“Apakah dia sudah sampai di tempat ini mendahului kita...?” Ki Demung Banar mendesis, celingukan.
“Siapa? Tanpa Aran?” sahut Ki Gagak.
Ki Demung mengangguk.
“Atau dua manusia sinting dari Margalayu itu,” kata Wiratmaka.
Alisnya berkernyit ketika hidungnya mencium kesiur angin yang tak biasa. Anyir sekali. Tahu-tahu melintas melewati hidungnya. Mata sang pangeran bergeser melakukan pencarian.
“Jangan takut! Mereka tidak mati. Hanya kusirep agar tidak menggganggu perayaan malam ini.”
Keempatnya menoleh. Dalam remang cahaya senja, sesosok bayangan hitam bercaping berdiri dengan kaki kangkang tak jauh dari gapura batu bata yang menjadi penanda awal jalan menanjak menuju puncak Gunung Wijil. Tak perlu bertanya, semua sudah langsung tahu siapa bayangan itu.
“Kalian juga mau ikut berpesta?” kata orang itu lagi. “Kau tak sayang nyawa juga rupanya, Pramesti. Di atas sana nanti,
“Kok sepi ya...? Seperti ada yang tidak beres…”Pratiwi melompat turun dari kuda, yang lain mengikuti. Jaladri mendecak dan menggeleng-geleng.Ki Randu Alas menatap berkeliling. Memang benar, ada yang tidak beres. Ia telah berkali-kali kemari, dan belum pernah menjumpai Wijil Ngisor sesenyap dan segelap ini. Biarpun datang kemalaman sekalipun, tetap akan ada para murid Perguruan Matahari yang melek berjaga-jaga.Magrib ini, barang-barang titipan saja yang ada. Orang-orangnya lah yang tidak ada. Lentera dan obor-obor biasanya sudah menyala.“Coba periksa rumah-rumah penduduk!” katanya. “Aku akan ikat kuda-kuda di tempat penitipan.”Pratiwi membantunya menambatkan kuda. Tiga yang lain memeriksa rumah demi rumah, lalu datang melapor tapi tidak dengan wajah pucat.“Semuanya tertidur,” kata Wisnumurti.“Semua orang pasti disirep, agar tak tahu apa yang nanti akan terjadi di atas
Pangeran Wiratmaka menghentikan larinya dan mendongak.“Ya, Tuhan! Ada kebakaran!”Pramesti juga ikut melihat ke atas. Langit memang berwarna kemerahan, dan ada asap pekat hitam membubung tinggi.“Masa Tanpa Aran juga bakar rumah?” gumamnya.“Ayo, cepat!”Wiratmaka menarik tangan Pramesti lagi. Mereka menyelesaikan pendakian dengan cepat. Dan kian dekat, suara-suara itu makin terdengar jelas, yang merupakan perpaduan antara teriakan-teriakan kacau, jeritan, dan dencing senjata beradu.Sang pangeran menahan napas. Bunyi-bunyi itu hanya mengingatkannya pada satu hal.“Hah? Perang...?”Jalur pendakian berakhir. Dan semua langsung terpampang nyata begitu keduanya tiba di puncak.Kekacauan. Hanya itu satu-satunya kata yang tepat menggambarkan keadaan di Gunung Wijil. Dan beberapa di antaranya hampir bertabrakan dengan mereka.Puluhan dan bahkan ratusan orang berlari dan m
Mereka langsung sibuk meneriaki Ki Gede Nipir. Dengan cepat kedua bayangan bergulung ke belakang.“Ada apa?” tanya pria penyerang itu, yang memang Ki Gede Nipir.“Dia bukan penculik,” sahut Pramesti. “Itu Pangeran Wiratmaka.”Ki Gede terperanjat. “Apa?”Pertanyaannya terputus oleh teriakan Pangeran Wiratmaka yang malah menoleh ke arah lain sambil berkernyit dahi.“Dasar tukang telat semua!” hardiknya keras. “Kalian hampir saja ketinggalan pestanya!”Jaladri tertawa senang. “Wah, Wa Nipir ternyata sudah sampai di sini juga. Mencari Memes ya? Tak perlu sebenarnya. Dia kan memang biang masalah sejak dulu!”Ki Gede dengan cepat menoleh ke orang-orang yang muncul di belakang Jaladri.“Kenapa kaubawa dia ke sini?” tanyanya pada Ki Randu Alas. “Nanti dia mengacau. Kelakuannya sering aneh-aneh.”Pratiwi mendelik. Wisnumurt
Saat mereka tiba, lapangan tepat di depan pendapa kediaman Ki Lembu Narawara bersuasana mirip pada malam takbir Idul Fitri. Seluruh penjuru terang benderang oleh nyala obor dan terdapat begitu banyak orang berkumpul. Berdiri tepat di dekat pendapa adalah para pria bersenjata dalam berbagai rupa dan perawakan. Mereka menyibak saat Ki Gede Nipir dan yang lain-lainnya muncul dari arah telundakan, tahu bahwa para pendatang baru ini adalah tamu-tamu terhormat, dan banyak di antaranya yang telah kenal dengan Ki Gede dan juga Ki Randu Alas.Saat bergegas menapak naik ke pendapa, para pria yang awalnya duduk bersila di sana serempak berdiri. Semua memberi sambutan dengan gembira, terlebih ketika Ki Gede memperkenalkan Putra Mahkota pada mereka. Sayang keadaan sedang tak tepat untuk sekadar berhalal bihalal penuh kegembiraan. Tuan rumah seketika mendekat begitu melihat raut wajah muram Ki Gede Nipir.“Bisa kita bicara di dalam?” tanya Ki Gede.Pria pendek kek
Semua terpaksa bercerita tentang Suwung Saketi dan Remak. Wajah Ki Lembu memucat saat cerita kemudian sampai ke urusan ilmu-ilmu rahasia Keraton yang diajarkan Pangeran Langit pada Jaladri.“Demi Tuhan...! Ya, Allah...!” desisnya kemudian.“Ada apa?” tukas Ki Gede Nipir. “Kakang juga tahu lebih mendalam mengenai permasalahan itu?”“Ceritakan saja dulu soal Kartika Wuni sebatas yang kau tahu!”Kuduk Jaladri meremang mendengarnya.“Baik. Pada suatu malam aku didatangi salah satu prajurit rendahan Keraton. Dia bilang ada salah satu selir Putra Mahkota yang meninggal mendadak sehingga tak bisa mengasuh bayi yang baru ia lahirkan. Kata prajurit itu, Putra Mahkota agak ragu bila sang bayi masih ada di Kaputren dan diasuh oleh pengasuh atau ibu pengganti. Ibu tirinya, yaitu selir lain dari Pangeran Mangkubumi, bisa saja membencinya dan tidak merawatnya dengan baik. Ia lalu menghendaki agar bayi itu dia
Tepat saat mereka keluar, semua orang di depan sudah tak lagi duduk. Bahkan para tokoh di pendapa telah menyiagakan senjata masing-masing.Dan tentu saja mereka tak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi. Ketua Perguruan Matahari itu tahu betul caranya untuk mengamankan keadaan!Kemunculan bergegas Ki Gagak Panolih dan Ki Demung Banar membuat perbincangan soal Rara Marli terputus. Pria itu memberi salam sekadarnya pada Ki Gede Nipir sebelum berbicara pada Ki Lembu.“Kakang, mereka tidak bisa dihentikan,” katanya dengan wajah berkeringat dan sebagian bajunya penuh darah, menandakan bahwa ia baru saja terlibat pertarungan antara hidup dan mati yang cukup berat.Keadaan yang sama juga ada pada Ki Demung. Pria itu sudah bertelanjang dada. Pasti karena bajunya sudah terlalu kotor kena darah dan lumpur.“Tidak bisa dihentikan bagaimana?” sahut Ki Lembu.“Murid-muridmu sudah bisa melumpuhkan mereka, tapi tiap kali jat
Wisnumurti melompat dengan enteng ke dasar tebing dari ketinggian sekitar dua tombak. Memang ada jalan khusus di belakang padepokan, bertrap-trap dalam jarak yang amat tinggi menuruni dinding tebing yang nyaris tegak lurus. Hanya warga setempat yang bisa melintasi jalan setapak itu dengan cepat. Karena ia orang luar dan tak hapal medan, langsung melompat saja tentu lebih baik.Baru sedetik kemudian Rinjani tiba. Ia tentu saja tak bisa melenting sebaik pemuda itu.“Awas jurang!”Rinjani terundur setapak. Ada angin yang luar biasa kuat menyambar. Ia terpana takjub. Tak sampai lima langkah darinya memang terbentang angkasa lepas tanpa dasar. Dan dalam kegelapan malam, jurangnya memang tak tampak. Kobaran api dari kejauhan sana membantunya melihat lebih jelas.Berhati-hati pada jurang, ia kemudian melangkah persis di dinding tebing puncak Gunung Wijil.“Kau siapa sebenarnya?” tanya dia kemudian, dengan napas masih terengah. &ldq
“Sinuwun, ngaturakem sembah pangabekti...”Semua seketika ikut berlutut dan bersujud begitu Ki Lembu Narawara turun dari pendapa dan melakukannya. Semua, kecuali Tanpa Aran.Pangeran Langit terdiam dan menarik napas. Tangannya bergerak ke arah wajah.“Tak ada gunanya lagi aku memakai ini.”Topeng ia lepas, lalu ia lempar sembarang arah ke samping. Di baliknya ada wajah seorang pria berumur pertengahan 60-an yang telah penuh keriput. Wajah yang tak pernah dilihat siapapun, kecuali atas perkenannya pribadi. Maka tak pernah ada pula yang menatap sorot mata itu, pipi yang bekerut tapi nampak gagah, juga kumis tipis dan janggut putih yang sekali waktu dulu pernah menaklukkan hati para perempuan tercantik di delapan penjuru angin.Dialah memang sultan mereka semua. Giriwangsa. Sultan kedua sesudah Pasir tak berada di bawah payung kekuasaan negara mana pun.“Baiklah. Aku akan bersabda.”L