“Agar lebih jelas bagi kalian anak-anak muda, aku ceritakan saja semua sejak awal,” katanya pelan. “Jadi, dulu sekali, Pasir merupakan wilayah negara bawahan Keraton Demak. Itu sudah berlangsung sejak masa pemerintahan mendiang Sultan Alam Akbar Al Fath, pendiri Demak yang waktu mudanya bernama Senopati Jimbun itu. Semua berubah ketika sultan ketiga Demak, Trenggana, wafat dalam perang di Panarukan. Penggantinya, raja wali Hadiwijaya yang memindahkan Kotaraja ke Pajang, disibukkan dengan ancaman perang saudara dari para penguasa Bang Wetan, sehingga ia mulai abai pada wilayah tengah-barat. Tiga dasawarsa lalu, adipati terakhir Pasir sebagai negara bawahan Demak adalah Pangeran Senopati. Saat ia meninggal karena penyakit tua, putranya yang akan menggantikannya sebagai Pangeran Senopati II ketahuan menyebarkan ajaran-ajaran lama justru pada saat Pasir tengah menerima kunjungan kenegaraan Tumenggung Wirajaya dari Demak. Ia pun ditangkap dan dibawa ke Demak sebagai bud
Dibanding kampung halamannya, yaitu Karang Bendan, Paranggelung bagi Jaladri lebih mirip sebuah desa besar. Orang-orang tak terlalu banyak terlihat di jalanan. Gerak-gerik mereka pun cenderung lamban dan berkesan malas. Mungkin karena pengaruh suhu juga. Berada di lereng Pegunungan Dieng, tempat itu selalu sejuk sepanjang hari. Mungkin bahkan kala tengah hari dan matahari bersinar terang benderang pun, hawa udara tetap terasa dingin di kulit. Dan ia ingin melihat pagi subuh di sini. Barangkali akan ada kabut tebal, dan mulut kita mengeluarkan uap hangat saat bicara.Saat ia tiba bersama Wira dan Ningrum, waktu sudah menjelang magrib. Begitu memasuki wilayah kota, Wira langsung memimpin di depan dan mengarahkan laju kudanya menuju alun-alun. Tak terlalu ramai di sana. Maklum, tak lama lagi senja. Semua orang tentu sedang mandi untuk bersiap-siap menunggu azan salat magrib.Karena hanya tamu, Jaladri ikut saja ke mana Wira pergi. Tahu-tahu saja mereka sudah tiba di dekat
“Waduh!”Bajul menghentikan laju kudanya, yang segera diikuti tiga kuda lain di belakang. Dan seketika masa depan langsung berubah menjadi suram.Dalam cahaya sore yang mulai meredup menuju senja, air sungai lebar di depan mereka terlihat mirip gambaran mengenai neraka. Tak saja bergerak dalam kecepatan luar biasa tinggi, melainkan juga bergolak dan meluap-luap. Tak lama lagi air mungkin bahkan meluber naik hingga ke lereng tepian sungai.Barangkali hujan lebat berhari-hari terjadi di puncak Dieng sana, sehingga kemudian airnya menjelma banjir besar di titik ini.Penunggang kuda yang bertubuh mungil dan sejak tadi selalu ditempatkan di titik paling tengah mengurai jilbabnya, yang membungkus rapat dan hampir menutup keseluruhan wajah. Ia menatap nanar ke aliran sungai tepat di hadapannya.“Tak bisa menyeberang ya?” tanya dia, yang berhidung bangir dan berpipi tirus namun justru nampak serasi dengan bentuk tubuh dan wajahnya:
“Nanti Kakang bertiga tidurnya di sini,” kata Ni Sanadi. “Nanti Mbah bikinkan nasi goreng yang enak. Nah, khusus untuk Pramesti, kau tidur di dalam. Ayo!”Kembali Pramesti dengan patuh mengikuti sang nenek. Ia diajak masuk ke kamar yang berada tepat di balik amben bambu lebar di ruang depan.“Nanti kau tidur di situ,” Ni Sanadi menunjuk balai-balai bambu di sudut kamar. “Itu sudah ada selimut.”Pramesti meletakkan pantatnya di amben. Enak sekali, setelah menempuh perjalanan panjang dari Karang Bendan sejak subuh tadi. Rasanya ia ingin langsung rebahan.“Mbah sendiri nanti tidur di mana?” tanya dia.“Mbah bisa tidur di rumah tetangga. Kau istirahat dulu. Kalau mau, nanti kau bisa bantu Mbah membuat nasi goreng. Nasinya sudah ada, tinggal membuat bumbu dan menggoreng.”Pramesti mengangguk. “Mau, Mbah. O, ya, ini Ki Dewaningrat Pakulangit di mana?”&ldquo
Jaladri maju dengan langkah berjongkok. Ia menyembah. Pangeran Wiratmaka duduk di batu takhtanya, di sudut ruangan lebar itu, menghadapi sebuah meja rendah dari kayu berukir yang amat indah dan mewah.“Hamba menghadap, Gusti Pangeran.”Pangeran Wiratmaka menoleh. “Tidak usah menyembah! Tak ada yang lihat juga.”Jaladri mengangkat wajahnya.“Beneran?”“Iya. Biasa saja seperti seharian tadi di jalan. Ayo, sini! Ada yang mau kubicarakan denganmu.”“Asiiiik...!”Jaladri melompat ke arah Wiratmaka.“Tapi ya jangan lantas ndeso gitu.”“Peduli setan! Aku sudah pegal sejak tadi sok resmi seperti sedang ada jumenengan.”Jaladri bergegas mendekati meja dan duduk bersila di situ. Wiratmaka kemudian turun dari batu takhta untuk ikut duduk juga di karpet permadani.“Baik. Ini sangat penting. Kau siap mendengarnya?”
Senopati Bantala menutup kembali kedok di wajahnya saat ia mendengar suara derap kaki kuda dari kejauhan. Ia mundur merapat ke batang pohon besar di belakangnya, menyamarkan dirinya dalam kegelapan yang terlindung dedaunan dari sinar bulan yang sangat cerah malam ini.Lalu ia meraba hulu pedang saat kuda itu menapak pelan ke arahnya. Namun saat hidungnya menghidu bau tubuh yang sudah sangat ia hapal itu, seluruh kewaspadaannya seketika terurai. Ia bahkan melangkah maju agar terlihat. Kedok kain ia turunkan kembali.Yang datang memang Rinjani. Perempuan remaja itu juga sama sepertinya, mengenakan busana serba biru gelap untuk membuat diri tak terlihat dalam kegelapan malam.“Bagaimana? Semua lancar?” tanya Senopati Bantala.“Lancar, Senopati. Kami berangkat siang tadi selepas makan siang dengan naik kuda. Begitu masuk Kademangan Larangan Lor, pihak istana Pangeran Candrakumala menyambut dengan menyediakan tandu bagi kami bertiga. Perjalan
Pramesti merapatkan selimutnya. Enak. Hangat sekali. Dan baru sekian saat kemudian ia menyadari sesuatu yang tak biasa. Betul. Ia tak sedang berada di rumah. Rasa dingin yang asing dan tak nyaman itu seketika membangunkannya hingga terlompat bangkit dengan punggung tegak. Ia sibuk melihat sekeliling.“Apa ini?” ia menyingkirkan kain hitam lebar yang tadi ia pikir selimut tempat tidurnya di rumah.Jelas itu bukan sesuatu yang seharusnya dipakai tidur. Baunya aneh.Hal pertama yang ia lihat adalah nyala api unggun tak jauh dari tempatnya tergolek tidur beralaskan kain lain lagi yang juga berukuran lumayan lebar. Sekelilingnya adalah pepohonan dan sesemakan lebat. Lalu telinganya menangkap bunyi gemericik air. Pasti ini di dekat sungai. Masalahnya, ini di tlatah sebelah mana?Semua ingatan kembali dengan cepat. Sungai banjir, Ringin Pitu, Dewaningrat yang gila, lalu kemunculan seorang pria aneh bersenjata pedang yang hanya dengan satu ka
“Sebentar lagi akan ada orang datang, berusaha menculikmu lagi. Waspadalah!”Jaladri mengernyitkan dahi. Matanya mencoba mengenali pria yang duduk di hadapannya, di tengah-tengah keriuhan pasar pagi sekarang ini.“Siapa?”Mereka makan nasi bungkus, duduk di atas los daging. Dan daging lauknya tinggal mencomot yang ada di atas lapak.“Kau akan kenal nanti. Sudah pernah ketemu kok.”Pria di depannya itu mengenakan baju panjang mirip jubah. Mukanya jelas, tapi tak terlihat. Ia sedang memancing di pantai. Jaladri menendang-nendang sesuatu yang berbentuk bulat dan terbuat dari kulit.“Kapan ketemunya?”“Dulu. Yang jelas, untuk membangunkan lintangmu, cukup kenali getaran di dalam dada. Lalu alirkan ke tangan. Pukul saja sekuatmu. Kita lihat hasilnya.”“Lintang apa?”Kini mereka naik kuda melintasi gurun pasir.“Lintang kemukus dini hari, pada
Jaladri berhenti di dekat pemuda itu dengan napas terengah. Ia, dan juga para pengawal, ikut menebar pandang ke mana-mana. Lalu sang pemimpin memerintahkan mereka semua untuk melakukan penyisiran, sedang empat prajurit terbaik tetap di situ mengawal Putra Mahkota.“Masa secepat itu larinya?” tanya Jaladri bingung.“Mereka benar-benar secepat setan! Kemampuan mereka jauh di atas kita. Itukah tadi yang bernama Suwung Saketi?”Jaladri mengangguk. “Ya. Itu orangnya. Kuakui, dia benar-benar pintar bisa menemukanku di sini.”“Lalu siapa yang satunya itu tadi?”“Aku tidak tahu. Belum pernah lihat. Tapi tadi dia mengejar Saketi. Mungkin salah satu musuh besarnya.”“Itu Tanpa Aran, pendekar aneh yang berkulit dan berambut putih.”Para pria serentak menoleh oleh suara lembut yang sangat enak di kuping itu. Dari arah masjid, sesosok bayangan ramping bergegas mendekat. Wajahn