Share

4. Teman Lama

Teman Lama

***

"O, jadi Tasya ini teman SMA kamu? Kok Mama enggak pernah tahu, ya?" Desi bertanya dengan antusias ketika baru saja mengetahui sebuah fakta.

Saat ini, Rasya, Desi beserta tamunya tengah berkumpul di ruang keluarga, berbincang ringan tentunya.

Ava? Seperti biasa, ia akan menghindari obrolan ringan dengan sang mertua untuk menyelamatkan hatinya. Kalian pasti mengerti bukan?

Sedangkan Kafka, pria itu mengikuti papa dan temannya memasuki ruang kerja Papanya—membahas pekerjaan yang akan ia tangani.

"Cantik ya, Sya? Kenapa kamu dulu tidak pacaran sama dia?” Wanita yang bernama Tasya hanya tersenyum simpul mendengar penuturan dari Desi. Merasa tidak enak karena ia pun tahu Rasya memiliki seorang istri.

"Mama tidak tahu saja. Tasya itu murid paling cantik di sekolah. Banyak yang menyukai, mana mau sama Rasya?” Rasya berucap dengan kekehan.

"Oh ya?" Pandangan Desi menelisik Tasya. "Tidak meragukan sih memang. Kamu kuliah di mana, Sayang?"

"Dulu satu kampus sama Rasya, Tante. Cuma, pas waktu semester dua, saya harus ikut Papa pindah ke Belanda," jelas Tasya.

Desi hanya mengangguk. "Coba saja saya kenal kamu dari lama, pasti kamu sekarang sudah jadi menantu saya." Tasya semakin merasa tidak enak dengan perkataan itu. Takut-takut kalau istri Rasya mendengarnya.

Sebuah ide terbersit di otak cantik Desi. Ia menatap putranya Rasya. "Rasya. Ajak keliling rumah gih, Tasya. Siapa tahu dia merindukan lingkungan Indonesia." Tasya sempat melotot mendengar hal demikian.

"Betul, Tante," timpal Zizi yang semakin membuat mata Tasya membeliak.

Namun, tidak dengan Rasya. Pria itu terlihat biasa saja. Buktinya dia bangkit dan mengulurkan tangan padanya. Tasya menatap ragu itu.

"Sudah. Ayo!" Mau tidak mau Tasya pun menerima uluran tangan Rasya.

Desi tersenyum melihat dua orang itu berlalu. "Zizi nunggu Kafka saja, ya?" Perempuan dengan dress warna peach pun mengangguk.

***

Ava masih berada di dapur membantu Bi Rumi yang sedang mencuci piring. Seperti biasanya.

"Kenapa Neng Ava tidak ikut kumpul sama yang lain saja?" Bi Rumi yang sedari tadi diam kini bertanya. Meski sudah biasa, tetapi kali ini merupakan hal yang berbeda.

"Bukannya memang seperti ini, ya, Bi jika Ava ke sini?” Ava melirik Bi Rumi dengan tangan yang masih berkutat dengan busa dan piring kotor.

"Iya sih, Neng. Tapi, kan hari ini Tuan Kafka pulang, ada tamunya ibu juga memang Neng Ava tidak berkenalan dengan mereka?" Ava mengerti dari perempuan paruh baya yang telah mengabdi puluhan tahun pada keluarga ini.

"Itu tidak mungkin, Bi. Bibi, kan tahu Mama seperti apa sama Ava?" Raut kesedihan kini muncul dari wajah Ava. Menerawang sikap mertuanya yang berbeda dengan dulu.

Bi' Rumi yang mengerti pun mengelus pundak Ava. "Yang sabar, ya, Neng."

Ava tersenyum dan melanjutkan cuci piringnya. Setelah selesai ia mengeringkan tangan menggunakan sebuah kain bersih.

Ava berpamitan pada Bi Rumi untuk menemui suaminya. Masih ingat kalau mereka berkumpul di ruang keluarga. Sosok perempuan bernama Zizi tidak salah dengar akan dijodohkan dengan Kafka. Mengingat hal itu ia bahagia jika sahabatnya akan segera melepas masa lajangnya.

Senyum yang sebelumnya terbit kini hilang begitu saja saat Ava mengingat masih ada satu lagi wanita yang berada di sana. Tasya. Katanya dia adalah teman Rasya sejak SMA.

Ava masih mengingat betul wajah bahagia sang suami saat melihat wanita itu datang, dan tanpa ragu pun, Rasya menyambutnya dengan pelukan.

Sempat terbesit dalam pikiran Ava bahwa keduanya dulu memiliki hubungan. Namun, kembali lagi. Sifat dirinya yang tidak suka berpikiran negatif pada orang lain, membuat perempuan bermata hazle itu membuang stigma yang menurutnya akan menjadi masalah di antara ia dan Rasya.

Jika benar suaminya dulu memiliki hubungan dengan Tasya, Ava hanya berusaha berpikir positif. Itu dulu. Dan sekarang, Rasya telah menjadi suaminya.

"Rasya, ajak keliling gih, Tasya.” Ava berhenti di sebelah rak buku penyekat ruangan. Ia menatap sang suami yang mengulurkan tangan pada Tasya.

Tidak lama kemudian Tasya menyambutnya. Entahlah, melihat hal itu ia tidak dapat melakukan apa-apa. Hanya berdiri mematung tanpa bisa mencegah dua orang yang berlalu itu pergi.

"Memang istrinya tidak marah, Des kalau Rasya sama Tasya keliling rumah hanya berdua?” Pertanyaan dari tamu sang mertua membuyarkan lamunan Ava mengenai suaminya dan Tasya. Ia mengintip dari balik dinding.

"Biarin saja marah. Kalau perlu sampai mereka bertengkar lalu bercerai." Bola mata Ava membulat seketika.

Sungguh menyakitkan ucapan mertuanya. Dengan begitu mudah dan lantang ia menyampaikan keinginan seperti itu pada orang lain. Seolah perceraian dari putranya bukanlah adalah hal benar jika memang terjadi.

"Baru kali ini loh, Des aku melihat orang tua ingin anaknya bercerai." Ava melihat betul ucapan itu disertai senyuman yang terkesan mengejek. Namun, sepertinya itu adalah hal biasa bagi mertuanya.

"Orang tua mana yang tidak ingin anaknya bercerai Kalau menantunya tidak bisa memberi cucu? Aku, kan juga mau menimang cucu," jawabnya dengan lancar.

Kentara sekali akan ketidaksukaannya pada sang menantu. Mendengar hal itu, tangan Ava terangkat menyentuh dada yang terasa berdenyut nyeri, menahan sesak di sana. Air yang sedari menggenang di pelupuk mata kini mulai berjatuhan.

"Memang benar menantu kamu itu mandul?” Ava mencoba menulikan pendengaran, tetapi semua itu terasa sia-sia.

"Pasti. Orang sdah lima tahun berumah tangga tapi belum punya anak juga. Kalau tidak mandul apa namanya." Tatapan Desi kini beralih pada gadis yang duduk di sampingnya. Tangan perempuan paruh baya itu terulur untuk menggenggam tangan Zizi.

"Tapi, kayaknya sebentar lagi aku bisa menimang cucu. Kalau anakmu ini mau menikah dengan Kafka,” ucapnya dengan senyum merekah.

"Nah, kalau Kafka sudah punya anak dengan Zizi, pasti Rasya nanti akan iri. Jadi, aku mau deketin Rasya sama Tasya dari sekarang. Siapa tahu mereka bisa nikah dan punya anak."

Cukup. Ava tidak mampu lagi mendengar ungkapan dari ibu mertuanya. Tidak ingin sakit lebih dalam lagi ia ingin segera mengajak suaminya pulang.

Namun, hal tidak terduga kembali terjadi. Saat Ava mencari Rasya, ia melihat suaminya tengah asyik mengobrol di taman belakang rumahnya dengan tawa lepas bersama Tasya. Melihat kedekatan mereka membuatnya merasa sedih.

Air mata Ava semakin deras kala melihat suaminya begitu perhatian terhadap gadis yang saat ini tengah bersamanya. Tanpa beban Rasya menggandeng tangan milik Tasya ketika berjalan, sesekali membelai rambut perempuan itu.

Memejamkan mata, Ava berusaha menghalau rasa sesak yang kian menyiksa. Memutuskan untuk pulang sendiri tanpa sang suami. Ava menghentikan langkahnya sejenak saat ia sampai di ruang keluarga.

"Ma. Ava izin pulang dulu, ya?” ucapnya dengan meraih slingbag miliknya.

Meskipun ucapan mertuanya sering menyakiti hati, Ava masih mempunyai sikap sopan santun dengan tidak pergi begitu saja tanpa pamit.

Desi memandang sinis pada Ava. "Pulang? Ya sudah pulang sana. Tapi bisa sendiri, kan? Rasya masih Mama suruh nemenin Tasya soalnya." Ava hanya bisa mengangguk mendengar ucapan ibu mertuanya.

Tidak ingin ada tambahan yang akan menyakitinya lagi, Ava pun dengan segera ingin berlalu. Namun, sebuah suara menghentikan langkahnya.

"Loh, Sayang. Kamu mau ke mana?" Memejamkan mata Ava mengembuskan napas lega. Baru saja ia kan menjawab, tetapi urung kala Desi mengambil alih.

"Tasya mana, Sya?” Ava hanya mampu menggigit bibir bawah.

"Masih di taman. Tadi aku mau ambilin dia minum." Tatapan Rasya kini beralih pada Ava. "Kamu mau ke mana, Sayang?"

"Aku mau pulang, Mas" jawab Ava lirih.

"Kok tidak bilang?" Tidak menjawab pertanyaan Rasya, Ava hanya mampu diam. Mana mungkin jika ia akan menjawab 'Aku tidak ingin mengganggu waktumu dengan Tasya'.

"Ya sudah. Aku antar kamu pulang," ucap Rasya ketika melihat istrinya hanya diam saja.

Desi melotot. "Memangnya kamu sudah selesai mengajak Tasya keliling, Sya?" tanyanya cepat-cepat. Tidak ingin rencana mendekatkan Rasya dan Tasya nanti akan gagal.

Pertanyaan dari Mamanya mampu menghentikan langkah Rasya yang akan menghampiri Ava. Pria itu menoleh pada perempuan yang telah melahirkannya. "Belum sih, Ma," jawab Rasya singkat.

"Ya lanjutin dong. Kasihan, kan Tasya. Lagian Ava tadi juga bilang mau pulang sendiri. Mau memberi kamu quality time bersama Tasya. Iya kan, Va?" Mau tidak mau Ava hanya mengangguk.

Namun, jauh dalam lubuk hatinya Ava sangat berharap kalau Rasya akan menolak keinginan dari mamanya.

"Kamu tidak papa, Sayang pulang sendiri?" Napas Ava tercekat dan matanya terpejam erat kala mendengar pertanyaan suaminya.

Dari pertanyaannya saja, Ava yakin jika sang suami akan menuruti keinginan mamanya. "Bisa, Mas."

"Kalau begitu, aku di sini dulu, ya. Kamu hati-hati pulangnya." Bak dihantam batu besar, keputusan Rasya begitu menyakitinya. Meski Rasya sempat memberi pelukan dan kecupan kecil di kening, rasa sakit itu malah lebih terasa.

Rasya, suaminya. lebih memilih untuk menemani temannya dari pada mengantar dirinya pulang. Ava dapat melihat jelas senyum kemenangan yang terukir dari bibir Desi.

Menahan tangis Ava mulai melangkah keluar dari kediaman Yarendra. Sesekali menghapus aliran air mata yang entah kenapa tidak juga mau berhenti mengalir. Ava memutuskan untuk mencari taxi dengan jarak yang cukup jauh dari rumah mertuanya. Karena ia tidak ingin terlihat lemah oleh penghuni di sana.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
🌹isqia🌹
gini nih yang ngga sukanya pas endingnya baru nyesel
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status