Share

Menunggu Bulan
Menunggu Bulan
Penulis: Parwati Rudra

Pandangan Pertama

 

#Part_01

 

 

 

“Mbok, makanan sudah siap belum? Kamar tidur? Kamar mandi juga, sudah disikat belum? Hari ini Den Rayi pulang lho!" suara nyonya rumah terdengar lantang memekikkan telinga.

 

Pagi itu kediaman Anjani yang biasa sunyi berubah gaduh. Seluruh penghuni bersiap menyambut tuan muda. Putra tunggal yang diharapakan menjadi penerus keluarga. Ia biasanya pulang setahun sekali hanya pada saat Ramadan tiba. Waktu yang singkat inilah yang membuat ibunya ingin selalu memberikan yang terbaik untuknya.

 

Akan tetapi, tahun ini berbeda. Rayi pulang karena telah menyelesaikan pendidikannya. Ia akan kembali untuk mengabdi dan berbakti pada ibu tercinta. Ndoro Anjani sangat senang akhirnya mereka bisa berkumpul bersama.

 

"Sampun, Ndoro," jawab mbok Yati setengah berteriak dari dapur. Ruangan yang luas membuatnya harus senantiasa berucap lebih keras.

 

"Jangan ada yang kelupaan, lo, ya! O ya mbok, Raya ke mana? Suruh mandi, pakai baju yang bagus. Terus nanti suruh duduk sini. Bilangin juga, jangan pecicilan!" pinta ndoro Anjani sambil menunjuk kursi kecil di dekat dapur. 

 

Anjani wanita mandiri. Ia tegas dan disiplinnya tinggi. Sejak meninggalnya sang suami semua urusan pekerjaan dan keluarga dilakukan sendiri. Banyak cobaan dan godaan yang dihadapi, tetapi keberadaan sang putra membuatnya tegar dan kuat menjalani.       

 

Rayi segalanya. Harta terindah satu-satunya yang dimiliki. Ia pun memutuskan untuk membesarkan sendiri dan tidak berkeinginan untuk menikah lagi.

 

"Enggeh, Ndoro." jawab Mbok Yati. Diapun berlalu meninggalkan majikannya untuk menemui Raya.

 

Mbok Yati sudah sangat lama bekerja di rumah ndoro Anjani. Bahkan sejak majikannya itu masih bersekolah. Gerakannya yang lincah dan cekatan membuat Anjani sangat cocok dengannya.

 

Mbok Yati pelayan generasi ketiga di kediaman Anjani. Para pendahulu sebelumnya pun setia mengabdi dan bekerja di kediaman mewah itu. Kejujuran dan kesederhanaan yang ditonjolkan  membuat keluarga mereka selalu dipercaya dan dibutuhkan jasanya.

 

"Raya! Raya!" Teriak mbok Yati memanggil anak kesayangannya. Ia takut putra majikannya pulang dan tidak ada yang menyambut. Wanita paruh baya itu setengah kesal, sudah keluar-masuk ruangan masih belum menjumpai putrinya.

"Raya!"

 

“Ada apa sih, Mbok. Raya denger, kok." Raya menghampiri ibunya yang sudah sepuh. Dirangkulnya wanita itu yang masih terengah. Sebagian rambutnya terlihat memutih dan guratan-guratan halus menghiasi wajah sendunya.

 

"Den Rayi mau pulang, kamu cepetan mandi. Habis itu tunggu di depan ya, jangan pecicilan. Nyonya rumah ini gak suka, nanti kamu kena marah!" Mbok Yati menasihati putrinya.

 

Mendengar ucapan ibunya, Raya segera bersiap. Berpakaian serba biru, kemudian duduk--menunggu--di kursi kesayangannya.

 

"Assalamualaikum ..."

 

Tiba-tiba seorang pria masuk ke rumah. Wajahnya bersih, bertubuh proporsional dengan senyum menawan melangkah menghampiri Raya. Sesaat ia tak berkedip melihat gadis di hadapannya.

 

"Den Rayi," sapa Raya semringah. Seketika wajahnya merona. Ada letupan-letupan kecil di hati Raya saat melihat senyum tuan muda. Namun ia mencoba terlihat biasa di hadapan pria di depannya. Raya sudah menganggap Rayi seperti kakaknya, begitu juga Rayi sebaliknya. Nama Raya sendiri diberikan atas ide Rayi.

 

"Raya ...udah gede kamu. Kelas berapa sekarang? tanya Rayi. Dia duduk di samping Raya. Seketika gadis belia itu berdiri. Dia takut kalau ndoro Anjani melihat kebersamaan mereka. Dia pun berdiri agak menjauh dari posisi semula. 

 

"Saya udah lulus, Den." Jawab Raya menunduk tak berani menatap. Rayi sangat mengenalnya. Apa yang ada di dalam pikiran gadis itu, Rayi bisa dengan mudah membacanya. 

 

"Ndo ... "

 

Seketika Rayi membungkam mulut Raya. Ia meminta gadis itu untuk tidak memberitahu ibunya. Ia ingin berbincang santai berdua lebih lama.

 

Sebenarnya bukan sekali ini saja Rayi bertemu Raya. Akan tetapi, kali ini terasa sangat berbeda. Bayi kecil yang dulu, tumbuh menjelma menjadi gadis cantik. Ia  laksana buah yang siap dipetik. Wajah ayu dan bibir basah merona membuat Rayi terpana. Beberapa kali tatapan mereka bertemu, dan langsung sama-sama membuang muka.

 

"Jangan kasih tahu bu e. Nanti saja," perintah Rayi.

 

Raya mengangguk pelan mengikuti perintah tuan muda. Sejujurnya dia gugup berdua dengan Rayi. Ia merasa pria itu terus saja memperhatikannya.

 

"Ambilin aku makan, ya. Udah laper banget nih!" Rayi memegangi perutnya.

 

Raya mengangguk dan meminta tuannya jalan terlebih dahulu. Ia tampak sangat hati-hati saat melayani tuan muda. Tanpa sepengetahuan gadis itu, Rayi tak bosan memperhatikan setiap gerak-gerik Raya.

 

Di sudut lain, sosok wanita dengan tampilan sempurna merajuk. Ia kesal melihat putranya sudah berada di ruang makan tanpa ada yang memberitahu. Ia merasa diabaikan.

 

Di ruang makan, Rayi dan Raya masih asyik berbincang. Sembari mengambilkan nasi dan lauk, gadis itu menjawab semua pertanyaan yang diajukan tuan muda. Percakapan kedua insan yang jarang bertemu itu mengalir hangat.

"Silakan, Den."

 

Setelah hidangan tersedia, Rayi makan dengan lahap. Sesekali terbahak mendengar celoteh gadis itu. Sepasang mata elangnya tak henti menatap. Perlahan Anjani berjalan menghampiri mereka. Menyadari keberadaan majikannya, Raya memberi isyarat pada tuan muda.

 

Ia menunjuk-nunjuk menggunakan dagunya ke arah belakang Rayi. Akan tetapi pria itu tak mengerti, ia semakin tertawa geli melihat aksi Raya. Gadis itu pun tertunduk semakin dalam saat Anjani menatapnya tajam. Ia merasa bersalah mengiakan saja permintaan tuan muda.

 

Rayi menghentikan makannya, saat melihat ekspresi wajah Raya. Ia pun segera berdiri dan berbalik. Tampak sang ibu dengan wajah kesal berdiri mematung. Seketika ia mendekat dan merangkul bahu ibunya. Terdengar jelas napas yang memburu menahan sesak. Namun begitu, Rayi tak kehilangan akal. Ia terus menggoda Anjani hingga senyuman tersungging di sudut bibir ibunya.

 

"Gak nemuin bu e dulu, malah cekikikan di sini!” sungut ndoro Anjani. Ia menjewer manja putranya. Rayi cepat-cepat menarik kursi dan mempersilakan ibunya duduk.

 

“Baru mau dijemput sudah datang. Naik apa tadi? Gak bilang-bilang.” Suara Anjani masih terdengar kesal. Ia juga menumpahkan kemarahannya pada Raya.

 

"Kenapa kamu diam aja tahu tuanmu udah pulang?" tanya Anjani. Raya hanya terdiam tak berani mengadahkan wajah manisnya.

 

Rayi seketika pasang badan untuk Raya. Ia menjelaskan yang sebenarnya bahwa dirinyalah yang meminta untuk tidak memberi tahu. Ia beralasan ingin memberikan kejutan pada Anjani.

 

“Tadi saya naik ojeg, Bu e. Dekat kok." jawab Rayi tenang. Ia pun kembali duduk dan melanjutkan makan yang sempat tertunda. Melihat Raya masih diam mematung, Rayi merasa bersalah. Karena dirinya, gadis polos itu menjadi sasaran ibunya. Ia pun mengerjapkan mata dan mengangguk pelan pada Raya. Mencoba menenangkan.

 

"Mbok! Mbok!" Anjani berteriak memanggil mbok Yati. Tampak ia menumpahkan kekesalannya. Rayi dan Raya saling pandang, lalu menutup kedua telinga mereka. 

 

"Dalem, Ndoro." Mbok Yati setengah berlari menghampiri majikannya. Ia mengira sesuatu telah terjadi pada sang ndoro. Mendadak wajahnya berubah cerah melihat tuan muda sudah duduk berada diantara mereka.

 

"MasyaAllah, Den, gimana kabarnya?” sapa Mbok Yati. Gurat kebahagiaan terpancar jelas di wajah wanita itu.

 

Seketika Rayi berdiri da  manyalami mbok Yati. Pria dewasa itu mencium takzim tangan wanita yang telah mengasuhnya dengan sepenuh hati yang membuat Anjani semakin cemburu. Putra semata wayang memperlakukan orang-orang di sekitarnya dengan sangat baik berbeda dengan dirinya. Ia pun melipat kedua tangan di depan dada kemudian membuang muka.

 

Mbok Yati terharu. Ia tampak berkaca-kaca. Tidak menyangka bayi yang dulu ditimang, cepat tumbuh menjadi pria dewasa dan siap melanjutkan usaha keluarga. 

 

"Jangan nangis, Mbok, nanti semua ikut nangis." Rayi mengusap-usap tangan sang pelayan. Anjani bertambah kesal. Ia mendengkus. Matanya membulat ke arah asisten rumah tangganya.

 

Mengetahui hal itu Rayi tersenyum geli. Hal yang sama yang sering dilakukan kala melihat dirinya dekat dengan mbok Yati. Di saat itu juga Rayi kembali menggoda ibunya. Ia mendatangi Anjani dan menciumi seluruh wajah. Wanita itu pun berteriak-teriak. Meminta Rayi menyudahi keisengan putranya.

 

"Wes, Le! Sudah, geli! Kamu ini udah tua nggak malu apa sama Raya." Anjani menakup wajah putranya dengan kedua tangan. Seketika Rayi berhenti. Ia lupa ada Raya yang sedari tadi memperhatikan. Ia tampak menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.

 

Melihat Rayi salah tingkah, Raya tak kuasa menahan tawa. Ia berusaha menutupi dengan kedua tangan, tetap saja masih terdengar. Keceriaan kembali hadir ditengah-tengah keluarga itu. Kehadiran Rayi seperti cahaya. Sinarnya memberi kehangatan dan mampu menerangi kegelapan. Rayi pun mengajak ibunya untuk makan bersamanya.

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
awal yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status