Share

05. Demam tinggi

“Apa kamu berhasil mendapatkan apa yang saya minta?”

Seorang pria paruh baya dengan setelan jas rapi yang duduk di kursi kebesarannya menatap orang kepercayaannya dengan mata tajam itu.

“Sudah, Tuan. Dia mahasiswa jurusan bisnis semester akhir yang sebentar lagi akan lulus, dia memiliki kepintaran otak yang sangat luar biasa.”

Orang kepercayaannya itu menjelaskan sambil membolak-balik map merah yang ia pegang.

“Ada lagi?” tanyanya dengan wajah dingin itu.

“Namanya, Galaksi Bimantara. Dia hanyalah seorang anak dari panti asuhan. Kecerdasannya sudah tidak bisa diragukan lagi, menurut saya dia sangat cocok untuk dijadikan seperti yang anda mau,” jelasnya lagi.

“Berikan dokumen itu, kamu boleh pergi!” usirnya tanpa basa-basi.

Aldez Zefrino, seorang pengusaha kayak raya yang dikenal dengan sikap dingin nan tak tersentuh itu menatap map di tangannya dengan seksama.

Ia membaca deretan huruf demi huruf di dalam sana tanpa terkecuali.

“Galaksi Bimantara, dia memiliki prestasi segudang dan dikenal dengan pria genius.” Bibir tipisnya tertarik sedikit membentak senyum tipis.

“Sangat menarik, dia cocok untuk saya rekrut menjadi manager dulu setelah dia lulus kuliah. Baru setelah itu saya akan menjadikan dia sama seperti saya.”

Tuan Aldez meletakkan map itu dan beralih meraih bingkai foto kecil yang di dalamnya terdapat foto seorang perempuan yang tengah memangku seorang bayi laki-laki.

Mata Tuan Aldez mendadak memerah. “Kalian di mana? Kalau saja kamu tidak pergi membawa putra kita, mungkin sekarang aku tidak akan kesusahan mencari pemimpin sementara untuk perusahaan ini.”

Tuan Aldez memejamkan mata, ia sudah menyerah mencari istri dan anaknya yang sudah menghilang selama puluhan tahun lamanya.

Tuan Aldez tak yakin istri dan anaknya masih hidup mengingat mereka pergi dengan cara tak biasa.

.

.

.

"Ayah Tari mohon jangan usir Tari! Ayah jangan buang Tari!"

Galaksi mengernyit mendengar suara rintihan seorang perempuan di sebelahnya.

"Tunggu! Kok gue denger ada suara perempuan?" Gala dengan suara serak khas bangun tidurnya bergumam dengan mata masih setengah memicing.

Mungkin otak Gala masih belum bereaksi dan belum mengingat bahwa dirinya sudah tidak tidur sendiri lagi.

Sekarang Gala sudah punya guling yang bisa bergerak.

Eh.. hayoo... guling nggak tuh?

"Ibu jemput Tari Bu! Bawa Tari pergi sama Ibu! Tari udah nggak kuat hidup didunia ini lagi. Ayah udah nggak sayang Tari lagi."

Deg

Galaksi membalikkan tubuhnya dan mendapati Mentari tengah berbicara dalam tidurnya.

"Menteri?" gumam Gala masih belum tersadar sepenuhnya.

Gala masih mencoba mengingat apa yang telah terjadi sampai Gala menepuk jidatnya sendiri. "Gala ... Gala, bisa-bisanya lo lupa Kalo lo udah punya bini," rutuknya untuk dirinya sendiri.

"Ibu jemput Tari! Tari nggak kuat hidup lagi."

Gala menggeleng kuat mendengar setiap kalimat yang keluar dari bibir istrinya.

"Sayang kamu ngomong apaan, sih? Kakak nggak suka kamu bilang gitu. Kamu mau ninggalin Kakak saat Kakak baru pertama kali ngerasain punya keluarga."

"Ayah jangan usir Tari!"

Mentari terus berceloteh dengan mata terpejam. Tidur gadis itu terlihat gelisah dengan kepala bergerak kanan Kiri dan peluh sebesar biji jagung membasahi seluruh tubuhnya.

"Dia ngigau?" Gala menatap seksama istrinya yang terlihat gelisah dalam tidurnya.

"Bahkan dalam mimpi pun kamu dibuat hancur, Sayang," lirih Gala saat mengingat kembali bagaimana kejamnya Marwan mengusir Mentari dari rumah tempat istrinya itu dibesarkan.

"Tari, Sayang! Hey, bangun! Jangan bikin Kakak khawatir, Sayang!"

Gala memutuskan untuk duduk karena sepertinya hari sudah subuh.

"Bangun, Yuk! Kita shalat subuh berjamaah, Kakak nggak sabar mau jadi imam kamu." Gala tersenyum tipis saat membayangkan dirinya akan benar-benar menjadi imam dari seorang gadis yang ia cintai dan kini sudah menjadi istrinya.

"Tariii!" panggil Gala sekali lagi karena istrinya itu tidak kunjung bangun.

Karena merasa perasaannya tidak enak, Gala menghidupkan lampu kamar kecil mereka dan betapa terkejutnya Gala melihat bibir pucat Mentari dan dahi istrinya itu juga berkerut dalam.

"Astagfirullah Tari. Kamu kenapa, Sayang?" pekik Gala sambil duduk di sisi Mentari.

Gala mengangkat tangan kanannya dan meletakkan punggung tangannya di kening Mentari.

"INI PANAS BANGET, WOI!"

Mata Gala membulat sempurna saat tangannya serasa terbakar saking panasnya suhu tubuh istrinya.

"Sejak kapan kamu demen tinggi kayak gini, Sayang? Bisa-bisanya Kakak nggak tau kalau kamu demam," celoteh Gala dengan segala rasa bersalahnya.

"Ibu, Tari mau ikut ibu." Mentari kembali mengigau sambil mencengkram kuat selimut tebal yang membalut tubuh mungilnya.

Tes

Air mata Gala jatuh tanpa ia minta mendengar permintaan istri yang teramat ia cintai ini.

"Jangan bilang itu lagi, Tari! Hati Kakak hancur dengar kamu juga mau pergi nyusul ibu kamu." Gala dengan suaranya yang bergetar menggenggam erat telapak tangan Mentari yang terasa panas.

"Jangan pernah punya pikiran mau ninggalin Kakak, Sayang! Kamu adalah segalanya bagi Kakak, tanpa kamu mungkin hidup ini benar-benar akan gelap. Jadi Menterinya Kakak jangan pergi ya!"

Gala terus berceloteh dengan air mata terus berjatuhan.

Mungkin ucapan Gala terdengar sangat alay, namun itulah kenyataannya. Gala yang hidup sebatang Kara dan tidak tau apa itu kasih sayang, jadi merasakan bagaimana rasanya dicintai sejak sosok Mentari masuk ke dalam kehidupannya yang kosong.

Selain sahabat baiknya Alzi, Gala juga menganggap Menteri segalanya.

Mentari dunianya, jika tidak ada Mentari maka dunia Gala akan langsung runtuh.

"Ya Tuhan ... gue harus apa? Gimana caranya biar demam Tari bisa turun?"

Gala mengusap kasar wajahnya karena ia bingung harus berbuat apa.

Gala belum pernah mengurus orang sakit sebelumnya. Jadi wajar jika Gala tidak tau apa yang harus ia lakukan untuk membuat demam Mentari turun.

"Kak G-gala?"

Deg

Galaksi terkesiap mendengar Mentari memanggil dirinya.

"Kak Gala Maafin Tari!" Dahi Mentari semakin semakin mengernyit dalam dan terus memanggil Gala di alam bawah sadarnya.

"Kak Gala---"

"Iya, Sayang. Kakak disini, kamu nggak perlu minta maaf, Kakak janji bakal bikin trauma kamu ilang secepatnya."

Gala membawa telapak tangan Mentari ke pipinya.

"Jangan kayak gini, Sayang! Kakak bingung harus apa," lirih Gala dengan rasa sesak luar biasa.

Melihat Mentari yang biasanya selalu ceria dibalik ketidak adilan yang terus ia terima. Kini disaat Mentari terlihat rapuh dan ingin menyerah dalam hidupnya, hati Gala begitu sakit serasa teriris sembilu.

Gala menatap jendela kecil di kamarnya, "huff ... udah pagi ternyata, gue mau beli obat ke apotek. Tapi kalau gue pergi Tari sama siapa?"

Galaksi dilanda kebingungan, ia menatap Mentari dengan helaan nafas kasar. Sangat tidak mungkin ia akan meninggalkan istrinya itu seorang diri dalam keadaan demam tinggi seperti ini.

Gala kembali menyentuh kening Mentari tapi kali ini dengan cara yang berbeda. Gala menyatukan keningnya dengan Mentari dan mata Gala membulat sempurna saat dirasa demam Mentari semakin tinggi.

"Ini nggak bisa terus didiemin. Gue harus minta bantuan Arumi, cuma dia yang bisa bantuin gue. Sekalian Alzi juga nggak papa kayaknya."

Gala terus berceloteh dan mencari ponselnya. Buru-buru Gala mencari nomer kontak Arumi, sahabat baik Mentari.

Tak butuh waktu lama panggilan langsung tersambung dan terdengar suara serak Arumi dari seberang sana. Mungkin gadis itu baru bangun tidur, tapi Gala mana peduli. Yang Gala pikirkan saat ini hanyalah Mentari, Mentari dan Mentari.

"Halo, Rum. gue boleh minta bantuan, lo?" tanya Gala tanpa basa basi.

"Apaan?" tanya Arumi dengan malas.

Pasalnya Arumi tengah mimpi indah yaitu bisa menaiki motor sport impiannya selama ini. Tapi Arumi harus berakhir miris jatuh dari ranjang karena tiba-tiba suara ponselnya menggema sangat kencang.

"Lo bisa dateng ke kontrakan gue sekarang? Gue mohon bantuin gue!"

"Lo aman kan, Gal? Nggak biasanya lo minta tolong sampai mohon-mohon gini." Arumi keheranan pasalnya ia tidak pernah mendengar Gala memohon bantuan kepada siapapun selama ini meskipun hidupnya sesusah apapun.

"Gue aman, tapi Mentari yang nggak aman," celutuk Gala membuat mata Arumi yang tadinya berat ingin tidur lagi kini melek dengan sangat lebar.

"Mentari kenapa? Kenapa lo bilang Bestie gue nggak aman?" cecar Arumi dengan tidak sabarnya.

"Mentari demam tinggi dan gue nggak tau harus gimana," jawaban Gala kembali membuat Arumi sangat bingung.

"Tunggu-tunggu! Kenapa bisa Mentari demam dan lo nggak tau harus apa? Lo lagi di rumah Mentari?" tanya Arumi dengan rasa penasaran yang membuncah.

"Gue 'kan udah bilang kalau kita berdua ada dikontrakan gue. Jangan banyak nanya dulu deh Rum, gue pusing ini tubuh Mentari panas banget."

"Oh oke, gue otw sekalang," putus Arumi yang ikutan panik dan cemas dengan kondisi sahabat baiknya itu.

"Sekalian lo ajak Alzi kesini dan gue minta tolong, tolong beliin dulu obat penurun panas. Gue nggak bisa pergi dan ninggalin Mentari sendirian disini," pinta Gala dan Arumi mengangguk sebagai jawaban meskipun Gala tidak melihat dirinya.

"Sebelum gue dateng kompres dulu jidat Mentari pake air es, Gal! Itu juga bisa membantu kayaknya." Setelah mengatakan itu Arumi menutup sambungan teleponnya.

"Kira-kira kenapa bisa Mentari sepagi ini udah ada di kontrakan Gala ya?" gumam Arumi, bingung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status