“Makanya. Ini jadi menarik, kan? Apalagi karena lingkunganmu yang berpeluang melatihmu dalam soal ilmu bela diri kan sudah jelas kita semua tahu siapa saja. Bajul, lalu ada Ki Gede, ada Pratiwi. Kalau mereka tertarik bakatmu, misalnya, lalu ingin membantumu berlatih, kan tinggal dipanggil saja. Atau langsung diajak bertarung. Yang satu ini kenapa malah sok main rahasia begitu? Alasannya apa? Siapa dia? Mengapa memilihmu dan bukan Bajul?”
“Dan kau sekarang tak merasa kenapa-kenapa, kan?” tanya Bajul. “Soalnya tendangan si senopati itu tadi benar-benar tendangan yang dimaksudkan untuk mencelakai. Kupikir kau bakal modar. Setidaknya pingsan sepekan lah. Tapi kau masih bisa bangun dan sepertinya baik-baik saja.”
Jaladri meraba bagian dada yang tadi kena tendang.
“Tadi cuma ngilu di sini, lalu aku sempat tidak bisa napas sebentar. Lalu ya biasa-biasa saja. Masih bisa jalan.”
“Malah Senopati Natpada yang terguncang parah,” kata Wisnumurti. “Sekarang ini mungkin masih setengah kelenger. Mencelatnya jauh sekali gitu. Kena pohon pula jatuhnya.”
“Dan sekarang penduduk senang karena kayu segede itu bisa dijual mahal,” Bajul menggeleng-geleng. “Dasar kau memang bajingan beruntung, Dri...!”
“Ada satu lagi yang menarik perhatianku,” kata Wisnumurti. “Aku sempat mendengar Senopati Natpada tadi menyebut nama Lintang Abyor, persis sesudah bisa berdiri ditolong anak-anak buahnya. Kalau dugaanku betul, itu pastilah nama jurus atau semacam ajian pukulan tertentu.”
Bajul berusaha keras mencerna arah pemikiran Wisnumurti. “Maksudmu, jurus yang dia terima dari Jaladri? Yang membuatnya mencelat terbang sejauh itu?”
“Persis.”
Jaladri ternganga. “Jadi itu namanya? Jurus Lintang Abyor?”
Wismumurti mengangguk. “Sepertinya begitu. Dan itu akan memberi petunjuk pada kita mengenai jati diri orang yang muncul di kamarmu dan menabokmu untuk membuka aliran tenaga intimu. Apalagi karena dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk mundur teratur. Barangkali karena pengaruh nama itu...”
“Memangnya bisa ya seperti itu? Satu kali kena pukul tenaga dalam, lalu langsung bisa seketika mengenali dan bahkan tahu namanya.”
“Itu sangat mungkin dilakukan oleh para pakar yang berpengetahuan luas, tahu banyak tentang segala aliran dan jenis perguruan dalam dunia persilatan. Dalam batas tertentu, aku pun bisa. Ketemu satu orang, lalu dari ciri gerakannya langsung tahu, ini dari perguruan mana dan aliran apa. Mengenali ciri pengerahan tenaga juga bisa, apalagi jika langsung kena hantam. Dan Senopati Natpada termasuk jenis manusia yang sangat melek dan terpelajar. Tadi saja, cukup dengan melihat bentuk ototku, dia langsung tahu aku seorang pesilat.”
“Lalu Lintang Abyor itu berasal dari aliran mana?” tanya Bajul.
Wisnumurti menggeleng. “Belum tahu. Aku tak hapal satu-satu setiap ciri perguruan beserta jurus-jurus andalan masing-masing. Kadang ada juga beberapa aliran berbeda memberi nama sama pada jurus yang berlainan. Yang memiliki wawasan lebih luas pasti bisa membantu, seperti Ki Gede Nipir.”
“Tentu saja. Besok kita tanya saja sama beliau.”
“Sekaligus menyediakan tempat untuk Sarni dan keluarganya.”
“Kau akan mengajak mereka ke Kenipir?”
“Ya. Tadi aku sudah mengatakannya pada Ki Buyut dan Ki Tanu. Mereka setuju. Jika masih ada di sini, mereka bisa saja disatroni suruhan Pangeran Candrakumala lainnya. Tanpa ada yang menjaga, hukuman penggal kepala bisa saja langsung dijatuhkan. Kenipir akan menjadi tempat aman bagi mereka memulai hidup baru. Ki Gede pasti bisa mencarikan pekerjaan buat Ki Tanu, syukur-syukur malah bisa bekerja langsung padanya.”
Bajul manggut-manggut. Sorot mata bijaknya saat itu menampakkan sosok dia yang sesungguhnya sebagai pria dewasa yang jauh lebih tua dan berpengalaman daripada kedua anak itu.
“Ya, itu jalan keluar yang cukup aman, sekaligus kita bisa melaporkan peristiwa tadi pada Ki Gede. Brabo kan masih wilayah Tanah Perdikan Kenipir. Dan di wilayah kekuasaannya, siapapun tak bisa bertingkah semaunya seperti itu tadi. Tak juga bangsawan Keraton.”
“Aku juga berpikir begitu. Ayo, tidur! Besok saat matahari terbit kita berangkat ke Kenipir bersama keluarga Ki Tanu. Mereka tak punya kuda, jadi kita semua harus jalan kaki. Perjalanan bakal makan waktu lebih lama. Mungkin lepas dzuhur baru kita tiba di Kenipir.”
Bajul mengangguk. Ia kembali bersiap membaringkan diri.
“Lalu ini harus kuapakan?” tanya Jaladri.
“Ya kudu dilatih, sedikit demi sedikit, sampai kau bisa merasakan dan mengendalikannya. Tapi aku tidak bisa. Wisnumurti yang lebih tahu urusan seperti ini.”
“Tapi aku juga tak bisa membantu banyak. Paling hanya memberi dasar-dasarnya saja. Aku kan tidak bakalan ada di sekitarmu tiap hari. Padahal latihan olah napas untuk mengendalikan tenaga inti harus dibimbing seorang guru agar perkembangannya bisa dipantau dengan teliti tiap saat, tiap hari. Hanya guru yang berpengalaman bisa tahu, sesudah mencapai satu tataran tertentu, berikutnya harus apa lagi.”
“Kau kan bisa,” sahut Jaladri.
“Belum pengalaman sebagai guru, tapi ya, memang bisa.”
“Lantas?”
“Kaupikir aku lalu mau tinggal menetap di Karang Bendan selamanya hanya untuk menjadi pelatihmu? Cara berpikirmu bagaimana? Waras tidak?”
Jaladri cemberut.
“Lalu aku harus latihan sama siapa? Bajul tidak bisa. Kau tidak mau. Dasar memang kalian tak ada gunanya sama sekali!”
Wisnumurti membaringkan tubuh dan meringkuk sepenuhnya dalam sarung, membelakangi Jaladri.
“Kau bisa latihan sama pocong dan kuntilanak penunggu rumahmu,” katanya sembarangan.
Jaladri mengomel. Masih tetap duduk saat kedua kawannya sudah berbaring.
***
Sesudah buang air kecil, Senopati Natpada kembali naik lereng menuju para prajuritnya berada. Hawa luar biasa dingin. Kabut pagi mengambang tepat di atas permukaan air. Seorang prajurit mematikan api unggun hingga hanya menyisakan arang kayu yang sedikit membara.
Senopati itu sesaat terdiam. Peristiwa kemarin sore benar-benar mengguncang kesadarannya. Tugas yang ia perkirakan bakal berlangsung enteng, sehingga ia hanya merasa perlu membawa serta 10 prajurit saja, ternyata berjalan sebaliknya. Ia begitu terusik sehingga tak tertarik untuk mengatakan apa pun pada mereka semua.
Urusan begini harus ia bahas langsung dengan Pangeran Candrakumala. Hanya orang-orang tertentu tahu ilmu itu—apalagi memilikinya. Ia tak berani gegabah terkait hal-hal keramat agar tidak tertimpa karma buruk.
“Bagaimana? Sudah siap semua?” tanya dia kemudian, memasukkan semua barang ke buntalan kantung di punggung kudanya.
Para prajurit di sekelilingnya mengedarkan pandang. Ternyata baru ada delapan orang.
Lalu ada suara langkah kaki mendekat dari salah satu arah. Senopati Natpada menoleh. Tiga pria bergegas mendekat. Yang dua adalah anak buahnya, sedang yang ketiga seorang pria bertubuh kurus yang nampak ringkih dan gampang jatuh.
Dan di hadapan Senopati Natpada ia kemudian memang rubuh, karena didorong dengan kasar ke depan. Pria itu terjerembab tepat di depan kaki Senopati Natpada.
“Siapa ini?” tanya sang senopati. “Penyusup?”
“Bukan, Gusti. Katanya, dia hendak bertemu Gusti Senopati,” sahut prajurit yang bernama Galih. “Ada yang hendak disampaikannya pada Gusti. Dia menemui kami di dekat kedung tadi.”
Pria itu, berusia sekitar akhir 30-an, bersujud di hadapan Senopati Natpada dengan badan basah kuyup gemetaran luar biasa.
“Orang ini bilang, dia mencuri kuda orang untuk menempuh perjalanan sepanjang separuh malam dari Brabo kemari agar dapat menyusul kita,” kata Galih lagi.
Alis Senopati Natpada berkerut.Kaki kanannya kemudian terulur, mengangkat dagu pria di depannya hingga kepalanya terdongak.“Apa? Apa yang mau kausampaikan padaku?”Pria rapuh itu makin kencang gemetar. Sebagian karena kedinginan, sebagian lagi karena keder berhadapan langsung dengan seorang senopati Keraton.“D-dia... anak... Ki Soma...”“Apa?” Senopati Natpada mendekatkan telinganya ke wajah orang itu, dengan tangan menjambak rambut kuat sekali. “Tidak dengar.”“Katanya, anak muda yang kemarin kurang ajar terhadap Gusti Senopati adalah putra Ki Somanagara,” kata prajurit yang bernama Pangat.“Anak Ki Somanagara? Pedagang beras dan perhiasan dari Karang Bendan itu?”“Betul, Gusti. Orang ini warga Brabo juga, dan semalam ikut berkumpul makan-makan dengan mereka bertiga. Begitu ia sudah memastikan jadi diri mereka, ia langsung menyusul Gusti kemari. S
Wisnumurti menatap sekeliling. Selalu saja tak pernah ada yang tak ia sukai dari kota ini. Ia merasa Kenipir adalah rumahnya juga, selain Karang Bendan dan tentunya Cakrabuana. Ia menyukai penduduknya, dan juga keahlian mereka memasak segala hal yang datang dari laut.Mereka tiba tepat ketika azan dzuhur berkumandang dari masjid besar tepat di pusat kota. Wisnumurti, Jaladri, dan Bajul memimpin di depan dengan kuda, sedang keluarga Ki Tanu naik pedati sederhana yang ditarik seekor kuda. Arah tujuan tentu langsung ke Gedong Gede, rumah besar Ki Gede Nipir yang terletak tak jauh dari alun-alun.Berdasar penuturan orang-orang tua yang ia dengar, kedudukan Kenipir sebagai tanah perdikan didapat berkat peran almarhum Ki Wanacaya saat membantu mendiang Sultan Sindunagara bertakhta lebih dari 30 tahun lalu. Ia merupakan salah satu pembantu terpercaya Sultan kala itu.Sebagai tanah perdikan, Kenipir bebas dari kewajiban untuk membayar pajak atau upeti kesetiaan pada Sul
“Oh, itu hanya nama samaran. Nama aslinya bukan itu.”Wisnumurti meletakkan pantatnya di lantai marmer yang jernih dan bersih itu, tepat di depan meja rendah. Ia menatap lekat pada Ki Gede Nipir.“Jadi Jalung hanya samaran? Lalu aslinya dia siapa?”“Sembada, Ketua Padepokan Tirta Maruta yang suka judi dadu itu. Dia dulunya bekas saudara seperguruan Randu Alas dari Kalibening.”Sesudah makan siang yang menyenangkan dengan sajian berupa nasi urap dan ikan asap khas Kenipir, Wisnumurti mengikuti Ki Gede Nipir ke ruang kerja pribadi yang berada di salah satu sudut rumah utama pria itu. Jaladri masih ada di luar, ngobrol dengan Pratiwi dan Nyai Gede. Bajul yang tahu diri dan kedudukan sudah sejak acara makan tadi membaur dengan para pembantu dan pengawal Ki Gede Nipir.“Lalu kenapa harus pakai nama samaran begitu?”Tirta Maruta adalah sebuah perguruan kecil yang bertempat di Kajoran, salah satu kota
Pangeran Candrakumala menoleh sekilas. Seseorang duduk bersila dengan khidmat di pendapa. Ia lalu membersihkan tangannya di kobokan, lalu beringsut meninggalkan amben bambu yang penuh sesak dengan sebegitu banyak piring berisi berbagai macam hidangan terlezat.“Nanti sore aku mau sate daging kuda,” katanya. “Sembelih 10 ekor kuda!”Abdi dalem Keraton yang sejak tadi duduk bersila di lantai tepat di sisi amben menyembah.“Sendika, Gusti Pangeran!”Candrakumala lalu melangkah cepat menuju pendapa. Dua pelayan tergopoh-gopoh membawa batu tempat duduk yang berwarna hitam pekat dan berbentuk kubus sempurna setinggi sehasta. Badan mereka bergoyang-goyang karena bobot batu jelas tidaklah ringan. Mereka harus bergerak cepat dan meletakkan batu pada satu titik tepat di mana Pangeran Candrakumala akan duduk—yang ia pilih secara acak sesukanya.Para pelayan terdekat harus melatih itu secara sempurna, at
Bagian depan kediaman Ki Gede Nipir terang benderang dan meriah malam itu. Pendapa dan halaman di sekelilingnya dipenuhi deretan obor yang dipasang pada tiang-tiang bambu setinggi kepala orang dewasa. Tamu-tamu mulai berdatangan sejak sebelum beduk magrib dibunyikan di Masjid Besar, dan makin menyemut selepas waktu salat magrib berlalu.Empat pemimpin kademangan terdekat dari Kenipir diundang oleh Ki Gede dalam pesta makan kali ini, yaitu Kajoran, Kalang Wetan, Kalang Kulon, dan Gebang. Mereka datang hampir bersamaan. Tiga demang naik kuda bersama rombongan masing-masing, satu lagi naik tandu seperti para bangsawan kerajaan.Keempatnya mendapat kehormatan duduk di meja pendapa bersama keluarga dekat dan pembantu Ki Gede Nipir. Jaladri tentu ikut berada di sana, duduk tepat di samping Pratiwi. Sejak awal ada di situ, yang dicarinya belum ketemu.Sore tadi ia diberitahu bahwa Wisnumurti sedang keluar sebentar karena disuruh Ki Gede mengerjakan satu urusan, entah a
Semua orang berdiri dan menghunus pedang. Sambil meludah berkali-kali dan membuang apa pun yang tengah ada di mulut, Ki Gede Nipir menendang mejanya sehingga terbalik dan menumpahkan segala hal di atasnya.Jaladri melepas baju atasannya, lalu sibuk memijit-mijit tengkuk Pratiwi.“Bajingan! Apa maumu!?” Ki Gede menuding Sawung. “Kau siapa sebenarnya!?”Bajul dan belasan pengawal Kenipir maupun para pengikut keempat demang langsung mengepung rapat kedua pria itu, yang sekarang jadi tampak begitu aneh dan mengancam. Apalagi karena mereka nampak acuh dan santai saja meski rapat terkepung—menandakan betapa mereka sangat percaya diri.“Baiklah, namaku bukan Sawung, melainkan Suwung Saketi,” kata pria jangkung itu. “Suwung Saketi sekaligus nama dari pukulan pamungkas yang sudah berhasil kusempurnakan, beberapa bulan lalu. Dan yang di sebelahku ini bukan Ceki si tukang cuci kuda, melainkan adik angkatku. Namanya Rem
Wisnumurti mengumpat kasar saat ia melayang turun dari kuda. Kali ini tak ada yang menyambut tali kekang, jadi terpaksa ia bergegas menalikan sendiri kudanya ke tempat tambatan tak jauh dari pendapa. Lalu ia berlarian dengan mata jelalatan nanar ke segala arah.“Demi Tuhan! Ada apa ini...?”Sebab yang terlihat di sekelilingnya terlihat seperti medan sisa perang. Belasan bahkan puluhan jenazah terbujur centang perentang kacau, sebagian saling bertumpuk tumpang tindih tak keruan. Beberapa mayat ditangisi perempuan-perempuan yang menangis meraung-raung keras sekali.Dan di dekat ambang pintu bangunan samping yang digunakan sebagai dapur, beberapa perempuan paruh baya duduk menggelesot, berjongkok, dan bersimpuh dengan tingkah laku tak teratur. Semuanya menangis menjerit, memukul-mukul tanah, lalu menyebut nama Allah berulang-ulang.Wisnumurti kedinginan. Kuduknya merinding. Ia memanggil semua yang ia kenal, sejak Ki Gede dan Nyai Gede, Pratiwi, J
“Aku sudah kirimkan orangku yang masih sehat untuk memberitahu para lurah, buyut, dan demang di kawasan utara. Mereka akan memberikan laporan bila melihat dua orang laki-laki dengan ciri mencurigakan seperti Saketi dan Remak, terlebih bila mereka terlihat bersama seorang anak remaja. Kuduga, mereka akan menuju kampung mereka yang bernama Margalayu itu, meski aku juga belum pernah dengar itu tepatnya ada di mana. Kau masih akan punya cukup waktu dan petunjuk jejak untuk memburu mereka.”Wisnumurti tercenung. “Betul juga. Dan Remak juga tengah terluka, bukan, gara-gara Lintang Abyor dari Jaladri? Membawa satu sandera dan satu orang luka, Saketi tak akan bisa bergerak cepat. Malam ini mungkin dia masih berada di kawasan hutan sekitar sini, berusaha mengobati Remak sampai sembuh.”“Ya. Kita tenangkan diri dulu, agar bisa menyusun langkah terbaik besok pagi.”“Bagaimana keadaan Pratiwi dan Bajul? Sepertinya Bajul tak terlalu