Share

9

“Makanya. Ini jadi menarik, kan? Apalagi karena lingkunganmu yang berpeluang melatihmu dalam soal ilmu bela diri kan sudah jelas kita semua tahu siapa saja. Bajul, lalu ada Ki Gede, ada Pratiwi. Kalau mereka tertarik bakatmu, misalnya, lalu ingin membantumu berlatih, kan tinggal dipanggil saja. Atau langsung diajak bertarung. Yang satu ini kenapa malah sok main rahasia begitu? Alasannya apa? Siapa dia? Mengapa memilihmu dan bukan Bajul?”

“Dan kau sekarang tak merasa kenapa-kenapa, kan?” tanya Bajul. “Soalnya tendangan si senopati itu tadi benar-benar tendangan yang dimaksudkan untuk mencelakai. Kupikir kau bakal modar. Setidaknya pingsan sepekan lah. Tapi kau masih bisa bangun dan sepertinya baik-baik saja.”

Jaladri meraba bagian dada yang tadi kena tendang.

“Tadi cuma ngilu di sini, lalu aku sempat tidak bisa napas sebentar. Lalu ya biasa-biasa saja. Masih bisa jalan.”

“Malah Senopati Natpada yang terguncang parah,” kata Wisnumurti. “Sekarang ini mungkin masih setengah kelenger. Mencelatnya jauh sekali gitu. Kena pohon pula jatuhnya.”

“Dan sekarang penduduk senang karena kayu segede itu bisa dijual mahal,” Bajul menggeleng-geleng. “Dasar kau memang bajingan beruntung, Dri...!”

“Ada satu lagi yang menarik perhatianku,” kata Wisnumurti. “Aku sempat mendengar Senopati Natpada tadi menyebut nama Lintang Abyor, persis sesudah bisa berdiri ditolong anak-anak buahnya. Kalau dugaanku betul, itu pastilah nama jurus atau semacam ajian pukulan tertentu.”

Bajul berusaha keras mencerna arah pemikiran Wisnumurti. “Maksudmu, jurus yang dia terima dari Jaladri? Yang membuatnya mencelat terbang sejauh itu?”

“Persis.”

Jaladri ternganga. “Jadi itu namanya? Jurus Lintang Abyor?”

Wismumurti mengangguk. “Sepertinya begitu. Dan itu akan memberi petunjuk pada kita mengenai jati diri orang yang muncul di kamarmu dan menabokmu untuk membuka aliran tenaga intimu. Apalagi karena dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk mundur teratur. Barangkali karena pengaruh nama itu...”

“Memangnya bisa ya seperti itu? Satu kali kena pukul tenaga dalam, lalu langsung bisa seketika mengenali dan bahkan tahu namanya.”

“Itu sangat mungkin dilakukan oleh para pakar yang berpengetahuan luas, tahu banyak tentang segala aliran dan jenis perguruan dalam dunia persilatan. Dalam batas tertentu, aku pun bisa. Ketemu satu orang, lalu dari ciri gerakannya langsung tahu, ini dari perguruan mana dan aliran apa. Mengenali ciri pengerahan tenaga juga bisa, apalagi jika langsung kena hantam. Dan Senopati Natpada termasuk jenis manusia yang sangat melek dan terpelajar. Tadi saja, cukup dengan melihat bentuk ototku, dia langsung tahu aku seorang pesilat.”

“Lalu Lintang Abyor itu berasal dari aliran mana?” tanya Bajul.

Wisnumurti menggeleng. “Belum tahu. Aku tak hapal satu-satu setiap ciri perguruan beserta jurus-jurus andalan masing-masing. Kadang ada juga beberapa aliran berbeda memberi nama sama pada jurus yang berlainan. Yang memiliki wawasan lebih luas pasti bisa membantu, seperti Ki Gede Nipir.”

“Tentu saja. Besok kita tanya saja sama beliau.”

“Sekaligus menyediakan tempat untuk Sarni dan keluarganya.”

“Kau akan mengajak mereka ke Kenipir?”

“Ya. Tadi aku sudah mengatakannya pada Ki Buyut dan Ki Tanu. Mereka setuju. Jika masih ada di sini, mereka bisa saja disatroni suruhan Pangeran Candrakumala lainnya. Tanpa ada yang menjaga, hukuman penggal kepala bisa saja langsung dijatuhkan. Kenipir akan menjadi tempat aman bagi mereka memulai hidup baru. Ki Gede pasti bisa mencarikan pekerjaan buat Ki Tanu, syukur-syukur malah bisa bekerja langsung padanya.”

Bajul manggut-manggut. Sorot mata bijaknya saat itu menampakkan sosok dia yang sesungguhnya sebagai pria dewasa yang jauh lebih tua dan berpengalaman daripada kedua anak itu.

“Ya, itu jalan keluar yang cukup aman, sekaligus kita bisa melaporkan peristiwa tadi pada Ki Gede. Brabo kan masih wilayah Tanah Perdikan Kenipir. Dan di wilayah kekuasaannya, siapapun tak bisa bertingkah semaunya seperti itu tadi. Tak juga bangsawan Keraton.”

“Aku juga berpikir begitu. Ayo, tidur! Besok saat matahari terbit kita berangkat ke Kenipir bersama keluarga Ki Tanu. Mereka tak punya kuda, jadi kita semua harus jalan kaki. Perjalanan bakal makan waktu lebih lama. Mungkin lepas dzuhur baru kita tiba di Kenipir.”

Bajul mengangguk. Ia kembali bersiap membaringkan diri.

“Lalu ini harus kuapakan?” tanya Jaladri.

“Ya kudu dilatih, sedikit demi sedikit, sampai kau bisa merasakan dan mengendalikannya. Tapi aku tidak bisa. Wisnumurti yang lebih tahu urusan seperti ini.”

“Tapi aku juga tak bisa membantu banyak. Paling hanya memberi dasar-dasarnya saja. Aku kan tidak bakalan ada di sekitarmu tiap hari. Padahal latihan olah napas untuk mengendalikan tenaga inti harus dibimbing seorang guru agar perkembangannya bisa dipantau dengan teliti tiap saat, tiap hari. Hanya guru yang berpengalaman bisa tahu, sesudah mencapai satu tataran tertentu, berikutnya harus apa lagi.”

“Kau kan bisa,” sahut Jaladri.

“Belum pengalaman sebagai guru, tapi ya, memang bisa.”

“Lantas?”

“Kaupikir aku lalu mau tinggal menetap di Karang Bendan selamanya hanya untuk menjadi pelatihmu? Cara berpikirmu bagaimana? Waras tidak?”

Jaladri cemberut.

“Lalu aku harus latihan sama siapa? Bajul tidak bisa. Kau tidak mau. Dasar memang kalian tak ada gunanya sama sekali!”

Wisnumurti membaringkan tubuh dan meringkuk sepenuhnya dalam sarung, membelakangi Jaladri.

“Kau bisa latihan sama pocong dan kuntilanak penunggu rumahmu,” katanya sembarangan.

Jaladri mengomel. Masih tetap duduk saat kedua kawannya sudah berbaring.

***

Sesudah buang air kecil, Senopati Natpada kembali naik lereng menuju para prajuritnya berada. Hawa luar biasa dingin. Kabut pagi mengambang tepat di atas permukaan air. Seorang prajurit mematikan api unggun hingga hanya menyisakan arang kayu yang sedikit membara.

Senopati itu sesaat terdiam. Peristiwa kemarin sore benar-benar mengguncang kesadarannya. Tugas yang ia perkirakan bakal berlangsung enteng, sehingga ia hanya merasa perlu membawa serta 10 prajurit saja, ternyata berjalan sebaliknya. Ia begitu terusik sehingga tak tertarik untuk mengatakan apa pun pada mereka semua.

Urusan begini harus ia bahas langsung dengan Pangeran Candrakumala. Hanya orang-orang tertentu tahu ilmu itu—apalagi memilikinya. Ia tak berani gegabah terkait hal-hal keramat agar tidak tertimpa karma buruk.

“Bagaimana? Sudah siap semua?” tanya dia kemudian, memasukkan semua barang ke buntalan kantung di punggung kudanya.

Para prajurit di sekelilingnya mengedarkan pandang. Ternyata baru ada delapan orang.

Lalu ada suara langkah kaki mendekat dari salah satu arah. Senopati Natpada menoleh. Tiga pria bergegas mendekat. Yang dua adalah anak buahnya, sedang yang ketiga seorang pria bertubuh kurus yang nampak ringkih dan gampang jatuh.

Dan di hadapan Senopati Natpada ia kemudian memang rubuh, karena didorong dengan kasar ke depan. Pria itu terjerembab tepat di depan kaki Senopati Natpada.

“Siapa ini?” tanya sang senopati. “Penyusup?”

“Bukan, Gusti. Katanya, dia hendak bertemu Gusti Senopati,” sahut prajurit yang bernama Galih. “Ada yang hendak disampaikannya pada Gusti. Dia menemui kami di dekat kedung tadi.”

Pria itu, berusia sekitar akhir 30-an, bersujud di hadapan Senopati Natpada dengan badan basah kuyup gemetaran luar biasa.

“Orang ini bilang, dia mencuri kuda orang untuk menempuh perjalanan sepanjang separuh malam dari Brabo kemari agar dapat menyusul kita,” kata Galih lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status