpa berpikir dua kali, ia pun memutuskan untuk mengejarnya, tidak ingin terjadi apa-apa dan juga berharap mengetahui penyebab Ava menitikkan air mata.

Langkah Kafka turut terhenti kala melihat perempuan itu yang tiba-tiba saja berhenti dan mematung di tengah pintu penghubung rumah dan pintu belakang. Merasa penasaran, Kafka pun mencoba mencari tahu.

Di sana, Kafka dapat melihat sang Kakak bersama dengan wanita yang ia tahu adalah teman kakaknya dulu. Tidak heran mengapa Ava menghentikan langkah secara tiba-tiba.

Ava pasti merasa sakit hati saat melihat suaminya. Apalagi, Rasya bersikap terlihat begitu mesra dengan wanita yang ia ketahui bernama Tasya. Melihat hal itu, entah kenapa hatinya tidak merasa kasihan pada Ava.

Yang ada, Kafka malah merekahkan senyumnya. Katakanlah ia sinting karena lebih suka melihat Ava seperti ini. Syukur-syukur kalau perempuan itu sampai membenci suaminya.

Saat melihat Ava berbalik, dengan segera Kafka menyembunyikan tubuhnya. Bisa dilihat dengan jelas tangan mulus itu mencoba untuk menghapus jejak air mata di pipi chubbynya

Tidak mungkin membiarkan Ava dalam keadaan seperti itu sendirian, Kafka memutuskan untuk tetap mengikutinya. Mengamati Ava yang saat ini tengah berpamitan pada sang mama. Tidak lama kemudian kalanya Rasya datang dari arah samping rumah seorang diri.

Kafka yang sebelumnya tersenyum, kini menjadi sebuah seringai sinis. Ia mengepalkan kedua tangannya saat melihat sang kakak yang dengan bodoh malah memilih untuk tetap tinggal dari pada mengantarkan Ava untuk pulang. Hei. Apakah laki-laki itu tidak tahu kalau istrinya sedang merasakan sakit hati?

Kafka berdecih sinis. "Suami seperti itulah yang kamu harapkan, Va?" Monolog Kafka.

Jujur, ia memang senang saat melihat sebuah perselisihan Rasya dan Ava. Akan tetapi, jika melihat raut wajah perempuan yang ia cintai yang terluka, sungguh ia pun merasa ikut tersakiti. Tidak terima.

Kafka tahu, pasti saat ini Ava merasa terluka. Terlihat jelas bahunya yang terguncang saat keluar rumah. Menghela napas dalam, ia tidak akan membiarkan perempuan itu terluka sendiri.

Mengambil salah satu kunci mobil dari laci tempat biasa penghuni menyimpan semua kunci kendaraan, Kafka berjalan ke arah ruang keluarga dengan santai. "Ma. Kafka mau keluar. Ada janji sama teman."

"Eh, kok pergi. Temani Zizi dong, Kaf." Desi yang melihat putranya akan keluar rumah berusaha mencegahnya, mencoba untuk membuat Kafka tetap tinggal.

"Maaf, Ma. Kafka sudah janji sama mereka. Tidak mungkin Kafka tidak datang atau membatalkannya," jawabnya tegas. Mimik wajah masih datar berharap mamanya mengerti kalau ia tidak menyukai apa yang direncanakan.

"Ya sudah. Kamu ajak saja Zizi." Kedua tangan Kafka yang masih berada di dalam saku celana terkepal melihat kegigihan ibunya untuk menjodohkan dirinya dengan wanita bernama Zizi.

"Semua teman Kafka laki-laki, Ma. Jadi Kafka tidak bisa membawa Zizi." Tidak ingin mendengar alasan lagi dari mamanya, Kafka segera berlalu dari ruangan yang menurut Kafka terasa memuakkan.

Sedangkan Zizi yang melihat sikap Kafka seperti itu, semakin merasa terobsesi untuk mendekati dan mendapatkannya. Bagi perempuan itu, pria yang jual mahal terlihat lebih seksi.

Saat sampai di luar rumah, pandangan Kafka mengedar. Mencari keberadaan Ava. "Dimana dia?" Keluar pagar, ia menoleh ke kanan dan kirim namun, tidak juga melihat sosok Ava.

"Lebih baik aku mencarinya." Berlari ke arah mobil, ia memasuki dan mulai menyalakan mesin. Lalu menjalankan keluar dari kediaman Yarendra.

Kafka dengan segera mengendarai mobilnya sembari melihat sisi jalan. Mencari seseorang yang ia cintai. Berharap tidak terjadi apa-apa kala rasa khawatir semakin menyeruak. "Semoga saja dia tidak bertemu dengan preman, perampok atau semacamnya.

Embusan napas kelegaan ia hela kala melihat sosok mungil yang selalu ia cintai. Kafka bisa melihat betapa sedihnya wanita itu. Dengan segera, Kafka menghentikan mobilnya tepat di depan perempuan itu. Begitu terlukanya Ava saat ini. Hingga kedatangan mobil Kafka pun ia tak menggubrisnya.

Tidak ingin wanita yang ia cintai lebih bersedih, Kafka segera turun untuk menghampirinya. "Ava," panggil Kafka pelan, ia memandang sosok yang menunduk dengan bahu beregtar.

Ava mendongak ketika mendengar suara seseorang memanggilnya. Siluet sang sahabat berdiri tegak di hadapannya  "Kaf," panggil Ava dengan nada lirihnya.

Oh tidak, Kafka benci air mata itu. Sigap ia duduk di samping Ava, mengulurkan tangan untuk menghapus lelehan air asin itu. Menangkup wajah Ava, ia memberikan kecupan pada kedua kelopak mata yang terlihat sembab itu.

Kafka membawa tubuh mungil yang ia cintai dalam rengkuhannya. Memberikan elusan di punggung untuk meredakan kesedihan Ava. Tanpa kata, Ava pun membalasnya.

"Ssst udah. Jangan nangis. Aku sudah bilang. Aku tidak suka melihat kamu menangis." Ava masih sesenggukan dalam dekapan Kafka. Sedang Kafka tidak henti-hentinya mengusap punggungnya.

"Aku benci. Aku benci diriku yang lemah." Ava menumpahkan kekesalan di dalam pelukan Kafka.

"Kamu tidak lemah, hanya terllau sabar," ucap Kafka menenangkan.

"Aku benci. Aku benci kakak kamu," ucap Ava kembali. Kali ini ia sedikit memberikan pukulan pada dada sang sahabat.

"Iya, bencilah. Kakakku memang bajingan." Dalam hati ia tertawa puas.

"Aku benci. Aku benci mama kamu."

"Iya, bencilah. Mamaku memang jelmaan iblis." Ava terkekeh di dalam dekapan Kafka.

Melepaskan pelukan sang sahabat, Ava merajuk. "Kamu mah begitu."

Kening Kafka terlipat. "Ya aku harus bagaimana. Benci dan cinta itu, kan terserah kamu. Masak aku harus bilang. Jangan. Kakakku, kan suami kamu. Jangan, mamaku itu jelmaan malaikat," ucapnya dengan nada dibuat-buat.

Ava pun tidak bisa lagi untuk menahan tawa, ia tertawa meski wajah masih dipenuhi air mata. Di tempatnya Kafka bersyukur telah berhasil mengembalikan keceriaan perempuan di hadapannya.

"Kamu mah begitu," ucap Ava yang masih terkekeh di sela kegiatannya yang membersihkan jejak air mata di pipi.

Kafka tersenyum. "Aku antar kamu pulang, ya?” Ava hanya bisa mengangguk.

Dengan perlakuan manisnya, Kafka menggandeng Ava saat masuk ke mobilnya. Membantu untuk memakai sabuk pengamannya. Setelah itu ia segera memutari mobil ke arah kemudi.

"Siap?" tanya Kafka saat ia sudah duduk di balik kemudi. Ava mengangguk dengan senyuman yang membuat pria itu segera menjalankan mobilnya.

Tidak ada percakapan dalam perjalanan mereka. Hanya ada kesunyian yang melingkupi. Mobil berhenti saat lampu merah menyala. Tatapan Kafka kini beralih pada Ava yang sudah terlelap dalam tidurnya. Mungkin, ia merasa lelah karena terlalu lama menangis.

Dengan keberanian penuh, Kafka membelai wajah Ava. "Aku tidak akan membiarkan kamu terus-terusan bersedih. Kamu ada hanya untuk bahagia. Dan akulah yang akan membuatmu bahagia. Aku janji," ucap Kafka. Meskipun ia yakin kalau Ava tidak akan mendengarnya.

Kafka mendekatkan wajahnya pada Ava. Dengan gerakan pelan, ia mengecup kening Ava penuh kasih, dan segera melepasnya agar Ava tidak terbangun. Pria bermata tajam itu kembali melajukan mobilnya saat lampu telah berubah warna. Tatapan elangnya terarah pada jalan di depannya.

Dengan mengendarai penuh kehati-hatian, dalam hati Kafka berkata, “Melihat kelakuan Kakak seperti ini, membuat aku semakin yakin untuk merebut Ava darimu, Kak."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
🌹isqia🌹
lanjutkan kaf, semoga berhasil.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status