"Akhirnya si bodoh itu pergi juga dari rumah ini."
Fauzia dengan pakaian seksinya tersenyum bahagia menikmati kebahagiaannya."Kamu bahagia karena sudah menjadi tuan putri satu-satunya di rumah ini?""Ini yang Fania inginkan, Bu. Mengusir lalat kecil itu jauh-jauh dari rumah ini."Adik dan ibu tiri Mentari itu begitu bahagia setelah membuat drama seolah-olah Mentari sudah berbuat hal tak senonoh dan sekarang sudah diusir dari rumah."Ibu yakin anak itu nggak akan bahagia hidup dengan laki-laki miskin itu. Pasti dia akan hidup susah, menderita bahkan buat makan sehari-hari pun pasti akan susah ha ha ha."Sungguh Rosa ini adalah sejenis ibu tiri yang jahat dan tidak punya hati. Dia tertawa keras membayangkan penderitaan Mentari di luar sana."Dan Fania bakal terus nambah penderitaan dia di kampus," balas Fania dengan senyuman nya yang licik."Caranya?" tanya Rosa dengan sebelah alis terangkat."Aku nggak suka liat dia hidup damai, Bu. Meskipun di luar sana dia hidup susah tapi aku yakin dia akan diperlakukan dengan baik oleh suaminya yang miskin itu.""Lalu apa Rencana kamu?""Aku akan bully dia di kampus. Nggak akan ada yang bakal belain dia karena dia nggak punya banyak temen. Mentari hanya punya satu sahabat dan dia nggak akan bisa hentiin aku." Fania menatap lurus kedepan begitu tak sabar dengan rencananya."Tapi 'kan suaminya itu juga kuliah di kampus yang sama?""Memang, tapi beda jurusan dan bera fakultas juga. Jadi aku bebas, Bu.""Lakukan apa yang bikin kamu bahagia. Kalau Ibu, liat dia minggat dari rumah ini aja udah puas banget." Rosa menjeda kalimatnya saat teringat sesuatu. "Tapi kalau anak bodoh itu nggak ada ibu bakalan keteteran dong ngurusin rumah? Biasanya 'kan enak ada dia yang kita bikin jadi pembantu."Rosa terlihat murung membayangkan kalau dirinya yang harus bersih-bersih rumah, masak, cuci piring, cuci baju dan dan lain-lain. Biasanya tugas itu dilakukan oleh Mentari dan sekarang Mentari sudah mereka usir."Tinggal bujuk ayah buat cari pembantu apa susahnya sih?""Kamu bener juga. Ibu cari ayah kamu dulu, Ibu mau bujuk tua bangka itu buat cari pembantu." Rosa langsung meninggalkan kamar anak kesayangannya dan pergi mencari suaminya."Selamat menikmati kesengsaraan di luar sana, Mentari."Setelah mengucapkan itu Fania menutup kedua matanya karena hari sudah larut malam. Meskipun besok adalah hari Minggu Fania tetap harus tidur cepat karena besok ia harus bangun pagi-pagi sekali untuk olahraga agar tubuhnya tetap ideal.Berada jauh dari tempat Fania saat ini. Orang yang Fania dan ibunya bicarakan dari tadi masih belum memejamkan matanya meski hari sudah larut malam.Mentari masih terguncang. Sembari membekap mulutnya kuat-kuat, dia menangis. 'Kenapa ayah setidak adil ini sama Tari, yah? kenapa? Ayah nggak kasih Tari kesempatan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Ayah tega mengusir Tari yang jelas-jelas anak kandung ayah satu-satunya. Jangan semakin taburi benih kebencian dalam diri Tari untuk ayah! Karena nanti jika kebencian sudah menguasai diri Tari maka jangan salahkan tari yang akan melupakan jika ayah adalah ayah kandung Tari.'Tanpa ia sadari, isakan yang sedari tadi ditahannya lolos begitu saja saat mengingat ketidakadilan yang ia terima semenjak ayahnya menikah lagi.Mentari yang selalu dikasih uang jajan sangat sedikit sehingga hanya pas untuk ongkos ke kampus saja. Setiba di kampus Menteri harus menahan lapar seharian karena tidak punya uang untuk jajan di kantin.Padahal pagi hari pun Mentari tidak cukup kenyang karena hanya kebagian sarapan sedikit saja.Pulang dari kampus bukanya mendapatkan makanan Mentari malah harus beres-beres rumah cuci piring dan pakaian baru dapat jatah makan.Bahkan sering kali dirinya kelaparan di rumahnya sendiri. Pakaian yang Mentari pakai hanya pakaian bekas Fania yang sudah tak terpakai lagi, begitupun dengan barang-barang lainnya. 'Mungkin memang lebih baik aku tinggal disini sama kak Gala. Mungkin hidup aku akan lebih baik meskipun hidup pas-pasan seenggaknya aku punya kak Gala yang akan selalu ada untuk aku.'Mentari mencoba menenangkan dirinya sendiri ditengah-tengah rasa sakit di hatinya sudah tidak bisa lagi dijabarkan dengan kata-kata.TakMentari terkejut melihat lampu yang tiba-tiba menyala dan rupanya suaminya Galaksi juga telah ada disampingnya entah sejak kapan."Kak Gala?" gumam Mentari dengan mata mendongak menatap Gala yang berdiri sambil bertolak pinggang menatap dirinya yang duduk seorang diri di atas lantai nan begitu dingin.Hati Gala begitu teriris melihat mata gadis yang baru beberapa jam lalu ia nikahi begitu sembab dan sangat merah karena menangis berjam-jam lamanyaDemi Allah Gala benar-benar bertekad membahagiakan Mentari dengan segenap jiwanya. Gala akan melakukan apapun agar gadisnya bahagia."Kenapa malah nangis sendirian, hem? Kamu nggak mau membagi luka itu sama Kakak?" Gala bertanya dengan rahang mengeras.Jangan dikira rahangnya mengeras karena marah kepada istrinya, Mentari. Gala marah pada orang-orang yang telah berhasil membuat mental Mentari hancur.Mentari mencoba memaksakan senyumnya, ditariknya tangan Gala dengan lembut agar ikut duduk di sebelahnya.Tidak ada kursi ataupun karpet yang menjadi alas duduk mereka, hanya ada lantai nan begitu dingin apalagi di malam hari seperti ini."Aku kira Kakak udah tidur," celetuk Mentari dengan suara seraknya."Mana mungkin Kakak bisa tidur kalau kamu terus nangis kayak gini? Dari tadi Kakak terus perhatiin kamu menangis sendirian dalam kegelapan."Gala tersenyum miris melihat jejak air mata di mata istrinya yang cantik ini."Maafin Tari, Kak!" Mentari menatap Gala dengan rasa bersalahnya."Maaf untuk apa?""Maafin Tari yang udah ganggu waktu istirahat Kakak. Maaf juga karena sekarang Tari udah jadi beban buat Kakak," lirih Mentari sambil meremas jari jemarinya untuk meredakan rasa sesak di dadanya.Mentari tau sesulit apa hidup Gala selama ini karena suaminya itu hanya hidup sebatang kara dan bekerja di Cafe milik sahabatnya untuk menyambung hidupnya.Mentari juga tahu pendapatan Gala bekerja di Cafe milik sahabatnya tidak seberapa dan sekarang Gala juga harus menghidupi dirinya.Galaksi menghela nafas kasar mendengar ucapan sang istri. Gala tau apa yang saat ini Mentari pikirkan."Kamu nggak usah mikir kalau kamu itu adalah beban Kakak! Kakak akan berusaha cukupin kebutuhan kita dari gaji Kakak kerja di Cafe Alzi menjelang Kakak lulus kuliah dan dapet pekerjaan yang lebih layak."Gala menggenggam tangan Mentari penuh kelembutan. Mata keduanya saling tatap begitu dalam menyalurkan rasa cinta mereka masing-masing."Sekarang kamu harus tidur karena hari hampir dini hari. Kakak nggak mau kamu sakit gara-gara masalah ini."Gala menuntun Menteri ke arah kasur bulu yang cukup untuk mereka tiduri berdua. Meskipun tanpa ranjang setidaknya masih ada selimut tebal untuk menjaga mereka supaya tidak kedinginan.Gala memeluk Mentari dengan usapan lembut yang ia berikan di kepala gadis itu.Yah, Mentari masih bisa dibilang gadis karena Gala belum menyentuhnya.Gala tidak akan menyentuh istrinya ini sebelum Mentari benar-benar siap untuk itu.
“Apa kamu berhasil mendapatkan apa yang saya minta?”Seorang pria paruh baya dengan setelan jas rapi yang duduk di kursi kebesarannya menatap orang kepercayaannya dengan mata tajam itu. “Sudah, Tuan. Dia mahasiswa jurusan bisnis semester akhir yang sebentar lagi akan lulus, dia memiliki kepintaran otak yang sangat luar biasa.” Orang kepercayaannya itu menjelaskan sambil membolak-balik map merah yang ia pegang.“Ada lagi?” tanyanya dengan wajah dingin itu.“Namanya, Galaksi Bimantara. Dia hanyalah seorang anak dari panti asuhan. Kecerdasannya sudah tidak bisa diragukan lagi, menurut saya dia sangat cocok untuk dijadikan seperti yang anda mau,” jelasnya lagi.“Berikan dokumen itu, kamu boleh pergi!” usirnya tanpa basa-basi.Aldez Zefrino, seorang pengusaha kayak raya yang dikenal dengan sikap dingin nan tak tersentuh itu menatap map di tangannya dengan seksama.Ia membaca deretan huruf demi huruf di dalam sana tanpa terkecuali.“Galaksi Bimantara, dia memiliki prestasi segudang dan di
Di sisi lain, Galaksi masih mengompres dahi Mentari dengan air es batu sesuai dengan yang disarankan Arumi tadi.Tapi sudah hampir setengah jam lamanya demam Mentari tak juga turun dan Gala berhasil dibuat panik setengah mati.“Ayo dong Sayang, bangung! Kamu mau bikin Kakak mati berdiri karena khawatirin kamu?” lirih Gala sambil memeras handuk kecil yang baru saja ia celupkan ke dalam baskom berisi air es untuk mengompres Mentari lagi.“Kak Gala,” lirih Mentari dengan suara yang serak dan mata yang mulai terbuka.“Iya Sayang Kakak disini. Alhamdulillah, ya Tuhan! Akhirnya Mentari bangun juga.” Gala sampai kembali meneteskan air matanya saking bahagianya melihat mata istrinya sudah terbuka dan kini tengah menatap sayu kepadanya.“Kak Gala kenapa nangis?” Dengan sisa tenaganya yang tersisa Mentari berusaha mengangkat tangannya untuk menghapus air mata Gala.“Kakak khawatir sama kamu, Sayang. Demam kamu tinggi banget, dari tadi subuh Kakak bangunin kamu tapi kamunya nggak bangun-bangun.
"Coba lo ulangi lagi, Gal! Siapa tau aja gue salah denger?"Arumi menatap Galaksi dengan ekspresi yang sulit diartikan."Nggak, Rum. Lo nggak salah denger, gue sama Mentari emang udah nikah kemarin."Jawaban Galaksi berhasil membuat Arumi terduduk seketika. Arumi beralih menatap sahabatnya yang hanya diam menunduk."Kenapa kalian tiba-tiba nikah? Lo nggak hamil 'kan?" tanya Arumi membuat mentari menatapnya dengan tajam."Serendah itu kamu mikir tentang aku, Rum?" Mendadak Arumi merasa bersalah. "Sorry kalau ucapan gue bikin lo tersinggung. Tapi gue perlu tau alesan kenapa kalian menikah?""Ada apa, Gal? Apa yang gue nggak tau?" Kini giliran Alzi menanyai Gala."Gue sama Mentari menikah karena kesalahpahaman---"Suami istri muda itu lalu menceritakan seluruh kejadian yang mereka alami alasan mengapa mereka bisa menikah secara mendadak."Gue nggak punya pilihan lain selain nikahin Mentari. Gue nggak mungkin tega biarin gadis yang gue cintai harus diusir dari rumah dan nggak tau harus k
Sejak Alzi dan Arumi pamit pulang tiga jam yang lalu, Gala benar-benar menempel pada Mentari seperti perangko.Gala benar-benar tidak mau jika harus kehilangan Mentari disaat dia baru merasa memiliki seseorang dalam hidupnya.Dari kecil dibesarkan di panti asuhan dan tidak pernah merasa disayangi membuat Gala sangat posesif setelah merasa memiliki Mentari."Kak Gala nggak mau mandi? Ini udah sore loh." Mentari mengusap rambut Gala penuh kelembutan.Gala memejamkan matanya menikmati usapan lembut dari sang istri.'Selama gue hidup di dunia ini belum pernah rasanya gue merasakan sentuhan lembut penuh kasih sayang dari seseorang.'Gala membatin menikmati kenyamanan yang ia rasakan."Bentar lagi, Sayang. Kambing aja nggak mandi-mandi belinya tetep mahal. Berarti Kakak yang ganteng ini kalau nggak mandi bakalan tetep wangi." Gala semakin mempererat pelukannya dengan Mentari tanpa mau beranjak sama sekali.Sedangkan Mentari hanya terkekeh geli dengan bibirnya yang masih pucat walaupun demam
"Kamu yakin kuat buat kuliah? Mending nggak masuk dulu yah, buat hari ini ... aja Kakak nggak mau kamu sakit lagi." Gala yang sudah rapi dengan kemeja putih dan celana jeans hitam yang ia pakai untuk berangkat ke kampus kembali menanyai istrinya yang saat ini tengah bersiap-siap.Mentari menghentikan kegiatannya yang tengah menyusun peralatannya kedalam tas sejenak dan menatap Gala dengan senyuman di bibirnya."Aku kuat kok, Kak. Aku janji nggak akan kecapekan, boleh ya aku ikut ke kampus?"Gala hanya mampu menghembuskan napas kasar. Kalau sudah begini ia mana bisa menolak permintaan Mentari."Yaudah deh, tapi jangan sampai kamu terlalu cepek!" pasrah Gala disambut senyum lebar oleh Mentari.Mentari kembali menyiapkan keperluannya dan menatap cermin sesaat untuk memastikan penampilannya sudah benar-benar oke.Yang namanya perempuan walaupun tidak hobi berdandan sekalipun, tidak akan bisa lepas dari yang namanya cermin.Setiap kali bertemu cermin pasti bawaannya ingin ngaca terus.Perc
Sementara itu, Mentari menggerakkan lehernya menatap sekeliling dengan pandangan heran."Kamu ngerasa mereka dari tadi natap aku nggak sih, Rum?" Mentari membelokkan kepalanya ke samping dan berbisik lirih tepat di daun telinga Arumi.Arumi mengurungkan niatnya yang semula ingin menyuapkan mie ayam kedalam mulutnya. Arumi ikut mengamati sekitar dan benar saja.Semua pasang mata penghuni kantin terfokus pada Mentari. Mereka juga bisik-bisik dengan pandangan julid untuk Mentari.Arumi menatap tak suka semua itu.Trang..Arumi menjatuhkan sendok dengan kasar ke dalam mangkok mie ayamnya hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring.Matanya menajam menatap semua penghuni kantin yang rata-rata diisi oleh perempuan."Kenapa pada natapin kita? Ada yang mau disampaiin silahkan! Jangan cuma berani bisik-bisik di belakang doang! Kalau berani ngomong langsung ke orangnya!" Suara Arumi menggema di dalam kantin yang mendadak sunyi.Mentari menggenggam tangan Arumi. "Udah, Rum. Jangan gitu! Siapa ta
"Aku salah a-pa? Tega sekali mereka menghujatku padahal selama ini aku nggak pernah sekalipun berbuat jahat pada mereka."Di dalam salah satu bilik toilet, Mentari menangis sejadi-jadinya menyalurkan rasa sesak di dadanya.Dia tak habis pikir dengan semua orang yang berpikiran buruk tentang dirinya. Padahal mereka pun tau, selama ini dirinya tak pernah berperilaku yang mencerminkan bahwa ia adalah seorang perempuan murahan seperti yang orang-orang katakan.Mentari mematut dirinya di depan cermin. Matanya yang memerah dan sembab membuatnya lebih mirip Drakula dari pada manusia.Pikiran Mentari langsung tertuju kepada seseorang, yaitu suaminya."Maafin Tari, Kak Gala! Tadi Tari nggak jawab pertanyaan, Kak Gala. Saat ini Tari benar-benar butuh sendiri." Menteri bergumam lirih saat teringat dengan suaminya yang tadi ia abaikan.Pastinya Gala akan kesulitan menemui Mentari karena gadis itu pergi ke toilet yang jarang dikunjungi.Mentari terus saja meratapi nasibnya yang malang. Entah dosa
"Sayang, kamu pulang sama Arumi dulu nggak papa, ya? Kakak mau langsung kerja soalnya. Udah dua hari Kakak nggak masuk kerja selama itu juga Cafe tutup. Orang pemalas ini mana mau buka Cafe sendirian." Gala melirik malas Alzi setelah mengusap pipi lembut Mentari.Sementara itu, Alzi tampak santai mendengar sindiran Gala sambil mencongkel lobang hidungnya."Gue bakalan tetep kaya meskipun nggak buka Cafe selama setahun. Lagian kalau lo nya nggak ke Cafe siapa yang bakalan masak? Karyawan gue 'kan cuma elo," ucapnya santai."Cih, kaya iya pemalas juga iya," sembur Gala membuat Alzi mendelik."Emang ya lo ini, gue ini bos lo kalau lo lupa. Dimuka bumi ini emang gue deh kayaknya bos yang nggak ada harga dirinya." Alzi mencabik kesal.Mentari terkekeh geli melihat perdebatan tak berujung Gala dan Alzi."Sana berangkat! Mau buka Cafe jam berapa lagi coba?" Mentari mendorong pelan dada Gala."Yaudah, Kakak berangkat dulu. Sampai jumpa nanti dirumah." Gala tersenyum cerah sambil melambaikan t