Ki Demung Banar berdoa. Lalu ia mengusap wajah dengan kedua tangan.
“Baik. Mari berangkat!”
Ia naik ke kuda, disusul Ki Randu Alas, Ki Gagak Panolih, Wisnumurti, dan Pratiwi.
Ki Demung berpamitan kepada istri dan anak-anaknya. Dua putra tertuanya sudah memasuki usia remaja, dan ikut pula berlatih bela diri.
Ia menggoyang tali kekang untuk menyuruh kudanya mulai melangkah. Medan melandai turun untuk menyeberangi sungai, lalu mulai mendaki di tengah pepohonan cemara menuju Gunung Wijil. Cuaca cerah, tapi mendung tebal menanti di depan. Baru beberapa langkah maju, Ki Demung Banar menghentikan kudanya. Empat yang lain tentu ikut berhenti.
“Ada apa?” tanya Ki Gagak Panolih.
Alis Ki Demung berkerut.
“Burung prenjak berbunyi, nyaring sekali,” katanya.
Yang lain ikut memasang telinga. Benar. Memang kicauan prenjak terdengar sangat kenceng, dan bersahut-sahutan.
“Kita akan kedatangan tamu
Pangeran Wiratmaka menghentikan kudanya. Jaladri, Ningrum, dan Pramesti juga berhenti. Dan mereka tahu sebabnya.Di depan, jalan bercabang dua. Sama-sama menembus hutan belantara yang luar biasa lebat, namun membingungkan karena tak berupa persimpangan, melainkan hanya seperti jalan yang membelah dalam sudut sempit. Ditilik dari sudut pandang mereka, dua-duanya bisa sama-sama menuju ke Gunung Walang.Masalahnya, yang mana?Dan tak satu pun dari mereka yang pernah berkelana hingga tempat itu. Wiratmaka hanya hapal ruas jalan utama, yang langsung menghubungkan Paranggelung dengan Tirta Mas dan kemudian Kajoran, sebelum membelok ke barat daya menuju Larangan Lor dan kemudian Kotaraja Pasir. Ini tadi mereka masuk ruas jalan yang lebih sempit, yang di paling ujung berakhir di Gunung Wijil, kediaman Ki Lembu Narawara yang sangat disegani kawan dan lawan.“Sepertinya yang kiri,” kata Wiratmaka.“Tahu dari mana?” sahut Jaladri.
“Nah, itu dia!”Wisnumurti dan Pratiwi bergegas menyusul Ki Randu Alas mendaki lereng yang lumayan terjal itu. Mata mereka melebar sejadinya begitu tiba di puncaknya.“Astaga! Luar biasaaaa!”Pratiwi sampai mengucek-ucek matanya.“Surga pasti bentuknya seperti ini...!”Ki Randu Alas tertawa.“Nikmati selagi bisa. Kita tak bisa terlalu lama ada di sini.”Sebab yang ada di hadapan mereka adalah sesuatu yang sangat surgawi. Aliran sungai membentuk kedung yang tenang dan bening, sebegitu bening sehingga batu hingga paling dasar pun terlihat nyata. Lalu, di arah hulunya, pada tebing, adalah dinding air yang jatuh dari puncak setinggi 15 tombak. Warnanya putih berbuih, turun terus tanpa akan ada hentinya, dan menghadirkan suara gemuruh abadi yang memekakkan telinga tapi sekaligus menenangkan dengan cara yang aneh.Dan jika kita melihatnya dari sudut yang tepat, terlihat pelangi pada per
Jaladri berteriak sekuat tenaga.“Pangeran! Pramesti! Woooiii!”Windyaningrum meneriakkan nama-nama yang sama. Sesaat sepi. Hanya ada suara angin. Lalu ada guncangan gempa lagi, namun dengan kekuatan yang tidak sekuat tadi.“Harusnya mereka tidak apa-apa,” gumam Jaladri.Ningrum mengangguk. “Semoga saja begitu.”Sesaat kemudian ada teriakan balasan dari kejauhan sana, dan satu kepala mencuat dari balik tumpukan bebatuan.“Ada yang luka!?” Pangeran Wiratmaka melambaikan tangan.Jaladri menggeleng, balas melambai.“Kami baik-baik saja. Hanya saja kuda-kuda kami minggat entah ke mana! Kalian bagaimana!?”Ada kepala lain muncul di belakang Wiratmaka. Itu Pramesti.“Tidak apa-apa. Dia masih utuh kok!” Wiratmaka nyengir sambil menuding ke arah Pramesti. “Hanya kaget saja.”Jaladri membuang napas. “Oh, syukurlah.”
Wisnumurti masih terengah saat ia merasa puas menciumi bibir dan pipi Pratiwi. Mata gadis itu menyipit, nampak begitu elok saat rambut dan wajahnya basah kuyup.“Apa aku akan hamil?” tanya Pratiwi, dengan suara rendah.“Mungkin saja.”Gadis itu mendelik. “Mati aku! Kalau begitu, kita harus menikah. Aku bisa dibunuh Bapak kalau tahu-tahu hamil tanpa ada suami!”“Ya, tentu saja. Begitu bertemu ayahmu nanti, aku akan melamarmu.”Pratiwi tertawa. “Lucu ya. Soalnya kita tidak ada rencana mau menikah. Bapak sama Ibu saja belum berusaha mencarikan suami untukku.”“Harusnya memang bisa saja calon suami atau istri kita cari sendiri karena memang betul-betul suka, tidak melulu menunggu dijodohkan orangtua.”“Itu kan cara-cara menyimpang kaummu orang persilatan.”“Memang, tapi itu yang betul, kan? Siapa yang akan menikah memangnya? Kamu apa orangtua?
Panji Warastra bergegas menghampiri Senopati Natpada yang tengah mengenakan baju kebesaran dibantu tiga orang pembantu. Sang senopati sudah paham, raut wajah bawahan terpercayanya yang seperti itu pasti memerlukan satu percakapan empat mata. Cukup dengan sedikit menggerakkan jari, ketiga pembantu menyingkir serempak tanpa suara.Ia pun harus mengancingkan sendiri baju yang serba berhiaskan batu permata itu, yang akan ia pakai dalam acara pernikahan Pangeran Candrakumala esok pagi.“Gusti Senopati, ada hal penting yang harus saya laporkan,” kata Panji Warastra kemudian.Senopati Natpada masih asyik dengan kancing-kancing bajunya, yang semua terbuat dari emas tulen berkilauan.“Ada apa?”“Mungkin ini agak aneh, tapi saya perlu menyampaikan agar dijadikan bahan pertimbangan. Beberapa pegawai Dalem Kepangeranan dan juga prajurit menyampaikan tentang perbedaan rupa wajah antara Raden Rara Pramesti yang tadi sowan k
Tempat yang bernama Gedong Putih itu memang luar biasa menawan.Ia terletak di satu puncak bukit, dikelilingi hanya oleh pagar tanaman setinggi pinggang orang dewasa. Tak aneh kita bisa memandang bebas ke sekeliling tanpa hambatan.Dari sini, semua gunung tampak dengan jelas, sebagian tertutup awan yang mengambang. Tepat di lereng pada arah utara, terdapat sebuah telaga yang berair bening luar biasa. Sebuah jalan setapak yang dipercantik dengan batu-batu hitam menghubungkan bukit dengan telaga. Membelok bertrap, dan langsung berbatasan dengan dermaga yang cukup jauh menjorok ke permukaan air telaga.Sebuah perahu dayung berukuran kecil tertambat di sana, menanti para wisatawan untuk berperahu melihat-lihat keindahan danau—atau memancing. Rinjani membayangkan, pada waktu menjelang subuh dan purnama tengah membulat sempurna, kedudukan bulan yang rendah di ufuk pasti akan memunculkan bayangan mirip ruas jalan di permukaan air danau.Sayang ia tak punya
“Astaga! Jadi sosok yang istimewa itu adalah putri Pangeran Samodra?” desis Pratiwi.Ki Randu Alas mengangguk.“Namanya Rara Marli, putri bungsu sang pangeran. Aku kenal saat ia diajak ibunya, Raden Ayu Kusrini, berkunjung ke Kalibening. Raden Ayu masih berkerabat dengan Rama Guru Samirana, ketua perguruan sebelum aku. Begitu kenal, kami langsung dimabuk sesuatu yang jauh lebih besar daripada kekuatan wajar sebagai manusia. Marli dan aku seketika tahu, kami ditakdirkan untuk bersama. Lalu kami sepakat untuk meminta perjodohan.”“Meminta perjodohan?” Ningrum buka suara.“Ya. Pada zaman ini. perjodohan kan sesuatu yang diatur. Aku berhasil membujuk Marli agar melakukannya dengan cara kaum persilatan. Memilih sendiri, lalu mengajukan satu nama itu pada orangtua agar disetujui.”“Lalu? Berhasil?” tanya Jaladri.Ki Randu Alas tertawa getir. “Tentu saja tidak. Memangnya ini cerita n
“Siapa?” tanya Ki Soma, mendekat ke arah Rinjani.Gadis itu tak menyahut. Ia mempertajam telinga, dan suara tapak langkah itu makin dekat. Halus, nyaris tanpa suara, menandakan bahwa yang datang bukanlah orang yang tak berkemampuan bela diri kelas atas.Lalu sesosok bayangan muncul dari balik sesemakan. Badannya tegap tinggi, mengenakan busana serba gelap, dan menyandang pedang panjang di punggung. Sejenak kecurigaan Rinjani mereda. Sorot mata dan raut wajah pria itu tak terlihat ganas seperti anggota gerombolan perampok. Kulit wajahnya justru cukup bersih, dan kumis serta janggutnya pendek rapi, menunjukkan bahwa ia terawat. Bukan jenis manusia yang menghabiskan seluruh waktu kehidupannya di tengah hutan.“Maaf, apakah panjenengan bertiga tersesat...?” tanya pria itu dengan nada sopan, tanpa terlihat tanda-tanda ia akan meraih pedangnya lalu menyerang.Rinjani bangkit, tak jadi menghunus pedangnya.“Betul,&rd