Share

04. Ayah tidak adil

"Akhirnya si bodoh itu pergi juga dari rumah ini."

Fauzia dengan pakaian seksinya tersenyum bahagia menikmati kebahagiaannya.

"Kamu bahagia karena sudah menjadi tuan putri satu-satunya di rumah ini?"

"Ini yang Fania inginkan, Bu. Mengusir lalat kecil itu jauh-jauh dari rumah ini."

Adik dan ibu tiri Mentari itu begitu bahagia setelah membuat drama seolah-olah Mentari sudah berbuat hal tak senonoh dan sekarang sudah diusir dari rumah.

"Ibu yakin anak itu nggak akan bahagia hidup dengan laki-laki miskin itu. Pasti dia akan hidup susah, menderita bahkan buat makan sehari-hari pun pasti akan susah ha ha ha."

Sungguh Rosa ini adalah sejenis ibu tiri yang jahat dan tidak punya hati. Dia tertawa keras membayangkan penderitaan Mentari di luar sana.

"Dan Fania bakal terus nambah penderitaan dia di kampus," balas Fania dengan senyuman nya yang licik.

"Caranya?" tanya Rosa dengan sebelah alis terangkat.

"Aku nggak suka liat dia hidup damai, Bu. Meskipun di luar sana dia hidup susah tapi aku yakin dia akan diperlakukan dengan baik oleh suaminya yang miskin itu."

"Lalu apa Rencana kamu?"

"Aku akan bully dia di kampus. Nggak akan ada yang bakal belain dia karena dia nggak punya banyak temen. Mentari hanya punya satu sahabat dan dia nggak akan bisa hentiin aku." Fania menatap lurus kedepan begitu tak sabar dengan rencananya.

"Tapi 'kan suaminya itu juga kuliah di kampus yang sama?"

"Memang, tapi beda jurusan dan bera fakultas juga. Jadi aku bebas, Bu."

"Lakukan apa yang bikin kamu bahagia. Kalau Ibu, liat dia minggat dari rumah ini aja udah puas banget." Rosa menjeda kalimatnya saat teringat sesuatu. "Tapi kalau anak bodoh itu nggak ada ibu bakalan keteteran dong ngurusin rumah? Biasanya 'kan enak ada dia yang kita bikin jadi pembantu."

Rosa terlihat murung membayangkan kalau dirinya yang harus bersih-bersih rumah, masak, cuci piring, cuci baju dan dan lain-lain. Biasanya tugas itu dilakukan oleh Mentari dan sekarang Mentari sudah mereka usir.

"Tinggal bujuk ayah buat cari pembantu apa susahnya sih?"

"Kamu bener juga. Ibu cari ayah kamu dulu, Ibu mau bujuk tua bangka itu buat cari pembantu." Rosa langsung meninggalkan kamar anak kesayangannya dan pergi mencari suaminya.

"Selamat menikmati kesengsaraan di luar sana, Mentari."

Setelah mengucapkan itu Fania menutup kedua matanya karena hari sudah larut malam. Meskipun besok adalah hari Minggu Fania tetap harus tidur cepat karena besok ia harus bangun pagi-pagi sekali untuk olahraga agar tubuhnya tetap ideal.

Berada jauh dari tempat Fania saat ini. Orang yang Fania dan ibunya bicarakan dari tadi masih belum memejamkan matanya meski hari sudah larut malam.

Mentari masih terguncang. Sembari membekap mulutnya kuat-kuat, dia menangis.

'Kenapa ayah setidak adil ini sama Tari, yah? kenapa? Ayah nggak kasih Tari kesempatan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Ayah tega mengusir Tari yang jelas-jelas anak kandung ayah satu-satunya. Jangan semakin taburi benih kebencian dalam diri Tari untuk ayah! Karena nanti jika kebencian sudah menguasai diri Tari maka jangan salahkan tari yang akan melupakan jika ayah adalah ayah kandung Tari.'

Tanpa ia sadari, isakan yang sedari tadi ditahannya lolos begitu saja saat mengingat ketidakadilan yang ia terima semenjak ayahnya menikah lagi.

Mentari yang selalu dikasih uang jajan sangat sedikit sehingga hanya pas untuk ongkos ke kampus saja. Setiba di kampus Menteri harus menahan lapar seharian karena tidak punya uang untuk jajan di kantin.

Padahal pagi hari pun Mentari tidak cukup kenyang karena hanya kebagian sarapan sedikit saja.

Pulang dari kampus bukanya mendapatkan makanan Mentari malah harus beres-beres rumah cuci piring dan pakaian baru dapat jatah makan.

Bahkan sering kali dirinya kelaparan di rumahnya sendiri. Pakaian yang Mentari pakai hanya pakaian bekas Fania yang sudah tak terpakai lagi, begitupun dengan barang-barang lainnya.

'Mungkin memang lebih baik aku tinggal disini sama kak Gala. Mungkin hidup aku akan lebih baik meskipun hidup pas-pasan seenggaknya aku punya kak Gala yang akan selalu ada untuk aku.'

Mentari mencoba menenangkan dirinya sendiri ditengah-tengah rasa sakit di hatinya sudah tidak bisa lagi dijabarkan dengan kata-kata.

Tak

Mentari terkejut melihat lampu yang tiba-tiba menyala dan rupanya suaminya Galaksi juga telah ada disampingnya entah sejak kapan.

"Kak Gala?" gumam Mentari dengan mata mendongak menatap Gala yang berdiri sambil bertolak pinggang menatap dirinya yang duduk seorang diri di atas lantai nan begitu dingin.

Hati Gala begitu teriris melihat mata gadis yang baru beberapa jam lalu ia nikahi begitu sembab dan sangat merah karena menangis berjam-jam lamanya

Demi Allah Gala benar-benar bertekad membahagiakan Mentari dengan segenap jiwanya. Gala akan melakukan apapun agar gadisnya bahagia.

"Kenapa malah nangis sendirian, hem? Kamu nggak mau membagi luka itu sama Kakak?" Gala bertanya dengan rahang mengeras.

Jangan dikira rahangnya mengeras karena marah kepada istrinya, Mentari. Gala marah pada orang-orang yang telah berhasil membuat mental Mentari hancur.

Mentari mencoba memaksakan senyumnya, ditariknya tangan Gala dengan lembut agar ikut duduk di sebelahnya.

Tidak ada kursi ataupun karpet yang menjadi alas duduk mereka, hanya ada lantai nan begitu dingin apalagi di malam hari seperti ini.

"Aku kira Kakak udah tidur," celetuk Mentari dengan suara seraknya.

"Mana mungkin Kakak bisa tidur kalau kamu terus nangis kayak gini? Dari tadi Kakak terus perhatiin kamu menangis sendirian dalam kegelapan."

Gala tersenyum miris melihat jejak air mata di mata istrinya yang cantik ini.

"Maafin Tari, Kak!" Mentari menatap Gala dengan rasa bersalahnya.

"Maaf untuk apa?"

"Maafin Tari yang udah ganggu waktu istirahat Kakak. Maaf juga karena sekarang Tari udah jadi beban buat Kakak," lirih Mentari sambil meremas jari jemarinya untuk meredakan rasa sesak di dadanya.

Mentari tau sesulit apa hidup Gala selama ini karena suaminya itu hanya hidup sebatang kara dan bekerja di Cafe milik sahabatnya untuk menyambung hidupnya.

Mentari juga tahu pendapatan Gala bekerja di Cafe milik sahabatnya tidak seberapa dan sekarang Gala juga harus menghidupi dirinya.

Galaksi menghela nafas kasar mendengar ucapan sang istri. Gala tau apa yang saat ini Mentari pikirkan.

"Kamu nggak usah mikir kalau kamu itu adalah beban Kakak! Kakak akan berusaha cukupin kebutuhan kita dari gaji Kakak kerja di Cafe Alzi menjelang Kakak lulus kuliah dan dapet pekerjaan yang lebih layak."

Gala menggenggam tangan Mentari penuh kelembutan. Mata keduanya saling tatap begitu dalam menyalurkan rasa cinta mereka masing-masing.

"Sekarang kamu harus tidur karena hari hampir dini hari. Kakak nggak mau kamu sakit gara-gara masalah ini."

Gala menuntun Menteri ke arah kasur bulu yang cukup untuk mereka tiduri berdua. Meskipun tanpa ranjang setidaknya masih ada selimut tebal untuk menjaga mereka supaya tidak kedinginan.

Gala memeluk Mentari dengan usapan lembut yang ia berikan di kepala gadis itu.

Yah, Mentari masih bisa dibilang gadis karena Gala belum menyentuhnya.

Gala tidak akan menyentuh istrinya ini sebelum Mentari benar-benar siap untuk itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status